Menjadi Madu Dengan Restu Ibu
Aku hanya bisa memandangi wajah ibu yang marah padaku, saat aku menolak keinginannya.
"Ibu, bagaimana mungkin Ibu mau menikahkan aku dengan Gus Ibrahim, dia itu suami Mbak Zahra, Bu! Keponakan ibu sendiri."
Aku mencoba membantah keinginan ibu yang ingin menikahkan aku dengan Gus Ibrahim, seorang saudagar kaya raya, suami sepupuku.
"Alifah!"
Ibu meninggikan suaranya.
"Gus Ibrahim sudah melunasi semua biaya pendaftaran kuliah kamu, dan dia juga bersedia membiayai kuliah kamu sampai kamu menjadi sarjana," kata ibu dengan menekan suaranya.
"Ibu, aku rela meski tidak kuliah, biar aku kerja saja."
Aku menghampiri ibu yang duduk di hadapanku, memohon padanya dengan berlutut sembari menggenggam kedua tangannya.
"Kamu mau kerja apa dengan ijazah Aliyah kamu itu?" tanya ibu kesal dengan tidak melihatku.
"Aku bisa mengajar di yayasan milik Paklik Gufron, Bu!" sahutku dengan menyebut nama Paklik Gufron, adik kandung ibu yang memiliki sebuah yayasan pendidikan.
"Mau ngajar apa kamu dengan ijazah Aliyah itu?"
"Aku bisa membantu mengajar PAUD, Bu! setelah itu, jika sudah punya uang sendiri, aku bisa kuliah," jelasku.
"Kamu pikir berapa gaji mengajar PAUD, Nak? Dua ratus ribu, tiga ratus ribu. Apalagi dengan ijazah kamu yang hanya lulusan Aliyah. Kamu pikir cukup buat kuliah, dan buat membayar hutang ibu kepada Gus Ibrahim?"
Aku meneteskan air mata, melihat ibu yang meneriakiku dengan menangis.
"Kamu pikir selama ini kamu dan adik-adik kamu sekolah siapa yang membiayai? Ibu dapat hutang, Nak! Ibu hutang ke sana ke sini, karena jualan ibu di pasar sepi. Dan Gus Ibrahim yang sering membantu ibu."
Ibu berkata dengan terisak tangis.
"Ibu juga sudah meminta mahar pernikahanmu pada Gus Ibrahim, dan ibu juga sudah memakainya untuk menebus sertifikat toko yang ibu gadaikan di bank."
Air mataku semakin tumpah saat mendengar penjelasan ibu. Aku melepaskan genggaman tangan ibu, dan duduk di sebelah ibu dengan lemas.
*****
Ibu, ibuku adalah seorang janda, beberapa tahun lalu ayahku meninggal dunia, dan saat itu kedua adikku masih balita. Aku bisa melihat bagaimana perjuangan ibu saat membesarkan kami bertiga seorang diri, dia berjualan di pasar, berangkat pagi dan pulang di sore hari.
Ibu, dia sangat sayang kepada kami, dan dia selalu mengutamakan pendidikan kami. Aku dan kedua adikku dikirim oleh ibu untuk belajar di pesantren yang ada di luar kota. Tentu uang yang dikeluarkan ibu untuk membiayai kami cukup besar, tapi aku tidak menyangka, jika ibu memperoleh uang tersebut dengan berhutang.
"Kamu mau tahu berapa hutang ibu pada Gus Ibrahim?"
Ibu terdengar bertanya padaku.
"Mungkin sudah lebih dari tiga ratus juta, Nak!" katanya dengan wajah lemas sembari meneteskan air mata. "Bagaimana ibu bisa membayar hutang itu, Nak? Jika kamu tidak menikah dengan Gus Ibrahim," lanjutnya. "Cuma kamu jalan keluar ibu, dan Gus Ibrahim juga sudah setuju untuk menikah dengan kamu."
Aku hanya terdiam, sembari mengatur nafasku. Perih rasanya mendengar ungkapan ibu, dan melihat air mata ibu mengalir deras.
