SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Revenge

Revenge

1

...Happy reading~...

.......

.......

.......

Suara langkah kaki terdengar jelas malam itu. Seorang wanita yang baru saja pulang kerja, mendadak diikuti pria asing dibelakangnya.

Siapa dia sebenarnya?

Wanita itu berlari ke arah kiri. Berlari dengan cepat, sialnya jalan buntu. Dia buru-buru berbalik badan. Terlambat sudah, laki-laki itu berada di hadapannya.

Wanita itu semakin dibuat bergetar ketika melihat benda tajam ditangan kiri pria asing itu. Pria itu berjalan mendekat... semakin dekat dan semakin dekat.

JREB!

"Akh!" Pisau itu menancap sempurna di perutnya. Pria itu menyeringai, "a-apa yang kau mau?" Wanita tersebut dengan sisa-sisa kesadarannya mencoba mencari tahu apa maksud pria ini.

Tawa jahat terdengar keras ditelinganya. "Aku ingin kau mati." Tepat saat itu juga, si wanita jatuh mati. Pria tersebut meninggalkan mayat yang masih baru itu untuk kembali pulang setelah mengambil lagi pisau di perut wanita itu.

...-o0o-...

"Temen ibu mau ke sini, Jef," seorang wanita paruh baya sedang sibuk menyiapkan hidangan. Jefar sedari tadi mengikuti langkah ibunya, ke sana dan ke mari.

Ibunya yang merasa diikuti itu menoleh dengan pandangan menerawang, "kau ini! Jika tidak membantu, duduk saja sana!" Jefar menyengir.

"Kau harus cepat-cepat mandi, Jefar. Sana mandi, pakai baju yang rapi. Temen ibu bawa anak gadisnya." Jefar mengernyit heran. Anak gadisnya? Memangnya ada hubungan apa anak itu dengannya?

Tanpa berpikir panjang, Jefar segera mandi dan berganti pakaian sesuai yang ibunya perintahkan. Dia mengenakan kaus putih dengan bawahan celana cokelat panjangnya.

Terdengar bel rumah berbunyi, sepertinya itu adalah tamunya. Ibu Jefar segera membukakan pintu, "eh, Ibu. Masuk, bu. Ada Jefar di dalam." Wanita tua itu menggiring temannya masuk.

"Jefar, turun. Ada tamu ini," teriaknya. "Bentar, bu," Jefar segera keluar dari kamarnya kemudian menyapa tamu tersebut.

"Ini ya yang namanya Jefar?"

"Iya, tante,"

"Ini anak tante. Namanya Rena."

Mereka berjabat tangan kemudian.

"Rena,"

"Jefar."

Mereka duduk di sofa ruang tamu. Jefar masih tidak mengerti tentang hubungannya dengan tamu ini. "Rena ya?" Ayah Jefar keluar dari kamarnya.

Gadis itu tersenyum. Cantik sekali, "iya, om." Kemudian obrolan ringan terbuka. Sesekali mereka memakan hidangan yang ada. "Jadi gini, Jefar, Rena. Kami mau menjodohkan kalian,"

Ibu Jefar tiba-tiba bertanya. Jefar berpikir sejenak, "gimana, kalian mau kan?" Ibu Rena bertanya. Rena dan Jefar saling pandang. Mereka kemudian serempak mengangguk setuju.

"Kita jalani dulu, ya Rena?" Jefar memandang Rena, perempuan itu mengangguk. Orang tua mereka bersorak senang. Akhirnya, selama bertahun-tahun perjodohan ini berjalan lancar.

Bahkan tanpa diduga sekalipun, Jefar dan Rena sama-sama setuju. Namun, sesuatu tampak berbeda di sana.

Ekspresi Rena murung sejak tadi. Jefar bisa melihat matanya sembab seperti baru saja menangis. Maka dari itu, pria muda itu memutuskan pergi ke taman belakang bersama Rena.

"Hey, ada apa?" Setelah cukup lama terdiam, Jefar bertanya. Mereka ada di taman belakang rumah sekarang. Pemandangan yang indah malam ini karena banyak lampu yang menyala.

Rena menunduk, menatap kaki-kakinya yang putih bersih itu. "Nggak ada apa-apa," dia membalas pandangan Jefar. Pria itu tersenyum, matanya pin ikut tersenyum. "Aku melihatmu murung sedari tadi, ceritakan apa yang membuatmu begitu?"

Perempuan itu tersenyum tipis, kembali menunduk. Menghela napas, perempuan itu menatap langit malam. "Teman ku, jam enam tadi meninggal dunia, seseorang menemukannya di jalanan," Jefar tertegun.

Rena memandang Jefar kemudian, matanya seperti ingin menangis. "Sepertinya... dia dibunuh seseorang karena orang tuanya punya hutang yang cukup banyak." Lanjutnya.

