SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Karuhun

Karuhun

(Bagian 1 : Seira dan Malik)

Aku kejang-kejang untuk yang kesekian kalinya di minggu ini, sialnya kejang ini selalu kambuh di kantor, mungkin beberapa orang menganggap aku lelucon atau bahkan ada yang menganggapku sakit jiwa, cari perhatian, terserahlah, toh kalian tidak tahu apa saja yang sudah kualami.

Sudah 19 tahun aku terbebas dari kegilaan ini, entah kenapa di umurku yang ke-30, ‘dia’ datang lagi, dengan wujud yang lebih gagah, lebih menakutkan, tinggi sekitar 180 sentimeter, membuatku harus mendongak setiap kali berhadapan dengannya, padahal saat itu ‘dia’ sedang duduk dengan keempat kakinya.

Yang lebih mengherankan, dia tidak sendiri, 'dia' berdua dengan warna yang berbeda, aku takut, aku gemetar setiap kali memandangnya, mereka hanya menatapku tidak mengatakan sepatah kata pun, tapi mereka muncul selalu di saat yang tidak tepat.

Seperti saat ini, aku sedang meeting tiba-tiba mereka datang tepat di sebrangku, aku menahannya, berusaha seolah tidak melihat mereka, aku takut tapi malu sepertinya lebih menguasaiku. Bagaimana tidak, saat ini ada sekitar delapan orang di ruang meeting ini, kami sedang membicarakan kerja sama besar antara perusahaan air mineral terbesar di negeri ini, dengan perusahaan armada yang sedang naik daun, kerjasama yang sudah dipersiapkan berbulan-bulan dan akulah ibu dari presentasi yang sedang bosku sampaikan, kalau tiba-tiba ‘kambuh’, tidak terbayang bagaimana si bos akan malu, tapi ....

“Seira sudah siapkan MOU nya, kita bisa langsung penandatangan kesepakatan lalu kerjasama akan dimulai.” Bos berbicara, dia memerintahkanku untuk menyerahkan 2 set MOU yang sudah kusiapkan dengan Map mewah berbahan beludru, “Seira, mana MOU-nya?” Bos mulai tegang melihatku masih saja terduduk tidak bergerak, tubuku kaku tidak bisa digerakkan. Aku menatapnya dengan mata yang hampir menangis, “Seira ... Seira!!!” Bos berteriak memanggilku, itu saja yang kuingat, sebelum semuanya menjadi gelap.

...

“Kali ini apalagi?” Aku bertanya setelah sadar dan sudah ada di ruangan kesehatan.

Perusahaan besar ini memang lengkap fasilitasnya, berada di gedung sendiri yang memiliki 10 lantai dimana kesepuluh lantai tersebut terdiri dari banyak divisi, divisi itu terdiri dari Accounting, Finance, Pajak, HRGA dan Payroll, Marketing dan Seller, Purchasing, IT dan terakhir divisi Entertainment yang kelihatan lebih banyak hedonnya dibanding kerja, tapi tidak dapat dipungkiri, divisi itu telah menyumbang keuntungan perusahaan sebanyak 10 persen, nilai yang cukup besar padahal tadinya hanya diperhitungkan sebagai divisi anak bawang.

“Kerjasama gagal, toh kamu juga sudah merobek kertasnya, mereka tersinggung dan pergi begitu saja.” Seperti biasa dia hanya bersikap datar menjawab pertanyaanku, padahal ini sudah yang ketiga kalinya di minggu ini aku menggagalkan banyak kerjasama di ketiga kejadian itu, rasanya lebih baik aku mengundurkan diri saja.

“Aku akan mengajukan resign, aku akan pastikan penggantiku akan lebih baik.” Aku sudah tak tahan lagi.

“Bagaimana caranya?” bosku bertanya.

“Maksudmu?”

Apa aku terdengar santai dengan bosku? Ya, bosku adalah sahabatku sendiri, kami seumuran.

Dia membangun perusahaan ini dari nol, aku ikut bekerja bersamanya di titik nol itu, makanya posisiku adalah kepala HRGA dan Payrol, aku mengepalai perekrutan, penggajian dan kerjasama perusahaan dengan pihak luar, kami lulus di universitas yang sama, bukan itu saja, kami lulus di SD, SMP dan SMA yang sama, kalau kalian fikir kami sahabat dari kecil, kalian salah, aku adalah penguntit.

“Bagaimana caranya kamu menemukan orang yang lebih baik darimu? Orang yang mampu menghindarkan perusahaan ini dari kebangkrutan, berkali-kali.

