SUKMA: Perjanjian Dengan Iblis
Hujan begitu lebat mengguyur Kota Bandung sejak sore tadi. Suasana malam menjadi sangat mencekam, ditambah gelegar petir yang menyambar. Sebagian daerah mengalami mati lampu, rumah-rumah menyalakan lilin sebagai penerangan. Begitu juga dengan rumah mewah Pak Burhan, tak biasanya kediaman pengusaha tekstil itu mengalami mati lampu. Pria paruh baya itu menyuruh kedua pembantunya menyalakan lilin, lalu menaruhnya di beberapa sudut ruangan.
Sementara itu di kamar Pak Burhan, tampak Bu Ratmi yang sedang hamil tua, mengelus-elus perutnya. Wajahnya meringis kesakitan, merasakan mulas. Setelah dua belas tahun menanti, akhirnya tiba juga waktunya mereka memiliki momongan. Hari ini seharusnya mereka menemui bidan, karena memang sudah saatnya si jabang bayi lahir. Namun, cuaca buruk seperti tak mendukung untuk pergi ke bidan. Bu Ratmi terus mengerang, memanggil Pak Burhan yang sedang menerangi beberapa sudut rumahnya. Tak lama kemudian, Pak Burhan datang dengan tergesa-gesa.
"Bu, tenanglah. Bapak ada di sini," ucap Pak Burhan duduk di tepi ranjang, lalu memeluk Bu Ratmi.
"Bapak, Ibu tidak kuat lagi. Sepertinya sekarang harus bertemu dengan bidan. Perut Ibu mulas sekali," keluh Bu Ratmi dengan napas terengah-engah, wajahnya masih menunjukkan rasa sakit tak tertahankan.
"Ibu sabar sebentar, ya. Bapak telepon Bidan Yusi dulu. Mudah-mudahan dia bisa datang ke sini."
"Sebaiknya cepat, Pak."
Tanpa menunggu lama, Pak Burhan merogoh ponsel dari saku celananya. Segera ia menekan tombol power, tapi layar ponselnya tak nyala sama sekali. Ternyata baterainya sudah habis. Pak Burhan merutuk kesal, lalu melempar ponselnya ke kasur.
"Kita harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Ratmi gelisah.
"Kita harus pergi ke bidan, Bu. Ponsel Bapak mati."
"Astaga."
"Ibu yang kuat, ya. Dua pembantu kita akan membantu Ibu sampai ke mobil."
Bu Ratmi mengangguk pelan. Pak Burhan segera keluar kamar sambil memanggil kedua pembantunya, Minah dan Sari. Akan tetapi, tak ada yang menyahut sama sekali. Merasa tak sabar, Pak Burhan mencari kedua pembantunya ke ruangan lain sambil membawa lilin.
Disusurinya setiap sudut rumah, mulai dari ruang tamu sampai dapur. Tetap saja mereka berdua tidak ketemu. Beberapa menit setelah mencari ke ruang keluarga, Pak Burhan mendengar suara tawa melengking dari lantai dua. Diarahkannya lilin ke tangga, hingga mencapai tempat suara itu berasal. Dari pagar pembatas lantai dua, tampak seorang perempuan berambut panjang memakai daster putih sedang mengayun-ayunkan kakinya.
"Minah? Kamu ngapain duduk di sana?" tanya Pak Burhan berteriak.
Perempuan itu hanya membalas dengan tawa yang tak kalah mengerikan dari sebelumnya. Ia melayang dari pagar itu, kemudian turun mendekati Pak Burhan.
Menyadari ada yang tidak beres, Pak Burhan berlari menuju kamar. Sekujur tubuhnya gemetar hebat. Ketakutan menyeruak hingga membuat bulu kuduknya meremang. Sementara itu, perempuan di belakangnya terus melayang mengejarnya. Dari balik rambutnya yang panjang dan gimbal, matanya menatap tajam pada Pak Burhan.
Sesampainya di depan kamar, Pak Burhan buru-buru membuka pintu. Secepatnya ia membanting dan mengunci pintu ketika sudah masuk kamar. Matanya tetap menatap waspada, kakinya yang melemas pun mundur perlahan. Ketakutan tergambar jelas di wajahnya yang berpeluh.
"Ada apa, Pak?" tanya Bu Ratmi, masih memegangi perutnya sambil meringis.
Pak Burhan buru-buru menghampiri istrinya. "Sssst ... di luar ... d-di luar," bisiknya berusaha menjelaskan.
"Ada apa, Pak?"
Belum kunjung Pak Burhan menjelaskan, suara tawa seorang perempuan kembali terdengar jelas. Bu Ratmi yang ketakutan, segera memeluk tubuh suaminya. Jantungnya berdebar hebat, bulu kuduknya meremang. Matanya membelalak, seolah-olah mewaspadai akan kedatangan perempuan pemilik tawa melengking itu.
"P-Pak ... itu siapa?"
