SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Pembalasan Istri Yang Terhina

Pembalasan Istri Yang Terhina

Aku dan seluruhku

Bagai siang berganti malam. Dari kemarau menuju hujan. Begitu sebaliknya. Selalu begitu. Tidak akan pernah berubah.

Kita tau apa itu gelap, karena setelahnya ada terang. Kita dapat merasakan panas, karena kita pun merasakan dingin, yang menggantikannya. Keduanya saling mengikuti. Agar kita menjadi bijak untuk memaknainya. Insya Allah.

Hidup dalam keterbatasan seringkali menjadi ujian tersendiri bagi setiap diri, tak jarang keberadaan kita tidak dianggap ada, bahkan tak sedikit yang mendapat perlakuan tak mengenakkan. Di kucilkan karena miskin, dihina karena tak punya, inilah hidup yang tak semua berjalan mulus. Saat satu persatu pergi meninggalkan kita sendirian, itulah hal tersulit dalam hidup ini, berusaha bangkit dengan sisa tenaga yang ada, menjalani hari hari penuh dengan luka dan air mata, sempat merasakan lelah dan menjauh dari keyakinan terhadap kuasaNYA.

Terpuruk dalam kesendirian, memeluk sepi diruang kehampaan.Tak ada satupun uluran tangan untuk menguatkan, semua pergi, semua hilang, hanya meninggalkan jejak jejak kepedihan.

Aaaah dunia ini kadang tak adil pada insan papa sepertiku, lalu haruskah aku berteriak dan membenci, sedang diri tak mampu meraba takdir.

Kenapa?

Kenapa harus ada pembedaan?

Kenapa?

Kenapa semua begitu sulit dan teramat menyakitkan?

Bukankah, Kita Masih Dibawah Langit Yang Sama?

Lalu, kenapa masih ada perbedaan itu? masih ada jarak yang teramat jauh....

Langit kita sama.....

Bumi yang kita pijak juga berada di bawah langit yang sama.

Tuhan, Kau meninggikan langit tanpa tiang.

Semua terjadi karena sebuah alasan, jika bukan untuk membuat kita bersyukur, maka pasti untuk membuat kita belajar bersabar.

Entah itu belajar bersyukur dari sebuah nikmat, atau belajar bersabar dari sebuah kesulitan.

aku hanya wanita yang serba kekurangan, banyak dosa dan tak luput dari kesalahan, namun aku mencoba untuk bangkit dan berdiri dengan kedua kakiku, menapaki kehidupan dengan menopang pada nilai kesabaran dan perjuangan yang tak kenal lelah dan kata menyerah.

apakah semua insan yang memiliki harta melimpah itu dijamin hidup bahagia?

dan apakah insan yang serba kekurangan juga tak berhak untuk merasakan bahagia dalam indahnya hidup ini?

tentu jawabnya adalah tidak, karena setiap insan yang terlahir di dunia ini, sudah sepaket dengan masalah kehidupan dalam hidupnya, tergantung bagaimana cara kita menyikapi dan menerima masalah yang hadir dalam hidup di dunia ini.

kisah yang kujalani mungkin rumit tapi tak juga harus aku merasa insan paling menderita di dunia ini, karena masih banyak diluaran sana yang hidupnya lebih sulit dan menderita dari padaku.

hadir di dalam sebuah keluarga yang tak memiliki rasa kasih dan cinta, yang menjadikan uang dan harta di atas segalanya, menyekesampingkan Adab hanya demi sebuah ego, merendahkan orang lain demi memuaskan nafsu sesaat, sabar saja tidak cukup, harus ada ketegasan dalam bersikap, dan untuk itu, aku butuh waktu bertahun tahun agar bisa berlepas dari mereka, namun ujian tak hanya sampai disana, saat ikatan itu sudah putus, mereka yang sudah hilang rasa malu dan putus nurani tetap merongrong hidupku dengan berbagai cara liciknya.

awalnya sesak, marah, dan bahkan ada terbesit kata takut akan ketoxisan mereka, namun karena cinta dan naluriku sebagai ibu dan wanita yang menginginkan kebebasan dan mendambakan kenyamanan dalam hidupku, aku Halwa telah siap untuk melawan dan menunjukkan pada mereka. Aku bukan wanita bodoh yang mau diperbudak oleh manusia manusia tak bernurani seperti kalian, mari kita buktikan , Halwa siap berjuang .

