SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Restoran Hantu

Restoran Hantu

Tawaran Kerja Untuk Yumna

"Permisi, apa ada orang di sini?" saat Yumna tiba di depan sebuah bangunan tua, sesuai petunjuk yang diberikan sosok berdaster putih penunggu pohon jambu di rumah temannya.

'Krieeeetttt........'

Suara berdecit pintunya membuka dengan sendirinya.

"Hallooooowww, ada orang tidak?" tanyanya lagi melangkahkan kaki ke dalam.

Suasana temaram sebuah ruangan restoran bergaya Eropa klasik nampak indah di depan mata. Tapi bisa terlihat menakutkan untuk orang yang belum terbiasa melihatnya, di suasana gelap malam yang semakin menambah kesan mistisnya.

"Haaaaiiiii,......!" suara seorang anak remaja laki-laki yang sempat mengejutkannya, sudah berdiri tepat di belakangnya.

"Ka... Kamuu?" tanya Yumna sedikit terkejut melihat penampakan wajah penuh luka berlubang dan darah dimana-mana.

"Apa yang kamu lakukan di sini? Kami baru buka nanti tepat jam 12 malam," ucap makhluk itu.

"Oh, maaf kalau begitu saya pulang saja," ucap Yumna terburu-buru pergi.

"Ehhhmmmm, kayaknya kamu lagi butuh pekerjaan ya. Kamu mau kerja di sini? Namaku Jodi," ucapnya memperkenalkan diri dengan memutar mengelilingi Yumna, melihat dari ujung kaki sampai kepalanya.

"Namaku Yumna, tapi terimakasih. Aku pulang saja!"

"Jangan sia-siakan kesempatan. Aku tahu kamu cocok kerja di sini," sahut seorang laki-laki tampan yang sudah bersandar di pintu masuk.

"Tapi........," belum sempat selesai berucap, Yumna sudah tak berani meneruskannya karena tatapan dingin laki-laki dihadapannya.

"Tenang, aku akan membayarmu dengan uang manusia," ucap laki-laki itu.

"Iya, kerja saja di sini. Kami lagi butuh seorang manusia spesial seperti kamu. Kamu bisa membantu mereka yang masih penasaran berkeliaran di dunia, karena terperangkap masalahnya," ucap wanita, tersenyum di bibir merahnya yang lebar sampai ke telinga, dan sudah berdiri di samping kanan Yumna.

"Ma.. Maksudnyaa?" tanya Yumna sedikit gemetar karena dikelilingi sosok aneh di sekitarnya.

"Iya, bantuin kita yang setiap malam kewalahan melayani para hantu yang selalu datang ke sini. Namaku Boni, koki di sini. Wanita cantik di sebelahmu bernama Shema, sedangkan bos nya yang lagi nyender di pintu itu namanya Reyhan," timpal lelaki kurus menembus dinding pembatas dapur, dengan wajah pucatnya.

"Sebentar, trus kalau aku kerja di sini mulai jam berapa? Soalnya aku harus sekolah pagi harinya," jawab Yumna.

"Kita buka mulai jam 12 malam, jadi satu jam sebelumnya sudah harus sampai sini," sahut Rey, lelaki yang disebut bos.

"Trus pulangnya?"

"Kita hanya buka dua jam saja, dan aku akan membayarmu sesuai upah kerja full di restoran pada umumnya," kata Rey dengan nada jutek nya.

Yumna dilema menghadapi pilihan di depannya. Bekerja bersama para makhluk aneh, yang mengharuskannya mengendap keluar rumah di tengah malam. Tapi gaji yang ditawarkan juga sangat lumayan.

Atau harus rela meninggalkan bangku sekolah karena tak lagi ada biaya. Atau mungkin juga mencari pekerjaan lain, entah ada atau tidak untuknya yang masih berusia di bawah umur.

"Boleh aku memikirkannya dulu?" tanya Yumna.

"Oke, ku tunggu jawabannya besok malam!" jawab Rey singkat.

"Ehmm... Baiklah! Aku boleh pulang sekarang kan?" tanya Yumna.

"Besok harus datang kemari ya. Kudatangi ke rumahmu kalau kau tak ke sini!" ancam Shema.

"Saya usahakan. Permisi," sahut Yumna membungkukkan punggung dan bergegas lari pulang ke rumah.

Masih terbayang wajah seram para penunggu restoran hantu di benak Yumna. Tapi lebih seram lagi sifat dingin bosnya, meskipun tampan tanpa cacat di fisiknya seperti yang lain .

"Kok sampai malam, Nak?" tanya nek Kiptiyah, nenek Yumna yang sedang menunggu di rumah dengan merajut seperti biasa.

