Petaka Cinta
Tania Anastasya adalah seorang gadis yatim piatu berumur dua puluh tiga tahun.
Orang tuanya meninggal saat ia masih berumur dua belas tahun. Ia hanya mempunyai seorang Tante yang sangat menyayanginya namun tinggal jauh berbeda kota.
Orang tua Tania meninggalkan sebuah perusahaan yang kini dipimpin oleh suami Tantenya. Dari situlah Tania bisa mendapatkan kehidupan yang mewah.
Tania mempunyai wajah yang sangat cantik. Berkulit halus, bertubuh tinggi dan langsing. Sifatnya sangat baik dan periang.
Namun, dalam hal percintaan, Tania kurang beruntung. Setiap pria yang berpacaran dengannya pasti selalu saja meninggal dengan berbagai kecelakaan tragis. Jika bisa dihitung, sudah empat pria yang meninggal setelah berpacaran dengannya.
Disebut sebagai pembawa sial, tidak ada pria yang mau mendekatinya. Hanya Zayn, seorang pria yang baik dan ramah. Mendekatinya dengan berbagai upaya meski ia sudah menolaknya.
Hingga Tania menyerah dan membiarkan pria itu mendekatinya.
Bagaimana kah kisah selanjutnya?
***
"Mas! Mas Andi, bangun Mas. Jangan tinggalkan aku!"
Tangisan histeris seorang wanita pecah di dalam ruang jenazah. Wanita itu adalah Tania yang baru saja ditinggal pacar pertamanya yang bernama Andi. Diketahui Andi mengalami kecelakaan tragis sore tadi. Mobilnya masuk ke jurang saat menghindari tabrakan dengan mobil lain. Nahas, nyawanya tidak dapat tertolong.
"Bangun, Mas. Katanya bulan depan kamu mau melamar aku. Dan sebulan setelahnya kita akan menikah. Bangun, Mas. Tepati janjimu!" Tania mengguncang tubuh Andi yang sudah sudah kaku itu. Wajah Andi yang setengah rusak tidak membuat Tania merasa takut. Rasa kehilangannya mengalahkan rasa takutnya.
Terdengar pintu terbuka disertai Isak tangis dari beberapa orang.
"Andi!!! Andi anakku!!! Kenapa bisa begini, Nak! Bangunlah, Nak!" Seorang wanita separuh baya yang merupakan ibu Andi menangis histeris. Terlebih saat ia melihat wajah Andi yang hampir tidak dapat dikenali.
"Andi, kenapa secepat ini kamu pergi, Nak. Padahal bulan depan kamu akan papa angkat jadi direktur utama di perusahaan kita. Kenapa kamu malah pergi!" Seorang pria separuh baya menangis tak karuan. Ia sampai memukul-mukul tembok ruangan itu sambil terus menangis meronta-ronta.
"Mas Andi. Jangan tinggalkan kami, Mas." Seorang anak perempuan berusia tujuh tahun tampak memeluk tubuh Andi yang ditutupi kain putih itu. Sang Mama langsung menutup wajah Andi agar putrinya tidak melihat wajah mengerikan Andi.
Tania hanya bisa terdiam dan menangis terisak melihat keluarga Andi, yang sebenarnya akan dikenalkan padanya besok menangis meratapi kepergian Andi yang mendadak ini.
Terdengar suara sahut-sahutan tangisan di dalam ruangan tersebut.
Setelah tangisan mereda, barulah mereka menyadari keberadaan Tania di sana.
"Kamu siapanya Andi, Nak?" tanya ibu Andi.
"Saya Tania, Bu. Saya pacarnya Mas Andi."
"Jadi kamu yang akan dikenalkan pada kami besok?" tanyanya lagi menyakinkan.
Tania mengangguk pelan. Sang ibu langsung memeluknya dan mengusap pelan kepalanya.
"Yang sabar ya, Nak. Mungkin Andi bukan jodoh kamu. Kita semua kehilangan dia."
"Iya, Bu. Tania akan menerima semua ini dengan ikhlas. Tante dan Om juga yang sabar ya. Mari kita doakan semoga Mas Andi tenang disana." Tania mengusap punggung mantan bakal calon mertuanya itu.
Papa dan adik Andi tampak diam saja. Mereka masih berpelukan dan menangis. Sepertinya mereka sangat menyayangi Andi.
****
Tania baru saja sampai rumah. Ia disambut pelukan dari teman-temannya. Yaitu Sima dan Ayu. Mereka saling bertangis-tangisan.
"Udah, Tan, ikhlasin Mas Andi. Gue yakin Lo pasti kuat. Jangan nyerah Tan. Kita ada disini." Ayu berusaha menghibur Tania.