******
Gus Ibrahim, dia adalah menantu Bude Siti, kakak kandung ibuku, dia suami dari sepupuku Mbak Zahra yang saat ini sedang hamil muda anak keempatnya.
Gus Ibrahim memang laki-laki yang mapan, dia memiliki usaha di mana-mana, selain itu dia memang keturunan orang kaya, dia juga salah satu putra Kiai besar di kotaku, karena itulah keluarga kami memanggil laki-laki itu dengan sebutan 'Gus' di depan namanya.
Beberapa tahun lalu aku pernah dengar, Gus Ibrahim menjadi anggota dewan di kotaku. Kearifannya dan juga loyalitasnya pada masyarakat menghantarkan dia pada sebuah jabatan menjadi wakil rakyat. Namun sekarang dia telah pensiun dari jabatan itu, dan lebih sering terlihat mengembangkan usahanya.
Beberapa kali aku bertemu dengan Gus Ibrahim dalam acara keluarga, tegur sapa pun sewajarnya, dia sopan dan juga tak pernah terlihat kurang ajar padaku, dan aku lihat hubungan rumah tangganya dengan Mbak Zahra juga sangat harmonis.
Aku menghela nafas panjang. Aku berpikir dalam, mungkinkah aku merusak hubungan keluarga yang begitu sakinah itu.
'Dreeeeeet!'
Terasa handphone di kantong bajuku bergetar. Kulihat, Paklik Gufron yang meneleponku.
"Assalamualaikum Paklik?"
"Waalaikum salam, kamu sudah pulang dari pesantren, Nak?" tanya Paklik Gufron.
"Sudah, kenapa Paklik?"
"Main ke rumah paklik, ya! Mbah Ibu kangen sama kamu."
Paklik Gufron mengatakan kalau nenekku yang biasa aku panggil Mbah Ibu, yang tinggal bersama paklik saat ini merindukanku.
"Insha Allah, besok Alifah ke rumah Paklik!"
****
Tak terasa hari itu telah berlalu, hari dimana seolah ada badai menyerangku.
"Bu, aku mau sowan ke rumah Mbah Ibu!"
Pagi ini aku berpamitan pada ibu yang tengah memasak di dapur. Aku berniat untuk mengunjungi nenekku.
"Sebentar lagi! Ibu juga mau sowan ke Mbah Ibu," sahut ibu dengan nada datar.
Aku mengangguk sembari masuk ke dalam kamarku, menunggu ibu untuk berangkat bersama sowan ke rumah nenekku.
Dua puluh menit kemudian kami pun berangkat.
Setelah sampai di rumah Paklik Gufron, kulihat beliau dan istrinya sudah menunggu kami.
Aku beruluk salam, dan kemudian masuk ke dalam, segera aku menemui nenek yang saat itu tengah beristirahat di dalam kamar.
Dipijat kaki nenek yang sudah mengering dan keriput, sembari mendengarkan petuah-petuahnya.
Selang beberapa menit di kamar nenek, putra paklik memanggilku.
"Mbak Alifah dipanggil Abi, di ruang tengah!" kata adik sepupuku, memberitahu kalau ayahnya sedang menungguku.
"Iya."
Aku mengangguk, sembari berpamitan kepada nenek untuk keluar dari kamarnya, karena paklik memanggilku.
Kulihat di ruang tengah, ibu, paklik, dan istri paklik sedang serius berbincang.
"Jadi benar, Zahra melamar Alifah untuk Gus Ibrahim, Mbak?" tanya paklik kepada ibu.
Aku yang baru masuk ruangan itu berlahan duduk di samping Bulik Anna istri paklik.
"Iya."
Ibuku mengangguk.
"Dan Mbak Yu menerimanya?"
"Iya," sahut ibu.
"Mbak, apa Mbak Sri tidak memikirkan perasaan Mbak Siti? Zahra sedang hamil muda mbak, bagaimana coba perasaan Mbak Siti kalau putrinya dimadu oleh suaminya saat dia tengah hamil?" kata paklik. "Zahra itu kan keponakan Mbak Yu, anak Mbak Yu juga, seharusnya Mbak dapat memahami perasaannya!" paklik berusaha menasehati ibu tentang niatnya untuk menikahkan aku dengan Gus Ibrahim.
