SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
My Love Story

My Love Story

°Plorog°

Suara jangkrik terdengar samar di pagi hari, bersenandung lembut di antara semak-semak yang masih basah oleh gerimis. Walau hujan telah berhenti, tanah tetap basah, diselimuti aroma lembap khas pagi. Cahaya matahari yang hangat mulai menyusup di antara celah-celah awan, mengusir sisa dingin yang dibawa angin malam. Udara terasa segar, meski angin pagi itu tetap menggigit dengan kesejukan yang tajam.

Langkah kaki terdengar di sepanjang trotoar. Waktu sibuk telah dimulai. Lalu lalang orang-orang dewasa, sibuk dengan rutinitasnya masing-masing. Beberapa mengenakan jas rapi, telinga mereka ditempeli ponsel, berbicara dengan nada serius, "Ya, Pak," atau, "Saya akan mengerjakannya segera."

Kehidupan mereka berat, tampak jelas dari cara mereka berjalan dan berbicara. Di sisi lain, beberapa orang berolahraga, joging dengan earphone di telinga, bersepeda di tepi jalan, atau bahkan seorang pengamen muda dengan gitarnya, memetik nada-nada kecil di sudut trotoar, menghidupi suasana pagi itu dengan sentuhan musik yang lembut.

Di dekat situ, seekor kucing hitam berjalan santai. Mata hijau zamrudnya bersinar tajam saat ia melihat kupu-kupu biru cantik terbang di atas kepalanya. Dengan semangat, ia mengejar kupu-kupu itu, melompat ke trotoar, melintasi jalan yang untungnya sepi, terus mengejar serangga yang menari-nari di udara. Kucing itu berlari melintasi toko-toko, toko bunga dengan aroma segar, toko roti yang baru membuka pintunya, dan toko barang bekas yang penuh debu. Hingga akhirnya, ia berakhir di sebuah gang sempit, masih mengejar kupu-kupu yang tak mau terjebak oleh cakarnya.

Di balik keceriaan sang kucing yang berlarian di gang, ada pemandangan yang jauh lebih suram. Tiga sosok berdiri di sana, bayangan tubuh mereka gelap, bersembunyi di balik lorong. Dua di antaranya berdiri tegak, sementara sosok ketiga berlutut di tanah, tubuhnya gemetar. Mereka adalah siswa sekolah menengah, mudah dikenali dari seragam mereka yang lusuh. Dua anak itu, Rei dan Ivan, adalah pembully. Sosok di tanah? Ryan. Seorang anak yang selalu menjadi korban.

Rei, pemimpin kelompok itu, berdiri dengan senyum lebar di wajahnya. Dia adalah anak dari seorang perwira polisi berpangkat tinggi, seseorang yang merasa hukum tidak pernah bisa menyentuhnya. Dengan rambut hitam berantakan, tubuh tinggi berotot, dan tatapan mata tajam penuh kebencian, Rei adalah sosok yang menakutkan di sekolah. Dia tahu, apa pun yang dia lakukan, ayahnya akan selalu melindunginya. Dia tak pernah takut dengan konsekuensi, karena di mata Rei, dia adalah dewa kecil di sekolah itu. Semua orang ada di bawah kakinya. Dia menginjak paha Ryan dengan keras, memaksa anak itu menjerit kesakitan.

"Aaaaggghhh!!!" Suara Ryan menggema di gang sempit itu, penuh dengan rasa sakit yang menusuk hingga ke tulang.

Rei tertawa kecil, menunduk dengan tatapan penuh kemenangan. "Mati saja kau!" ucapnya dingin. Matanya menyala dengan kebencian yang dalam, seolah menikmati setiap detik penderitaan korbannya.

Di dalam pikirannya, Ryan hanya bisa berbisik kepada dirinya sendiri. Bagi Rei... semua orang adalah alat. Tidak ada seorang pun yang setara dengannya. Hati Ryan tenggelam dalam keputusasaan. Tak ada harapan, tak ada pertolongan. Di dunia ini, dia selalu sendiri. Tidak ada yang akan datang menyelamatkannya.

Ivan, tangan kanan Rei, berdiri sedikit di belakang dengan senyum yang menjijikkan. Dia lebih pendek dari Rei, dengan tubuh kurus namun gesit. Rambut coklatnya yang selalu rapi, memberikan kontras dengan ekspresi wajahnya yang licik. Meski bukan pemimpin, Ivan menikmati setiap detik penghinaan yang ditimpakan kepada Ryan.

"Rei, waktunya kita pergi. Kita tinggalkan sampah ini," ucapnya sambil menepuk bahu Rei dengan lembut, takut membuat pemimpin kelompoknya tersinggung.