"Iya, gue akan coba ikhlas. Gue yakin Allah lebih sayang sama Mas Andi." Tania menghapus air matanya.
Sima datang membawa air minum. "Minum dulu, Tan." Menyodorkan gelas ke Tania.
Tania mengambil gelas tersebut lalu meminumnya. "Makasih ya, Lo bedua peduli banget sama gue."
"Kita sahabatan, nggak mungkin kita diem aja lihat Lo kayak gini." Ayu mengusap lembut punggung Tania.
Setelah agak tenang, kedua teman Tania pun pamit karena hari sudah malam. Kini Tania duduk termenung di atas sofa ruang tamu itu. Ia kembali mengingat saat-saat ia bersama Andi. Kenangan manis yang terus melekat diingatannya.
"Tania!" Suara seorang wanita terdengar dari arah pintu utama.
"Tante!" Tania berdiri lalu berlari menghampiri tantenya. Ia kembali menangis saat sang Tante memeluknya.
"Sayang, kamu yang kuat ya. Ini semua ujian buat kamu." Arum yang merupakan Tante Tania mencoba menenangkan Tania.
"Iya, Tante."
"Kapan jenazahnya akan dikubur?" Menghapus air mata Tania dengan tangannya lalu mengusap pelan pipi lembut keponakannya itu.
"Besok, Tante."
"Besok kita datang kesana ya. Tante akan menginap disini sampai kamu tenang."
"Makasih, Tante."
"Kenapa kamu nggak ikut Tante aja sih sayang. Kalau kita tinggal satu rumah, pasti Tante bisa terus mengawasi kamu."
"Maafin Tania, Tante. Tapi Tania nggak bisa. Tania ingin terus tinggal di rumah ini. Rumah Tante akan terus mengingatkan Tania dengan papa dan mama. Tania nggak kuat Tante. Setiap Tania ke rumah itu selalu bayang-bayang kecelakaan orang tua Tania yang muncul. Tante harus ngertiin Tania."
"Tante tau sayang, tapi kalau kayak gini Tante nggak akan bisa tenang. Ya, seenggaknya kamu tinggal satu kota sama Tante, sayang. Jadi Tante bisa memantau kamu terus. Dan juga, kapan kamu akan mulai memimpin perusahaan papa kamu, om sudah semakin tua. Dia butuh kamu untuk menjalankan perusahaan."
"Tania nggak mau, Tante. Biar Om aja yang memimpin perusahaan papa. Tania nggak mau bikin perusahaan papa kacau karena Tania."
"Jangan begitu sayang, kamu harus bisa. Itu perusahaan papa kamu. Kamu lah yang harusnya menjadi pemimpin."
"Tante, udah. Tania capek selalu itu yang Tante bahas setia kesini. Tania lagi berduka, Tante. Tolong jangan bikin Tania tambah sedih lagi."
"Iya sayang, iya. Tante nggak akan bahas itu lagi. Sekarang kamu istirahat. Jangan terus meratapi ya, sayang." Arum mencium kening Tania lalu membiarkannya pergi ke kamar.
Sepeninggal Tania, Arum terus menatapnya dengan penuh prihatin. Air matanya kembali menetes saat mengigat nasib Tania yang menjadi yatim piatu saat usianya masih belia. Memilih hidup sendiri agar tidak terus meratapi dirinya. Tania yang malang.
Waktu terus berlalu hingga akhirnya luka kehilangan Andi pun sudah mulai tertutup. Tania sudah bisa menerima kepergian Andi. Sang Tante juga selalu datang setiap seminggu sekali demi memantau keadaannya hingga akhirnya kini ia sudah ceria kembali.
"Tan, udah lima bulan nih elo ngejomblo. Gue ada kenalan cowok tajir banget. Ganteng lagi." Ayu yang sedang makan siang bersama Tania di sebuah cafe berceletuk.
"Ah, males gue. Masih takut."
"Yaelah, elo gimana sih. Mana mungkin cowok selanjutnya bakalan mati. Lagian dia kakak sepupu gue. Selalu hati-hati kalau melakukan apapun."
"Bukan itu, Yu. Gue cuma takut aja menjalin cinta sama orang lain lagi. Ya gue juga takut kalau nggak cocok. Ntar kalau putus, kan persahabatan gue sama Lo jadi berasa ada yang janggal."
"Alah, elo terlalu pesimis. Optimis dong Tan. Kakak sepupu gue itu orangnya baik banget. Dia itu manager lho. Emm sebenarnya udah sejak lama dia nanyain tentang Lo ke gue. Karena dulu Lo masih berkabung ya gue nggak mau lah. Tapi sekarang 'kan Lo udah baikan, Tan. Ayolah, kenalan aja dulu. Kalau nggak cocok, ya udah, gampang 'kan?" Ayu menatap Tania dengan penuh permohonan.