"Gufron, Zahra sendiri yang melamar Alifah, aku tidak pernah memaksanya, dia sendiri yang rela suaminya menikah lagi!" sahut ibuku.
"Seharusnya Mbak menolak! Apa Mbak nggak mikir, Alifah baru lulus SMA, dan Gus Ibrahim sudah berusia empat puluh tahun, terlebih dia adalah suami orang. Apa Mbak nggak kasihan sama anak Mbak sendiri?" kata paklik lagi.
"Gufron, apanya yang harus dikasihani? Keluarga Gus Ibrahim juga banyak yang menikah lebih dari satu, pamannya, kakaknya. Dan hubungan rumah tangga mereka tetap baik-baik saja," sahut ibu. "Bukankah lebih baik berterus-terang saat ingin memiliki dua orang istri, dari pada sembunyi-sembunyi dan berzina? Banyak kan, sekarang? Pura-pura jadi suami setia, tapi banyak simpanan di luar sana." Ibu terdengar mempertahankan keputusannya.
"Mbak? Tapi tolong pikiran Alifah? Apa mbak rela putri mbak disebut pelakor yang merusak pagar ayu rumah tangga orang?"
Kudengar Bulik Anna angkat bicara.
"Anakku bukan pelakor Anna! Alifah tidak pernah mengganggu suami orang, dia tidak pernah mengganggu Gus Ibrahim. Alifah di lamar oleh istri Gus Ibrahim dengan cara yang baik. Jadi jaga mulut kamu kalau bicara!"
Ibu terlihat marah dan menunjuk muka adik iparnya.
Aku yang mendengarkan percakapan mereka hanya menunduk, dan berulang-ulang membaca istighfar di dalam hati.
"Alifah! Apa kamu benar-benar bersedia menikah dengan Gus Ibrahim?" tanya paklik kemudian memecah kekalutan hatiku.
Berlahan aku mendongakkan kepala dan melihat ke arah paklik yang duduk di hadapanku.
Kulihat ibu juga menatapku, dengan tatapan mata yang begitu sendu.
Melihat tatapan ibu, memoriku kembali mengingat kata-katanya. Bagaimana ibu dapat membayar hutang yang begitu besar, dan saat ini hanya akulah harapannya.
"Iya, aku bersedia Paklik," jawabku dengan menundukkan kepala, dan tidak terasa air mataku tumpah seketika.
Bersambung
Saat ini aku sudah berada di rumah, tepatnya di dalam kamar. Aku rebahkan tubuhku di atas ranjang, meski rasanya mataku susah terpejam.
Jiwa dan ragaku begitu lelah, terasa ada beban yang menumpuk di pundakku, apalagi saat mengingat wajah paklik dan bulik yang terlihat kecewa mendengar jawabanku, karena aku mengiyakan menerima lamaran Gus Ibrahim.
Aku bingung harus berbuat apa, apakah harus lari dari kenyataan dan meninggalkan ibu, ataukah harus bertahan dengan mengikuti keputusan ibu.
Apapun alasannya aku adalah anak pertama di rumah ini, yang seharusnya membantu ibu meringankan beban dan tanggung jawabnya.
Demi kami bertiga ibu tidak menikah lagi, demi kami bertiga ibu tidak pernah memikirkan kebahagiaannya sendiri. Dan jika saat ini dia terlilit hutang yang begitu besar, itu pun untuk membiayai kehidupan kami.
Ibu tidak memiliki ketrampilan apa pun saat ditinggalkan ayah pergi, toko kelontong di pasar, itulah satu-satunya warisan ayah.
Setelah masa Iddahnya usai, ibu mulai belajar mandiri, meneruskan usaha ayah berjualan, dengan keterampilan berdagang yang masih amatiran.