"Iya, Nek. Maaf, tadi Yumna ngerjain tugas banyak banget. Jadi baru selesai," jawabnya sedikit berbohong dan segera masuk ke kamar agar tidak ada lagi pertanyaan.

"Maafkan nenek ya!" ucap nenek Kip, panggilan untuknya.

"Maaf untuk apa, Nek?" tanya Yumna kembali keluar.

"Nenek tidak bisa menyekolahkanmu. Kamu jadi harus kehilangan kesempatan meraih cita-cita saat tabungan peninggalan orangtuamu sudah habis nanti," sesal nenek Kip.

"Tenang, Nek. Yumna akan mencari pekerjaan paruh waktu nanti. Sementara, selama masih ada sisa tabungan, Yumna masih ada waktu untuk memikirkannya," jawab Yumna menenangkan.

Yumna memang anak yang tak terlalu banyak menuntut. Tapi karena tenaga nenek yang terbatas, dan lahan yang tidak begitu luas menjadikan mereka kesulitan keuangan.

Sedikit kiriman rutin nenek Pat, ibu dari ayahnya membuatnya masih bisa bersekolah, meskipun tidak bisa menutup semua biaya. Tapi setahun lalu, setelah nenek Pat meninggal, tak ada lagi harapannya untuknya bersekolah seperti biasa.

Hanya sisa uang hasil penjualan rumah orangtuanya, yang bisa dia andalkan sekarang. Tapi dia sadar, kalau itu tak kan cukup sampai dia lulus kelak. Karena sudah banyak yang dikeluarkan, untuk membayar kekurangan biaya sekolah sebelumnya.

"Nenek tidur saja, biar Yumna yang membereskan peralatan rajut nenek," ucap Yumna menghampiri nek Kip, dan segera membereskannya.

"Tidak apa, nenek lanjutkan saja. Biar bisa cepat selesai, untuk segera dijual. Lumayan menambah tabunganmu yang semakin menipis," kata nek Kip dengan senyum hangatnya.

"Nek, percaya sama Yumna ya! Sekarang Yumna sudah besar, dan bisa mengatasi masalah Yumna sendiri. Nenek hanya perlu mendoakan dan merestui semua yang Yumna lakukan."

"Maaf ya," ucap nek Kip mencium dan memeluk cucu kesayangan satu-satunya itu.

"Tak perlu berkata seperti itu. Yumna sangat berterimakasih, dan bersyukur punya nenek seperti nek Kip. Nenek yang berkorban apapun untuk kebahagiaan Yumna," timpal Yumna mengusap air mata di pipi neneknya.

"Ya sudah, nenek istirahat dulu ya. Besok pagi nenek harus memanen cabe dan tomat yang sudah matang. Lumayan bisa membuat dapur kita tetap mengepul," kata nek Kip tersenyum, dan beranjak ke kamarnya.

Yumna memandang tubuh renta neneknya dengan tersenyum bangga.

****

Sepulang sekolah, Yumna berjalan menyusuri sungai seperti biasa. Dia berhenti sejenak memikirkan tawaran Reyhan semalam. Tapi ada rasa takut yang membayanginya, kalau ada sosok jahat dan menyeramkan yang bakal ditemuinya nanti.

"Kerja, enggak, kerja, enggak, kerja, ............enggak, kerja," kata Yumna berbicara sendiri, melepas kelopak bunga yang baru dipetiknya satu per satu.

"Apa aku harus kerja di sana ya? Apa aku kuat kalau harus setiap hari berhadapan dengan makhluk yang berpenampilan aneh seperti mereka? Ehhmmm, mungkin memang aku sudah terbiasa melihatnya. Tapi,..... Ah sudahlah," gumam Yumna sendiri dengan memegang kepalanya yang terasa pening.

"Gimana? Sudah kau pikirkan?" tanya seseorang di sebelahnya.

"Reyhan? Kamu......?" ucap Yumna tak bisa berkata-kata karena terlalu gugup. Ketakutan untuk memberi jawaban yang harus diucapkannya, saat Rey mulai bertanya padanya nanti.

"Kenapa?" tanya Reyhan yang tak memandang ke arahnya.

"Aku bisa menjawabnya nanti malam kan? Aku masih bingung!"

"Apa yang kau bingungkan?" tanya Reyhan lagi.

"Aku takut, apakah aku sanggup menghadapi dan melihat beragam bentuk penampakan mereka. Lihat karyawanmu saja sudah bikin aku ngeri," jawab Yumna.

"Tenang saja, kamu akan mudah terbiasa nantinya."

"Iya sih, aku sudah terbiasa melihat makhluk tak kasat mata dari kecil. Tapi kadang masih ada ketakutan kalau ada sosok baru yang belum pernah ku temui sebelumnya," keluhku.

