Naii: Jangan Panggil Aku Janda
"Naii... Kemari kamu," ucap suara seseorang yang sangat dikenal oleh wanita berhijab lusuh tersebut.
Ia baru saja selesai mencuci piring dan juga barang-barang perabotan memasak lainya setelah lelah berjualan kue keliling seharian.
Dengan cepat ia mengibaskan kedua tangannya, dan mengelapnya pada daster yang juga sudah tampak lusuh dan menjadi teman kesehariannya.
"Naii, buruan! Kamu tuli, ya?" teriak pria yang tak lain adalah suaminya. Hardi, sosok yang menikahinya dan menjadi pendamping hidupnya selama tujuh tahun ini hanyalah menjadi seorang pengangguran dan taunya meminta uang untuk mabuk-mabukan.
Bahkan, pria itu tak jarang memberikan pukulan kepadanya setiap kali meminta uang jika Naii menolaknya, maka penganiayaan yang harus ia dapatkan.
"Ada apa, sih, Mas?" jawabnya dengan lirih, ia sudah terlalu capek dengan semua tugas rumah tangga sekaligus menjadi tulang punggung keluarga.
"Apa, apa, katamu. Kalau dipanggil laki itu cepat datang, jangan lambat kali jadi orang!" makian dan cacian kerap kali dilontarkan untuknya, dan ia mencoba untuk tetap sabar, berharap suatu saat sang suami terbuka pintu hatinya dan bertaubat.
Naii menarik nafas dengan dalam, dan mengeluarkannya dengan berat. Ada jutaan rasa lelah didalam hidupnya, ia mencoba berusaha untuk kuat, meski setiap pertahanannya mulai goyah. Apakah yang ia harapkan dari seorang Hardi? Sudah miskin, pemalas, dan juga pemabuk. Bahkan akhir-akhir ini ia mendengar gosip para tetangga jika suaminya mulai terhoda janda pirang diujung jalan.
Namun bagi Naii, selagi tidak terlihat dimatanya sendiri, maka ia masih mengabaikan semua kabar miring tersebut, lagi pula ia sudah lelah bertengkar terus setiap saatnya.
"Ada apa, Bang?" Naii mengulangi ucapannya.
"Beri aku uang satu juta, aku lagi butuh," ucap Hardi seenak udelnya. Bahkan tanpa rasa malu ia meminta uang kepada sang istri, sedangkan memberi nafkah saja tidak pernah.
Tentu saja hal itu Hardi lakukan karena pria itu sudah putus urat malunya dan mengetahui jika istrinya memiliki simpanan uang.
"Tidak ada, Bang. Itu untuk bayar uang kontrakan, sebab Pak Kasim sudah datang meminta uang kontrakan yang tertunggak dua bulan," Naii mencoba memberi pengertian kepada sang suami.
"Kamu berani melawanku, Ya? Sini uang itu, atau kamu mau aku hajar, hah!" jawab Hardi dengan raut wajah penuh amarah. Tampak auranya begitu mengerikan terbias dengan emosi yang meledak.
Pria itu sudah mengangkat tangannya, bersiap untuk memberikan tamparan pada Naii yang sudah seringkali menerima segala penyiksaan yang diberikan oleh sang suami.
Bahkan air matanya seolah sudah kering dan ia tak lagi dapat untuk menangis, sebab semuanya sudah sangat terbiasa.
"Aku tidak mau memberikannya, itu uang untuk bayar kontrakan, jika tidak dibayar, maka pak Kasim akan mengusir kita dan mau tinggal dimana lagi, hanya ini rumah kontrakan yang murah," Naii mencoba menegaskan.
Plaaaaak...
Suara tamparan yang sangat keras mendarat dipipi putih sang wanita. Tergambar lima jari bekas penganiayaan tersebut.
"Sekali lagi kamu melawan, ku hajar kamu!" ancam Hardi dengan nada tinggi.
Ahnaf dan Aliyah berlari dari kamar saat mendengar kedua orangtuanya bertengkar.
Kedua bocah itu memeluk Naii dengan wajah ketakutan. Mereka sangat terlalu sering melihat sang ayah menyiksa ibunya, sehingga ikut merasakan kepedihan yang dirasakan oleh sang ibu.
Melihat kedua anaknya datang dengan tatapan menghiba dan ketakutan, tak membuat seorang Hardi merasa belas kasih. Ia menginginkan uang tersebut.