Sembari mengasuh kami bertiga, ibu menjalankan usahanya itu.Aku ingat ibu mengantarku ke sekolah dengan membawa dua adikku yang masih balita, dan setelah itu ibu membawa serta dua adikku berjualan di pasar.
Mengingat semua itu, akankah aku meninggalkan ibu, membiarkan dia menanggung sendiri masalah yang dia hadapi.
Aku mengusap air mataku yang tiba-tiba mengalir deras. Berat rasanya berada dalam dilema ini, karena dengan keputusanku membantu ibu, akan banyak hati yang tersakiti. Bude Siti, Mbak Zahra, dan keluarga besarku. Aku hanya bisa pasrah dan berdoa menyerahkan takdirku pada yang Maha Kuasa.
'Dreeeeeet!'
Tiba-tiba ku lihat handphone di meja belajarku bergetar. Segera aku bangun dari tempat tidur dan meraihnya. Kusentuh layarnya sembari menerima telepon yang aku lihat dari ustadzahku saat di pesantren.
"Assalamualaikum Ustadzah Hafsah?" sapaku dalam telepon.
"Waalaikum salam," jawabnya. "Bagaimana kabar kamu Alifah?"
"Alhamdulillah, sehat Ustadzah," jawabku.
"Alifah, maaf mengganggu kamu malam-malam begini!" katanya. "Ustadzah hanya ingin menyampaikan salam dari salah satu ustadz di pesantren, yang berniat untuk mengkhitbahmu."
Aku tercengang saat mendengar Ustadzah Hafsah berbicara.
"Ustadz siapa, Ustadzah?" tanyaku penasaran.
"Ustadz Mirza."
Aku bergeming, dan tidak segera menyahuti Ustadzah Hafsah.
"Insya Allah, dua minggu lagi keluarga Ustadz Mirza akan ke rumahmu, untuk mengkhitbahmu," katanya kemudian.
Setelah mengatakan hal itu padaku, Ustadzah Hafsah mengakhiri percakapannya dengan beruluk salam.
Aku masih terdiam, tertegun, dan masih tidak percaya dengan kabar yang baru saja aku dengar.
Berlahan aku letakkan handphoneku di meja, dan kembali duduk di ranjang yang ada di sebelahnya.
Ustadz Mirza, dia adalah ustadz muda di pesantren. Beliau pernah menjadi pembimbingku di kelas pidato bahasa Arab, salah satu program kegiatan di pesantren yang harus diikuti oleh semua santri.
Aku masih tidak percaya Ustadz Mirza akan melamarku, apalagi yang aku tahu, lebih dari enam bulan yang lalu dia sudah keluar dari pesantren, untuk melanjutkan pendidikan agamanya di Sudan.
Tidak lama setelah aku memikirkan Ustadz Mirza, handphone di mejaku kembali bergetar, segera aku meraihnya dan menyentuh layarnya kembali. Kulihat sebuah nomor yang tidak aku kenal meneleponku.
"Assalamualaikum!"
Aku mengangkat telepon itu sembari mengucapkan salam.
"Waalaikum salam Alifah."
Aku berfikir, sepertinya aku mengenal suara itu.
"Ini siapa?" tanyaku ragu.
"Aku Mirza," jawabnya.
"Oooh, Ustadz Mirza," sahutku.
"Maaf! Aku mengganggu kamu malam-malam, aku mendapatkan nomer handphone kamu dari Ustadzah Hafsah, tidak apa-apa kan, aku meneleponmu?" tanyanya.
"Iya Ustadz tidak apa-apa. Bagaimana kabar Ustadz? Aku dengar Ustadz mendapatan beasiswa ke Sudan? Masya Allah saya senang mendengarnya."
"Iya, terimakasih. Alhamdulillah saat ini, aku sudah mengikuti perkuliahan," ceritanya dengan kemudian terdiam.
"O, iya. Alifah. Mmm... Sebenarnya waktu itu, sebelum keberangkatanku melanjutkan pendidikan ke Sudah, aku berniat untuk mengkhitbahmu."
Ustadz Mirza melanjutkan pembicaraannya.