Rei tertawa lagi, "Lihat wajah menyedihkannya! Benar-benar membuat hari ini sempurna!" Dia berdiri tegak, melemparkan pandangan terakhir pada Ryan sebelum berjalan menjauh, menepis tangan Ivan dari bahunya dengan kasar.

Ryan hanya bisa menunduk, air matanya bercampur dengan darah yang menetes dari bibirnya yang robek. Pakaiannya koyak, kotor oleh lumpur dan darah. Wajahnya bengkak, penuh memar, matanya terlihat mati tanpa harapan, tanpa masa depan. Tas sekolahnya tergeletak di samping, salah satu talinya putus, isinya berserakan di tanah kotor. Dia menangis, tangannya yang gemetar mengumpulkan barang-barang dari tasnya yang koyak, mencoba memasukkannya kembali dengan rasa sakit yang luar biasa di setiap gerakan.

"Hik... huk..." Suara tangisannya lemah, hampir tak terdengar di gang sempit itu. Rasa malu dan sakit menelannya hidup-hidup.

Akhirnya, Ryan berdiri dengan langkah gemetar, menyeret kakinya keluar dari gang. Dunia terasa jauh, seolah menolaknya. Dia hanya rakyat jelata di dunia yang penuh dengan bangsawan seperti Rei.

"Ah..." ucapnya pelan, saat menyadari sesuatu.

"Aku melupakan HP-ku..." Ryan menyeka air matanya yang terus mengalir, lalu memutar tubuhnya dengan langkah pelan menuju tempat di mana ia terakhir kali memegang ponselnya.

BAB 1: Awal mulanya (1)

Hidup Ryan tidak selalu seperti ini tak selalu kelam dan penuh ketakutan. Ada masa ketika semuanya terasa lebih sederhana. Ia dulu hanyalah anak laki-laki biasa di SMA, menjalani hari-hari dengan rutinitas yang sama seperti siswa lainnya. Ia bukanlah siswa yang cemerlang, tetapi juga tidak bisa dibilang bodoh. Nilai-nilainya rata-rata, cukup untuk lulus tanpa banyak masalah. Tak ada yang benar-benar mengenalnya di sekolah, kecuali mungkin segelintir teman yang pernah duduk di sebelahnya saat pelajaran.

Pagi itu, seperti biasa, Ryan bangun sebelum matahari sepenuhnya terbit. Pukul enam pagi, alarm berbunyi nyaring di samping tempat tidurnya, memaksa Ryan membuka mata yang masih berat.

Kamar kecilnya tidak berbeda dari kamar siswa SMA pada umumnya dindingnya dihiasi poster-poster musik favoritnya, meja belajarnya penuh dengan buku-buku pelajaran dan komik yang tertumpuk tak rapi.

"Ah, hari yang baru," gumam Ryan dengan nada datar. Tak ada yang istimewa dari hari itu, sama seperti hari-hari sebelumnya.

Setelah bersiap-siap dan mengenakan seragam sekolah, Ryan turun ke dapur. Ibunya sudah duduk di meja makan, menyiapkan sarapan sederhana, sepotong roti bakar dan telur orak-arik. Ayah Ryan, seorang pegawai kantoran, sudah pergi lebih awal seperti biasa. Suasana rumahnya selalu sepi dan formal, tanpa percakapan yang hangat atau perhatian khusus.

“Jangan lupa membawa bekalmu,” ujar ibunya tanpa menoleh dari ponselnya.

“Ada di atas meja.”

“Iya, Bu,” jawab Ryan pelan, meski ia tahu ibunya mungkin tak benar-benar mendengar jawabannya. Ia mengambil kotak bekal yang sudah disiapkan, memasukkannya ke dalam tas sekolah, lalu segera bergegas menuju sekolah.

Di perjalanan menuju sekolah, Ryan memasang earphone dan memutar lagu-lagu favoritnya, musik yang menjadi pelariannya dari dunia yang sunyi. Musik selalu menjadi temannya yang paling setia. Di dalam musik, ia bisa mengungkapkan semua perasaan yang tak pernah bisa ia katakan pada siapa pun. Lirik-lirik yang dalam dan melodi yang kuat sering kali menjadi cermin bagi hidupnya.

Setibanya di sekolah, suasana hiruk-pikuk sudah mulai terasa. Siswa-siswa berkerumun di depan gerbang, beberapa sedang mengobrol sambil tertawa, sementara yang lain bergegas masuk ke dalam kelas. Ryan tidak pernah merasa menjadi bagian dari kerumunan itu. Dia selalu memilih jalan yang lebih sepi, melewati lorong belakang menuju ruang kelasnya di lantai dua.