"Sst ... jangan banyak bicara. Kita tunggu sampai lampu menyala semua, terus kita keluar menemui bidan."
"Tapi, Pak, Ibu udah nggak kuat lagi."
"Sabarlah, Bu. Kalau nggak, kita tunggu sampai dia pergi."
Di tengah ketakutan mereka, terdengar suara pintu digedor. Pak Burhan dan Bu Ratmi semakin mengeratkan pelukan. Napas mereka kian memburu tatkala suara cekikikan perempuan itu kian mendekat.
"Araya di jero?" tanya perempuan berdaster putih itu dengan suara mendengung.
Pak Burhan dan Bu Ratmi semakin bergidik ngeri. Suara gelegar petir dari luar mengejutkan mereka. Tak lama kemudian, geraman hewan buas terdengar dari balik jendela. Pak Burhan yang penasaran segera menoleh ke arah suara itu berasal. Ketika kilat petir menyala, tampak bayangan sosok hitam tinggi besar sedang berdiri di luar jendela. Napas lelaki paruh baya itu semakin memburu.
"Pak, Ibu sudah tidak kuat lagi," keluh Bu Ratmi dengan napas tersengal.
Keadaan semakin mencekam. Pak Burhan semakin mengeratkan pelukannya pada Bu Ratmi, agar tetap kuat menahan mulas hingga lampu menyala kembali. Sementara itu, dua pembantu yang dipanggil Pak Burhan sejak tadi, rupanya berada di kamar. Keduanya pingsan setelah mendapati banyak sekali makhluk berwajah mengerikan berkeliaran di dalam rumah.
Kelahiran si jabang bayi seperti disambut meriah oleh banyak dedemit. Suara demi suara aneh terdengar semakin riuh di luar kamar Pak Burhan. Untuk situasi seperti ini, Pak Burhan mengingat-ingat kembali nasihat dari dukun langganannya. Katanya, dedemit akan mudah ditaklukan dengan sebuah mantra. Segera Pak Burhan mengingat mantra pemberian si dukun, lalu mulai merapalkannya.
Beberapa detik berselang, suasana rumah kembali sunyi. Gedoran di pintu tak terdengar lagi. Pak Burhan yakin makhluk-makhluk itu sudah pergi. Sekuat tenaga ia menggendong istrinya, lalu membuka pintu kamar. Bibirnya tak berhenti merapal mantra, hingga sampai di garasi.
Tanpa banyak berpikir, Pak Burhan memasukkan istrinya ke dalam mobil, lalu membuka garasi. Secepatnya ia lajukan mobil itu, kemudian menyuruh satpam membuka gerbang. Hujan masih deras mengguyur kota, dikhawatirkan jalanan yang licin membuat roda kendaraan selip. Akan tetapi, Pak Burhan yang sudah terlanjur panik membuatnya berkendara seperti pembalap. Bu Ratmi tak berhenti mengerang kesakitan, sambil mengelus-elus perut buncitnya.
"Pak, kapan kita akan sampai?" tanya Bu Ratmi dengan suara melemah.
"Sebentar lagi, Bu. Ibu yang sabar."
"Tapi Ibu tidak kuat lagi, Pak."
Ketika mantra tak lagi dirapalkan Pak Burhan, sosok makhluk mengerikan itu datang kembali. Salah satu di antaranya makhluk berbadan tinggi besar dan berbulu. Ia melompat ke atap mobil dan menggedor-gedornya hingga penyok. Pak Burhan dan Bu Ratmi semakin panik. Sesekali mereka mengintip kaca spion, guna menemukan jawaban atas rasa penasarannya. Dari belakang mobil, tampak kepulan asap hitam bersama makhluk-makhluk gaib penghuni rumahnya, berlari mengejar mobil.
Merasa ketakutan, Pak Burhan melajukan mobilnya lebih cepat. Namun, ketika hendak memasuki jalan raya, tiba-tiba ada sosok perempuan sedang menyeberang di depan mobil mereka. Pak Burhan pun kalap dan banting setir. Mobilnya menabrak sebuah pohon di pinggir jalan, hingga kaca depannya pecah. Pak Burhan tak sadarkan diri, dahinya mengeluarkan banyak sekali darah. Pun dengan Bu Ratmi yang sejak tadi mengerang kesakitan, seketika pingsan dan air ketubannya pecah.
...****************...
Hujan perlahan surut, lampu-lampu rumah penduduk mulai menyala satu per satu. Mak Asih yang merupakan pemilik rumah di dekat tempat kecelakaan Pak Burhan, buru-buru mendekati suara dentuman berasal. Ketika keluar gerbang, wanita tua itu menjerit memandang sebuah mobil penyok yang telah menabrak pohon. Secepatnya ia berlari meminta pertolongan warga sekitar.
Satu per satu warga kompleks berdatangan. Mereka segera mengeluarkan Pak Burhan dan Bu Ratmi dari mobil. Pak Ramlan, yang kebetulan melintas mengendarai mobil, dengan senang hati akan membawa Pak Burhan dan Bu Ratmi ke rumah sakit terdekat. Bersama dengan Mak Asih, mereka pun pergi meninggalkan tempat kecelakaan.
