SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Buku Harian Seorang Pembunuh

Buku Harian Seorang Pembunuh

Bab 1 | Buku Harian

...****************...

Dear, diary ... 

Hola! This is actually my first time writing a diary. So, let me introduce myself, namaku Adila Zeeya Vierhalt biasa dipanggil Zeeya. Oh ya, aku punya saudara kembar laki-laki bernama Adika Reega Vierhalt yang biasa dipanggil Reega. Dia lahir lebih dulu daripada aku.

Selama di Tokyo, aku menemukan buku harian ini di toko stasionery terkenal. Karena sangat lucu, jadi aku meminta papaku untuk membelikan satu untukku. Lumayan, buku harian ini bisa jadi wadah curhat mulai dari hari ini sampai nanti tua. He he he ...

Kalian tahu kenapa aku ke Tokyo? Aku baru saja diundang untuk mengikuti kompetisi matematika tingkat Asia. Awalnya aku tidak menyangka bisa ikut kompetisi bergengsi itu, tapi pada akhirnya aku bisa membawa pulang medali emas. Iya, medali emas!

Eh, sudah larut malam, nih. Besok aku harus pergi ke sekolah bersama kembaranku. Tahun ini aku duduk di bangku SMA kelas 10. Have a sweet dream!

^^^-Adila Zeeya Vierhalt-^^^

...****************...

“ree, are you not ready yet? Kok, kamu belum bangun, sih. Aku udah mau berangkat, loh.” Aku berteriak membangunkan Reega menggantikan ayam jantan berkokok.

Reega dengan malasnya melirik jam weker yang menunjukkan angka 05.34 WIB.

“Duh, Zeeya. Bel masuk sekolah jam tujuh, ngapain kamu otw sekarang? Mau membantu tukang renovasi sekolah?” ujarnya sambil menutupi kepala dengan bantal.

“Ya, kan enak berangkat di pagi hari, udaranya masih segar. Ya udah deh, aku berangkat dulu. See ya, Ree!”

Sekolahku dan Reega merupakan sekolah swasta yang kurang terkenal di kota ini. Bahkan, bangunannya baru setengah jadi dan masih dalam tahap renovasi. Alasanku bersekolah di sana, tentu saja karena papa yang mendaftarkan kami secara sepihak tanpa bertanya dulu padaku ataupun Reega.

Anyway, jantung hatiku kini sedang berbunga-bunga. Alasannya Kairo, teman masa kecil sekaligus calon pacarku mengajak untuk dating sore hari nanti. Aku nggak sabar banget, nih. Ha? Kenapa aku menyebutnya calon pacar? Ya, karena aku belum ditembak sama dialah ... Jadi, semoga nanti dia nembak aku supaya aku tidak digantung terus olehnya.

“Morning, Zee!” sapa Hana, teman sekelasku yang baru datang.

“Morning!” balasku sambil membaca ulang soal latihan matematika.

“Lu emang rajin banget, sih! Berangkat pagi buta terus langsung mantengin buku soal.”

“Ya, kan pagi hari suasananya masih sepi, belum ada yang guru yang datang sekaligus aku menghindari razia atribut di gerbang tadi. Ha ha ...”

“Huh, sekolah kita bangunannya aja masih belum jadi, tapi peraturannya seketat tes CPNS,” gerutu Hana.

“By the way, si Nisa belum datang ya? Padahal aku mau minta daftar tugas yang ketinggalan,” ucapku cemas.

“Entah.” Hana mengangkat kedua pundaknya.

“Gua udah catat tugas apa aja buat lu.” Tiba-tiba Hansel, teman sekelasku melempar buku catatannya ke hadapanku. 

“Gantinya kasih gua contekan buat ulangan matematika besok and congratulations ya, Zee! Lu keren bisa juara di Tokyo.” Hansel bergegas pergi keluar menyusul anak-anak lain.

“Cie ... tumben dia peka sama cewek, biasanya mah, cool banget dia. Lu ada hubungan ya?” tanya Hana menggodaku.

“Apaan, sih! Lagian aku sudah punya pacar kok,” jawabku, dalam hati aku menganggapnya pacar meski belum ditembak secara verbal.