Sudah berapa banyak kerjasama yang kau minta aku batalkan karena intuisimu yang selalu tepat? Kamu menganggap sepele diriku, aku menggajimu sepadan dengan semua yang kau berikan, hanya saja saat ini kau sedang bertransisi, intuisimu dulu sangat lembut, sekarang kau lebih tegas, jadi aku tidak bisa berdiskusi lagi denganmu, kaulah yang harus mengambil setiap keputusan.” Bosku menjawab, masih dengan santai, dia membaca buku rupanya sembari menungguiku sadar.

“Kau gila! Kau bosnya, kenapa aku yang pusing ambil keputusan, pecat aku, kasih aku pesangon! Beres!” Aku kesal karena dia sangat santai, padahal ini perusahaan dia.

“Tidak.” Dia menolak untuk memecatku.

Dia berbicara dengan penuh penekanan dan tegas, aku menatapnya masih dengan nafas tersengal menahan marah, kalau boleh memilih, aku akan pastikan selalu berada di sisinya, mengikat kakinya di kakiku dan tidak membiarkan dia jauh-jauh, aku mencintainya, bahkan aku rela kerja di sini tanpa digaji hanya untuk berdekatan dengannya, sama seperti yang kulakukan bertahun-tahun lalu, mengikutinya kemana pun, sekolah dimana pun dan bergaul dilingkungan apapun agar tetap bisa bersamanya.

“Maaf, sepertinya aku tidak mampu lagi menemanimu Malik, ini akan menjadi semakin menakutkan, saat ini hanya dua makhluk itu, besok-besok mungkin seluruhnya akan terlihat, sama seperti dulu. Aku tidak bisa membuat perusahaanmu hancur, perusahaan yang kau bangun dengan keringat sendiri, perusahaan yang membuat orang tuamu akhirnya mengakui keberadaanmu, aku tak sanggup Malik.”

“Bagaimana jika kita buat kamu menghancurkan perusahaanmu? Pasti tidak akan seberat kamu mengahancurkan perusahaanku kan?” Lagi-lagi aku bingung dengan ucapannya, si jenius Malik, bahkan mengobrol dengannya saja tidak selalu mudah.

“Sudah cukup kegilaan yang aku hadapi sebulan ini, kau mau menambahnya?”

“Aku mencoba meringankan penderitaanmu, sama seperti yang selalu aku lakukan sebelum-sebelumnya.” Malik mengingatkan betapa dia juga selalu ada di sisiku, entah karena nyaman atau karena kasihan.

“Aku tidak mengerti, bisa tolong buat sederhana?” Aku memang tidak paham yang dia maksudkan.

“Kita ubah perusahaan ini menjadi perusahaanmu, kita buat Seira Adam Hanida adalah pemilik saham terbesar di perusahaan ini, lalu ketika perusahaan ini hancur, toh kamu menghancurkan perusahaanmu bukan perusahaanku, mudah kan?” Orang gila macam apa yang aku cintai ini.

“Katakanlah aku setuju, lalu apa keuntungannya untukmu?” Aku memberanikan diri bertanya, baiklah, mari kita menjadi gila bersama Malik.

“Menikahlah denganku .... “

(Bagian 2 : Seira Kecil)

Ketika itu pertamakalinya aku bertemu dia, yang wujudnya seperti kucing dengan corak loreng berwarna kuning, coklat dan hitam, sekilas seperti macan tapi dengan 3 corak dan ukuran yang mini, dia berputar-putar di kakiku.

Waktu itu umurku 11 Tahun, kelas 6 SD, kata orang di sekitarku aku anak yang pandai berempati, pemikiranku lebih dewasa dan aku ceria, tapi semuanya hilang saat makhluk itu datang, aku menjadi berubah aneh dan pendiam, kata Mamaku, aku takut kaca, setiap berkaca selalu menangis meraung-raung, aku bilang pada mama bahwa itu bukan aku, sembari menunjuk kaca.

“Kalau itu bukan kamu, lalu itu siapa?” Mama bertanya.

“Aku ga tau siapa yang di kaca, aku juga ga tau siapa aku, aku ga tau ini siapa!”

Aku menunjuk diriku sendiri dan meraung-raung bertanya aku siapa, aku tidak amnesia ataupun lupa identitas, sebenarnya yang ditanyakan diriku kecil adalah keberadaan, untuk apa aku di bumi ini, siapa aku, manusia macam apa aku, cuma ketika itu aku hanya anak umur 11 tahun dan ini adalah transisi pertamaku, dari si buta setengah menjadi si penglihat semua.

Setelah makhluk itu terlihat, segalanya terlihat, tanpa pembatas, mata ketigaku terbuka lebar, terang benderang, aku melihat kegelapan dengan jelas.

