Nura 1996
Aku ga tau apa ceritaku ini bakalan jadi sebuah aib untukku dan kedua orangtua ku atau engga. Aku cuma ingin meluapkan semuanya disini. Rasa sepi yang datang tiba-tiba bikin aku stress sendiri jalani hidup ini. Aku ga nemu orang yang bisa menjadi teman curhatku , semuanya sibuk jadi penasehat dadakan termasuk sahabatku sendiri.
" jujur , saat ini aku ga butuh dinasehati , dikuat kuatin,, apalagi diceramahi ,, aku tuh butuh temen , aku butuh orang yang mau dengerin keluh kesahku, mau nemenin aku, itu ."
Tapi mau gimana, namanya hidup, udah pasti ga akan selamanya bisa sesuai dengan yang di inginkan. Mau ngomong sebanyak apapun , sampe berbusa sekalipun , mereka ga akan ngerti . Kini aku merasakan hidup dalam bayang-bayang penyesalan itu ternyata ga enak, nyesel banget karena sering nyakitin perasaannya, sering ngomel pada mereka karena sikapnya. Mungkin ini juga perasaan yang selama ini ayahku rasakan
jujur, andai saja mereka masih ada disini, aku bakalan habiskan waktuku untuk selalu bersamanya, mendengarkan keluh kesahnya, berbaring dipangkuannya sambil mendengarkan kisah cinta nya. Dan bahkan seluruh hidupku akan ku habiskan bersamanya.
Kepergian mereka Masih menjadi pukulan telak di hatiku sampai saat ini . Disaat aku masih membutuhkan kasih sayangnya , tuhan malah memanggilnya sebelum aku sempat membahagiakannya . Sejauh yang aku tahu, kedua orangtua ku tidak punya riwayat penyakit , secara sosial pun, mereka tak pernah punya musuh, malah yang ada justru kehadiran kedua orangtua ku selalu dirindukan semua orang terutama tetangga sekitar rumahku karena kebaikan dan sikapnya yang penuh cinta.
Tapi balik lagi, umur tidak ada yang tahu, sehari setelah mereka pulang dari ibadah umrahnya, aku menemukan ibuku tertidur untuk selamanya . Tuhan menjemput ibuku di tempat dimana ibuku selalu memuji nya . Sepuluh hari kemudian , ayahku meninggal dunia akibat tabrakan beruntun .
Yah, terdengar aneh memang, tapi itulah kenyataannya, mereka seperti ingin meninggalkanku sendiri di dunia yang keras ini .
bila ku coba berpositif thinking , dengan kebiasaan dan cara tuhan yang menjemput kedua orangtuaku serta cerita yang kudapat dari tetangga dan teman-temannya, mungkin hal yang wajar bila tuhan memanggilnya. Mungkin tuhan terlalu menyayangi kedua orangtuaku atau mungkin tuhan terlalu cemburu padaku karena kedua orangtuaku begitu menyayangiku terutama ayahku.
Sejak tk hingga lulus SMA, ayahku tak pernah absen mengantar dan menjemputku. Kemanapun aku pergi, ayahku pasti ada disekitarku. Disaat orangtua yang lain sibuk dengan pekerjaannya, ayahku justru sibuk menjagaku. Kadang risih juga dengan tingkahnya yang terlalu over dalam menjagaku.
Seakan tak ada ruang untukku menikmati hidup seperti teman-temanku. Jujur, kadang aku iri bila melihat teman-temanku bisa pulang larut malam atau menginap dirumah teman-temannya yang lain.
"ih enak banget yah bisa bebas, aku mah boro-boro , jangankan pulang malam, mau main aja di jagain." Ucapku sendiri sambil melihat teman-temanku yang terlihat begitu bahagia.
bukan cuma itu, disaat acara study tour ke jogja yang diadakan sekolah, ayahku ikut padahal jelas-jelas orangtua dilarang untuk ikut serta. Ayahku nekad pergi dengan sepeda motornya menyusulku. Ya memang sih ayahku cuma memperhatikanku dari jauh, tapi aku tetap merasa risih.
Akupun baru tahu bila sebelum aku lahir, ayahku bekerja dengan gaji yang cukup fantastis tapi satu bulan setelah aku lahir, ayahku memutuskan untuk resign dan fokus mengurusku dan ibuku. Entah apa yang membuat ayahku bertindak seperti itu.
Disaat yang lain mempertahankan pekerjaannya, ayahku justru resign dan memilih untuk berjualan.
Sampai saat ini, akupun masih bertanya tanya, kenapa ayahku begitu ketat menjagaku , kasih sayangnya begitu besar padaku hingga membuat aku tak berdaya seperti saat ini. Sikapnya padaku bikin aku bener-bener merasa kehilangan, air mata ini selalu menetes tanpa sebab setiap kali aku melihat seorang ayah yang sedang berjalan bersama anaknya.
"aku kangen, jujur,,, aku ga kuat jalani hidup ini sendirian.."
Aku ga pernah menemukan tempat ternyaman seperti saat aku didekatnya. Beberapa kali aku mencoba mencari sosok pengganti ayahku , tapi semuanya hampa, perhatian dan kasih sayangnya tak bisa menembus hatiku, semua yang kurasakan hanyalah rasa iba dan kasihan dengan kondisiku, tidak ada yang benar-benar menyayangiku seperti hal nya ayahku.
Sekarang, aku cuma bisa berdoa semoga kedua orangtua ku hidup bahagia disana, walaupun berat buat aku menerima kenyataan ini, aku yakin , tuhan punya rencana yang indah untukku. Aku cuma perlu yakin dan terus percaya padanya . Ku pasrahkan hidupku sepenuhnya .