Selama di perjalanan, gangguan dari makhluk gaib belum berhenti. Pak Ramlan yang merupakan pemuka agama di kompleks, tak berhenti membaca Ayat Kursi. Begitu pula Mak Asih, terus berusaha menghafal surat-surat pendek sambil menyingkirkan rasa takutnya. Kendati demikian, atap mobil Pak Ramlan masih digedor-gedor oleh makhluk tak kasat mata hingga penyok. Mak Asih bergidik ngeri menyaksikan hal aneh yang terjadi saat ini.
"Pak Ustaz, bagaimana ini? Saya takut kalau diganggu makhluk halus," kata Mak Asih dengan suara gemetar.
"Terus saja membaca surat-surat pendeknya, Mak. Percayalah, Allah akan selalu melindungi hamba-Nya. Kekuatan Allah lebih besar dari jin. Tetaplah berserah diri dan tenang," bujuk Pak Ramlan seraya fokus ke jalanan, lalu kembali membaca ayat-ayat Al-Qur'an.
Mak Asih melanjutkan bacaan surat-surat pendeknya. Upayanya cukup membuahkan hasil kali ini. Suara geraman dan cekikikan dari atap mobil mulai berkurang. Begitu pula dengan gedoran keras yang suaranya hilang begitu saja. Mak Asih bersyukur semuanya membaik bersamaan dengan rasa berserah diri pada kekuatan Tuhan yang lebih besar.
Setibanya di rumah sakit, Pak Burhan dibawa ke ICU. Sementara itu, Bu Ratmi yang mulai siuman, dibawa ke ruang bedah. Tenaganya terkuras habis karena ketakutan hebat dan kecelakaan, sehingga tidak mampu melakukan persalinan secara normal. Untuk urusan administrasi, Pak Ramlan telah menanganinya dengan baik. Dengan ikhlas ia membayar biaya perawatan Pak Burhan dan Bu Ratmi, berharap nyawa keduanya dapat segera diselamatkan.
"Pak Ustaz, sebaiknya saya menunggu Bu Ratmi. Kasihan dia, tidak ada keluarga yang menunggu persalinannya," kata Mak Asih bernada cemas.
"Baiklah. Kalau begitu saya lihat keadaan Pak Burhan di ICU. Kita berdoa saja, semoga semuanya baik-baik saja."
"Aamiin."
Maka berjalanlah mereka ke arah yang berbeda. Mak Asih meminta petunjuk suster untuk mencapai ruang bedah, sementara Pak Ramlan mencari ruang ICU sendiri. Doa-doa mereka panjatkan selama menyusuri koridor, berharap kondisi pasangan suami istri yang sudah menikah dua belas tahun itu membaik.
Sesampainya di depan ruang bedah, Mak Asih berusaha untuk menemui Bu Ratmi. Akan tetapi, ketika hendak membuka pintu, seorang suster mencegahnya. Mak Asih yang khawatir sekaligus penasaran dengan kondisi tetangganya, terus berupaya agar bisa masuk ruang bedah.
"Saya mohon, Suster. Izinkan saya untuk masuk menemui Ratmi," pinta Mak Asih dengan wajah memelas.
"Maaf, Nek. Untuk saat ini pasien belum bisa ditemui. Anda tunggu saja di sini."
"Tapi, Suster, bagaimana kalau dia kenapa-kenapa?"
"Percayalah, Nek. Kami akan menanganinya semaksimal mungkin. Sebaiknya Nenek tunggu di sini, nanti kami kabari jika kondisinya sudah membaik. Doakan saja, semoga Bu Ratmi dan anaknya selamat."
Mak Asih terduduk di kursi, sambil meremas kedua tangannya. Kecemasan belum kunjung surut dari benaknya. Sesekali ia menatap ke arah pintu, laku berdoa mengharapkan keselamatan Bu Ratmi beserta anaknya.
Sementara itu, Pak Ramlan menemukan ruang ICU. Dari balik jendela ruangan, ia memandangi satu orang dokter bersama dua suster laki-laki sedang memeriksa Pak Burhan. Kondisinya sangat kritis, sehingga dokter menggunakan alat pacu jantung supaya pasiennya membaik.
Merasa miris melihat kondisi Pak Burhan, Pak Ramlan tak berhenti memanjatkan doa pada Yang Kuasa. Akan tetapi, takdir berkata lain. Nyawa Pak Burhan tak tertolong lagi. Dokter dan kedua suster menggeleng lemah seraya mengusap muka. Raut kekecewaan tergambar jelas di wajah mereka sehingga membuat Pak Ramlan khawatir.
Ketika dokter keluar dari ICU, Pak Ramlan menghampirinya. Ia tampak tak sabar ingin mengetahui kondisi Pak Burhan.
"Dokter! Dokter!" seru Pak Ramlan.