Mereka yang katanya tidak terlihat kenapa terlihat jelas olehku, anak umur 11 tahun.

Setelah itu banyak kejadian yang membuat keluargaku berantakan, seperti sekarang ini, mama yang merupakan orang tua tunggal harus bolak-balik menjemputku di sekolah karena kata guruku, aku lagi-lagi pingsan, ini sudah lima hari berturut-turut aku pingsan di sekolah.

“Kenapa?” Mama bertanya karena aku berjalan dengan aneh saat perjalanan pulang dari sekolah, aku sebentar-sebentar menoleh ke belakang.

“Itu ada yang ikutin kita.” Aku menunjuk jalanan yang kosong.

Mama hanya tersenyum lalu berkata, "Mbak Seira Takut?"

“Iya Ma, takut.”

“Kenapa takut? Memang seram?” Mama Bertanya dengan sabar.

“Iya, dia selalu bisikin aku, kenapa aku hidup, Itu bukan tanganku, ngapain nulis, Itu bukan kepala aku, ngapain belajar, udah mati aja.”

Mama menutup mulutnya, lalu bertanya lagi, “Dia ngomong gitu sama Mbak Seira?”

“Iya Ma.” Aku berbisik.

“Dia laki-laki atau perempuan?”

“Perempuan Ma, rambutnya panjang, bajunya putih.” Aku menjelaskan yang aku lihat saat ini, dia mengikuti kami sedari sekolah tadi.

“Dia berdarah?”

“Iya, mukanya ... Hancur.”

“Astagfirullah!” Mama berteriak dan menyuruhku berlari.

Ketika itu adalah siang hari, yang kata orang setan tidak ada di siang hari, tapi pada kenyataannya mereka muncul setiap saat, mencoba berkomunikasi denganku, anak kecil yang selalu ketakutan. Saat itu aku tidak mengerti kenapa aku berbeda dengan teman-temanku, siapa mereka, apa mau mereka.

“Mbak Seira, jaga adek ya, Mama mau kerja sebentar, nanti kalau udah selesai Mama bawain makanan enak.”

Begitu kami tiba dirumah Mama bersiap pergi kerja lagi, mamaku pandai memasak, karena dia harus menafkahi kami maka kepandaiannya itu dia gunakan untuk mencari nafkah.

Mama bekerja di 3 tempat dalam sehari, restoran, rumah pribadi dan tempat makan yang buka malam hari, mama biasanya pergi setelah aku dan kakakku pergi sekolah dengan membawa adikku, si kecil Seina ke tempat kerjanya.

Ketika itu umur adikku 4 tahun, anak montok yang sangat pengertian, walau umurnya masih kecil dia jarang sekali menangis seperti mengerti bahwa mama sendirian mengurus dan menafkahi kami. Karena hari ini lagi-lagi aku pulang setelah pingsan di sekolah, mama harus ijin sebentar dari tempat kerjanya, menjemputku dan membawaku pulang, Seina ditinggal di rumah denganku.

“Iya Ma.” Aku menurut

“Jadi, pintunya buka aja kalau Mbak takut.” mama terlihat sedikit khawatir.

“Iya Ma,”

Lalu mama pergi ke tempat kerjanya, aku dan adikku di dalam rumah bermain, kala itu Hanya televisi tabung hiburan kami, sementara anak lain sudah punya nitendo atau sejenisnya, maklumlah kami tidak mampu beli.

Saat sedang asik nonton aku melihat ada sesuatu yang jatuh dari luar, aku menoleh dan berteriak, “Adek!!!” Seina yang duduk di sampingku memelukku.

“Kenapa Mbak?” Dia bingung karena aku berteriak.

Aku menoleh kearah luar memastikan lagi apa yang kulihat, makhluk itu datang lagi, kucing belang 3 itu ada di depan rumah, seperti terjatuh dari genteng dan dia mengitari sesuatu tepat di depan rumahku, apa itu, dia menoleh padaku seperti meminta ijin masuk, aku menatapnya dan melarangnya masuk rumah.

“Adek disini dulu ya, mbak keluar sebentar, sebentar aja.” Seina diam, dia hanya menarik tanganku tanda tidak setuju. Aku takut, tapi kalau aku tidak keluar aku merasa akan ada hal buruk yang terjadi.

Aku menatap binatang jadi-jadian ini, sekarang kami sudah berhadapan, dia menatapku dengan mata yang tajam, aku berlutut mengambil benda yang diputari oleh binatang ini, batu berwarna hijau sebesar biji salak, aku kembali menatapnya dengan marah, lalu kubuang batu itu dan buru-buru berlari, kulihat kucing belang tiga itu berlari mengejar batunya, kututup pintu dengan kencang, lalu berteriak, “Pergi dan jangan kembali!!!”