Di kelas, Ryan duduk di bangku yang dekat jendela, tempat favoritnya karena dari sana ia bisa melihat ke luar dan membiarkan pikirannya melayang bebas. Hari itu sama seperti hari-hari lainnya. Pelajaran dimulai, guru-guru bergantian masuk dan keluar kelas, sementara Ryan hanya mendengarkan sepintas lalu, lebih tertarik pada dunia luar daripada apa yang terjadi di dalam kelas.

Namun, meski hidupnya tampak tenang di permukaan, sesuatu mulai berubah dalam hidup Ryan. Ia mulai merasa ada yang berbeda dengan interaksi orang-orang di sekitarnya. Beberapa siswa yang dulu bersikap biasa-biasa saja padanya mulai menunjukkan sikap yang lebih dingin, bahkan terkadang menyindirnya dengan kata-kata yang tajam. Ini bukan bullying yang terang-terangan, tetapi lebih halus sapaan yang diabaikan, tawa kecil yang muncul di belakang punggungnya, atau tatapan aneh dari teman-teman sekelasnya.

Dan di antara mereka, ada satu sosok yang paling menonjol dia adalah Rei, anak dari seorang polisi berpangkat tinggi yang dikenal keras dan dominan di sekolah. Ryan selalu berusaha menghindarinya, karena dia tahu, dari cara Rei memandang orang lain, dia bukanlah tipe orang yang akan membiarkan kelemahan terlihat tanpa mengeksploitasinya.

Rei adalah siswa yang tinggi dengan tubuh atletis. Wajahnya tampak tegas, dengan rahang kuat dan tatapan tajam yang selalu tampak menantang siapa pun di sekitarnya. Rambutnya pendek, disisir rapi ke samping, memperlihatkan kesan dominan yang membuatnya disegani oleh banyak orang di sekolah. Tapi di balik penampilannya yang sempurna, ada aura ancaman yang selalu mengikuti Rei ke mana pun ia pergi.

Pada awalnya, Ryan tidak berpikir banyak tentang Rei. Mereka tidak punya alasan untuk berinteraksi, dan Ryan lebih suka menjaga jarak dari orang-orang yang terlalu menonjol. Namun, semakin lama, ia menyadari bahwa tatapan Rei sering kali mengarah padanya. Setiap kali Ryan berjalan melewati koridor atau duduk di kantin, Rei akan memperhatikannya dari kejauhan. Itu bukan tatapan biasa itu seperti predator yang sedang mengamati mangsanya.

Beberapa hari kemudian, setelah jam pelajaran terakhir berakhir, Ryan sedang bersiap untuk pulang. Ia merapikan buku-bukunya dan bersiap untuk keluar dari kelas. Namun, sebelum ia sempat melangkah keluar, seorang siswa lain Ivan, teman dekat Rei menghalangi jalannya. Ivan adalah tipe orang yang selalu berada di belakang seseorang yang lebih kuat darinya. Tubuhnya lebih pendek, tetapi ekspresi wajahnya selalu memancarkan kesombongan, seolah merasa aman di bawah perlindungan Rei.

“Kau mau ke mana, Ryan?” Ivan menyeringai, suaranya sinis.

Ryan terdiam. Ada sesuatu yang salah. Dia bisa merasakan atmosfer kelas berubah menjadi tegang, bahkan sebelum Ivan mulai berbicara. Di belakang Ivan, Ryan bisa melihat Rei berdiri dengan tangan disilangkan di depan dada, menatapnya dengan dingin.

“Hanya ingin pulang,” jawab Ryan singkat, berusaha untuk tetap tenang meski jantungnya mulai berdebar kencang.

“Pulang?” Ivan terkekeh. “Bukankah sebaiknya kita ngobrol sebentar?”

Sebelum Ryan sempat menjawab, Ivan meraih tas Ryan dan menariknya dengan kasar. Benda-benda di dalam tasnya berhamburan ke lantai buku, pensil, dan kotak bekal yang berisi makanan ibunya pagi tadi. Kotak itu terbuka, dan makanan di dalamnya tumpah ke lantai.

Ryan merasakan dadanya sesak. Amarah bercampur dengan rasa malu membuat wajahnya memerah. Dia ingin melawan, ingin berteriak, tetapi tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Kakinya terasa berat, dan tubuhnya seakan terkunci di tempat.

Rei melangkah mendekat, tatapannya tidak berubah. Dia melihat ke arah makanan yang berserakan di lantai, lalu menatap Ryan dengan senyum mengejek. “Kau seharusnya lebih hati-hati, Ryan.”

Dan saat itu, untuk pertama kalinya, Ryan merasakan dunia di sekitarnya mulai runtuh. Semua hal kecil yang dulu tidak ia hiraukan, tatapan sinis, ejekan halus, ketidakpedulian teman-temannya semua mulai berkumpul dan menekan dirinya. Dia sadar, inilah awal dari sesuatu yang lebih buruk.

Perundungan ini belum selesai.

Justru baru dimulai.