.........

Sore ini terasa berbeda bagiku. Detak jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya. Aku berulang kali memastikan penampilanku sempurna. Tas, sepatu, hingga pita rambut yang kupakai tidak berlebihan untuk dating pertama kali, kan?

“Ree, what do you think about my makeup? Menurutmu, Kai bakal suka nggak ya?”

“Suka lah. aku bahkan nggak bisa membayangkan akhirnya si Kairo, anak se-introvert dia bakal punya pacar,” kata Reega sedikit menyengir sambil memainkan HP-nya.

“Maksud kamu, Kai introvert?” aku merapikan pita di rambutku yang kurang rapat.

“Hem ... kayaknya Kairo nggak punya teman lain selain kita. Dia sedari SD kan nempel terus sama kamu. Dasar bucin!”

“Jangan bilang gitu ya, lagian kamu sendiri lebih parah, belum laku jadi cowok! Buktinya, sampai sekarang nggak ada cewek yang dekati kamu selain aku, ya kan?” balasku ketus.

“Udah, deh dandannya. bye, Ree!” pamitku pada Reega.

“Jangan lupa oleh-oleh ya? Kemarin yang dari Tokyo masih kurang. Have Fun!” teriak Reega sambil melambaikan tangan dan masih menatap HP-nya.

“Ye ... aku kan cuma ke alun-alun kota, bukan ke luar negeri.”

Setelah berdiri lama di depan cermin, sopir mengantarku menuju alun-alun kota menemui Kairo. Aku tidak sabar bertemu dengannya.

Sesampainya di alun-alun kota, mataku berusaha mencari lelaki itu. Kairo, dengan hoodie hitam yang kelihatannya masih baru itu tersenyum menyapaku, tampak begitu tampan. Kami berjalan beriringan menikmati suasana senja yang indah. Udara dan cahaya matahari yang mulai redup menambah suasana romantis.

“Eh, ada orang jualan terang bulan mini, beli yuk!” aku lantas memesan jajanan itu.

Kairo tidak menjawab, aku menyodorkan terang bulan mini yang baru matang kepadanya.

“Aku traktir deh, buat kamu. Sebenarnya jarang loh aku beli jajanan pinggir jalan,” ujarku.

Kairo mengambil satu buah terang bulan mini itu, lalu kami duduk di salah satu bangku taman sambil mengobrol ringan.

“Kai, gimana menurutmu? Aku cantik, nggak?” tanyaku membuka pembicaraan.

“Cantik,” jawab Kai datar setelah sekilas melihat wajahku.

Aku lantas menceritakan pengalamanku di Tokyo waktu itu. Aku sangat bahagia bisa bersama Kairo, teman masa kecilku yang akan menjadi pacarku mulai hari ini. Saat memiliki pasangan untuk pertama kalinya akan menjadi momen indah di masa SMA-ku.

Namun, kata-kata yang aku ucapkan seketika berhenti ketika Kairo membuka suara.

“Zeeya, ada yang ingin aku bicarakan,” ujarnya dengan nada serius.

“A-apa? kamu bakalan nembak aku jadi pacar?” tanyaku dengan tersenyum manis.

Jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Aku menatapnya dengan penuh harapan, setelah sekian Kairo akhirnya memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaan cintanya padaku.

“Aku pikir kita berdua cukup lama berteman seperti biasa. Aku, em ... aku tidak ingin hubungan yang lebih jauh selain pertemanan.”

Aku sontak kaget. “Tapi kenapa?”

“Aku hanya tidak ingin membuatmu kecewa kalau suatu saat aku tidak ada di dekatmu.”

“Ayolah, kalau kamu meninggalkanku, aku sanggup menjalani yang namanya ldr. Kenapa kamu berpikir seperti itu, Kai?”

“Aku mungkin akan pergi sampai waktu yang lama.” Kairo berkata lirih.

Aku terdiam sejenak. Momen yang baru saja aku nantikan seakan hancur berkeping-keping. Aku kecewa padanya.