....

Sudah mau magrib, mama belum pulang, kakakku setelah pulang sekolah langsung pergi mengaji, dia akan pulang berbarengan dengan mama, kakakku beda 7 tahun denganku, cukup jauh, seperti aku dengan adikku beda 7 tahun, dia selalu sibuk, sekolah dan mengaji, kata orang dia bukan hanya mengaji tapi ngilmu, ah ketika itu lagi-lagi aku hanya anak kecil tanpa pengetahuan yang cukup.

“De, Mbak mau mandi ya, Ade tunggu didepan pintu aja, ga boleh keluar.” aku berjalan kekamar mandi, kami tinggal dirumah kontrakan yang terdiri dari ruang tamu, kamar dan kamar mandi, kamar mandinya ada di sebelah ruang tamu, jadi begitu keluar kamar mandi aku langsung bisa melihat adikku, aku agak takut meninggalkannya sendirian, tapi yang bisa melihat meraka kan aku, jadi seharusnya dia akan baik-baik saja.

Aku mulai mengambil handuk dan meletakannya di gantungan handuk, saat aku akan membuka baju aku menoleh kebelakang, aku merasa ada yang mengawasi, tapi ketika aku menoleh tidak ada apa-apa.

Aku melanjutkan membuka baju dan mandi, saat kuguyur kepalaku, tiba2 aku melihat ada nenek-nenek memakai kebaya bewarna abu-abu bercorak bunga dan memakai kain jarik sebagai bawahannya, dengan rambut putih berantakan. Dia mencoba mendekatiku, aku terdiam, seluruh badanku kaku, perlahan-lahan dengan langkah bungkuknya dia mendekat, matanya hitam, bibirnya tersenyum menyeringai, dia mulai terkekeh, lalu berkata dengan mendayu.

“Naaaakkkkk .... ”

Aku menangis karena tidak dapat lari, badanku kaku, aku takut ma, tolong aku.

Tangan nenek itu mulai menjulur kearahku, tertawanya menjadi nyaring, dia semakin mendekat, aku melihat jarinya meraih tanganku, dingin, dingin sekali, aku gemetar, aku tidak bisa mengeluarkan suara sama sekali, hanya menangis dalam diam, dia semakin mendekat, wajahnya terlihat, bukan hanya matanya yang hitam seluruh wajahnya menghitam kulihat tangannya tidak hanya meraih tanganku, dia mulai perlahan masuk kedalam ragaku, entah kekuatan darimana, kuhentakan kaki dan badan, sesaat kemudian tubuh ini terbebas dari rasa kaku, lalu kuambil handuk dan berlari membanting pintu kamar mandi.

“Mbak, kenapa?” Lagi-lagi si bungsu bertanya, mungkin dia bingung kenapa kakaknya bersikap aneh.

“Enggak apa-apa, De,” nafasku masih tersengal-sengal. “udah yuk ke kamar,” aku buru-buru menariknya ke kamar.

Mama Pulang begitu aku selesai berpakaian dan tidak lama kakaku juga pulang, untunglah mereka datang, karena kalau aku sendiri atau hanya berdua dengan Seina, makhluk-makhluk itu akan mendatangiku.

...

Sudah berbulan-bulan aku hidup dengan mereka, aku semakin aneh, kata mama aku menjadi pribadi yang sangat baik, baik berlebihan, mama takut, karena kata Mama aku sebelumnya adalah pribadi yang bebas dan berani, kalau tidak suka akan bilang tidak, bahkan aku cenderung galak dan egois jika bersikap, bahkan ke adikku sendiri.

tapi sekarang aku berbeda, aku menjadi pribadi yang ramah dan pendiam, mama melihat aku bukanlah diriku, kadang mama takut saat aku memperhatikan anggota keluarga kami, seperti ada seringai yang disembunyikan. mama berusaha 'mengobatiku', entah dari penyakit apa, sudah beberapa ustad, haji, kiai bahkan dukun mama datangi dan ini mungkin langkah terakhirnya saat itu, sekarang kami disini.

“Namanya Seira ya? Umur berapa?” Dokter cantik itu bertanya, rambutnya sebahu.

“Iya Dok.” Aku menunduk.

“Kok kakinya begitu?” Dia menunjuk kakiku yang naik turun seperti penjahit yang sedang mengoperasikan mesinnya dengan kaki.

“Nggak apa-apa Dok.”

“Kakinya begitu kalau lagi ngerasain apa?”