"Halwaaaaa, dari tadi kamu kerjaannya cuma ngelamun saja, sana cepat beresin cucianmu, setelah itu pergi ke pasar, bahan bahan dikulkas sudah habis." ibu berkacak pinggang sambil membawa ketoprak yang tadi pagi sempat aku beli di depan gang untuk sarapan, tapi kini sudah berpindah tangan ke ibu mertuaku, tanpa belas kasih ibu langsung merampas bungkusan yang ada ditanganku dan dengan serta mendorong tubuh ini ke halaman belakang untuk mencuci pakaian yang sudah menumpuk di ember.

"aku lapar Bu, biarkan aku sarapan dulu, setelah itu akan aku kerjakan semua pekerjaan rumah tanpa ibu perintah, bagaimana aku mengerjakan pekerjaan sebanyak ini dengan perut kosong, semalam makanan habis tidak ada sisa sama sekali, padahal aku belum makan."

" heleh, salah sendiri, kenapa tidak makan, sekarang kamu jadikan alasan kalau semalam nggak bagian makanan, terus aku harus kasihan begitu? wong itu salahmu sendiri kok. sudah jangan banyak alasan kamu! cepat lakukan apa yang aku perintahkan, jika tidak mau aku adukan sama Yudha biar tau rasa kamu." wanita separuh baya itu tanpa perasaan langsung meninggalkan ku yang masih terpaku lemas, tak terasa air mata ini kembali berjatuhan seiring rasa sakit dalam hati.

pusing dan mata mulai berkunang kunang, mungkin efek perut yang belum terisi sama sekali dari kemarin, mulai duduk di kursi kecil dan mengucek satu persatu pakaian yang tertumpuk meski harus menahan sakit. 'Aku tidak boleh lemah, harus mulai berani melawan dengan sikap sewenang wenang orang di rumah ini, cukup ...rasanya sudah sangat lelah.'

Dengan susah payah menyelesaikan cucian, lantas mengguyur tubuh ini dengan air, agar kembali segar, setelah ini akan ku ikuti maumu Bu, bukankan ibu akan menyuruhku belanja, pasti ibu hanya menyuruh tanpa mau memberi uang, dan lihat saja nanti apa yang akan aku beli untuk kalian.

Bersiap siap meskipun tubuh rasanya menggigil, tapi tak apa, biar nanti sekalian aku beli makanan di pasar, sudah lama aku tidak makan sate gulainya pak Joko, sesekali aku juga harus memanjakan lidah ini, dan untuk Hasna biarlah nanti aku bungkuskan, lalu menyembunyikan ditempat biasa, karena kalau sampai ibu atau mbk Yeni yang tau duluan, bisa bisa Hasna tidak kebagian, karena sudah pasti ibu dan anak itu langsung menghabiskannya tanpa perduli perut orang lain.

untuk kali ini aku akan belanja apa yang mereka semua tidak sukai, ikan asin sekilo, cabe sekilo, tomat sekilo, tempe lima papa, tahu tiga bungkus besar, brokoli, sawi, telor sekilo, kemangi juga tak lupa terasi dan ikan teri, biarlah sudah saatnya aku memberikan mereka pelajaran, jika tak doyan dengan apa yang aku sediakan, biar belanja sendiri dan membeli dengan uangnya sendiri, setidaknya untuk seminggu kedepan, kebutuhan perutku juga Hasna tercukupi, karena keluarga mas Yudha tidak bakalan doyan dengan menu menu yang sudah aku beli ini, sengaja aku membeli menu menu sederhana ini, selain untuk memberi mereka pelajaran, aku juga Hasna sangat suka dengan sambal terasi dengan lalap kol, berlauk kan ikan asin, tempe juga tahu, aaah aku harus siap dengan Omelan dan amarah ibu mertuaku setelah ini, dan insya Alloh aku sudah mempersiapkan diri untuk itu, bismillah.

" Halwa, kamu belanja apa aja itu? kok kayak bau ikan asin?" sambut ibu saat aku baru saja melangkahkan kaki di teras depan rumah.

" iya, tadi Halwa beli ikan asin Bu, dibikin sama sambel pasti enak." jawabku cuek dan langsung meneruskan langkah untuk masuk kedalam rumah, nampak ibu mengikuti langkahku dengan tergesa.