"Menyebalkan!" maki Hardi, lalu berjalan menuju kamar dan mengobrak-abrik tilam lusuh yang hampir mengempis karena sudah terlalu lama.
"Naii, dimana uangnya?" teriak Hardi dengan geram.
Tetapi wanita itu hanya membisu dan tak ingin menyahutinya.
Setelah puas membongkar semua isi kamar, ia tak menemukan apa yang dicarinya, sehingga kesabarannya semakin menipis.
Sesaat matanya melihat sebuah tabungan berbentuk ayam yang terbuat dari bahan plastik, dengan cekatan ia menyambarnya dan membawanya keluar dari kamar.
"Ayah.. Jangan! Itu tabungan Ahnaf untuk beli tas sekolah," rengek Ahnaf yang melihat sang ayah membawa tabungan berbentuk ayam miliknya.
"Bawel kamu, sama saja seperti ibumu," sergahnya, dan ia tak perduli saat bocah berusia enam tahun itu menangis dan memohon agar sang ayah tak mengambil tabungannya.
Hardi membawa benda itu ke dapur, lalu dengan cepat merobeknya dan menemukan uang pecahan seribu dan dua ribuan yang menjadi pengisinya.
"Siaal...," makinya, saat tak puas melihat isi yang tak sesuai harapannya.
Ia meraih uang yang diperkirakan berjumlah seratus ribu yang dikumpulkan sang bocah dengan mengumpulkan rongsokan, tetapi dengan mudahnya sang ayah merampasnya begitu saja.
Setelah memasukkan uang tersebut ke dalam sakunya, ia bergegas menuju ke ruang tengah tempat dimana Naii dan kedua anaknya menangis akan perlakuan kasar yang dilakukannya.
"Mana uang itu?" tanyanya lagi. Sepertinya ia tak puas akan uang yang sudah ia ambil dari tabungan Ahnaf.
"Tidak ada," jawab Naii menahan perih dipipinya bekas tamparan Hardi barusan, dan juga menahan peri dari perlakuan sang suami.
"Bohong! Setiap hari kamu berjualan, dan pastinya kamu banyak menyimpan uang," Hardi tak percaya dengan ucapan istrinya.
Perlahan ekor matanya melirik sesuatu yang terselip dibalik hijab lusuh yang digunakan wanita tersebut.
Tangan Hardi dengan cekatan mentingkap hijab tersebut, lalu mero-goh sesuatu dibalik daster yang tampak terlihat melapuk.
Matanya berbinar saat menyentuh benda berbungkus plastik dan diikat dengan plastik transparan.
Naii dengan gerakan cepat memepertahankannya. "Jangan, Bang... Jangan ambil. Ini uang bayar kontrakan," wanita itu dengan cepat mencengkram pergelangan tangan Hardi dan berharap pria itu mengambil benda yang disimpannya dibalik bra.
Namun tenaga Naii kalah jauh, dengan sigap Hardi mendorong tubuh sang istri dan menyebabkan wanita itu hilang keseimbangan dan akhirnya limbung terjatuh dilantai bersama kedua anaknya.
"Berani kamu, ya...! Ini apa, hah?" ucapnya dengan nada kesal sembari memperlihatkan benda yang dibungkus plastik dan tentunya berisi uang yang diinginkannya.
"Jangan, Bang.. Jangan bawa uang itu," mohon Naii dengan tangisannya yang semakin menghiba.
Hardi tak menghiraukan tangisan sang istri dan bahkan kedua anaknya yang juga menangis ketakutan tak lagi ia perdulikan.
"Ayah jahat!" teriak Ahnaf dengan nada yang penuh kebencian.
Hardi melenggang pergi meninggalkan rumah setelah mendapatkan apa yang diinginkannya.
Saat bersamaan, Mbak Fhitry datang untuk melihat apa yang terjadi.
Ia berpapasan dengan Hardi yang baru saja keluar dari rumah dan menghidupkan mesin motor bututnya, lalu pergi tanpa merasa bersalah.
"Naii," ucap Mbak Fhitry yang melihat wanita itu beserta kedua anaknya terduduk dilantai, "Ya Allah, Naii," rasa iba menyeruak didalam hatinya, " Dasar Hardi keterlaluan," ucapnya dengan kesal, lalu membantu Naii untuk bangkit.
"Sebaiknya kamu berpisah saja dengan laki-laki tak berguna itu. Untuk apa kamu bertahan jika terus mengalami penyiksaan seperti ini," omel Mbak Fhitry.