Dokter itu menoleh dan bertanya, "Iya, Pak. Ada apa?"
"Pak, kalau boleh tahu, bagaimana kondisi Pak Burhan? Apa dia masih bisa disembuhkan?" tanya Pak Ramlan cemas.
Dokter itu tertunduk lesu, kemudian menghela napas berat. Saat menatap Pak Ramlan, matanya seolah menyiratkan kekecewaan mendalam atas kegagalan usahanya menyelamatkan pasien.
"Katakan, Dok! Apa nyawa Pak Burhan masih bisa diselamatkan?" tanya Pak Ramlan dengan sedikit mendesak.
"Sangat disayangkan, Pak. Nyawa beliau tak tertolong lagi. Beliau sudah tiada," jelas dokter itu menatap lesu.
Tersentak batin Pak Ramlan mengetahui kabar buruk itu. "Tidak mungkin, Dok! Apakah Dokter tidak bisa berusaha lebih keras lagi untuk menyelamatkan dia?"
"Apa daya kami, Pak? Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi rupanya Tuhan sudah berkehendak lain. Hidup dan mati itu urusan Tuhan, kami hanya bisa berusaha."
Pak Ramlan menghela napas panjang.
"Sebaiknya Bapak doakan saja beliau supaya tenang di alam sana. Saya pamit dulu," kata dokter itu, lalu melenggang menyusuri koridor.
Sepeninggal dokter, Pak Burhan tertunduk lesu. Tatapan matanya kosong, kakinya melemas hingga membuatnya bersimpuh di depan ruang ICU. Hatinya begitu terpukul, apalagi mengingat Bu Ratmi yang akan melahirkan anak pertamanya. Pikirannya mengawang, membayangkan jika kabar buruk itu sampai ke telinga istri Pak Burhan. Pak Ramlan hanya bisa terisak-isak, sambil sesekali menatap pintu ruang ICU.
Tak lama kemudian, suster dari dalam mendorong ranjang Pak Burhan keluar ruangan. Pak Ramlan bangkit, lalu mengikuti suster yang membawa jenazah tetangganya. Sambil sesenggukan, pemuka agama itu berusaha menghentikan mereka.
"Tunggu dulu! Saya ingin melihat jenazah untuk terakhir kalinya," pinta Pak Ramlan.
"Maaf, Pak. Beliau harus segera dibawa ke kamar jenazah supaya cepat diurus," kata salah satu suster menjelaskan.
"Sebentar saja. Saya mohon," kata Pak Ramlan dengan wajah memelas.
Untuk sesaat, kedua suster itu saling tatap. Mereka kembali memandang Pak Ramlan, lalu berkata, "Baiklah. Sebentar saja, ya, Pak."
Pak Ramlan mengangguk cepat, tak sabar ingin melihat wajah tetangganya untuk terakhir kali. Seorang suster membuka selimut dari kepala jenazah secara perlahan. Tampak wajah pucat Pak Burhan, hidung dan dahinya masih mengeluarkan darah. Air mata Pak Ramlan kembali tumpah, tak mampu menahan kesedihan yang mengganjal dalam dadanya.
"Baiklah, sekarang kalian boleh pergi."
Kedua suster mendorong kembali ranjang menuju kamar jenazah. Pak Ramlan berusaha menyingkirkan kesedihannya sesaat, demi mengetahui kondisi Bu Ratmi yang sama-sama sedang berada di antara hidup dan mati. Secepatnya ia berlari menyusuri koridor. Hatinya tak sabar ingin mengetahui kondisi Bu Ratmi.
Sesampainya di ruang bedah, Pak Ramlan tak menemukan Mak Asih. Ketika seorang perawat melintas, Pak Ramlan menghentikannya sebentar.
"Suster, apakah Anda tahu di mana Bu Ratmi sekarang?"
Perawat itu mengangguk, lalu mengantar Pak Ramlan ke tempat Bu Ratmi berada. Pak Ramlan terus menguatkan diri, menyingkirkan kesedihannya atas kematian Pak Burhan. Sambil berdoa, ia berusaha tetap tenang menghadapi kenyataan yang akan dilihatnya nanti.
Seorang suster mengantar Pak Ramlan menuju ruangan tempat para ibu melahirkan dirawat. Betapa leganya hati Pak Ramlan ketika mendapati Bu Ratmi yang sedang terbaring lemah di salah satu bangsal, sambil ditunggui oleh Mak Asih yang sejak tadi mengkhawatirkan kondisi dari istri Pak Burhan itu. Kebetulan juga, mereka baru saja tiba dari ruang bedah.
Dihampirinya ibu yang baru saja melahirkan itu, sambil sesekali menyeka air mata yang jatuh ke pipinya. "Assalamualaikum," sapa Pak Ramlan, tersenyum simpul sambil menahan kesedihan yang mengganjal di dadanya.