"Kami akan melindungimu di sana, tak perlu takut. Ku tunggu jawabanmu nanti malam," ucapnya berdiri.

****

**ILUSTRASI TOKOH

REYHAN

YUMNA

**

Pilihan Yang Berat

"Lhooo, maksa banget sih!" teriak Yumna sedikit kesal, menatap punggung Rey yang berjalan terus ke depan.

"Yumna, ngapain di situ? Ayo pulang, nanti malah kesambet baru tau rasa!" ucap Martha, teman satu kelas dari bangku sekolah saat Taman Kanak-Kanak sampai sekarang, Sekolah Menengah Atas.

"Iya, kamu baru pulang juga?" tanya Yumna mencoba ramah seperti biasa.

"Kepo banget sih, mau tau urusan orang aja!" jawabnya ketus seperti biasa juga.

Yumna memilih pergi meninggalkan Martha, sebelum dia mulai meneruskan caci makinya.

Martha merupakan anak pengusaha kelapa sawit, yang juga paling kaya di desanya. Tetapi karena kesibukan ayahnya yang lebih sering ke luar pulau, dan ibunya yang suka ikut perkumpulan sosialita ke kota menjadikannya kesepian.

Kurang kasih sayang orangtua, meski bibi Lina yang selalu ada untuknya. Asisten rumahtangga, yang sudah dari bayi mengasuh dirinya. Tapi itu tak membuatnya bahagia, malah menjadikannya seorang anak yang egois tak mau kalah dari yang lain. Itu dilakukan hanya semata-mata mencari perhatian yang selama ini kurang didapatkan.

"Yumna, mau pergi kemana? Kurang ajar banget, belum juga selesai ngomong sudah minggat aja!" teriaknya marah, karena tak mau diacuhkan.

Martha memilih melajukan motor matic keluaran terbaru menuju rumahnya, setelah kemarahannya tak tersalurkan. Meski tak ada kebahagiaan juga yang akan dia temukan di rumahnya nanti.

Yumna mengetuk pintu rumahnya, tapi belum ada jawaban di sana. Dia mencoba mengelilingi rumahnya, berharap nenek Kip sedang berkebun di belakang rumahnya.

Kosong, tak ada siapapun di sana. Justru makhluk berdaster putih yang dia temukan sedang menggantungkan kakinya di atas pohon nangka sebelah rumah.

"Kamu cari nenekmu?" tanya mbak Susi, panggilan Yumna untuknya.

"Iya, kamu tahu?" tanya Yumna mendongakkan kepalanya.

"Tahulah, kan dari tadi aku di sini!" jawabnya memainkan rambut gimbalnya yang sudah mulai dipenuhi ulat dan kecoa.

"Mbak Susi yang cantik, boleh Yumna tau kemana nenek Kip pergi?" tanya Yumna.

"Tadi nenekmu pingsan, lalu dibawa warga ke rumah sakit kayaknya!" ucapnya yang langsung membuat Yumna bersandar lemas ke dinding batu bata.

"Terimakasih," jawab Yumna singkat, dan segera berlari ke tetangga sebelah rumahnya.

"Permisi, Bu Nuri?" ucap Yumna memberi salam di depan rumah.

"Eh, Yumna sudah pulang. Ayo sini makan dulu," kata bu Nuri, yang sudah menganggap Yumna seperti anak sendiri.

Bu Nuri hanya tinggal dengan pak Robi, suaminya. Kedua anak mereka sudah berumah tangga dan tinggal di kota yang berbeda.

"Terimakasih, Bu. Yumna cuma ingin tanya, apa ibu tau nenek Kip sekarang dimana?" tanya Yumna yang sudah bersusah payah menahan air mata.

"Yumna, sabar ya. Nenekmu pasti akan baik-baik saja. Pak Robi, sudah membawanya ke rumah sakit terdekat," jelasnya menegaskan.

"Baiklah, saya akan segera ke sana."

"Mari ibu antar saja, naik sepeda motor biar cepat sampai ya," ucap bu Nuri menawarkan diri.

"Trimakasih, tapi Yumna bisa ke sana sendiri. Maaf kalau sudah merepotkan ibu," sahut Yumna menunduk, dan tak bisa menahan air mata yang sudah mengalir di pipinya.

Bu Nuri bersikeras mengantarkannya, karena tak mau sesuatu terjadi padanya. Akhirnya Yumna pun menurutinya.

Selama dalam perjalanan, Yumna hanya terdiam. Memikirkan bagaimana cara membayar biaya rumah sakit itu.

Tabungannya sudah sangat menipis, mungkin akan langsung habis setelah digunakan membayar tagihan rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, dia segera menghampiri nenek Kip, satu-satunya keluarga yang masih tersisa.