"Tapi, Mbak, kasihan anak-anakku jika harus berpisah dari ayahnya. Aku juga takut jika harus meminta cerai terlebih dahulu," ucap Naii dengan sikap serba salah.
Mbak Fhitry membolakan kedua matanya, ia menatap geram pada Naii yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri.
"Naii, cinta boleh, tapi bodoh jangan!" sergah wanita itu dengan kesal. Ia menganggap Naii adalah wanita terbo-doh yang mampu bertahan dengan perangai suaminya tersebut.
Naii terdiam mendengar ucapan dari mbak Fhitry. Ia menatap kedua anaknya yang kini masih memeluknya. Aliyah terlihat menangis karena seringnya melihat perlakuan sang ayah terhadap ibu mereka.
"Ahnaf tidak mau punya Ayah seperti itu. Ayah jahat sama ibu dan kita," ucap Ahnaf tiba-tiba.
"Tuh, kan, mereka saja mendukung saya. Sudahlah, lepaskan saja pria seperti itu, untuk apa juga kamu bertahan," Mbak Fhitry semakin bersemangat memprovokatori Naii.
Naii tampak berfikir. "Baiklah, nanti saya fikirkan, mbak," jawab Naii dengan lemah.
"Syukurlah, semoga mikirnya gak pakai lama, jangan nanti diajak mesra langsung luluh, terus lupa semua perbuatan buruknya," omel mbak Fhitry.
"Assallammualikum," terdengar suara ucapan salam seseorang dari depan pintu.
"Waalaikum, salam," sahut kedua wanita itu bersamaan.
Lalu terlihat pak Kasim berdiri diambang pintu dengan tatapan penagih hutang.
"Naii, mana janji kamu buat bayar kontrakannya? kemarin kamu janjikan hari ini," ucap Pak Kasim dengan wajah sangarnya.
Naii tergugup dan mere-mas jemari tangannya. Ia bingung harus menjawab apa, sebab uang tersebut sudah dibawa kabur oleh suaminya.
Wanita itu menghampiri pak Kasim. Ia meminta penangguhan waktu dan belas kasih pemilik kontrakan yang terkenal sangat kasar tersebut.
"M-maaf, Pak. Saya minta penangguhan waktunya, sebab uangnya dibawa kabur oleh Bang Hardi," jawab Naii jujur, bahkan wajahnya masih terdapat bekas tamparan pria yang tak memiliki rasa iba tersebut.
Kedua bola mata Pak Kasim membeliak. Rasa amarah memuncak diubun-ubunnya.
"Kamu ini selalu saja, besok, besok terus gak ada habisnya. Urusanmu dengan si Hardi jangan dijadikan alasan. Saya tidak mau tau, saya minta uang itu sekarang juga, kalau tidak kamu pergi tinggalkan rumah saya," hardik pak Kasim yang sudah tersulut emosi. Bahkan wajahnya memerah bersama amarahnya yang membuncah.
Naii gemetaran. Bahkan kedua anaknya bersembunyi dibalik tubuhnya karena ketakutan melihat wajah pria paruh baya tersebut.
"Eh, Pak Kasim. Punya perasaan dikit, dong. Naii lagi kesusahan, beri tangguh waktu untuknya mencari uang tersebut," sergah Mbak Fhitry yang juga tersulut emosinya.
Mendengar ucapan mbak Fhitry, pria paruh baya itu semakin terbakar emosinya.
"Eh,Mbak Fhitry, ini usaha saya, ini bisnis dan bukan Dinas Sosial apalagi yayasan sosisal yang bisa menampung para orang-orang miskin seperti mereka secara sukarela. Kalau Mbak Fhitry merasa kasihan, bayarin, dong," jawab Pak Kasim sinis.
Mbak Fhitry semakin kesal. Ingin rasanya ia menjambak kumis pria tua tersebut, tetapi Naii mencoba mencengkram pergelangan tangan wanita itu.
"Baiklah, Pak. Saya akan meninggalkan rumah ini, sebab saya tidak sanggup mengadakan uang tersebut untuk hari ini," jawab Naii.
Terlihat Mbak Fhitry ingin menyanggah ucapan Naii, tetapi wanita itu terlebih dahulu mencegahnya dengan menatap sendu.
Akhirnya mbak Fhitry mengalah dan menghembuskan nafasnya dengan berat.