"Waalaikumsalam, Pak Ustaz," jawab Bu Ratmi dan Mak Asih secara bersamaan. Keduanya tampak senang menyambut kedatangan Pak Ramlan.
"Bagaimana kondisi Bu Ratmi? Sudah mendingan?" tanya Pak Ramlan.
Bu Ratmi mengangguk pelan dan berkata, "Saya baik-baik saja, cuma perut saya saja yang masih terasa sakit."
"Tak apa, Bu. Wajar jika terasa sakit seletah melahirkan secara caesar. Itulah perjuangan seorang ibu. Maka sudah semestinya kita berbakti kepada orang tua yang sudah berjuang di antara hidup dan mati demi membawa kehidupan bagi generasi yang baru."
Mak Asih dan Bu Ratmi mengangguk setuju.
"Eh, ngomong-ngomong, di mana dedek bayinya?"
"Mungkin sebentar lagi akan dibawa ke sini," kata Bu Ratmi. "Oya, bagaimana keadaan suami saya? Apa dia baik-baik saja?"
Bergetar hati Pak Ramlan ketika ditanyai kondisi Pak Burhan. Kesedihannya kembali muncul hingga tak mampu lagi membendung air matanya. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, hanya isak tangis saja.
Melihat reaksi Pak Ramlan, Bu Ratmi semakin cemas pada kondisi suaminya. Berbagai dugaan buruk menghantui pikirannya sampai-sampai hatinya tak terasa tenang. Pun dengan Mak Asih yang tak sabar ingin mendengar kabar tentang Pak Burhan.
"Ada apa, Pak Ustaz? Apakah Pak Burhan bisa diselamatkan?" tanya Mak Asih penasaran.
Belum sempat Pak Ramlan menjawab, ponselnya berdering. Segera pemuka agama itu merogoh saku celana dan menatap layar ponselnya. Ternyata dari penyelenggara acara sunatan.
"Maaf, Bu Ratmi. Saya permisi dulu, ada yang menelepon," kata Pak Ramlan bergegas meninggalkan ruangan.
"Iya, Pak. Sebaiknya angkat dulu teleponnya," kata Bu Ratmi tersenyum lebar.
Sementara Pak Ramlan mengangkat telepon, Bu Ratmi dan Mak Asih saling bertatapan. Pertanyaan tentang kondisi Pak Burhan masih mengganggu benak Bu Ratmi. Ia menggenggam tangan Mak Asih.
"Mak, kira-kira suami saya selamat nggak, ya?" tanya Bu Ratmi dengan mata berkaca-kaca.
"Bedoa saja, Bu Ratmi. Semoga suamimu baik-baik saja."
"Tapi ... bagaimana kalau dia meninggal? Saya nggak sanggup kalau harus kehilangan Bapak. Yang benar saja, dia pergi di hari bahagia ini. Kasihan nanti anakku, tidak bisa dipeluk ayahnya."
Terenyuh hati Mak Asih mendengar perkataan Bu Ratmi. Malang sekali mereka jika sampai kehilangan Pak Burhan. Selain sebagai kepala keluarga dan penopang hidup, Pak Burhan juga memiliki hati yang welas asih. Kasihan anaknya, yang tak bisa memandang wajah sang ayah untuk pertama kalinya.
Sementara itu, hal ganjil sedang terjadi di ruangan bayi. Bayi-bayi menangis kencang hingga membuat bidan dan perawat kewalahan. Sejak kedatangan anak Pak Burhan, hawa di ruangan itu terasa lebih dingin dan membuat bulu kuduk para perawat merinding. Situasi di sana semakin tak terkendali dan mencekam. Beberapa bayi diberikan pada ibunya masing-masing, sedangkan yang lainnya ditangani oleh perawat.
Di tengah keributan itu, anak Pak Burhan justru tertidur pulas sekali. Ia hanya menangis satu kali saja, saat keluar dari perut ibunya. Selanjutnya ia tidur tenang seolah-olah tak peduli dengan semua keributan yang terjadi di sekitarnya.
Melihat reaksi tenang dari si bayi, Bidan Ana pun cemas. Kendati merasa bulu kuduknya meremang, ia tetap berusaha menggendong anak Pak Burhan, lalu menepuk pipinya dengan lembut.
"Dek, bangun, Dek," kata bidan itu dengan suara pelan.
Cukup lama bayi itu terdiam. Bidan Ana tetap berusaha untuk membangunkannya. Ia benar-benar ingin memastikan bayi itu masih hidup atau sudah tiada, mengingat kondisi sang ibu yang datang ke rumah sakit setelah terjadi kecelakaan. Namun, setelah lama merasa waswas, akhirnya bidan itu tersenyum lega. Bayi yang digendongnya merespons, lalu membuka mata sesaat. Tubuhnya bergerak pelan, menandakan kondisinya baik-baik saja.
"Wah, kamu sudah bangun rupanya. Sekarang waktunya bertemu dengan ibumu. Ayo, kita ke sana!" kata Bidan Ana semringah.
