SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Santet 40 Hari

Santet 40 Hari

ch1

Aku segera membereskan meja kasir, menyimpan uang penjualan hari ini ke dalam brankas, absen pulang bersama karyawan lain dan menutup toko. Aku adalah gadis 28 tahun yang bekerja di toko ponsel dan aksesoris sebagai kasir, namaku Dinara.

"Mbak Din, jadi tah ke Pinang?" tanya salah satu temanku yang bernama Yeni, memastikan lagi rencana makan setelah kami pulang kerja.

"Iya jadi."

"Tapi sampean udah ditunggu Mas Fadlan tuh."

"Eh siapa itu Fadlan? Aku nggak ada janji sama siapa - siapa kok Yen."

Yeni mendekatiku dan menceritakan sekilas siapa Fadlan, ternyata cowok itu membuka jasa reparasi ponsel di lantai yang sama tempat aku bekerja.

Aku memang jarang memperhatikan lingkungan di sini, jadi jika ada orang baru, aku termasuk yang paling lama kenal dengan orang tersebut.

"Malam Mbak Dina, kenalkan saya Fadlan, panggil saja Alan, warga baru di lantai ini." Alan mendekatiku dan langsung mengulurkan tangan. Aku menyambutnya tanpa menyebutkan namaku.

"Mas, aku nggak bisa ajak kamu tanpa persetujuan Mbak Dina," ujar Yeni tersenyum ramah.

"Iya nggak apa - apa Yen, nanti aku malah mengganggu acara kalian," pamit Alan. Dia hanya mengangguk padaku dan tersenyum sambil berlalu meninggalkan kami.

Fadlan atau Alan benar - benar gigih untuk bisa dekat denganku. Sampai satu bulan berikutnya dia tidak berhenti mengajakku makan bersama, walaupun aku menolak, selalu ada makanan yang dia kirimkan untukku. Hampir setiap hari juga dia berusaha mengantarkan aku pulang.

Aku sengaja menghindarinya, seperti ada hal buruk yang akan terjadi jika bersama dengannya. Entah itu hanya perasaanku saja atau itu sebuah firasat.

***

"Pulang Din?" Alan muncul di depanku tepat ketika aku selesai mengunci pintu toko.

"Iya Mas," jawabku cepat dan berjalan tanpa memperdulikannya.

"Aku antar ya?" tanyanya cengengesan.

"Nggak usah Mas, terima kasih," ujarku lagi.

"Sekali ini aja, sekalian aku mau traktir makan, hari ini ulang tahunku, mau ya?" tanyanya dengan wajah memelas.

Aku menghela nafas panjang dan akhirnya mengangguk setuju dengan ajakannya.

Pecel Ponorogo adalah pilihan kulinernya malam ini. Dia memesankan makanan dengan lauk empal goreng dan telur ceplok serta es jeruk untukku. Sedangkan untuknya lauk ayam dan juga telur ceplok. Dua gelas es teh sebagai minumannya.

Kami mengobrol ringan soal pekerjaan. Tidak menyinggung apapun yang bersifat pribadi. Aku bersyukur dengan keadaan ini, sepertinya dia memilih topik yang umum untuk dibicarakan. Padahal aku sudah menduga kalau dia akan membahas hal lain, ternyata aku salah.

"Pernah makan disini Din?"

"Nggak Mas, suka nggak tahan liat antriannya," aku menjawab sambil tertawa. Pecel ini memang cukup terkenal dan selalu ramai, hal ini yang membuatku enggan makan di sini.

"Iya, kalau sudah kelaparan aku juga menghindari makan di sini walaupun sebenarnya aku suka makanannya," Alan menjelaskan kalau dia sering makan di tempat ini.

"Besok masuk apa? pagi apa siang?" tanya Alan selanjutnya. Sebagai kasir aku memang kadang masuk shift pagi atau shift siang gantian sama kasir satunya, Farida.

"Besok aku ambil off mas, mau ke Jombang," jawabku.

"Ohya, sama siapa? dalam rangka apa ke sana? jam berapa berangkatnya?" tanya Alan beruntun.