“Apa kamu akan segera pindah ke luar kota, Kai? Sejak masuk SMA, aku menyadari meski kita tidak tinggal satu sekolah lagi seperti dulu, hubungan kita tetap dekat, kan? Setidaknya beri aku cukup alasan, Kai.”

Aku menahan air mata agar tidak menetes di pipiku. Rasanya malu kalau aku menangis sekarang.

“Maaf, Zee ... aku yang tidak sanggup membuatmu kecewa. Aku ingat, waktu kecil saat kita bermain di tepi sungai. Memiliki seorang pacar adalah keinginan yang pernah kamu katakan. Tidak apa-apa kalau orang itu bukan aku. Sekali lagi, maafkan aku ...” Kairo beranjak dari duduknya.

Lalu dia melangkah pergi menuju keramaian orang berlalu-lalang di jalan sekitar alun-alun. Langkahnya begitu cepat, hingga aku tak mampu mengejarnya dengan sepatu hak yang kupakai sekarang. Kairo sudah menghilang di antara orang ramai. Aku masih menahan air mata. Ah, sudahlah. Kairo tahu kalau aku tidak suka berada di tengah keramaian itu, membuatku tidak sanggup untuk mencarinya.

Aku segera menelepon sopir pribadiku untuk menjemputku pulang. Tak lama, mobil yang menjemputku berada di hadapanku. Di dalam mobil tangisanku pecah, hingga aku tak sadar sudah berada di pelukan selimutku yang hangat. Aku tak percaya orang yang kusayangi sedari kecil pergi meninggalkanku tanpa alasan. Kembali mengingat saat di mana aku mengenal sosok Kairo, membuatku terlelap dengan riasanku yang terhapus oleh air mata.

.........

Bab 2 | Kilas Balik Kairo (1)

Zeeya, Reega, dan Kairo telah memiliki ikatan dari sejak sebelum mereka lahir. Ayahnya Kairo adalah sahabat papanya Zeeya dan Reega sejak bangku kuliah. Mereka menjalin ikatan yang begitu erat. Persahabatan mereka bahkan tak terputus hingga kedua telah menjalin rumah tangga masing-masing. Tak sengaja mereka membeli rumah yang berdekatan, pada akhirnya mereka hidup bertetangga. Semakin erat silaturahmi yang telah terjalin antara kedua keluarga itu.

Kairo lahir setahun sebelum kelahiran Si Kembar, Zeeya dan Reega. Dia lahir secara prematur dan sering terserang berbagai penyakit. Zeeya dan Reega, merekalah yang telah menemaninya tumbuh beranjak remaja.

Beberapa tahun yang lalu

“Ini semua apa, Mas?” tanya Rika, ibu Kairo sambil menunjukkan tumpukan tagihan dari bank.

“Aku nggak tau harus bagaimana lagi. Perusahaan yang kubangun sekarang hampir bangkrut,” jawab ayah Kairo sambil mengerutkan alis.

“Lalu bagaimana kita membayar tagihannya?! Besok sudah jatuh tempo, rumah kita bakal disita pihak bank!”

Ayah Kairo terdiam sejenak. “Aku akan meminta bantuan Rizal. Dia sahabatku, pasti dia bisa membantu.”

Ayah Kairo merogoh saku celananya, mencari HP untuk menelepon sahabatnya itu.

“Andaikan kamu terima tawaran kerja sama dengan sahabatmu membangun satu perusahaan besar. Bukan malah buka usaha sendiri, lalu berujung bangkrut!” bentak ibunya Kairo.

“Apa kamu bilang?!” ayah Kairo melempar Hp ke arah istrinya.

Otaknya memanas, dia melontarkan pukulan demi pukulan kepada istrinya. Roda kehidupan tak selalu berputar mulus. Di umur Kairo yang ketiga tahun, dia harus mengalami kejadian yang tak disangka.

Orang tuanya bercerai, ibu Kairo merantau jauh dan tidak mau membawa Kairo untuk ikut bersamanya. Kairo yang harus tinggal berdua dengan ayahnya juga mengalami kekerasan yang setimpal setiap waktu ayahnya mengamuk.

.........

