SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
THE KILLER Series

THE KILLER Series

PROLOG

Aaron Bradley, seorang pekerja konstruksi di Kota New York, mendapati keluarganya mati terbunuh saat ia kembali dari bekerja. Tidak hanya sampai disitu, ia juga tertangkap tangan sedanv memegang sebuah pistol yang menjadi senjata pembunuhnya.

Ia harus membuktikan dirinya tidak bersalah dengan mencari pembunuh sebenarnya. Selain itu, dendam di hatinya yang begitu besar membawanya pada liku liku kejahatan di Kota New York. Kehidupannya yang bahagia berubah 180 derajat karena ia sudah kehilangan semuanya.

Kisah ini mengandung adegan kekerasan dan action. Apakah ia bisa menemukan pembunuh sebenarnya? Hanya waktu yang akan menjawabnya.

Mohon doanya karena ini novel pertamaku, mudah mudahan bisa semakin lancar menulis. Mohon maaf sebelumnya kalau misalkan ada typo atau lama up, maklum masih pemula, jadi banyak yang dipikirin.

Salam,

PimCherry

*****

Suara bising Kota New York akibat lalu lalang kendaraan tidak ada apa apanya jika dibandingkan dengan suara yang timbul akibat mesin potong dan mesin las yang saat ini sedanh dijalankan oleh Aaron.

Aaron Bradley, seorang pekerja konstruksi di sebuah bangunan yang nantinya akan dijadikan sebuah perkantoran. Ia sudah bekerja disana sejak beberapa tahun yang lalu, ketika ia kehilangan pekerjaannya di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang keuangan dan perbankan.

Panasnya mentari tidak menyurutkan semangat Aaron. Dengan peluh yang mengalir di keningnya, ia terus bekerja.

"Aaron, istirahatlah dulu, sudah jam makan siang." teriak Peter, sang supervisor.

Aaron hanya tersenyum memandangnya sambil membentuk bulatan dengan ibu jari dan jari telunjuknya.

Peter Harada, adalah seorang pria berkebangsaan Amerika yang memilikj darah keturunan Jepang. Ia adalah teman Aaron saat mereka masih sama sama di bangku Sekolah Menengah Atas.

Saat Aaron kehilangan pekerjaannya dan ia kesulitan menemukan pekerjaan baru, Peter lah yang menawarkan pekerjaan di bidang konstruksi.

Meskipun tidak sesuai dengan bidang pendidikannya, Aaron menyetujuinya, karena ia sudah memiliki keluarga yang harus dinafkahi.

Pemecatan yang tiba tiba sempat membuat dirinya depresi. Ia harus berobat ke dokter dan meminum obat penenang agar bisa tidur. Padahal saat itu dirinya baru saja bahagia karena istrinya, Mia Adams, baru saja melahirkan.

Namun, dengan perhatian dan kasih sayang serta dorongan moral dari sang istri, Aaron mampu bangkit kembali. Saat ini putri kecilnya, Katie Bradley, sudah berusia 2 tahun.

Aaron akhirnya menghentikan pekerjaannya dan mencuci tangannya. Lalu ia menuju loker pekerja yang berada di atas gudang material. Disana ia mengambil kotak bekalnya.

Setiap hari, Mia pasti akan menyiapkan sekotak bekal untuknya. Selain terjamin kebersihannya, Mia yakin Aaron jadi tak akan melewatkan makan siangnya.

Duduk di lantai balkon depan ruang pekerja, Aaron duduk sambil memegang kotak bekalnya. Tak ada yang istimewa pada bekal yang dibawanya tapi melihat ketulusan yang dicurahkan oleh Mia untuk menyiapkan bekal tersebut, membuat makanan terasa sangat nikmat dan istimewa.

Bel kembali berbunyi, menjadi tanda bahwa jam istirahat sudah selesai. Aaron kembali membungkus kotak makannya dengan tas kecil dan dimasukkan ke dalam tas ranselnya. Ia pun kembali bekerja hingga saatnya pulang nanti.