"Nggak ada acara khusus, cuma nganter Bapak Ibu aja, Bapak kan tiap datang ke sini pasti ke Jombang jenguk adik - adiknya. Belum tau jam berapa, terserah bapak, aku juga belum cari sewaan mobil buat besok," jawabku.

Orang tuaku beberapa bulan sekali memang selalu datang menjengukku. Aku jarang pulang ke Yogya, aku tinggal di Surabaya pinggiran bersama kakak laki - lakiku dan istrinya. Aku bungsu dan perempuan sendiri dari empat bersaudara, dan hanya aku yang belum menikah.

Alan mengangguk mendengar penjelasanku. "Ya sudah ayo pulang, nanti kamu ditunggu sama orang tuamu jam segini belum pulang."

"Aku turun gang depan aja, Mas!" kataku ketika hampir sampai jalan masuk kampung.

"Lho kenapa nggak sampai depan rumah? jalan masuknya nggak bisa buat mobil?"

"Bisa."

"Trus, kenapa minta turun depan gang?"

"Sudah malam Mas, nggak enak dilihat tetangga. Di rumah juga nggak punya lahan parkir mobil," jawabku beralasan.

"Inikan baru jam sepuluh malam, lagian cuma nganter sampai depan rumahmu aja masa nggak boleh. Aku juga cukup tau diri kok nggak bertamu semalam ini, aku juga tinggal di kampung, aku tau bagaimana aturannya," jelasnya panjang.

Aku diam saja akhirnya ketika mobilnya mulai masuk kampung. Menunjukkan jalan dan mengarahkan untuk mengambil parkir di depan rumah.

Aku tidak menawarinya mampir, hanya mengucapkan terima kasih sudah mengantarkan aku pulang. Aku tidak ingin dia lebih banyak tau tentang kehidupanku.

Ternyata dia ikut turun dan mengikutiku berjalan ke rumah. Aku jadi serba salah, tidak tau harus bagaimana mengenalkan Alan kepada keluarga ku.

Bapak yang sedang mengobrol di teras dengan kakakku langsung menyambut kedatanganku. Aku mencium tangan Bapak dan Kakakku yang diikuti Alan. Aku meninggalkan Alan di teras bersama Bapak dan Kakak, sementara aku langsung masuk rumah mencari ibuku.

"Ada tamu ta, Nduk? kamu pulang sama siapa?" tanya Ibu.

"Diantar teman Bu," jawabku singkat.

"Ya sudah buatkan minum tamunya!" Perintah Ibu.

"Tapi inikan sudah malam Bu, nanti malah nggak pulang - pulang kalau dibuatkan minum," aku berusaha memberikan alasan agar Alan segera pulang. Rasa tidak nyaman semakin terasa ketika Alan bertemu Bapak tadi.

"Nggak boleh gitu Nduk, lagian di teras kan dia ngobrol sama Bapakmu, bukan berduaan sama kamu," jawab ibu dengan bijaknya.

Akhirnya aku keluar membawakan Alan kopi, membawa satu cangkir untukku juga. Aku nggak tau dia bisa minum kopi apa tidak, aku hanya terbiasa di rumah selalu membuatkan kopi untuk Bapak dan tiga kakakku yang semuanya laki - laki. Kebiasaan itu juga yang membuatku lebih suka minum kopi dari pada teh.

Alan terlihat akrab dengan Bapak, aku hanya mendengarkan mereka bertiga berbicara dan menunggu Alan pamit pulang.

"Besok ke Jombang jam berapa Pak?" tanya Alan kepada Bapak.

"Nggak tau Dina ini, bilangnya malam sepulang dia kerja. Besok masuk kerja siang katanya," jawab Bapak.

Alan melirik padaku, dia mungkin merasa aku bohongi karena aku tadi bilang ke dia kalau besok aku libur. Tapi Alan tetap santai dan bersikap biasa.

"Sudah dapat mobil sewaannya Din buat besok?" sekarang Alan bertanya padaku.

"Belum Mas, besok siang aja aku carinya, kan berangkatnya juga malam," jawabku sambil menyeruput kopiku yang mulai dingin.