Tak terasa, Kairo, Zeeya, dan Reega telah tumbuh bersama sampai pada suatu waktu di mana mereka kelas tiga SD. Waktu itu, sekolah mereka mengadakan upacara memperingati Hari Kartini yang setelahnya akan disusul beberapa lomba yang memeriahkan acara. Zeeya dan Reega berlari menuju pagar sekolah, mereka diam-diam menyelinap ke barisan paling belakang. Untungnya, mereka tidak ketahuan guru kalau datang di tengah upacara berlangsung.

“Ree, kamu lihat Kai, nggak?” tanya Zeeya sambil celingukan mencari sosok sahabatnya.

“Nggak! Huh ... capek banget!” kata Reega yang masih ngos-ngosan.

Zeeya memandangi anak-anak yang baris di depannya.

“Nah ... itu dia! Kai, sini!” Zeeya memanggil Kairo dengan teriakan kecilnya.

Kairo yang sedang dalam posisi hormat saat bendera dikibarkan, sontak kaget saat Zeeya memanggilnya.

“Apa, Zee?” suara Kairo pelan.

“Sini! Pindah ke belakang.”

Tempat Kairo berdiri berjarak dua baris dari belakang. Dia menatap sekeliling, memastikan tidak ada guru yang memperhatikannya. Sambil membungkukkan badan, Kairo berpindah tempat ke barisan paling belakang secepat kilat.

“Ree, Kai, aku bosan nih upacara berdiri terus,” ucap Zeeya menggerutu.

“Habis ini kan upacaranya selesai, Zee. Lagian kamu datangnya telat, masa baru berdiri bentar sudah capek,” balas Kairo

“Aku barusan dimarahi mama tadi, gara-gara mandinya lama. Malas ah ... hari ini kan tanggal merah, malah disuruh upacara.”

Mereka terdiam sejenak mendengarkan pembina upacara menyampaikan amanat.

“Eh, aku dengar, nanti ada lomba ya?” Reega menghentikan lamunan Zeeya dan Kairo.

“Nggak tau, aku ingin langsung pulang.” Zeeya menjawabnya lesu, “hem ... gimana kalau pulang sekarang?”

“Hah! Pulang sekarang?” Reega terkejut.

“Buruan!!! waktu pembacaan doa kita kabur ya ...” Zeeya memberi aba-aba. “ ... satu ... dua ... tiga!”

Dengan sekuat tenaga Zeeya menarik tangan Reega, berlari melewati pagar yang dari tadi terbuka dan bersembunyi di balik tembok luar sekolah.

“Eh, eh ... tunggu aku!” Kairo bergegas menyusul.

Mereka akhirnya berada di luar sekolah, berjalan sambil riang bernyanyi-nyanyi bertiga. Langkah kaki membawa mereka hingga tak sadar sudah berada di area perkampungan tempat tinggal mereka. Mereka lega karena bisa kabur dari barisan upacara bendera yang membosankan.

“Lihat! Ada toko biru. Kita jajan, yuk!” Reega menunjuk ke sebuah bangunan bercat biru.

“Wah ada es krim!” teriak Zeeya kegirangan.

“Tapi aku nggak ada uang ...” wajah Kairo memelas.

“Tenang, kan ada Reega yang siap mentraktir kapan saja dan di mana saja.” Zeeya menyenggol pundak Reega.

“Huh! Uang jajanku nggak cukup.”

“Ayolah Ree ... masa kamu tega biarin Kai nggak makan es krim.” Zeeya memohon.

“Eh ... kita patungan berdua aja, deh buat beli tiga es krim.”

“Huh! Kirain bakal ditraktir.” Zeeya menyodorkan uang yang dia punya kepada Reega.

Mereka bertiga membeli es krim rasa coklat dan menyantapnya di pinggir jalan. Kairo makan dengan terburu-buru seperti dikejar sesuatu.

“Zeeya, Reega, aku pulang dulu ya. Makasih buat es krimnya. Dadah!” Kairo pamit pulang meninggalkan Si Kembar.

“Dadah Kai ...” balas Zeeya.

