SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Teror Sang Pemerkosa

Teror Sang Pemerkosa

Melani

Pagi-pagi Melani sudah rapi. Ini adalah hari pertama dia masuk kerja. Dia menyambutnya dengan suka cita. Bahkan semalam ia tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan hari baru yang akan dijalaninya sebagai staf administrasi di sebuah kantor perusahaan bonafide. Akhirnya, harapannya mendapatkan pekerjaan telah terwujud. Dia juga bersyukur tidak menganggur terlalu lama setelah lulus dari D-3 akuntansi dan keuangan. Meski diterima di bagian marketing, tapi Melani sudah merasa senang. Yang namanya meniti karir memang harus dimulai dari bawah.

Bagi Melani sendiri yang penting dia sudah mendapatkan pekerjaan dan meringankan beban ibunya yang janda. Keinginan Melani untuk segera bekerja memang dilandasi niat membantu ibunya. Sejak ditinggal pergi ayahnya lima tahun silam, ibunyalah yang harus kerja keras menghidupi ketiga anaknya. Gaji pensiun ayahnya tak mencukupi lagi untuk membiayai pendidikan ketiga anak yang sudah mulai besar. Itulah kenapa Melani memilih pendidikan yang lebih singkat biar bisa langsung bekerja. Dia ingin menunjukkan baktinya pada orang tua. Dia juga ingin membantu membiayai pendidikan adik-adiknya agar bisa masuk perguruan tinggi.

“Wah, pagi-pagi sudah rapi? Baru jam berapa nih, mBak?” ujar Nina melihat kakaknya sudah rapi.

“Ya, namanya juga karyawan baru, mesti disiplin dong, Nin,” kata Melani kalem.

“Memangnya mbak disuruh masuk jam segini? Ini kan baru jam enam?”

“Mbak kan mesti naik angkot, Nin. Bagaimana kalau macet di jalan?”

“Ya, tapi kantor mbak kan tidak begitu jauh. Jam segini jalanan belum macet amat.”

“Sudahlah, Nin, kamu kok jadi ngatur mbak, sih? Cepat mandi sana!”

Nina mengangkat bahunya. Dia pun segera ngeloyor ke kamar mandi. Melani beranjak ke ruang depan, menemui ibunya yang masih menyapu lantai.

“Saya berangkat dulu, Bu,” kata Melani sambil mencium tangan ibunya.

“Kamu nggak sarapan dulu?” tanya Bu Marni.

“Saya sudah minum segelas susu tadi. Saya pamit dulu, Bu…”

“Ya, hati-hati di jalan!”

Melani melangkah keluar dari rumah kontrakan keluarganya yang berukuran kecil. Bu Marni memandangi kepergian putri sulungnya dengan senyum bahagia terukir di bibirnya. Dalam hatinya terucap doa semoga anaknya senantiasa mendapat keselamatan dalam bekerja dan mampu menggapai harapan yang dicita-citakannya.

Setiba di kantor Melani mendapati dirinya satu-satunya karyawan yang pertama kali datang. Bahkan petugas cleaning service baru datang beberapa menit sesudahnya. Pak Bardi, demikian nama petugas kebersihan itu, sempat heran melihat kehadiran Melani. Tapi setelah Melani menjelaskan bahwa dirinya karyawan baru di kantor ini, Pak Bardi nampak sedikit malu.

“Maaf ya, Non, saya belum sempat membukakan pintu. Habis, non sendiri datangnya kepagian.”

“Tidak apa-apa, Pak. Mari, saya bantu membuka pintu.”

Melani membuka pintu dan tirai jendela ruang kerja para karyawan. Dia juga membantu Pak Bardi membuang sampah-sampah yang tampak bertumpuk di beberapa keranjang. Pak Bardi dibuat kagum oleh tindakan Melani. Jarang ada karyawan mau membantu pekerjaan petugas kebersihan seperti dirinya. Bagi Melani, membantu orang lain sudah merupakan motto hidupnya. Tak perlu merasa gengsi atau malu.

Melani meletakkan tasnya di atas meja yang sudah disediakan. Sebelumnya Melani memang sudah mendapatkan petunjuk tentang apa saja tugas yang akan dikerjakannya dan di mana meja kerjanya saat acara interview beberapa waktu lalu dengan manajer personalia. Karena ini adalah hari pertama dia masuk kerja dan belum tahu tugas apa yang akan dikerjakannya, jadi dia hanya diam bengong seperti patung.