"Siapa yang bawa mobilnya? sewa sopir juga?"

"Dina Mas," jawabku dingin.

"Saya antar aja ya Pak ke Jombangnya besok?" Alan menawarkan kebaikan hatinya mengantarkan kami ke kampung Bapak.

"Boleh aja kalau nak Alan nggak sibuk, kebetulan Ari besok nggak bisa nganter makanya Dina sewa kendaraan, mobilnya Ari dibawa dia ke Malang sampai Minggu" jawab Bapak ringan. Aku hanya melongo, bapak begitu welcome sama Alan.

"Malam saya nggak ada kesibukan Pak, lusa juga saya libur."

Akhirnya disepakati kalau besok Alan akan datang jam 9 malam untuk mengantar Bapak ke Jombang.

Obrolan ringan masih berlanjut, Aku lihat Alan seperti menyimpan kegelisahan, dia juga beberapa kali menyentuh dahinya seperti gerakan memijat. Mungkin kepalanya sakit karena minum kopi atau mungkin sedang kelelahan.

Alan menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke sofa dan memejamkan mata. Aku mengamatinya diam - diam, ingin menanyakan apa yang terjadi, tapi takut mengganggu karena dia sedang memejamkan mata. Perasaanku sangat tidak enak.

Bulu kudukku meremang mendengar suara - suara tidak jelas yang diucapkan Alan. Apakah dia sedang mengigau? Dia tidak terlihat seperti tidur, tapi lebih seperti sedang tertekan oleh sesuatu yang menguasai dirinya.

Kali ini lantunan tembang Jawa berbahasa daerah Banyuwangi yang samar - samar terdengar. Aku, Bapak dan Kakakku terkesiap mendengarnya. Bapak segera menyadari sesuatu yang terjadi pada Alan.

"Nduk, ambilkan segelas air putih ya!" perintah Bapak padaku.

"Iya Pak". Aku bingung tapi tidak bertanya. Aku pergi mengambil minuman yang diminta Bapak.

Bapak memejamkan mata dan membaca doa sambil memegang gelas minum itu, memercikkan airnya sedikit ke wajah Alan setelahnya.

Alan membuka mata dengan bingung, minta maaf karena tertidur sewaktu bertamu. Tapi dari raut wajahnya dia menyimpan sesuatu. Dia buru - buru pamit pulang.

"Alan kenapa Pak?"

"Kesurupan Nduk".

"Penyebabnya apa Pak?"

"Bapak juga nggak tau, banyak faktor yang bisa membuat orang seperti itu, apa kamu kenal dekat dengannya?" tanya Bapak tiba - tiba.

"Cuma teman biasa Pak, baru kali ini juga dia nganter Dina pulang. Tapi dia berusaha mendekati Dina".

"Dia menyukaimu Nduk dan sepertinya dia laki - laki yang baik".

Aku terperangah mendengar ucapan Bapak, begitu juga Mas Ari. Begitu cepat Bapak tertarik dengan Alan. Sedangkan aku sama sekali tidak menyukainya. Mas Ari memasang wajah masam mendengar ucapan Bapak.

Setidaknya aku punya satu pendukung untuk menolak Alan.

***

ch 2

Perjalanan ke Jombang terasa membosankan. Aku tidak jadi menyewa mobil karena Alan berbaik  hati mengantarkan kami dengan mobilnya. 

Sebenarnya aku lebih suka nyetir sendiri dan bisa bercerita bebas dengan kedua orang tuaku, tapi sekarang orang tuaku malah asyik ngobrol sama Alan di mobil, sementara aku hanya diam mendengarkan, tidak ada niat untuk ikut campur.

Hampir jam dua belas malam ketika kami sampai di rumah Paklek Budiono, adik Bapak. Aku langsung ke kamar yang disediakan untuk istirahat bersama ibu. Sementara Alan dan Bapak ngobrol di ruang tamu sama Paklek. Sayup - sayup suara obrolan mereka terdengar karena kamar ini memang dekat dengan ruang tamu.