*****

Seperti biasa, Mia selalu menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangga dan mengurus putri kecilnya. Aaron akan pulang pukul 5 sore dari proyek dan sampai di rumah sekitar pukul 6. Mia memandikan Katie, kemudian meletakkan putri kecilnya di ruang tamu dengan mainan mainannya.

Sementara itu, Mia menyiapkan makan malam, sehingga saat Aaron pulang nanti, makan malam sudah siap.

Rumah mereka tidak terlalu besar, Mia dapat mengawasi Katie dengan leluasa, tanpa adanya dinding penghalang. Dulu, mereka tinggal di rumah yang lebih besar dan lebih bagus. Sejak pemecatan yang terjadi, mereka terpaksa menjual rumah itu dan mencari rumah yang lebih kecil.

Sudah hampir pukul setengah 7 malam, tapi Aaron belum juga kembali. Mia merasa kuatir. Namun, perasaan itu menghilang ketika terdengar suara ketukan pintu.

Mia langsung melangkahkan kakinya mendekati pintu. Ia memasang senyum terbaiknya saat membuka pintu. Aaron pun ikut tersenyum, kemudian mendekati istrinya dan mencium keningnya.

"Kamu mandilah dulu, aku akan memanaskan makan malam kita."

Aaron menganggukkan kepalanya. Ia bergegas membersihkan dirinya dan kini ia sudah berada di ruang tamu untuk menggendong putri kecilnya, Katie.

"Apa yang membuatmu pulang terlambat, sayang?"

"Ada kebakaran di persimpangan depan. Jalanan sangat macet dan ramai." jawab Aaron

Mereka pun menghabiskan malam bersama dengan kehangatan sebuah keluarga.

*****

Pagi ini, seperti biasanya Aaron tengah menikmati setangkup roti dan secangkir kopi.

"Sayang, aku berangkat ya."

"Ya sayang, hati hati." Mia menghampiri Aaron dan menciumnya sambil menggendong Katie. Aaron juga memberikan ciuman kepada Katie, "Daddy berangkat dulu sayang."

Jalanan Kota New York memang selalu padat. Melihat orang orang pergi bekerja dengan menggunakan setelan kemeja dan jas, membuat Aaron rindu akan masa masa seperti dulu. Mungkin kalau keadaannya masih sama, ia bisa memberikan kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya.

Kemacetan kembali mewarnai Kota New York, debu dan polusi pun tak pernah ketinggalan. Setelah melakukan perjalanan sekitar hampir 1 jam, Aaron pun sampai di lokasi konstruksi tempatnya bekerja.

"Aaron, cepat sekali kamu datang?" tanya Peter

Aaron hanya menjawab dengan senyuman. Aaron memang tidak terlalu banyak bicara, apalagi sejak 2 tahun belakangan ini, ia lebih banyak bekerja.

Peter sebagai supervisor ternyata datang lebih pagi karena ia sudah memiliki janji dengan manager proyek. Meeting dilakukan dengan tertutup. Setelah selesai, semua pekerja dikumpulkan karena akan ada pemgumuman untuk mereka.

"Teman teman semua, saya baru saja menyelesaikan pertemuan dengan Mr. Alan. Oleh karena ada beberapa hal penting yang harus kita lakukan, maka untuk beberapa hari ke depan, kita mengharuskan lembur hingga jam 8 malam."

Suara riuh para pekerja membuat suasana menjadi ramai.

"Tenang, hanya beberapa hari, paling lama 1 minggu. Kami juga akan membayar uang lembur kalian asalkan kalian bekerja dengan lebih giat dan mampu mencapai target yang kami tetapkan."

Karena mereka mendapatkan tambahan pendapatan, mereka pun akhirnya tidak banyak menentang. Mereka kembali bekerja agar pekerjaan itu cepat selesai.