"Lo jangan natap gue kayak gitu dong. Ya udah, gue mau. Tapi kenalan aja ya." Tania menghela nafas pasrah.
"Yess gitu dong. Ini baru namanya sahabat gue."
Setelah itu Ayu memberikan nomor Tania kepada kakak sepupunya.
*****
Tania sudah berada di rumah. Ia merebahkan dirinya ke atas ranjang.
"Benar kata Ayu, kayaknya aku memang harus membuka hati untuk orang lain untuk melengkapi hari-hariku," gumam Tania.
Ting
Sebuah pesan masuk ke ponsel Tania.
Hai, kenalin aku sepupunya Ayu. Namaku Fredi.
Tania melihat foto profil wahtsApp orang yang bernama Fredi itu. Benar yang dikatakan Ayu. Fredi sangat tampan. Ia berpose dengan setelah jas yang membuatnya terlihat sangat gagah. Ia mengetikkan sebuah pesan balasan.
Halo kak, aku Tania. Salam kenal.
Jangan panggil Kak dong. Panggil aja Mas Fredi.
Tania tersenyum melihat isi balasan Fredi.
Oh iya, Mas Fredi. Diikuti emoticon senyum.
Langsung saja Tan, kapan nih kita bisa kopi darat?
Tania menutup mulut saat melihat isi pesan yang berupa ajakan kencan itu.
Gimana kalau besok, Mas. Besok 'kan hari Minggu. Tapi jangan dijemput. Kita ketemuan aja di lokasi.
Oke deh, jam sepuluh di cafe Cemara, ya.
Tania pun membalas dengan tanda jempol diikuti emoticon senyuman.
*****
Keesokan harinya, Tania dan Fredi sudah bertemu di cafe Cemara. Fredi yang duluan sampai, lalu Tania. Ia duduk lalu Fredi menjabat tangannya.
"Hai, aku Fredi."
"Tania." Membalas jabat tangan Fredi.
"Ternyata aslinya lebih cantik dari yang difoto."
Mendengar ucapan Fredi, pipi Tania langsung merah merona. "Mas Fredi bisa aja."
"Kan memang kenyataan begitu. Benar kata Ayu, kamu suka merendah."
"Udah ah, Mas. Ayo pesen makan aja."
Mereka pun memesan makanan. Sambil makan, mereka mengobrol ria. Saling bercerita tentang diri sendiri. Hobi, cita-cita, hingga apa yang mereka sukai.
*****
"Tan, makasih buat hari ini ya. Aku harap ini akan menjadi awal dari pertemuan kita selanjutnya. Dan aku berharap bisa jemput kamu."
Tania hanya tersenyum dan mengangguk pelan.
Setelah puas mengobrol, mereka pun pulang ke rumah masing-masing.
Tania begitu bahagia. Jujur, ia mengakui bahwa Fredi sangatlah tampan. Baik, ramah, dan perhatian.
Ting
Terdengar bunyi pesan. Tadinya ia kira Fredi, namun ternyata Ayu.
Tan, gimana kencan tadi? Mas Fredi baik 'kan?
Cepet amat sih udah nanya-nanya. Kepo banget Lo.
Udah jawab aja, gimana?
Baik banget, Yu. Ganteng lagi, hihihi.
Wah apa gue bilang. Lo pasti suka. Apalagi yang Lo tunggu Tan. Jangan kasih cela. Kalau Mas Fredi ngajak jalan lagi langsung gas.
Kok jadi Lo yang nggak sabaran. Udah ah, bawel banget Lo. Gue mau mandi, jangan chat gue Mulu.
Yaelah, galak amat. Ya udah buruan mandi sana. Mas Fredi nggak suka cewek males mandi. Diikuti emoticon tertawa.
Tania meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia langsung menuju kamar mandi dan membersihkan dirinya.
Selesai mandi, ia bersiap makan malam. Pembantunya yang bernama Bi Erna tengah menyiapkan makanan di atas meja makan.
"Ayo, dimakan, Non."
"Makasih, Bi. Wah kayaknya enak nih." Tania langsung menyerbu makanan yang ada di atas meja makan.
'Kayaknya Non Tania udah lebih ceria sekarang. Syukurlah.' Batin Bi Erna.
Ia masih ingat bagaimana kondisi Tania saat baru kehilangan Andi. Dirinya seperti orang depresi. Sering melamun,menangis, dan tidak nafsu makan. Namun sekarang semua berbeda. Tania tampak baik-baik saja. Ia bahkan sudah ceria kembali seperti saat pertama kali jatuh cinta.
Semoga saja, Fredi adalah jodoh yang dikirim Tuhan untuknya. Semoga maut tidak lagi memisahkan mereka. Semoga saja.