Anak Pak Burhan seperti mengerti pada perkataan Bidan Ana. Ia tersenyum lebar, membuat bidan muda itu gemas melihatnya. Bayi itu dimasukkan ke dalam kereta dorong, lalu diantar oleh perawat menuju ruangan sang ibu.
Di ruangan lain, Pak Ramlan menutup teleponnya. Sebagai pemuka agama yang taat pada janjinya, ia harus bersikap profesional. Terpaksa Pak Ramlan meninggalkan Bu Ratmi dan jenazah Pak Burhan saat itu juga. Namun, sebelum pergi dari rumah sakit, Pak Ramlan menemui kembali Bu Ratmi dan Mak Asih. Dengan berat hati ia harus berpamitan pada Bu Ratmi yang sedang menanti kabar tentang suaminya.
"Apa tidak bisa ditunda, Pak Ustaz?" tanya Mak Asih mengerutkan dahi.
"Maaf, Mak. Mereka sudah mengundang saya jauh-jauh hari. Saya tidak bisa menundanya," jelas Pak Ramlan dengan wajah memelas.
"Ya sudah, tidak apa-apa. Saya bisa memaklumi, kok. Sebaiknya Pak Ustaz segera ke sana, kasihan mereka menunggu," kata Bu Ratmi.
"Kalau begitu, saya pamit dulu. Nanti saya akan menghubungi Sari supaya datang ke sini. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab Bu Ratmi.
Ketika Pak Ramlan keluar dari ruangan, Mak Asih masih merasa terganjal oleh pertanyaan tentang Pak Burhan. Dengan alasan mengantar Pak Ramlan, wanita tua itu mohon izin sebentar pada Bu Ratmi. Setelah mendapat persetujuan dari Bu Ratmi, Mak Asih bergegas pergi menghampiri Pak Ramlan. Beruntung, pemuka agama itu belum pergi jauh.
"Pak Ustaz!" seru Mak Asih sambil berlari kecil.
Pak Ramlan menoleh, kemudian berbalik badan. "Iya, Mak."
"Pak Ustaz, Bapak belum cerita tentang kondisi Pak Burhan. Bagaimana keadaan dia sekarang?"
Termenung Pak Ramlan ketika mengingat kematian Pak Burhan. Ditatapnya Mak Asih yang masih bertanya-tanya, lalu tertunduk lesu. Ditariknya napas dalam-dalam hingga mentalnya siap menyampaikan kabar duka itu pada Mak Asih.
"Pak Ustaz ... apa Pak Burhan ...."
"Begini, Mak." Pak Burhan menarik tangan Mak Asih ke salah satu sudut rumah sakit sambil menengok ke kanan dan kiri, "Tolong Emak sampaikan kabar ini pada Bu Ratmi di waktu yang tepat, ya."
Mak Asih mengangguk. "Memangnya ada apa dengan Pak Burhan?"
Pak Ramlan mengembuskan napas sejenak. "Beliau ... beliau sudah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa."
Tersentak Mak Asih mendengar ucapan yang keluar dari mulut Pak Ramlan. Ia membekap mulutnya, seraya meneteskan air mata. Tatapannya mengambang, lalu mengarah ke ruangan tempat Bu Ratmi dirawat.
"Pak Ustaz! Bapak tidak bohong, 'kan? Pak Burhan ... d-dia ...."
"Saya tidak bohong, Mak. Tadi saat tiba di ICU, dokter sedang berusaha menyelamatkan nyawa Pak Burhan, tapi takdir berkata lain. Pak Burhan sudah tiada dan dibawa ke kamar jenazah."
"Ya Allah, kasihan betul Bu Ratmi. Saat anaknya lahir, ia harus kehilangan suaminya."
Pak Ramlan menepuk bahu Mak Asih. "Sebaiknya Emak terus mendukung Bu Ratmi agar tetap tegar. Sampaikanlah kabar ini di saat yang tepat. Mental seorang ibu yang baru melahirkan itu sangat sensitif, jadi berhati-hatilah dalam menyampaikan kabar ini."
Mak Asih mengangguk pelan. "Akan saya usahakan, tapi ... bagaimana kalau Bu Ratmi tidak kuat mendengar kabar itu?"
"Serahkan segalanya pada Allah, Mak. Berdoalah supaya Bu Ratmi diberi kekuatan oleh Yang Maha Kuasa," kata Pak Ramlan dengan tenang. "Kalau begitu, saya pamit dulu, sepertinya yang punya hajat menelepon lagi."
"Iya, Pak, silakan."
Pak Ramlan bergegas pergi menuju lobi rumah sakit, sedangkan Mak Asih melangkah gontai ke ruangan Bu Ratmi. Hatinya remuk redam tatkala memandang istri Pak Burhan dari pintu masuk. Sambil menyeka air mata, ia duduk di samping ranjang Bu Ratmi.
Melihat kesedihan di wajah Mak Asih, Bu Ratmi pun penasaran. Dengan mengernyitkan kening, ia bertanya, "Ada apa, Mak? Kenapa Emak sedih begitu? Apa sudah ada kabar tentang suamiku?"