"Nah, bagus dong, segera kemasi barang-barangmu, lagi pula tidak ada barang yang begitu berarti dirumah ini, semuanya hanya rongsokkan saja," cibir Pak Kasim, yang membuat rasa ngilu dihati Naii. Sehina itukah dirinya dimata orang-orang karena hanya kemiskinannya.
"Dasar, punya mulut tapi kek comberan, gak ada bersih-bersihnya," umpat Mbak Fhitry, yang akhirnya tidak dapat menahan emosinya yang sudah ia tahan sejak tadi.
Pak Kasim mencebikkan bibirnya, kemudian berlalu pergi.
Setelah kepergian pemilik kontrakan tersebut, kedua wanita itu saling pandang. "Maafin, Mbak ya, Nai. Mbak gak bisa bantu kamu untuk nutupin kontrakan. Sebab Mbak baru kirim uang buat Emy menyusun skripsinya, sedangkan Fauzan masih diluar negeri sibuk dengan pekerjaannya dan belum mengirimi Mbak uang," ungkap Wanita itu dengan rasa bersalah karena tidak mampu membantu Naii dalam keadaan tersulitnya.
"Tidak apa, Mbak. Ini memang sudah nasib saya," ucapnya dengan rasa sungkan.
Seketika raut wajah mbak Fhitry berubah menjadi gelisah, "Kamu mau tinggal dimana, Naii? Ini sudah malam. Tidak mungkin kamu mencari kontrakan malam dan membawa barang-barang beserta anak kamu," ucap Mbak Fhitry dengan khawatir.
Naii seketika tercengang. Benar apa yang dikatakan wanita itu. Ia harus kemana, apalagi ia tidak memiliki uang sepeserpun, bahkan perutnya belum sama sekali ia isi.
"Entahlah, Mbak. Mungkin saja saya akan mencari kolong jembatan dan akan tinggal bermalam disana sampai saya memiliki uang untuk membayar kontrakan," ucap Naii dengan perasaan miris dan menahan perih karena melihat kedua anaknya yang tampak memandangnya dengan penuh harapan.
Bahkan Naii tahu jika kedua anaknya itu belum makan sama sekali, sebab persediaan makanan telah habis dan ia belum sempat berbelanja, karena baru selesai berdagang keliling dan uangnya sudah diambil paksa oleh suami tak bergunanya.
Mbak Fhitry tampak prihatin melihat nasib wanita didepannya. Seketika wajahnya sumringah.
"Begini saja, kamu tidur saja dibelakang gudang milik mbak. Nanti kita bersihkan sama-sama. Kalau kamu sudah punya uang, baru kamu cari kontrakan," mbak Fhitri menawarkan bantuannya.
Seketika wajah Naii kembali ceria. "Ya Allah, Mbak. Makasih banyak buat bantuannya. Suatu saat saya akan membalas semua budi baik mbak selama ini kepadaku," ucap Naii lirih.
Mbak Fhitry hanya menyunggingkan senyum datarnya.
"Ya, sudah.. Ayo kita kemasi dulu barang-barang kamu," saran wanita tersebut.
Naii mengangguk dengan lemah, lalu mulai mengemasi barang-barangnya yang tak begitu banyak. Hanya ada selembar kasur lusuh, pakaian yang juga tak begitu layak, karena sudah sangat lama tidak membeli pakaian baru, dan jikapun ada itu karena pemberian mbak Fhitry dari pakaiannya yang sudah tidak muat lagi dengannya dan masih layak pakai.
Tampak Ahnaf yang masih berusia enam tahun dengan cekatan membantu sang ibu mengemasi barang-barangnya, sedangkan Aliyah yang masih berusia tiga tahun, hanya dapat melihat semua kesibukan itu.
Hampir pukul 9 malam, mereka selesai mengemasi barang-barang milik Naii.
Tampak mbak Fhitry membawa gerobak sorong dari rumahnya, dan membantu Naii melansir barang-barang tersebut.
Kegiatan mereka malam ini menjadi tontonan para tetangga. Mereka berkasak-kusuk melihat itu semua. Tak jarang mereka menggunjing dan mencibir nasib Naii yang sangat tragis.
"Mau pindahan kemana, Naii? Diusir dari kontrakan, ya? Sial bener nasibmu," cibir Yani dengan sinis.
"Iya.. Sudah punya laki pemalas, miskin pula," Santi menimpali.
Naii hanya mencoba menutup telinganya dari cibiran para tetangganya.