Lagi, Jefar tertegun.

"Khem, benarkah? Aku turut berduka." Rena mengangguk perlahan. Hening menyelimuti mereka kembali. Berbagai pertanyaan memenuhi isi kepala Jefar.

Dia menoleh menatap perempuan disampingnya. Dilihatnyalah wajah cantik itu. Hidungnya yang mancung, matanya yang cantik, benar-benar sempurna.

Berhenti menatapnya, Jefar!

"Khem, ngomong-ngomong... apakah kamu bekerja? Atau kuliah?" Jefar kembali membuka obrolan. Perempuan itu kembali menatapnya, menggeleng sejenak.

"Aku baru saja lulus kuliah dua tahun lalu. Saat ini aku sudah membuka toko pastry dan toko bunga," ah... dia wanita yang rajin rupanya. Jefar tersenyum. "Kamu sepertinya lebih muda dariku, Rena."

Laki-laki itu menebak, Rena mengerjap. Benarkah?

Merasa Rena terkejut, laki-laki itu terkekeh. "Aku lulus kuliah lima tahun lalu dan langsung bekerja di perusahaan tembakau milik Ayahku dan ada pekerjaan lain yang ku tekuni juga." Rena ber-oh ria.

"Maaf, seharusnya aku lebih sopan memanggilmu. Dengan sebutan 'kakak' seharusnya," Rena merasa tidak enak. Jefar menggeleng. Itu tak masalah baginya. Karena menjalin hubungan tidak perlu memandang umur. Bahkan Jefar mau-mau saja jika berkencan dengan wanita yang lebih tua. Asalkan mereka cocok.

Jefar terkekeh kembali, "tidak masalah. Jangan kaku begitu, panggil nama saja, itu lebih baik." Rena merasa lega karena nyatanya Jefar tidak memandang usia. Bahkan Jefar tidak tersinggung sekalipun.

Laki-laki itu menyodorkan ponselnya. Sejenak, Rena mendadak bingung. Apa maksudnya?

"Nomer hp mu. Mari mulai mengenal satu sama lain," Rena tersenyum dan menerima ponsel hitam itu dari tangan Jefar. Dia mengetikkan sesuatu di sana kemudian mengembalikannya pada Jefar.

"Aku... harus bagaimana memulainya? Kamu ingin hubungan yang seperti apa?" Perempuan itu tampak berpikir sejenak. Sebenarnya... dia tidak ahli dalam hubungan percintaan.

Oh, jangankan ahli. Dia saja tidak pernah menjalin hubungan dengan pria lain.

"Aku terserah padamu, Jefar. Aku bingung karena ini pertama kalinya aku berhubungan dengan pria," Rena mengaku jujur. Dia sedikit kaku dengan laki-laki. Maka dari itu sedari tadi dirinya hanya diam dan hanya Jefar yang mengajaknya berbicara lebih dulu.

"Kamu ingin kita pacaran sekarang? Atau... hubungan tanpa status dulu? Atau mungkin kamu ingin--"

"Kurasa... kita bisa mulai pacaran sekarang, Jefar,"

"Secepat itu? Tidak mau mempertimbangkan dulu?"

"Tidak... aku ingin hubungan yang lebih jelas."

Sejujurnya, dalam lubuk hati terkecil Jefar, dia merasa tertarik dengan Rena. Sepertinya Rena adalah wanita yang cocok dengannya.

Sedangkan Rena, Rena merasa Jefar adalah pria yang baik. Meski tampangnya agak 'sangar' ugh... tapi dari cara bicaranya, Jefar sepertinya pria yang bertanggung jawab.

Mereka berbincang kecil di sana. Berbicara tentang hobi, makanan favorit hingga genre lagu favorit.

Tak hanya itu, mereka juga rupanya membaca buku yang sama. Obrolan mereka semakin jelas dan terus bersambung. Dalam hati, Jefar berjanji akan membahagiakan perempuan ini nantinya.

Dia tidak akan menyakitinya dengan sengaja. Rena juga kedepannya akan melayani Jefar dengan baik, serta menemaninya dalam keadaan apa pun. Rena akan bersikap lembut padanya.

Ah... semoga Tuhan mengabulkan permintaan pasangan ini.

"Besok, mau nonton?" Jefar memandang perempuan itu, Rena tampak berpikir sejenak. "Boleh, mau nonton apa?" Tanyanya balas memandang Jefar.

"Apapun, aku ikut saja. Kamu yang pilih filmnya, oke?" Rena tersenyum. Dia senang sekali menjalin hubungan tanpa kekangan yang kuat dari sang pria.

"Oke, besok sore ya, Jef,"

"Ya, akan ku kosongkan jadwalku di kantor,"

"Baik. Aku juga akan pulang awal dari toko bunga ku."