" yah, bolehkan nura nangis?, bolehkan kalau nura rindu, nura udah berusaha buat kuat seperti keinginan ayah, tapi ga bisa yah, nura ga sanggup, ayah terlalu dalam masuk ke hati nura. Nura rindu, nura pengen bareng ayah lagi."
......................
Sebelumnya, izinkan aku memperkenalkan diri. Seperti yang kamu lihat di cover, itu memang namaku, **Nura**—panggilan sayang dari ayahku. Nama lengkapku adalah Ridha Nurrazahra.
Sempat aku bertanya pada ibuku, "Kenapa aku diberi nama Ridha Nurrazahra? Kenapa nggak Ridha Nur Azzahra?" Ibuku menjawab bahwa itu 100% adalah pemberian dari ayahku dan menyuruhku bertanya langsung pada beliau.
Dengan penasaran, aku pun bertanya pada ayahku, "Yah, lagi sibuk nggak?"
"Enggak dong, sayang. Sini-sini, duduk di samping ayah. Ada apa? Kelihatannya serius banget," jawabnya lembut.
"Yah, artinya 'Nura' itu apa?" tanyaku lagi.
"Eh, ada apa tiba-tiba nanyain itu?" Ayahku balik bertanya dengan senyum di wajahnya.
"Enggak apa-apa sih. Nura cuma heran aja. Kenapa nama Nura, bukan Nur atau Naura? Terus cara penulisannya juga aneh, Ridha Nurrazahra bukan Ridha Nur Azzahra. Itu typo atau emang sengaja?" tanyaku lebih detail.
Sambil membelai rambutku, ayah tersenyum dan mengajakku ke kolam ikan di belakang rumah. "Ayo, ayah ceritain semuanya sambil ngasih makan ikan."
Aku mengangguk dan mengikuti ayah ke kursi di pinggiran kolam. Ayah duduk dan bersandar ke batang pohon jambu, lalu mulai berbicara, "Sebetulnya, nama 'Nura' itu diambil dari dua kata: 'Nur' yang berarti cahaya dan 'Ra' dari bahasa Sunda, artinya sinar. Jadi, Nura itu berarti sinar cahaya. Ridha artinya keikhlasan, sementara Zahra diambil dari nama ibumu, Fatimah Aulia Zahra. Jadi, Ridha Nurrazahra itu bermakna sinar cahaya yang lahir dari keikhlasan ibumu. Harapan ayah, kamu bisa menyinari orang-orang di sekitarmu dengan kelembutan dan menjadi cahaya bagi mereka yang kamu cintai."
Aku mendengarkan dengan takjub saat ayahku melanjutkan, "Kamu tahu nggak, kamu itu lahir prematur, 7 bulan, dan waktu lahir kamu nggak nangis. Detak jantungmu lemah, sampai-sampai perawat bilang kalau kamu meninggal."
"Hah? Seriusan? Kenapa ayah dan ibu nggak pernah cerita?"
"Iya, serius. Kalau nggak percaya, tanya aja ke ibumu. Tapi jangan, nanti dia nangis ingat kejadian itu."
"Terus, gimana Nura bisa hidup lagi?" tanyaku, penasaran.
"Saat itu, semua sudah pasrah. Ibumu minta untuk memelukmu terakhir kali sambil menangis. Dia bilang, 'Insya Allah, Lia ikhlas. Maafin Lia, ya.' Ayah nggak kuat dengar itu. Saat ayah mau mengembalikanmu ke ibumu, tiba-tiba kamu nangis. Perawat langsung mengambilmu kembali."
Aku tertawa kecil, "Lebay, ah. Mana mungkin kayak gitu. Ayah bohong, ya?"
"Beneran, nggak bohong! Kalau nggak percaya, tanya ibumu."
Percakapan kami terpotong saat ponselku berbunyi. Mira, sahabatku, menelepon. Janji kami ke toko buku terpaksa menghentikan cerita ayahku.
"Yaah, tanggung ceritanya, tapi Nura udah janji sama Mira ke toko buku," gumamku, kecewa.
Ayahku tertawa, "Ingat pesan ayah, ya. Jangan bohong, dan jangan ingkar janji. Sudah, cepat siap-siap, nanti Mira kasihan nunggu. Nanti ayah ceritain lagi."
"Janji ya, ayah harus ceritain semua!" Aku mengajaknya untuk ikut, tetapi ayah menolak dengan lembut, mengatakan mulai hari ini dia akan memberiku kebebasan.
Dengan perasaan campur aduk, aku masuk ke rumah dan langsung memeluk ibuku dari belakang. "Bu, Nura sayang Ibu. Maafin Nura ya, belum bisa bahagiain Ibu."
Ibuku terkejut, tapi ia tersenyum hangat dan memelukku kembali.
Hari itu perasaan di dadaku terasa sesak, seolah ada sesuatu yang tidak beres. Tapi aku mencoba mengabaikannya dan segera bersiap-siap untuk pergi menemui Mira.
Saat tiba di tempat yang disepakati, aku melihat Mira tampak murung, dan setelah beberapa percakapan, ia tiba-tiba menangis dan menunjukkan pesan dari kakaknya bahwa ibunya masuk rumah sakit.
Panik, aku segera menelepon ayahku untuk meminta izin pergi ke Pangandaran bersama Mira.
"Assalamualaikum, Yah. Boleh nggak Nura ke Pangandaran? Ibunya Mira masuk rumah sakit."
Ayahku menjawab dengan tenang, "Tunggu di sana, ayah akan ke sana sekarang."
Mira terus menangis dalam pelukanku, sementara aku hanya bisa berharap semuanya akan baik-baik saja.