" coba lihat, apa aja yang kamu beli di pasar." ibu merampas kantong kresek dari tanganku, dan langsung mengeluarkan isinya di atas meja makan yang ada di dapur, seketika muka ibu berubah, raut tidak suka terlihat jelas diwajahnya yang mulai muncul garis keriput.

" Apa apaan kamu Halwa, bisa bisanya kamu cuma beli tahu, tempe sama ikan asin, memangnya kita ini orang susah yang lidahnya biasa dengan makanan kayak gini, cepat kembali lagi kamu ke pasar, beli seperti biasanya ikan, daging, dan ayam."

" maaf Bu, Halwa sudah tidak lagi punya uang, uang Halwa sudah habis buat belanja ini, dan itu aja ada sisa cuma sepuluh ribu di dompet, jadi kalau ibu mau beli ikan, daging juga ayam, beli sendiri saja menggunakan uang ibu, bukankah setiap bulan gaji mas Yudha ibu yang pegang?"

aaah senangnya lihat ekspresi ibu, yang melongo tak percaya karena aku berani membantah perintahnya, biarkan saja. Karena aku sudah lelah menjadi pelayan dirumah ini, salah siapa yang tidak pernah menghargai ku sebagai menantu dirumah ini, sudah saatnya aku melakukan perlawanan.

" kurang ajar kamu Halwa, sudah berani membantahku sekarang." ibu murka dengan nafas memburu, tanpa memperdulikannya, aku terus melakukan pekerjaanku, membersihkan sayuran juga bahan bahan lain untuk di simpan dikulkas.

" kenapa sih Bu, dari tadi aku dengar ribut ribut?" mbak Yeni muncul dari arah kamarnya masih memakai piyama dengan rambut yang masih acak acakan, kebiasaanya yang selalu bangun siang, tanpa melakukan pekerjaan apapun, padahal usianya sudah hampir kepala empat, sifat malasnya membuat suaminya tidak betah dan sangat jarang sekali pulang, tetapi masih selalu memberi uang belanja yang cukup untuk mbak Yeni, namun perempuan itu sangat pelit dan perhitungan sekali, dia tidak pernah mau mengeluarkan uangnya untuk membantu kebutuhan rumah, setiap dapat uang dari suaminya, kerjaanya kalau tidak beli baju baru pasti membeli perhiasan.

" itu Halwa sudah mulai berani melawan ibu, masak ibu suruh belanja, yang dibeli cuma tahu, tempe dan ikan asin saja, memang siapa yang doyan makanan kayak begitu." sungut ibu menjelaskan kepada anak perempuan nya dengan ekspresi penuh kekesalan, bodoh amat pikirku.

" benar yang dikatakan ibu Halwa? kamu tidak beli daging atau ayam?" tanya mbak yeni memastikan.

" iya mbak, Halwa cuma nyesuain keuangan di dompet Halwa yang tinggal beberapa lembar, ya itu cuma cukup beli ikan asin sama tahu tempe." jawabku enteng.

"tuh kan, ibu bilang apa." ibu masih memberengut kesal.

" terus sekarang kita makan siang sama apa? kalau kamu cuma beli itu, aku sudah lapar ini." sambung mbak Yeni masih dengan lagak kayak majikan, yang selalu minta dilayani maunya.

" ini, aku mau goreng tahu sama tempe sama bikin sambal terasi, kalau mbak Yeni nggak suka, bisa makan diluar atau pesan di aplikasi, disana banyak kok menu menu enak." jawabku santai, dalam hati aku tertawa penuh kemenangan, aaah kenapa tidak dari dulu aku lakukan ini.

Mati rasa

Pukul enam sore aku baru pulang dari toko. Alhamdulillah hari ini toko lumayan rame, jika tiap hari seperti ini terus, saldo tabunganku akan semakin banyak, aku bisa secepatnya membeli rumah sendiri, meskipun rumah sederhana. Tapi setidaknya aku bisa lepas dari keluarga demit seperti mereka.

Selama ini, kubiarkan mereka selalu merendahkanku, bahkan memperlakukan aku layaknya pembantu. Kalau saja bukan karena Hasna putriku, tak Sudi bertahan untuk di tindas oleh keluarga mereka. Namun apa dayaku, aku yang tak punya siapa siapa, dan belum punya cukup uang, mengharuskan diri ini bertahan dalam tekanan mereka.