"Kamu suka bunga ya sepertinya?" Jefar bertanya, "ya... seperti itu lah." Pria itu ber-oh ria. Pekerjaannya sangat cocok dengan kepribadiannya yang sepertinya lembut.

"Kamu? Kamu suka apa?" Pria itu tampak berpikir, tidak ada yang dia sukai selain buku. "Buku tentu saja."

"Ngomong-ngomong... pekerjaanmu apa saja selain di perusahaan ayahmu? Kamu bilang tadi ada pekerjaan lain yang kamu kerjakan,"

...To be continue~...

2

...Happy reading~...

.......

.......

.......

"Pagi, bu Rena."

"Halo, bu Rena,"

"Pagi, bu."

Pagi-pagi sekali, pukul enam toko pastry nya buka. Karyawan di sana menyambut antusias bos mereka.

"Hari ini ada 200 pesanan roti dan kue, apa semua bahan sudah siap?" Rena langsung saja menanyakan bahan baku yang tersedia di sana. Seorang karyawan memeriksakan di dapur.

Karyawan itu kembali kehadapan Rena, "sepertinya kita butuh gula, bu. Gulanya tinggal sedikit," Rena mencatat bahan yang kurang. "Baik, apa lagi?"

"Tepung terigu tinggal setengah kardus," wanita itu kembali mencatat. "Apa ada lagi?" Tanyanya lagi, namun ternyata hanya itu saja yang kurang.

Merogoh tas putihnya, Rena mengambil kontak mobilnya. Mau membeli semua bahan yang kurang, tapi dicegah karyawannya yang lain.

"Ibu mau ke mana?"

"Membeli bahan baku tentu saja, Mita. Ada apa?"

"Ibu, lebih baik saya saja dengan Revanda yang beli,"

"Sudah, kalian bekerja saja. Pesanan sedang menumpuk. Belum lagi kalau ada pelanggan lain."

Mita--karyawan itu sempat berpikir sejenak. Memang benar apa yang Rena katakan, tapi dia tidak sampai hati jika membiarkan pemilik toko pastry itu pergi membeli bahan baku sendirian.

Hey, itu sama saja mereka menyuruh bos mereka!

"Saya antar saja bagaimana, bu?" Mita bertanya kembali. Rena menghela napas lalu menggeleng, "sudah, bantu teman-temanmu saja. Saya bisa sendiri."

Kaki jenjang itu kemudian meninggalkan toko pastry. Rena pergi ke toko bahan kue terdekat sekalian membeli jajanan karyawan. Mengingat pesanan dari kemarin terus meningkat.

Bukan karyawannya saja, tapi Rena pun turut pusing. Tapi dia bersyukur karena ternyata roti-roti yang ia jual beserta kue kering itu banyak yang menyukainya sehingga banyak yang membeli.

Selepas membeli bahan baku, dia kembali ke tokonya. "Saya tidak lama di sini, mungkin jam sebelas saya ke toko bunga." Kalimat itu membuat semua pekerja menoleh kearahnya. Tumben sekali bos nya ini?

Setelah pukul sebelas tepat, Rena langsung pergi ke toko bunga miliknya. Dia pun tidak akan lama di sana karena ada janji dengan Jefar.

Sebelum itu, Rena makan di kafe biasanya. Sesampainya di sana, Rena melihat banyak pembeli berdatangan. Kepalanya menoleh ke arah luar toko, sebuah universitas ternama sedang ramai.

Ah... rupanya ada yang wisuda.

Pesanan buket bunga itu membludak. Ada yang pesan sedari kemarin, dua hari lalu, bahkan ada juga yang mendadak pesan. Beruntung bunga-bunga di sana sedang dalam keadaan sehat dan segar.

"Saya pesan dua lagi bisa?"

"Mbak, tambah mawarnya yang putih bisa?"

"Kertasnya pakai yang warna pastel aja, mbak,"

"Mbak, pesanan saya kemarin sudah?"

Ricuh sekali. Ruangan itu sangat bising. Bahkan pemilik toko pun turut membantu. Membawakan ini dan itu, mengambil bunga ini dan itu.

Hingga tanpa sadar, laki-laki dengan balutan jas hitam, dasi biru tuanya dan celana panjang tiba-tiba saja berada di balik kerumunan itu.

Dia tidak melihat apa-apa selain Rena. Gadis yang mengisi hatinya sejak kemarin. Wajah cantik itu terlihat sedikit kewalahan menghadapi banyak pesanan. Tetapi tak sedikitpun menghilangkan senyuman indah itu.

Jefar hanya diam di sana, menunggu agar banyaknya pelanggan keluar satu persatu. Dia menunggu setengah jam di sana. Setelah pelanggan terakhir keluar, dia masuk.