Dia menunggu karyawan lain yang belum datang. Tak berapa lama para karyawan sudah berdatangan. Mereka langsung menuju ke mejanya masing-masing. Tiba-tiba Melani dikagetkan oleh lemparan tas yang jatuh di atas meja di depannya. Sontak Melani menoleh memandang kepada orang yang melempar tadi. Tampak seorang wanita tigapuluhan dengan tampang dingin dan angkuh berdiri di hadapannya.

“Hei, ini meja saya! Jangan duduk di sini!” ujarnya ketus.

Melani jadi bingung. Untung ada seorang gadis muda di meja ujung mengisyaratkan dengan telunjuknya menyuruh Melani menghampirinya. “Sini, Mbak!”

“E, maaf, saya tidak tahu…,” ucap Melani pada wanita judes tadi dan kemudian beranjak dari tempatnya seraya menghampiri gadis yang memanggilnya tadi.

“Saya lupa memberitahu kalau meja mbak ada di sini, bersama saya,” kata gadis itu dengan nada ramah.

“Perkenalkan, saya Melani,” ucap Melani mengulurkan tangannya pada gadis itu.

“Nama saya Diah!” balas gadis itu membalas jabat tangan Melani. “Dan yang punya meja sebelah itu namanya mbak Tuti. Jangan diambil hati sikapnya. Dia memang suka begitu sama orang baru,” lanjutnya menerangkan tentang wanita yang tempatnya tadi diduduki Melani.

“Ah, enggak apa-apa, Mbak,” sahut Melani sambil tersenyum.

Melani lalu duduk di sebelah Diah. Dia sangat senang mendapat teman kerja seperti Diah. Kelihatannya usia Diah tak terpaut jauh dengannya. Sikapnya yang baik dan ramah membuat Melani merasa nyaman. Tampaknya mereka akan cepat menjadi teman akrab.

“Saya mendapat mandat dari Pak Tejo untuk membimbing mbak Melani selama menjalani masa training di sini. Untuk permulaan mbak Melani bisa mengerjakan tugas memasukkan file-file ke dalam komputer. Mbak bisa, kan?” ujar Diah kemudian memberitahu.

“Ya, saya bisa. Tapi tolong, jangan panggil saya mbak. Panggil saja saya Mel atau Melani. Kayaknya usia kita tak jauh berbeda, mungkin saya malah lebih muda dari mbak Diah,” kata Melani dengan nada jengah.

“Kalau begitu jangan juga panggil saya mbak. Biar lebih akrab. Oke?”

Melani mengangguk sambil tersenyum kecil. Keduanya lalu terlibat pembicaraan ringan. Tanpa mereka sadari dari sudut sana tampak Tuti memandang penuh sorot kecemburuan. Bibirnya tampak cemberut. Sepertinya dia tidak begitu suka melihat keakraban antara Melani dan Diah.

Begitulah. Hari pertama kerja dihadapi Melani dengan penuh semangat dan keceriaan. Melani banyak belajar dari Diah yang punya pengalaman bekerja di kantor itu. Dari Diah juga Melani bisa mengenal semua karyawan yang ada di kantor itu. Melani mendapat teman-teman baru. Mereka semua tampak ramah dan bersikap baik padanya, kecuali mungkin orang yang memperlihatkan sikap apriori. Tuti! Wanita yang tergolong senior dan menyandang predikat perawan tua itu kerap bersikap sinis, ketus, dan judes. Bukan hanya pada Melani, tapi juga pada yang lain. Tapi hal itu tak terlalu digubris oleh rekan-rekannya.

Pekerjaan yang ditangani Melani terhitung cukup mudah, karena semua itu sudah sering dipelajarinya saat di bangku kuliah. Mengetik data-data dalam komputer bukanlah pekerjaan sulit. Jika pekerjaannya sudah selesai biasanya Melani membantu pekerjaan Diah menyusun laporan pemasaran dan pembukuan. Perbuatan Melani ini bukan bermaksud ingin mengambil alih tugas Diah atau mencari muka dan menonjolkan diri, tapi karena dia memang mampu. Diah sendiri merasa senang dibantu oleh Melani. Tugas yang dikerjakannya menjadi lebih ringan.