Mereka hanya tau aku bekerja jadi pelayan toko dengan gaji sembilan ratus ribu perbulan, itu pun dirampas ibu mertua lima ratus ribu, dan sisa yang empat ratus selalu diminta paksa mas Yudha, kalau tidak kuberikan pasti dia akan menghajarku habis habisan, pernah sampai tubuh ini penuh lebam karena amukkannya.

Itulah kenapa, aku tidak pernah jujur jika sebenarnya toko tempat dimana aku bekerja adalah toko milikku sendiri, aku bisa membangun toko itu dari hasil menulis di beberapa platform kepenulisan, hasil yang kudapat lebih dari cukup dan tak pernah kubayangkan sebelumnya.

Setiap bulan, saldo selalu bertambah dan aku selalu menyembunyikan ATM milikku di tempat yang aman, biarlah mereka mengira aku wanita miskin dan bo**h untuk dimanfaatkan. Kurang sedikit lagi, aku harus mampu dan kuat untuk beberapa bulan kedepan, sebelum aku membeli rumah. Aku akan lebih dulu menggugat mas Yuda. Sudah banyak bukti KDRT yang dia lakukan padaku, dan bagaimana dia memperlakukan Hasna putrinya sendiri, semua Vidio itu sudah kuamankan untuk menjadi bukti memudahkan gugatanku nantinya. Selain temperamental, Mas Yuda juga sangat gemar selingkuh, aku diam bukannya bodoh, tapi hanya menunggu waktu untuk meledakkan bom kehancuran bagi mereka.

Saat kaki ini baru menginjakkan teras rumah, ibu mertua sudah menyambutku dengan sikap sinisnya.

"Baru pulang kamu? kerja gaji tidak seberapa saja, pulang hingga malam, apa kamu sengaja membuat kami semua sakit, karena lapar hah?" Suara lantang ibu mertua menyambutku nyalang.

"Ditoko tadi lagi rame Bu, ibu tau sendirikan itu toko masih baru dibuka dan pelayannya hanya ada dua orang. Jadi ya mau gimana, nggak mungkin aku pulang, sedangkan tenagaku masih dibutuhkan disana. kalau aku tidak nurut apa kata pemilik toko, apa ibu mau aku dipecat? Lalu ibu tidak dapat uang lima ratus ribu tiap bulannya?"

Sengaja. kutekankan kata lima ratus ribu, untuk menyentilnya. Biar mikir kalau sudah merampas yang bukan haknya.

"Heleh alasan saja kamu! uang lima ratus itu anggap saja kamu bayar uang sewa dirumah ini. kamu itu hanya numpang. Enak saja mau serba gratis, listrik itu bayar pake uang, ngerti kamu?" ibu melotot tak suka ke arahku.

"Terserah ibu saja, aku capek mau mandi." Bodoh amat dengan kemarahan ibu, badanku sudah terasa lengket dan mulai bau, rasanya ingin segera bertemu dengan air untuk menyegarkan raga yang sudah lelah akibat berjibaku dengan pekerjaan seharian.

"Eeeh! eeeh! mau kemana kamu?

Dasar orang miskin, mau berlagak sok capek segala. Kamu ya! Kerja baru jadi pelayan saja sudah belagu." mbk Yeni mencekram lenganku erat, sampai terasa perih, keterlaluan.

"Auuuwww sakit! lepaskan mbak." Aku meringis kesakitan dan berusaha untuk melepaskan cengkramannya dari lengan ini.

"Enak saja mau pergi begitu saja. Cepat bikinin kami makan malam, sudah ada ayam sama tempe di dapur. kami mau makan penyetan. Jangan lupa bikin sambelnya yang super pedes. Sana buruan! aku sudah kelaparan." Perintahnya bak majikan.

"Mbak kelaparan ya?

Punya tangan kan?

Punya kaki yang masih bisa jalan?

Kenapa tidak masak sendiri saja? semua bahan sudah tersedia, kenapa harus nunggu aku?

jangan salahkan aku, jika kalian kelaparan." kuhempaskan cengkraman tangan kakak iparku itu dengan tenaga full, sampai membuatnya hampir terjungkal, bodoh amat.