Mak Asih menggeleng, menurutnya ini bukan saat yang tepat untuk menyampaikan kabar duka itu. "Eh, bagaimana dengan si dedek? Dia belum ke sini?" tanya Mak Asih mengalihkan pembicaraan.
Tak lama kemudian, datang seorang perawat membawa kereta dorong berisi anak Bu Ratmi. Ia memanggil nama sang ibu, kemudian memasuki salah satu bangsal. Seiring dengan masuknya perawat membawa anak Pak Burhan, hawa dingin menyeruak ke dalam ruangan. Beberapa penghuni kamar merasakan ada hal yang ganjil. Bayi-bayi di bangsal berbeda, menangis sangat kencang seperti merasakan sesuatu yang mengerikan akan datang pada mereka. Ibu-ibu yang baru saja melahirkan, berusaha menenangkan bayi dalam gendongannya, tapi suasana mencekam justru membuat segalanya menjadi kacau.
Sementara itu, perawat menyerahkan anak Bu Ratmi dengan semringah. "Selamat, Bu! Anda memiliki putri yang sangat cantik."
Dengan senang hati, Bu Ratmi menerima putrinya ke dalam pelukan. Akan tetapi, entah kenapa senyumnya mendadak lenyap begitu saja tatkala menatap wajah si jabang bayi. Raut semringah tak lagi tampak di wajah Bu Ratmi. Matanya membelalak, mulutnya menganga.
"Ada apa, Bu Ratmi?" tanya Mak Asih.
Tak ada jawaban dari Bu Ratmi. Ketakutan telah menyelimuti seluruh hati dan pikirannya, sehingga membuat ibu yang baru saja melahirkan itu sulit untuk berkata-kata. Paras imut dan polos yang biasa tampak pada setiap bayi, tak ada sama sekali di wajah anak Bu Ratmi. Wanita itu justru melihat sosok bayi kecil berkulit hitam legam dengan taring tajam di mulutnya. Kepalanya memiliki dua tanduk seperti sapi, dan ketika bayi itu membuka mata, tampak sepasang bola mata berwarna merah menyala dengan tatapan tajam menusuk.
Bu Ratmi merasa terancam tatkala mendapati tatapan putrinya bagaikan serigala yang hendak menerkam mangsanya. Ia melemparkan bayinya sambil menjerit. "Buang dia! Dia bukan anak saya!"
Mak Asih segera menggendong bayi itu. "Ini anakmu, Bu Ratmi."
"Bukan! Dia bukan anak saya! Dia anak setan! Apa kalian tidak lihat wajahnya yang mengerikan itu?" teriak Bu Ratmi panik.
Perawat dan Mak Asih mengernyitkan kening, keheranan. Keduanya menatap bayi yang menangis di tangan Mak Asih, dan tak menemukan keanehan sama sekali. Jangankan tatapan mengerikan, wajah dan tubuhnya pun terlihat biasa saja seperti bayi pada umumnya.
Mak Asih berusaha menenangkan Bu Ratmi, lalu memperlihatkan kembali putri Pak Burhan yang baru dilahirkan itu. "Lihatlah baik-baik, Bu Ratmi. Tidak ada yang mengerikan sama sekali pada bayimu ini. Wajahnya mirip sekali denganmu. Bagaimana mungkin anak ini memiliki wajah seperti setan."
Bu Ratmi menengok putrinya sebentar. Wajah anaknya masih sama seperti yang ia lihat sebelumnya. Ia mendorong kuat-kuat bayi yang ditunjukkan oleh Mak Asih, lalu membuang muka. Tangannya yang gemetar menutup seluruh wajahnya, enggan melihat bayi yang lebih mirip monster ketimbang manusia.
Melihat reaksi Bu Ratmi, Mak Asih memandang perawat sambil menenangkan bayi perempuan yang menangis di gendongannya. "Bagaimana ini, Suster? Dia tidak mau menerima anaknya."
"Mungkin Bu Ratmi masih trauma setelah kecelakaan, makanya berhalusinasi."
"Kalau begini terus, kasihan bayi ini. Dia tidak akan mendapatkan ASI pertama dari ibunya."
"Kami akan usahakan agar bayi ini mendapatkan nutrisi. Kami juga akan menghubungi psikolog untuk mendampingi Bu Ratmi. Biasanya ibu yang melahirkan sering mengalami baby blues atau bahkan depresi."
"Saya mohon, lakukan yang terbaik untuk ibu dan anak ini."
"Akan kami usahakan."
Bu Ratmi menatap ke arah Mak Asih. "Cepat buang bayi itu! Kalau tidak, saya akan membunuhnya sekarang juga!"