Peter menghampiri Aaron, "Sebaiknya kamu menghubungi Mia, agar ia tidak kuatir."

"Baiklah, terima kasih."

Aaron meraih ponsel yang ada di dalam saku celananya, menekan beberapa tombol, lalu

"Halo."

"Sayang."

"Hmmm, ada apa sayang?" tanya Mia

"Malam ini aku akan pulang terlambat. Kamu makan saja lebih dulu." ucap Aaron

"Baiklah, pulangnya hati hati sayang. I love you"

"I love you too."

Aaron memutuskan sambungan ponselnya dan kembali memasukkannya ke dalam saku. Ia kembali bekerja.

Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam, para pekerja perlahan mulai beranjak pulang, tak terkecuali Aaron. Setelah melakukan absen pulang, ia segera melesat pulang ke rumahnya.

Jalanan Kota New York masih sangat ramai, dipadati oleh kendaraan yang lalu lalang. Tiba tiba seorang laki laki berlari ke arahnya dan di belakangnya terlihat seorang wanita yang berteriak 'copet'.

Tanpa pikir panjang, Aaron menghalangi laki laki itu, yang pada akhirnya malah terlibat perkelahian dengannya.

Aaron sudah sampai di ujung gang area rumahnya. Perkelahian tadi memakan waktu hingga 30 menit, membuat Aaron semakin terlambat sampai di rumah.

Aaron melihat lampu rumahnya masih menyala dengan terang dan pintu depan terbuka.

"Apa yang terjadi?" pikirnya

Ia bergegas masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, ia menemukan istrinya tergeletak dengan tangan bersimbah darah. Sebuah pistol berada di sampingnya.

Aaron mengecek nadi milik Mia, dan ia sudah tidak merasakannya lagi. Tubuh Mia masih hangat, yang artinya kejadian ini berlangsung belum terlalu lama. Kalau saja ia tidak membuang waktu berkelahi, mungkin peristiwa ini tidak akan terjadi.

Aaron memegang pistol tersebut dan meletakkannya di tempat lain. Ia masih memeluk tubuh Mia dan air matanya turun. Tiba tiba ia mendengar suara tangisan dari arah kamar tidur,

"Katie?"

*****

SAKSI SAKSI

"Katie?"

Aaron meletakkan jasad istrinya dengan perlahan, kemudian menuju ke kamar. Disana ia melihat sebuah kertas dengan gambar wajah tertawa dan sebuah alat perekam yang memutar suara tangisan bayi.

Aaron menengok ke tempat tidur anaknya yang berada di samping tempat tidurnya.

"Aarggghhhhhhhh!!!!!" suara pekikan membahana di seluruh rumah.

Aaron terjatuh di samping tempat tidur anaknya, air matanya kembali tumpah. Penyesalan datang bertubi tubi di dalam hatinya.

Mengapa? kenapa? Kalau saja.

Aaron kembali berjalan ke ruang tamu. Ia mengambil pistol yang dijadikan senjata dan memperhatikan dengan seksama.

Tiba tiba terdengar suara sirene di depan rumahnya. Beberapa orang polisi menerobos masuk. Mereka melihat Aaron sedang memegang pistol dengan posisi jasad Mia di dekatnya. Ada seorang polisi yang mengecek ke dalam kamar, kemudian keluar dan memberi tanda pada rekannya.

"Tuan Aaron, anda ditangkap karena telah melakukan pembunuhan. Letakkan senjata anda dan angkat tangan ke belakang kepala."

Aaron tidak bisa mengelak dan bahkan ia tidak banyak bicara. Ia melakukan seperti apa yang diperintahkan. Seorang polisi kemudian memborgol tangan Aaron.

"Anda berhak didampingi oleh pengacara."

*****

Dengan didampingi oleh 2 orang polisi, Aaron menghadiri pemakaman istri dan anaknya. Sungguh, ini pukulan yang sangat berat bagi Aaron.