“Nggak tau Dok.” aku kecil menjawab dengan polos, ketika itu aku tidak tahu mengarah kemana sebenarnya pembicaraan Dokter ini, Kata mama aku hanya perlu bertemu dengannya seminggu sekali, untuk ngobrol saja, jadi aku tidak perlu takut dengan Dokter ini, Memang dia tidak perlu ditakuti.

Dokter ini sangat cantik, tapi aku kurang suka dengan wanita di sebelahnya, dia sama cantiknya dengan dokter, tapi cara pakaiannya aneh, dia menggunakan gaun seperti noni-noni belanda jaman dulu, gaun yang sering aku lihat di televisi dipakai oleh wanita-wanita belanda, ketika itu aku berfikir bahwa wanita di samping dokter ini mungkin asistennya, tapi kenapa dia terlihat lebih tua dan hanya diam saja tidak berbicara sama sekali.

“Coba kakinya diem dulu, kasih tau ibu Dokter perasaan kamu kalau kakinya diem.”

“Nggak enak Ibu Dokter,” aku melanjutkan lagi menggerakkan kakiku setelah hanya beberapa detik terhenti atas perintah Dokter.

“Kamu ga suka ya ngobrol sama Ibu Dokter?”

“Suka bu, suka. Ibu Cantik.”

“Kalau suka, kenapa kakinya gerak-gerak gitu, itu artinya kamu gugup atau tidak nyaman.”

“Gugup?” Aku bertanya karena tidak mengerti, maklum lagi-lagi aku hanya anak kelas 6 SD.

“Gugup itu artinya ada yang kamu khawatirkan, kalau memang suka ngobrol sama Ibu Dokter, kakinya jangan gerak-gerak ya.” Dia memerintahkanku sekali lagi.

“I-iya Bu Dokter,” aku mencoba mengikuti perintahnya kembali.

“Memang apa sih yang kamu lihat selama ini? Kata Mama, Seira suka lihat hal-hal yang menakutkan ya?”

“I-iya bu Dokter.”

“Kayak apa sih?”

“Banyak.”

“Bisa jelasin ke Ibu Dokter kayak apa?”

“Ga, mereka ga suka diomongin bu, katanya ssst, jangan bilang-bilang.”

“Jangan bilang-bilang apa?”

“Bilang kalau Mereka ada.”

Lalu banyak lagi percakapan kami selanjutnya, aku tidak begitu ingat, tapi yang aku tahu ketika dulu aku berbicara dengannya ada rasa lega dan nyaman di antara semua hal yang kutakutkan berkaitan dengan 'mereka'.

Setelah hampir 1 jam aku berbicara dengan bu Dokter, mama dan aku pamit pulang, tapi sebelum pulang aku menatap sekali lagi ibu asisten Dokter, aku penasaran dengan kalungnya.

“Ibu Asisten, kalung zamrud merahnya cantik sekali, Seira pernah lihat warna hijaunya.” Aku bertanya dan menatap ke arah belakang Ibu Dokter, karena lawan bicaraku berada di sana.

“Sebentar!!!” Ibu Dokter berteriak dengan kencang, “kalung zamrud merah? siapa yang pakai?” Ibu Dokter bertanya.

“Itu, Ibu Asisten Cantik yang ada di belakang Dokter,” Aku menjawab sembari ketakutan, karena ekspresi Ibu Dokter berubah menjadi Galak.

Lalu Ibu Dokter mengambil sesuatu dari dompetnya dan menunjukan padaku, ternyata dia menunjukan foto, disana ada berderet beberapa perempuan dengan gaun yang indah-indah sama persis kayak Ibu Asisten Dokter itu.

“Yang mana yang kamu lihat?” aku ketika itu bingung kenapa aku harus menjelaskan bukankah ibu itu ada di belakang Ibu Dokter?

Aku menunjuk salah satu perempuan yang berwajah persis seperti Ibu Asisten Dokter yang mengenakan Kalung zamrud merah itu.

“Ini Foto ibu?” Aku menatap kembali ke belakang Ibu Dokter dan berbicara pada Ibu Asisten Dokter itu.

“Astagfirullah!!!” Ibu Dokter jatuh pingsan.

(TBC)

_________________________________________________________

Catatan Author :

Seira kecil adalah seorang gadis yang hidupnya sulit, ditambah dengan adanya mereka yang tak terlihat maka lengkaplah penderitaannya, pada part ini ada banyak hal nyata yang penulis sisipkan, jadi kejadiannya memang pernah terjadi dan Seira kecil memang benar ada. Tapi keseluruhan cerita adalah fiksi.