Primadona

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, tak terasa satu bulan telah berlalu. Melani menerima gajinya yang pertama. Meski nominalnya tak terlalu besar, baru standar UMR, namun Melani menerimanya dengan rasa syukur dan bahagia bukan main. Rasa suka cita memancar di wajahnya. Begitu menerima amplop berisi uang gajinya, Melani langsung bergegas pulang. Dia ingin berbagi kebahagiaan dengan keluarganya. Sebagian uang gaji ini akan diberikan pada ibunya, sementara sebagian disimpan untuk keperluan sendiri. Buat adik-adiknya, Nina dan Doni, Melani mentraktir mereka makan di Mc Donald. Mereka senang bukan main.

Melani memang bukan gadis egois. Dia bercita-cita membahagiakan keluarganya. Dia berjanji kelak jika karirnya sudah lancar dan gajinya meningkat, dia akan membelikan rumah untuk keluarganya. Biar mereka tidak dipusingkan lagi dengan tarif sewa rumah yang setiap tahun terus naik. Dia juga ingin membahagiakan ibunya. Dia akan meminta ibunya berhenti berjualan kain keliling dan banyak beristirahat di rumah. Kasihan usianya sudah semakin tua. Biar urusan mencukupi kebutuhan sehari-hari dan membiayai sekolah adik-adiknya, dirinya yang bertanggung jawab.

Semua impian indah itu menjadi pemicu semangat dan gairah Melani untuk lebih giat lagi bekerja. Mudah-mudahan harapannya terkabul. Semoga!

 

“Mel, kamu dapat salam!” ujar Diah membisiki Melani saat baru tiba di mejanya pagi itu.

“Salam dari siapa?” tanya Melani penasaran.

“Rico!”

“Rico?”

“Ya! Staf keuangan yang ganteng itu, lho! Dari pertama dia sudah naksir kamu. Tapi dia belum berani mengungkapkan isi hatinya. Dia khawatir kamu sudah punya pacar,” cetus Diah.

Melani tersenyum geli. Dia menggelengkan kepala.

“Kamu belum punya pacar? Kamu mau menerima salam dari Rico?” ujar Diah menggoda.

“Bukan! Aku memang belum punya pacar, tapi aku belum ingin menjalin hubungan istimewa dengan laki-laki. Aku masih ingin sendiri,” kata Melani kalem.

“Kenapa? Apa kamu trauma pernah diputusin pacar?”

“Enggak, Di. Aku enggak trauma. Aku cuma belum berpikir hal itu!”

“Tapi gadis seusia kamu semestinya sudah punya pacar, bahkan sudah mulai berpikir tentang pernikahan!”

“Ah, tidak. Aku belum berpikir ke arah sana. Aku masih ingin memikirkan karir dulu.”

“Karir dan cinta kan bisa juga seiring sejalan?”

“Ah, sudahlah, Di, jangan ngomongin soal itu. Sampaikan sama Rico, terima kasih atas salamnya. Tapi kita temenan aja…”

“Teman tapi mesra ya…? He he he…!” goda Diah.

“Ah, sudahlah, Di. Jangan goda aku terus!” Melani jadi tersipu-sipu malu.

“Sebenarnya aku heran sama kamu, Mel. Gadis secantik dan seceria kamu belum juga mau pacaran. Padahal tak sedikit cowok yang naksir berat sama kamu. Begitu kamu hadir di sini, semua kumbang pada berdengung membicarakan kamu. Kalau kamu mau, kamu bisa memilih satu diantara puluhan pria ganteng di kantor ini. Kalau mau yang berkedudukan tinggi kamu bisa pilih Pak Frans yang ganteng, bujangan, mapan, tajir lagi. Dia kayaknya juga naksir kamu. Hanya gayanya saja yang sok angkuh dan dingin. Padahal kulihat dia suka melirik kamu saat makan siang di kantin. Sumpah, deh!” tutur Diah mulai keluar nyinyirnya.

“Tuh, kan, ngomongin soal cowok lagi. Sudahlah, Di! Omong soal lain saja!” tukas Melani cemberut, pura-pura keki.

“Sori, Mel. Aku cuma ingin lihat kamu punya pasangan buat diajak have fun. Kalau kamu punya pacar, kita kan bisa happy sama-sama. Perasaanku enggak enak kalau setiap kali ngajak kamu pergi dengan Deni, kamu jadi kayak kambing congek…”

“Aku mengganggu acara pacaran kalian, ya?”