"Nenek, Yumna di sini!" ucapnya mendekati nenek renta yang sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.

"Karena Yumna sudah datang, kami pamit dulu ya. Nanti malam biar kami saja yang menunggu di sini. Yumna tidur di rumah saja, karena besok harus ke sekolah," pamit pak Robi.

"Trimakasih, Pak!" ucap Yumna singkat, karena tak tahu harus berkata apa lagi.

"Kamu banyak berdoa ya, jangan pikirkan biayanya. Kami sudah membayarnya," lanjut pak Robi menepuk bahu Yumna yang tak tahu harus berbuat apa.

"Sabar, Nak. Semangat ya, biar nenekmu juga bisa segera sembuh. Oiya, nanti kamu bisa memakai motor kami yang satunya. Supaya kamu bisa lebih mudah ke mana-mana," timpal bu Nuri mengikuti suaminya keluar kamar rumah sakit.

Yumna benar-benar bingung, apa yang harus dilalukannya untuk menggantikan biaya rumah sakit ini. Tiba-tiba dia mengingat tawaran kerja di restoran hantu itu.

"Ya, mungkin aku harus mencobanya. Tak ada salahnya aku menerima tawarannya," gumam Yumna.

"Yum.. Yumna...., maafkaan nenek ya," kata nek Kip saat pertama membuka mata.

"Nenek, Yumna takut. Yumna cuma punya nenek. Nenek harus sehat untuk Yumna," tangis Yumna mencium tangan keriput itu.

"Nenek minta maaf, sudah membuat susah Yumna. Nenek jadi menambah beban Yumna sekarang padahal harusnya nenek yang merawat Yumna," kata nek Kip mengusap kepala gadis itu.

"Sstt, nenek gak boleh bilang seperti itu. Yang terpenting bagi Yumna, nenek harus segera sehat dan pulang ke rumah bersama Yumna," sahut Yumna menenangkan neneknya.

"Tapi bagaimana dengan biaya rumah sakit ini? Lebih baik nenek pulang sekarang saja, biar biayanya tidak bertambah banyak."

"Tenang, Nek. Pak Robi sudah membayarnya, dan Yumna janji akan menggantinya kalau sudah mendapat upah kerja. Doakan Yumna supaya bisa lancar kerja paruh waktunya ya, Nek!"

"Memangnya kamu sudah mendapat kerja? Dimana?" tanya nek Kip.

"Yumna kerja paruh waktu di restoran, lumayam kok gajinya," jawab Yumna tak sepenuhnya berbohong, meski tak menceritakan semuanya.

"Syukurlah! Yang penting harus jujur, dan berhati-hatilah," nasehat neneknya yang hanya dijawab anggukan olehnya.

Waktu cepat berjalan saat dia menemani neneknya di dalam kamar rumah sakit. Yumna juga memanfaatkan waktunya untuk tidur sebentar di sebelah ranjang neneknya, setelah menyelesaikan tugas rumah dari sekolah.

"Yumna, bangun nak!" ucap suara membangunkannya.

"Eh, bu Nuri. Maaf tadi ketiduran, he....," jawab Yumna mengusap sedikit cairan yang keluar dari mulutnya.

"Sekarang mumpung masih belum terlalu malam, pulanglah! Lanjutkan istirahat di rumah biar besok bisa membuat semangat nenekmu."

"Trimakasih banyak, Bu, Pak! Kalau sudah ada uang Yumna akan segera mengganti biayanya," ucap Yumna.

"Tak usah kau pikirkan. Doakan saja nenekmu bisa cepat sehat dan menemanimu di rumah lagi," sahut pak Robi.

"Oh iya, ini kunci dan stnk nya. Pakai saja motornya! Dan ini sudah ibu siapkan bekal makan malam untukmu. Sebaiknya kau bawa pulang saja," ucap bu Nuri.

"Sekali lagi terimakasih," kata Yumna ingin berlutut mencium kaki keduanya, tapi segera ditahan dan dipeluk bu Nuri.

Ada kebahagiaan saat dia merasa ada keluarga yang peduli dengannya.

"Kalau begitu, Yumna pamit dulu. Trimakasih banyak," kata Yumna sebelum keluar ruangan kamar dengan membawa kunci motor dan suratnya, beserta makan malamnya.

Malam yang belum terlalu larut. Dia sempatkan dulu pulang ke rumah untuk menghabiskan makan malamnya, setelah terlalu banyak penampakan-penampakan yang dia temui selama di perjalanan pulang.

Yumna membersihkan dirinya dan rumahnya, kemudian bersiap berangkat memutuskan pilihannya.

****

**Ilustrasi Tokoh

Martha

Bu Nuri

Nek Kip (Nenek Yumna)

**