"Ini kah toko mu, Rena?" Rena terkejut setengah mati. Bisa-bisanya dia bertemu Jefar dalam keadaan kacau karena pesanan yang membludak. "I-iya,"

"Jangan gugup. Aku pesan satu tangkai mawar saja," Rena segera mengerjakan pesanan Jefar. "Warna apa, Jef?" Jefar yang tengah bermain ponsel, kembali menatapnya.

"Apa saja, sesukamu." Kemudian sibuk kembali. Rena agak kebingungan, tetapi akhirnya dia memilih warna putih.

Oh, untuk siapa bunga ini Jefar berikan?

Selesai dengan bunga, dia sibuk mengambil plastik bening dan pita. Dia rangkai begitu indah bunga itu. Lalu segera Jefar membayarnya.

"Untuk siapa, Jef?"

"Untukmu,"

Jefar mengeluarkan sesuatu dari tas hitamnya. Dia mengeluarkan cokelat lalu dia berikan pada Rena.

"Eh?" Rena terkejut. Jefar mengangguk, menyuruh agar segera Rena terima. Dengan bingung, Rena mengambil cokelat itu dari tangan Jefar.

"Happy valentine, Rena," katanya tersenyum lembut. Karyawan di sana tampak berbisik-bisik. Pasalnya Rena tak pernah membawa seorang laki-laki ke toko bunganya ini.

"Thank you, Jef. Happy valentine too." Rena balas tersenyum. Rena segera menggiring Jefar ke tempat duduk yang ada di sana. Segeralah dia menyuruh karyawan menyuguhkan makanan dan minuman.

Jujur saja, dalam posisi seperti ini Rena jadi tersipu sendiri. Jefar duduk tepat didepannya sekarang. Dia senang sekaligus malu. "Sibuk sekali rupanya hari ini, Ren?"

Rena mengerjap, "eh, iya nih. Toko pastry ku juga lagi ramai." Hening kemudian. Selintas dia mempertanyakan sesuatu akan kedatangan Jefar, "kamu tahu dari mana alamat toko bunga ini?"

"Aku tanya ke Ibu aku, Ren,"

"Oh ya? Tante tahu toko bunga ini? Wah..."

"Ya, begitulah. Ngomong-ngomong aku sekalian mau beli tanaman kaktus sukulen. Apa ada?"

"Ada, Jef. Mau berapa?"

"Dua saja. Untuk Ibu ku, titipan."

Rena memanggil salah satu karyawan untuk membawakan tanaman tersebut kehadapan mereka. Setelah itu Jefar segera membayar dan pulang mengingat jam empat sore semua pekerjaan harus beres agar bisa menonton bersama.

...-o0o-...

"Kamu nggak bawa jaket?" Jefar menatap kekasihnya bingung. Wanita itu menggeleng. "Aku lupa. Nggak papa deh, lagian itu juga udah cukup panjang lengan bajuku,"

Benar, dia memang menggunakan cardigan hitam sore ini. Tapi cardigan itu tipis sekali dan tembus pandang. Dia juga mengenakan tank top hitam saja dalamnya.

Ugh... Jefar tidak mau kekasihnya dilihat pria lain.

"Pakai ini," dia melepas jas hitamnya, kemudian laki-laki itu taruh dipangkuan Rena. "Eh? Terus kamu?" Rena mengernyit. Takut Jefar kedinginan nantinya.

Jefar menggeleng, "aku kan pakai kemeja hitam ini. Sudah, nanti pakai saja," katanya seolah menuntut. Rena hanya menurut agar mobil hitam Jefar ini segera berangkat menuju bioskop.

Selama perjalanan, Rena memandang sekitarnya. Dia sangat suka berjalan-jalan seperti ini. Hingga tanpa sadar, dia tersenyum.

Jefar meliriknya sekilas, dia turut tersenyum. Hatinya menghangat. Diam-diam dia sentuh tangan lembut itu, Rena sempat tersentak kecil. Tetapi dia menurut, tidak berontak sama sekali.

Selama perjalanan, Jefar menggenggam tangan kurus itu. Sesekali ia kecup. Sesekali ia elus lembut. Rena merasa nyaman, jadi dia tidak memberontak.

"Kamu sudah makan?" Sesampainya di sana, Jefar menanyakan hal itu. "Belum." Kekasihnya itu menggeleng.

"Mau makan sekarang apa nanti saja?" Rena tampak berpikir sejenak, "nanti saja, Jef. Belum lapar." Mereka melanjutkan kegiatan untuk memesan tiket nonton.

Setelah keluar dari mobil, tangan Jefar tak lepas dari tangannya. Mereka selalu bergandengan seolah sudah lama berpacaran.

"Oh ya, Jef. Apa kamu nggak pusing mengerjakan dua Pekerjaan sekaligus?"

"Aku sudah biasa, Rena,"

"Wah, kamu kerja apa memangnya, Jef?"

...To be continue~...