"Dulu aku akan nurut, karena aku masih berusaha menghargai kalian, tapi tidak untuk saat ini dan seterusnya. Aku bukan pembantu gratis kalian." ku langkahkan kaki dengan cepat masuk ke dalam kamar putriku lalu menguncinya dari dalam, tubuh yang ingin segara diguyur harus kutahan dulu, lebih baik istirahat dan makan nasi bungkus yang tadi sempat aku beli diluar. Dua bungkus nasi goreng untukku dan Hasna, biar saja mereka kelaparan, salahnya sendiri tidak mau berusaha memasak.

Saat aku sedang menikmati nasi goreng dengan Hasna, pintu digedor gedor dari luar, suara ibu mertua nampak murka, namun tak kuperdulikan. Biar saja mereka mengumpat dan memakiku, toh itu sudah jadi menu tiap hari bagiku.

Hasna pun sudah tak kaget lagi dengan keadaan ini, dia yang makin dewasa, makin paham bagaimana harus bersikap. GadisKu itu sudah mampu bersikap dan berpikir dewasa lebih cepat dari usianya.

"Kenyang bund, nasi goreng pak Mamad memang the best dari dulu. makasih ya bund, sudah selalu baik dan sayang sama Hasna."

"Itu sudah jadi kewajibannya bunda sayang, kamu itu nyawa kedua bunda,semangat bunda. Permata hatinya bunda. Hasna harus selalu ingat pesan bunda, jaga rahasia. insyaallah sebentar lagi bunda akan punya rumah baru, kita akan pindah dari sini sayang, kita akan mulai jalani kehidupan baru."

"Bunda akan pisah sama papa?" Ada kilat kesedihan di kedua bola mata anak gadisku.

"Hasna tidak setuju nak?" Tanyaku dengan hati hati.

"Hasna selalu mendukung apapun yang menurut bunda baik, karena Hasna tau, bunda pasti sudah memikirkan semua. Hasna juga nggak mau lihat bunda terus dihina oleh nenek, budhe, dan semua orang dirumah ini. Bunda berhak bahagia, dan Hasna akan selalu ada untuk bunda."

"Trimakasih sayang. Maafin bunda ya nak, kalau bunda sudah tidak mampu lagi bertahan."

"Hasna paham posisi bunda, Hasna sudah dewasa, Hasna cukup mengerti keadaan ini bund, jadi bunda jangan terlalu hawatirkan Hasna. Justru Hasna hawatir jika bunda tetap bertahan dirumah ini, yang ada bunda akan semakin tersiksa."

"Iya sayang, trimakasih nak. Anak bunda sudah dewasa ternyata." kupeluk tubuh putriku dengan perasaan bahagia, hanya dia satu satunya yang aku punya, hanya dia tempat untuk berbagi, Hasna gadis yang baik dan cerdas, tidak banyak bicara tapi sangat peka terhadap apapun, dialah yang selalu membantuku, untuk mengumpulkan semua bukti kekejaman keluarga ini.

Tak ada lagi suara ibu mertua dan mbk Yeni, mungkin mereka capek teriak teriak, biarkan saja. Aku sudah tak ingin lagi perduli.

Jika ada yang tanya dimana suamiku?

Pasti jawabannya kerja lembur, padahal dia sedang berada ditempat selingkuhannya, dan akan pulang tengah malam, setiap hari selalu begitu, entahlah rasa cemburu itu sudah hilang, seiring rasa sakit yang tergores setiap hari, mati rasa itulah yang kurasakan saat ini, hingga aku tak perduli dengan apa yang dia lakukan diluaran sana, toh masih ada Alloh, biarlah tanganNYA yang bekerja, aku percaya akan selalu ada balasan dalam setiap perbuatan, sebagai hamba aku hanya cukup meyakiniNYA.

Sepertinya aku harus segera mengajukan gugatan, dan kalaupun aku akan terusir dari rumah ini sebelum aku punya rumah, aku bisa tidur di toko bersama Hasna, disana ada dua kamar dan lengkap dengan dapur juga kamar mandi, aku sengaja meminta tukang untuk membuatkan dua kamar, dapur dan kamar mandi di belakang toko, untuk berjaga jaga jika suatu saat mereka mengusirku, jadi aku tak perlu lagi mencari tempat tinggal.

#jika sudah tidak ada lagi sakinah, mawadah, warohmah dalam rumah tangga,maka tak akan ditemukan surga didalam nya,lalu untuk apa bertahan dalam neraka yang penuh dengan api kebencian.