“Bukan begitu, Mel. Aku dan Deni senang kok kalau bisa mengajak kamu pergi bersenang-senang. Kita malah yang tidak enak kalau kamu merasa tidak enjoy saat pergi bersama kami.”

“Jangan berpikiran seperti itu, Di. Aku merasa enjoy kok pergi bersama kalian!” tukas Melani.

“Sebenarnya pria kayak apa sih yang kamu idamkan, Mel. Apa yang kayak Pak Frans, Rico, atau… Toni? Wah, kalau yang kayak Toni jangan deh, Mel. Soalnya Toni itu orangnya urakan, tidak tahu sopan santun. Mendingan yang kayak Pak Frans. Kalau mau, nanti aku comblangin sama dia…?” tawar Diah.

“Kalau aku sih suka pria yang kayak Deni!” cetus Melani sambil tersenyum menggoda.

Diah pura-pura cemberut. “O, awas kalau kamu merebut dia!” ancamnya.

“Sori, Di, cuma bercanda. Tapi jujur saja, aku sangat terkesan dengan pria seperti Deni. Dia begitu sabar, lembut, romantis, dan lebih penting dari itu adalah sangat setia. Aku tidak menyangka ada cowok kayak Deni yang begitu setia menemanimu selama empat tahun lebih. Wah, bener-bener cowok setia! Kamu sangat beruntung memiliki kekasih seperti Deni. Kalian juga jarang berantem. Cuma anehnya, kenapa kamu enggak segera mengajaknya menikah? Memang apa sih yang kalian tunggu?” puji Melani berujung tanya.

Diah mendesah napas panjang. Wajahnya tiba-tiba berubah mendung. “Itulah yang aku bingung, Mel. Aku enggak tahu, mau dibawa ke mana hubungan kami ini. Kalau dilihat dari gelagatnya sih, Deni sangat sayang dan cinta banget sama aku. Tapi gimana ya, kami belum bicara soal pernikahan. Aku enggak berani memulai. Soalnya Deni sendiri sepertinya juga masih enggan…”

“Semestinya kamu bisa tegas, Di. Kamu mesti memastikan keseriusan Deni. Tidak ada salahnya kalau kamu lebih dulu yang memulai bicara. Ini bukan jamannya lagi cewek menunggu. Cewek juga bisa ambil inisiatif!”

“Tapi, Mel, aku takut nanti dia tersinggung. Biar saja aku menunggu keputusan darinya. Pria kalau dikejar-kejar nanti malah lari. Aku bisa bersabar, kok!” ujar Diah penuh ketegaran.

“Ya, mudah-mudahan Deni cepat mengambil keputusan, Di. Aku sangat mendukung pernikahan kalian,” ucap Melani memberi keyakinan.

Diah tersenyum. Hatinya cukup terhibur oleh ucapan Melani. Dia lalu mengibaskan tangannya. “Ah, sudahlah… Pagi-pagi kok sudah ngomongin cowok!” ujarnya geli sendiri.

Melani ikut tersenyum geli.

Selama ini Melani memang tidak pernah berpikir soal lelaki. Bukannya dia tidak punya keinginan untuk menikmati indahnya bunga asmara dengan kekasih tercinta, juga bukan karena tak ada lelaki yang suka padanya. Sejak masih SMA Melani sudah menjadi idola para cowok. Dulu, waktu masih berusia ABG, dia punya teman dekat cowok, tapi hubungan mereka tak berlangsung lama. Sang cowok mengkhianatinya. Melani pun enggan untuk berhubungan dengan cowok lagi. Keengganan itu berlanjut ketika ayahnya meninggal dunia.

Kepergian sang ayah tercinta terasa sangat memukul jiwanya, membuatnya dirundung kesedihan mendalam. Maklumlah, semasa hidupnya sang Ayah merupakan orang yang paling dekat dengannya sekaligus menjadi pelindung satu-satunya. Figur sang Ayah begitu lekat dalam hatinya. Entah, karena kecintaannya yang dalam pada almarhum ayahnya membuat Melani sulit menjalin hubungan dekat dengan pria. Dia mengangankan pria yang bisa mewakili figur ayahnya, dan sayangnya dia tidak pernah menemukan pria seperti itu. Hingga sekarang!