Kedua tangan yang diborgol menjadi santapan pemandangan bagi para tamu yang hadir. Mereka bergunjing tentang kematian keluarganya. Ingin sekali Aaron berteriak pada mereka bahkan pada dunia bahwa ia tidak melakukannya. Namun, semua bukti bukti mengarah kepadanya.

Sahabat sekaligus atasannya di tempat konstruksi, Peter Harada, turut hadir dalam prosesi pemakaman tersebut. Ia ingin menghampiri Aaron, tapi dengan pengawalan polisi, rasanya tidak mungkin.

Aaron tidak bisa berlama lama disana karena ia memang bukan orang bebas saat ini. Sebelum prosesi pemakaman selesai, kedua polisi yang mengawal Aaron membawanya kembali ke kantor polisi, untuk menunggu proses penyelidikan.

Aaron menghempaskan tubuhnya ke lantai yang dingin di dalam sel di kantor polisi tersebut. Dalam satu sel itu ada beberapa orang bersamanya. Mereka ditahan karena kasus pencurian, pemukulan, bahkan narkoba.

Pikiran Aaron berkelana kemana mana, mulai dari siapa yang membunuh keluarganya, hingga ia berpikir berencana untuk kabur dari sana jika ada kesempatan.

Ia berencana kabur bukan karena ia ingin bebas, tapi karena ia memang tidak bersalah dan ingin mencari pelaku pembunuhan yang sebenarnya. Ia mengepalkan tangannya hingga buku buku jarinya memutih. Amarah, kekesalan dan demdam kini sudah memenuhi hatinya.

*****

"Peter, tolong aku," ucap Aaron memohon.

Peter mengunjunginya di kantor polisi. Memang sampai pengadilan memutuskan hukuman untuknya, sementara ia ditempatkan di sana.

"Aku ingin menolongmu, tapi apa yang bisa aku lakukan?"

"Aku juga tidak tahu, tapi aku merasa ada kejanggalan."

"Maksudmu?"

"Polisi tiba tiba datang, padahal aku belum menelepon dan itu belum sampai 10 menit setelah aku tiba di rumah."

"Aku akan mencari seorang pengacara untuk membantumu melewati kasus ini."

"Terima kasih, Peter."

"It's okay. Kamu temanku, sudah seharusnya aku membantumu."

Setelah itu, Aaron menceritakan kejadian yang menimpanya hari itu, mulai dari saat ia pulang bekerja.

Peter mendengarkan dengan seksama, mencoba membantu Aaron dengan pemikiran pemikirannya.

*****

Aaron dibawa masuk ke dalam suatu ruangan, ya pengadilan. Kedua tangannya diborgol. Ia masuk ke dalam ruangan tersebut, dan setiap mata melihatnya dengan pandangan yang sinis.

Peter pun hadir disana, memberikan dirinya dukungan untuk melewati ini semua. Kini Aaron duduk di samping pengacaranya, Elbert. Ia masih muda, tapi pemikirannya luar biasa.

Hari ini para hakim akan mendengarkan penjelasan dari jaksa penuntut. Jaksa menceritakan kejadian yang terjadi malam itu, menurut verainya sendiri.

Ingin sekali Aaron membantahnya, tapi Elbert menahan tangannya. Elbert mengerti perasaan Aaron, dan ia meminta Aaron agar tenang karena jika Aaron membuat keributan, sidang kali ini justru akan semakin memberatkan Aaron.

Kini, Aaron duduk di sebuah kursi di hadapan para hakim. Ia diminta untuk menceritakan kejadian malam itu.

"Hari itu, saya harus bekerja lembur di tempat kerja. Sekitar jam 8 saya pulang, tapi di tengah jalan, saya melihat seorang wanita sedang mengejar seorang pencopet. Lalu, saya membantu menangkap pencopet itu."