Merasa panik, perawat itu mengambil bayi dari tangan Mak Asih dan memasukkannya ke kereta dorong. Bayi itu tak berhenti menangis, rasa laparnya belum terpenuhi. Perawat membawa kembali putri Bu Ratmi itu ke kamar bayi. Suasana yang tadinya tenang, perlahan gaduh oleh tangisan bayi. Bidan Ana yang sejak tadi bertugas, merasa heran dengan kejadian itu.
"Kenapa bayi-bayi itu menangis secara bersamaan lagi? Apa kalian telah mempertemukan mereka pada ibunya? Atau belum kenyang diberi ASI?" tanya Bidan Ana dengan nada bersungut-sungut.
"Kami juga tidak tahu penyebabnya, Bu. Sejak putri dari Bu Ratmi ditaruh di sana, bayi-bayi itu sering menangis. Padahal mereka sudah dipertemukan dengan ibunya, bahkan sudah kenyang diberi ASI," jelas salah satu perawat.
"Lalu, masalahnya apa? Jangan bilang kalau putri Bu Ratmi itu penyebabnya," kata Bidan Ana, masih keheranan.
"Entahlah, Bu. Setiap putri Bu Ratmi disimpan ke kamar bayi, hawa di sana terasa mengerikan. Kami tidak merasa sedang ada di kamar bayi, melainkan di kamar mayat," jelas perawat lainnya.
Tak lama kemudian, seorang perawat yang sudah menaruh putri Bu Ratmi datang. "Bu, ada berita buruk!" serunya pada Bidan Ana.
"Berita apa?"
"Tadi saya sudah memberikan putri Bu Ratmi pada ibunya untuk diberi ASI, tapi reaksi Bu Ratmi sangat buruk."
"Memangnya bagaimana reaksi Bu Ratmi?"
"Dia menolak anaknya. Katanya muka putrinya kayak setan. Saya juga tidak mengerti, mungkin Bu Ratmi masih trauma akibat kecelakaan yang dialaminya."
Mendengar penjelasan dari perawat itu, Bidan Ana mencoba mencari tahu. Bergegaslah ia menuju ruangan tempat para ibu melahirkan dirawat. Sembari memeriksa pasien lain, Bidan Ana menyempatkan diri untuk bertemu dengan Bu Ratmi.
Betapa terkejut Bidan Ana tatkala mendapati Bu Ratmi gelisah. Matanya yang melotot dan tubuhnya yang gemetar, membuat bidan muda itu ketakutan. Namun, profesionalitasnya sebagai bidan masih menjadi prioritas. Dengan tenang, Bidan Ana menghampiri Bu Ratmi dan memegang tangannya.
"Tenang, Bu, kami ada di sini. Tak ada yang perlu ditakuti," bujuk Bidan Ana, suaranya lemah lembut.
"Bu, di mana bayi itu sekarang? Jangan biarkan dia dibawa ke sini lagi! Dia bukan anak saya, tapi anak setan!" ucap Bu Ratmi, suaranya terdengar gemetar.
"Iya, Bu. Akan kami usahakan."
"Tidak, tidak! Ibu harus membuangnya sekarang juga. Saya akan membayar berapa pun yang Anda mau, asalkan bayi itu lenyap dari pandangan saya."
Seketika kedua mata Bidan Ana membelalak. "Tapi, Bu. Dia anak Ibu."
"Sudah saya bilang, dia anak setan! Saya tidak akan pernah menerimanya sekalipun lahir dari rahim saya."
Tercengang Mak Asih dan Bidan Ana mendengar pernyataan dari Bu Ratmi. Mak Asih menepuk pipi wanita paruh baya itu dan menatapnya lekat.
"Istigfar, Bu Ratmi. Tak pantas kau bicara seperti itu. Bagaimanapun juga dia putrimu, anakmu yang ditunggu-tunggu sepuluh tahun lamanya."
"Saya tidak peduli, Mak!" Bu Ratmi membuang muka. "Pokoknya dia harus dibuang, biar mati sekalian!"
"Jangan, Bu Ratmi! Jangan lakukan itu! Kalau Bu Ratmi tidak mau mengurusnya, biar saya saja."
"Tidak! Mak Asih juga jangan mengurus anak setan itu! Kalau Mak Asih membesarkannya, saya akan selalu dihantui oleh kehadirannya," kata Bu Ratmi menatap tajam mata Mak Asih. Selanjutnya, ia mengalihkan pandangan penuh harap pada Bidan Ana. "Saya mohon, buanglah bayi itu sekarang juga. Saya sudah tidak tahan dibayang-bayangi oleh sosoknya, bahkan suaranya yang mengerikan itu selalu terngiang-ngiang di telinga. Jika Ibu mau melakukannya, saya akan membayar berapa pun yang Ibu minta."
Bidan Ana termenung sejenak. Tak biasanya ia menemukan kasus seorang ibu yang menginginkan anaknya tiada. Padahal, ia tahu betul bahwa bayi yang dilahirkan Bu Ratmi bukanlah hasil hubungan gelap. Ditatapnya Bu Ratmi yang masih ketakutan, hatinya mulai gamang.