"Tapi karena jadwal keberangkatan yang tidak bisa diundur, akhirnya rencana itu tertunda," lanjutnya.
"Hmm!"
Aku tersenyum tipis, dan tidak menjawab apa-apa.
"Alifah! Sejujurnya, aku mengagumi kamu, dan berniat untuk menghalalkan kamu setelah aku pulang ke Indonesia nanti," katanya. "Jika kamu berkenan, aku ingin kamu menungguku, dan mengatakan kepada laki-laki yang mendekatimu, kalau aku sudah mengkhitbahmu!" pintanya dengan penuh kejujuran.
Jantungku berdegup. Kaget, diikuti rasa gemetar.
Aku terdiam sejenak, dan mulai mengatur napasku. Lalu menjawab, "Insya Allah!"
"Terima kasih, Alifah! Insha Allah, dua Minggu lagi, keluargaku akan bersilaturahmi ke rumahmu," kata laki-laki itu lembut.
"Mmm, iya," sahutku sembari kemudian berpamitan untuk mengakhiri telepon.
********
Aku masih tertegun, dengan mata berkedip-kedip saat duduk di atas tempat tidur.
Kupandangi telepon seluler yang masih ada di genggamanku. Aku berfikir, mungkinkah Ustadz Mirza benar-benar akan melamarku.
Ya Allah! Aku benar-benar bingung, gelisah, dan resah. Sungguh aku butuh Allah untuk memberiku petunjuk.
Segera aku keluar dari kamar menuju toilet untuk mengambil air wudhu. Kemudian masuk kembali ke dalam kamarku, menghamparkan sajadah, dan memulai salat sunnah. Membaca Al-Quran, dan memperbanyak dzikir, hingga aku menemukan ketenangan dalam hati.
******
Pagi telah menjelang. Aku bahagia dan bersyukur masih dapat bernapas dengan merasakan kehangatan sinar mentari.
Seperti biasa, di pagi hari, aku membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah. Menyapu, mengepel, dan mencuci piring. Setelah itu menata makanan yang sudah ibu masak di meja makan.
Aku menemani ibu sarapan pagi ini.
"Ibu, biasanya Ibu pagi ke pasar pagi-pagi sekali?" tanyaku membuka obrolan.
"Iya, ibu memang kesiangan. Tapi ibu sudah minta tolong pada mbak Murni, untuk menjaga toko sampai ibu datang," jawab ibu dengan menyebut nama Mbak Murni, salah satu buruh harian yang ada di pasar.
Aku duduk di depan ibu, dengan kemudian menyendokkan nasi dan sayur ke dalam piringnya.
"Ibu! Menurut Ibu? Bagaimana jika ada seseorang yang ingin melamarku?" tanyaku lembut dengan tersenyum padanya.
Sejujurnya aku ragu ketika ingin menanyakan hal ini. Tapi entah kenapa aku sangat ingin tahu jawaban ibu.
Berlahan ibu mendongakkan kepala, menghentikan mengunyah makanan, dan meletakkan sendok yang dia gunakan untuk makan. Matanya terlihat sayu menatapku.
"Ibu sudah pernah cerita, kan? Kalau ibu, sudah meminta mahar pernikahanmu kepada Gus Ibrahim, dan ibu juga sudah menggunakannya," sahut ibu lirih dengan wajah lesu.
Aku tersenyum tipis saat mendengar jawaban ibu. Wajah ibu yang tampak tidak bersemangat, membuat aku merasa bersalah.
Ibu beranjak dari kursinya, meninggalkan makannya, sembari kemudian mengambil tas di atas bufet yang biasa dia bawa ke pasar.
"Ibu berangkat dulu! Assalamualaikum!" pamitnya dengan mengusap kepalaku.
"Waalaikum salam," sahutku lirih.
Aku yang saat itu masih berada di meja makan, menjadi enggan untuk menyantap makananku.
Air mataku kembali jatuh.
"Ibu! Apakah harus dengan menjadi madu sepupuku, aku bisa berbakti kepada Ibu?"
Bersambung