"Alan itu umurnya berapa Nduk? kelihatannya sudah matang ya?" tanya ibu.

"Dina nggak tau Bu, Dina juga kan baru kenal sama Alan."

"Ibu suka sama Alan, dia dewasa, sopan dan menyenangkan. Kelihatannya dia juga sudah cukup mapan untuk menikah. Ibu harap kamu nggak menolaknya Nduk, umurmu sudah mau 29 tahun."

"Tapi Dina nggak suka sama Alan Bu, lagian ini terlalu cepat, Dina belum begitu mengenal Alan."

"Setelah menikah semua orang akan adaptasi dan kenalan lagi dengan pasangannya walaupun sudah bertahun - tahun pacaran. Jadi pacaran lama juga nggak ada untungnya, semua yang ditunjukkan pada saat pacaran itu semu. Setelah menikah baru tau kenyataan dan sifat asli pasangan, bukan jaminan pernikahan yang bahagia karena sudah sangat mengenal pasangannya sebelumnya," Ibu menjelaskan dengan bijak.

Aku tidak mau berdebat dengan ibu, jadi aku memilih diam dan bersiap tidur. 

Dari ruang tamu aku mendengar obrolan Bapak dan Alan seputar kejadian yang dialami Alan kemarin. Dia bercerita bahwa tubuhnya kadang tidak terkendali ketika berdekatan dengan seseorang yang punya kelebihan seperti Bapak. 

Diapun mengatakan bahwa dia mendapatkan firasat bahwa aku akan membawanya pada kesembuhan. Aku tidak memahami pembicaraan yang hanya aku dengar sebagian itu karena selanjutnya aku terlelap dalam tidurku hingga pagi menjelang.

***

Paginya aku dan keluarga diantar ke rumah Kyai Husni sesuai permintaan Bapak. Aku tidak banyak bertanya, mungkin Bapak berniat membantu Alan dengan membawanya ke Mbah Kyai tersebut. 

Kyai Husni sudah sangat tua, beliau pun tidak banyak bicara seolah - olah tau apa maksud kedatangan tamunya.

Seorang pemuda membantu Kyai Husni membawakan minyak dalam piring - piring kecil. Aku tidak tau apa itu, kami sekeluarga hanya menuruti perintah untuk meminum minyak tersebut. 

Aku lihat bapak mengusapkan sisa - sisa minyak ke lengan dan rambutnya. Jelas sekali bapak tidak mau membuang minyak tersebut sedikitpun. Dan kami semua mengikuti apa yang Bapak lakukan.

Keluar dari rumah Kyai Husni kami melanjutkan perjalanan lagi mengunjungi saudara Bapak yang lain. Kali ini ke saudara yang belum pernah aku tau sebelumnya, Bapak bilang saudara dari adik kakek buyutku. Pakde Karman namanya.

Rumahnya megah dan cukup ramai, bahkan ada tukang parkir yang mengatur kendaraan datang. Aku bertanya apa saudara Bapak ini pejabat atau orang penting, karena tamunya banyak sekali. 

"Bukan pejabat Nduk, pakdemu ini paranormal yang sudah punya nama," jawab Bapak santai.

"Trus kita ke sini ngapain Pak?" aku bertanya curiga.

"Silaturahmi, sejak menikah dengan Ibumu, Bapak tidak pernah lagi bertemu Pakdemu."

Aku tidak bertanya lagi, hanya mengikuti Bapak menemui pakde. Sambutan yang luar biasa ramah dari Pakde, jamuan makan yang cukup mewah disajikan sambil menunggu pakde yang sibuk menangani tamu - tamunya.

Setelah selesai makan aku pergi ke samping rumah, duduk di taman dengan kolam ikan kecil dan patung buaya di tengahnya. Semilir angin membuatku mengantuk dan terlelap beberapa saat di sofa itu. 

Laki - laki itu besar sekali dan berwajah kaku menyeramkan, pakaian hitam dengan ikat kepala warna senada mengingatkan aku pada seorang pendekar di film laga yang pernah kutonton. 