“... Ree, aku masih bosan. Kalau pulang sekarang, mama bakal tahu kalau kita bolos sekolah,” kata Zeeya sambil menghabiskan es krimnya.

“Mampir ke rumah nenek dulu saja, deh. Aku masih lapar, nenek pasti masak makanan enak.”

“Ya udah. Buruan yuk!” Zeeya spontan berdiri disusul Reega.

Mereka berdua memutuskan untuk mampir terlebih dahulu di rumah nenek mereka yang masih satu kampung dengan rumah si kembar.

Ketika berada di halaman rumah nenek, terlihat seorang lelaki yang baru saja keluar dari rumah itu. Paman Juan, adik dari papa Zeeya dan Reega, melangkah keluar menuju halaman belakang. Menaiki motornya dan melaju entah pergi kemana.

Zeeya dan Reega tak menghiraukan pamannya itu. Si Kembar mengetuk pintu rumah, tak ada jawaban.

Tok tok!!!

Reega beberapa kali mengetuk pintu tapi tetap tak ada yang membukanya. “Zee, kayaknya nggak ada orang.”

“Iya, di dalam sepi. Memang nggak ada orang.” Zeeya mengintip dari jendela.

“Pulang aja, yuk! Keburu siang.” Ajak Reega.

Zeeya dan Reega pun mengurungkan niat mereka untuk mampir ke rumah nenek.

.........

Kairo yang sudah sampai di rumahnya mendapati ayahnya berjalan mondar-mandir mengemas barang seperti hendak pergi. Raut wajahnya yang memerah seperti kepiting rebus membuat Kairo bisa menduga kalau ayahnya itu sedang marah besar.

“Dari mana saja kamu?!”

“A-anu, Yah. Aku baru pulang sekolah ...” jawab Kairo gugup.

“Ha?! Kenapa nggak pulang dari tadi? Cepat ikut ayah sekarang!” ayah Kairo menjewer telinga Kairo, menarik tangannya dan berusaha membawanya keluar.

“Akh!!! Awh!!! Sakit, sakit ... Yah!!!”

Kairo menjerit keras dan menangis kesakitan memegangi lemari di dekatnya seolah tak mau ikut ajakan ayahnya.

“Ayo cepat!!! Kita harus pergi sekarang!!!” suaranya makin kuat.

Tak mendengar jeritannya, ayah Kairo malah melontarkan pukulan membabi buta. Dia melampiaskan kemarahannya pada anak kelas tiga SD itu.

Brak!!!

Pintu rumah rusuh itu didobrak oleh sekumpulan orang, diiringi suara sirene dari mobil polisi. Ayah Kairo tampak kaget lalu diam terpaku. Para polisi segera mengamankan Kairo dari genggaman ayahnya.

“Pak Galih Prakansa, Anda ditangkap atas dugaan pengedaran narkoba. Kami akan membawa Anda ke kantor polisi untuk diperiksa,” kata seorang polisi sambil memborgol kedua tangan ayah Kairo.

“Ti-tidak pak! Saya tidak pernah menyentuh narkoba!” ayah Kairo berusaha melepaskan borgol yang melekat di tangannya.

“Anda tetap akan ditahan dan diperiksa di kantor polisi.” Beberapa polisi menyeret ayah Kairo masuk ke dalam mobil tahanan.

Sebelum pergi ke kantor polisi, beberapa petugas mengantar Kairo ke sebuah panti asuhan kecil untuk tempat tinggal sementara sebab Kairo tak punya sanak saudara di kota ini. Kairo tinggal di panti asuhan milik Bu Asti, seorang guru yang mengajar di sekolah dasar mereka bertiga.

...****************...

Hingga menginjak SMP, Kairo masuk ke sekolah asrama yang sama denganku dan Reega. Sekarang Kairo telah duduk di bangku SMA, dia memutuskan untuk bersekolah di sekolah negeri favorit di kota ini lewat beasiswa yang dia dapatkan. Aku, Reega dan Kairo tetap bersahabat walaupun tidak lagi belajar di satu sekolah.

^^^-Adila Zeeya Vierhalt-^^^

...****************...