"Keberatan Yang Mulia. Saat kami mengecek CCTV di jalan yang dilalui terdakwa untuk pulang, kami melihat bahwa memang ada seorang wanita dan seorang laki laki sedang berkejaran.

Mereka adalah sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Saat sang lelaki berlari, tak sengaja tas wanita itu terbawa, sehingga si wanita ikut mengejarnya."

"Tapi Yang Mulia, aku ... ," ucap Aaron terpotong.

"Lanjutkan."

"Seharusnya saya sampai di rumah sekitar pukul 9, tapi karena terlibat perkelahian, akhirnya saya terlambat sekitar 30 menit. Saat saya sampai di rumah .... ," Aaron terdiam, ia kembali teringat bagaimana kondisi istri dan anaknya saat ia melihat mereka, ia tak mampu menahan perasaannya, sehingga ada buliran air jatuh di sudut matanya.

Aaron tidak mampu melanjutkan perkataannya, ia hanya menunduk. Kegeraman kembali merasuk ke dalam dirinya.

"Aku bukan seorang pembunuh!" pekiknya.

"Tenang dulu Tuan Aaron," ucap Sang Hakim.

Aaron yang tadinya berdiri akhirnya kembali duduk dan Jaksa Penuntut kembali mengajukan pertanyaan.

"Apakah pistol ini adalah milikmu?" tanya Sang Jaksa sambil memperlihatkan sebuah kantong transparan dengan sebuah pistol berwarna hitam di dalamnya.

"Tentu saja bukan. Sudah kukatakan bahwa aku bukan seorang pembunuh," ujar Aaron.

"Sidik jarimu ditemukan pada senjata ini. Senjata yang menjadi alat pembunuh istri dan anakmu."

"Apa aku sudah gila membunuh istri dan anakku sendiri?"

"Kami tidak tahu. Nanti para saksi yang akan menjelaskan." ucap sang jaksa penuntut

"Saksi?" tanya Aaron keheranan, karena saat kejadian dia hanya seorang diri.

Setelah jaksa penuntut umum dan Elbert, sang pengacara, mengajukan beberapa pertanyaan pada Aaron, sidang diistirahatkan selama 30 menit. Aaron kembali dibawa ke suatu ruangan, ditemani oleh pengacaranya.

"Aku tak mengerti, siapa saksi yang mereka maksudkan," ujar Aaron.

"Aku juga belum tahu. Kalau dari pihak kita, hanya Peter lah yang menjadi saksi."

"Aku semakin tidak mengerti."

Elbert menemani Aaron sampai tiba waktu istirahat selesai. Kini mereka harus kembalu masuk ke dalam ruang sidang.

Kali ini adalah giliran para saksi. Peter menjadi saksi pertama yang maju. Ia menjelaskan pada hakim dan seluruh yang hadir bahwa memang benar Aaron bekerja di proyek konstruksi yang ia awasi. Ia juga membuktikan dengan membawa absen yang diisi oleh Aaron di hari kejadian. Selain itu, bukti CCTV di proyek juga membuktikan kepulangan Aaron di jam yang sesuai dengan kesaksiannya.

Setelah itu, giliran saksi saksi dari pihak jaksa penuntut. Saksi pertama adalah pria dan wanita yang ada di jalanan dan terlibat perkelahian dengannya.

"Bukan, dia bukan pencopet. Dia adalah kekasih saya. Kami hanya sedang bermain kejar kejaran. Tapi ntah mengapa tiba tiba laki laki disana langsung menghajar kekasih saya."

Deghhh .....

Jantung Aaron serasa mau lepas mendengarnya. Kesaksian mereka bukan meringankannya, malah justru memberatkannya.

"Anda bisa dengan Yang mulia, bahwa Tuan Aaron memiliki perangai yang cukup keras. Ia bisa memukul seseorang tanpa bertanya. Kiranya itu bisa menjadi salah satu pertimbangan bagi Yang Mulia."