Badanku terasa tegang dan tidak bisa bergerak, terhipnotis matanya yang liar menatapku, bahkan sekarang dia mendatangiku. Tangannya yang besar mengambil daguku dan mencium bibirku dengan bernafsu. Aku berusaha memberontak tapi tidak ada yang terjadi, aku seperti tersihir dan diam menikmati cumbuan itu.

"Din, jangan tidur di sini!" Aku mendengar suara Alan dari jauh. Bahuku seperti diguncang seseorang, "Din, bangun," Alan memanggilku lagi, kali ini terasa lebih dekat. Tiba - tiba aku bisa membuka mataku dan tersadar dari tidur lelapku. Aku melupakan mimpiku.

Aku dan Alan kembali ke ruangan tempat keluargaku berkumpul, ternyata Pakde sudah bergabung dan sedang mengobrol seru dengan Bapak. 

Pakde badannya kurus dan tampak pucat seperti orang sakit, tapi dari suara bicaranya menunjukkan kalau beliau sangat sehat. Tatapan matanya dalam dan cukup menusuk, ada sesuatu yang membuatku merasa lemah ketika dia menatapku. Aku takut.

"Senang sekali kamu datang mengunjungi Pakdemu ini, seperti mimpi kejatuhan bulan," kata pakde sembari tersenyum menatapku. Senyum ganjil yang lebih mirip seperti seringai.

Aku mengangguk, "terima kasih Pakde, maaf sudah mengganggu waktu pakde".

"Kamu bisa minta tolong pakde jika kamu punya kesulitan. Kata Bapakmu kamu belum menikah, kamu mau suami yang bagaimana Nduk, yang tampan, yang kaya? Sebutkan saja siapa orangnya Pakde akan mewujudkan keinginanmu!"

Aku tidak menjawab, hanya tersenyum kaku.  Alan melirikku tajam.

Setelah satu jam mengobrol dengan Pakde akhirnya kami pamit pulang. Pakde juga sudah ditunggu tamu - tamunya.

Sebelum pulang aku minta ijin ke kamar mandi sebentar, dengan diantar pembantu. Bau kemenyan begitu pekat di ruangan yang aku lewati, ternyata ruangan itu untuk meletakkan sesaji. 

Aku terkejut melihat besarnya sesaji yang digelar di ruangan itu. Meja seukuran tempat tidur king size penuh dengan hidangan makanan, minuman, buah, tumpeng dan yang paling mengejutkan dua kepala sapi di sebelah kiri dan kanan nasi tumpengnya. Asap mengepul dari kemenyan yang dibakar di antara hidangan - hidangan itu. 

Aku berjalan cepat menuju mobil setelah dari kamar mandi, ekor mataku menangkap sosok hitam laki - laki dalam mimpiku tadi menyeringai dari ruang sesaji. Jantungku berdegup kencang karena rasa takut, namun ketika aku sengaja melirik kearah ruangan itu tidak ada siapapun di sana. Kepalaku mendadak terasa berat. 

Alan melajukan mobil perlahan sambil menikmati sore, kami hanya akan mengantar bapak dan ibu ke rumah Bulek Siti. Mereka akan menginap di sana malam ini.

"Kepalaku pusing sekali" Alan mengeluh padaku.

"Mau gantian aku aja yang bawa mobilnya? Mungkin kamu kecapekan," jawabku.

"Sebentar lagi sampai kan? Nanti aku istirahat di rumah bulekmu aja dulu sebelum kita balik ke Surabaya," Alan menyahut dengan wajah pucat seperti menahan rasa sakit.

"Oke". Aku setuju saja. "Alan..." teriakku karena dia mengerem mendadak ketika mobil akan melewati jembatan.

Kepala Alan menyandar menengadah dengan mata melotot, tangannya masih memegang setir. Aku segera memasang hand rem. "Pak, Alan kenapa pak?"

Alan tiba - tiba mengeluarkan suara erangan tidak jelas, tubuhnya mulai tegang dengan mata yang masih melotot keatas.

"Turun semua dari mobil!" perintah Bapak.

Alan kerasukan lagi.

***

Terpopuler