SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Sistem Pengubah Hidup

Sistem Pengubah Hidup

Bab 1: Awal yang Berat

Bab 1: Awal yang Berat

Ian melangkah pelan-pelan di koridor sekolahnya, mencoba menghindari tatapan sinis dari siswa-siswa lain. SMA Bina Bangsa, sekolah elit yang dipenuhi anak-anak orang kaya, sama sekali bukan tempat yang ramah buatnya. Sepatu yang sudah agak usang dan seragam yang warnanya mulai pudar bikin dia langsung mencolok di antara lautan siswa lain yang tampil modis dengan barang-barang mahal.

Di sudut koridor, beberapa anak cowok dari kelas lain sudah berkumpul. Mereka biasa ngumpul di situ, dan Ian tahu persis apa yang bakal terjadi selanjutnya. "Eh, Ian si gembel lewat!" salah satu dari mereka berseru sambil cekikikan. Ian cuma bisa menunduk, berusaha buat nggak peduli, tapi hatinya berdegup kencang.

"Sini lo, Ardian!" seru yang lain, kali ini sambil melempar botol plastik bekas ke arahnya. Ian terpaksa berhenti, merasa kalau nggak menanggapi, malah makin parah dibully. "Ada apa lagi sih, Reza?" jawab Ian dengan suara pelan, berusaha tenang meskipun jelas-jelas dia gugup.

"Lo gak capek, Ian, pakai sepatu yang udah mau lepas kayak gitu? Atau lo sengaja biar bisa minta-minta sama kita?" Reza, si pemimpin geng itu, melontarkan ejekannya dengan nada meremehkan. Teman-temannya tertawa, dan Ian cuma bisa diam, nahan amarah dan rasa malu yang bercampur jadi satu.

Ian tahu dia nggak bisa ngelawan. Di sekolah ini, siapa yang punya duit, dia yang berkuasa. Sementara Ian? Jangankan punya duit, buat makan aja kadang dia harus mikir dua kali. Tapi, seberat apapun hari-harinya di sini, Ian punya tekad yang kuat. Dia gak akan biarin mereka ngancurin mimpinya. Meski sering dibully, meski selalu dipandang sebelah mata, Ian yakin suatu hari nanti semua ini bakal berubah.

"Udahlah, jangan gangguin dia lagi," tiba-tiba ada suara cewek dari belakang mereka. Nadanya tegas, tapi nggak kasar. Semua anak cowok langsung menoleh, termasuk Ian. Dia melihat sosok Alya, cewek pintar dan salah satu siswa paling populer di sekolah ini. Alya menatap Reza dengan dingin, bikin cowok itu sedikit mundur.

"Tch, lo beruntung kali ini, Ian," Reza mendengus kesal, lalu melengos pergi bersama gengnya. Ian hanya bisa menghela napas lega.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Alya sambil mendekat. Ian hanya mengangguk pelan, bingung harus bilang apa. "Thanks," katanya pendek, merasa sedikit bersyukur ada orang yang masih peduli.

Tapi, meski Alya udah pergi, kata-kata Reza tadi masih terngiang di kepala Ian. 'Gembel.' Itu udah jadi julukan buat dia selama ini. Tapi Ian nggak mau selamanya jadi bahan olokan. Dalam hati, dia janji suatu hari nanti dia akan tunjukin ke mereka kalau orang kayak dia juga bisa sukses.

Hari itu Ian pulang dengan langkah yang berat. Jalan kaki menyusuri trotoar yang penuh dengan kendaraan mewah yang lalu-lalang. Setiap deru mesin dan klakson mobil yang melintas, semakin menekan perasaannya. "Kapan hidup gue berubah?" Ian merenung sambil terus berjalan, berharap ada keajaiban yang bisa mengubah nasibnya.

Dan tanpa Ian sadari, malam itu akan jadi awal dari sesuatu yang besar. Sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya.

lan terus berjalan dengan pikiran yang melayang-layang, melamun tentang kehidupannya yang terasa begitu sulit. Langkah kakinya seperti otomatis, tanpa benar-benar memperhatikan jalan di depannya. Sambil menyebrang di zebra cross, pikirannya terfokus pada bayangan masa depan yang lebih baik, meski jauh di dalam hatinya dia merasa pesimis.

"Bagaimana caranya gue bisa keluar dari semua ini?" gumamnya pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri. la tidak sadar, lampu lalu lintas untuk pejalan kaki sudah berubah merah. Mobil-mobil di sekitar mulai bergerak lagi, tapi lan tetap melangkah tanpa menghiraukan sekitarnya.

Lalu tiba-tiba, suara klakson yang memekakkan telinga terdengar, diikuti oleh deru mesin yang semakin mendekat. lan tersadar dari lamunannya, namun sudah terlambat. Sebuah mobil melaju dengan kencang ke arahnya. Dalam sekejap, tubuh lan terhempas keras ke aspal, suara benturan yang begitu keras menggema, diiringi dengan teriakan orang-orang yang melihat kejadian itu.

"Astaga, ada yang ketabrak!" teriak seorang ibu-ibu yang sedang berdiri di trotoar. Orang-orang mulai berkumpul di sekitar lan yang tergeletak tak berdaya di jalanan, darah mengalir dari kepalanya yang terluka parah.

Pengemudi mobil itu, seorang pria muda dengan wajah panik, menatap lan dengan kaget melalui kaca depan mobilnya. "Sial, gue bisa masuk penjara!" pikirnya panik. Alih-alih keluar dan menolong, dia malah menginjak gas dan melarikan diri dari tempat kejadian, meninggalkan lan yang terbaring tak sadarkan diri di jalan.

Kerumunan semakin ramai, beberapa orang berusaha mendekati lan untuk memeriksa keadaannya. "Cepat telpon ambulan! Kondisinya parah!" seru seseorang di antara kerumunan itu. Dengan cepat, salah satu dari mereka mengeluarkan ponselnya dan segera menghubungi ambulan serta polisi.

"Anak ini butuh pertolongan cepat, siapa yang tahu keluarganya?" tanya seorang pria yang mencoba menstabilkan posisi lan agar tidak semakin parah. Namun, tidak ada yang tahu siapa lan atau dari mana dia berasal. Di mata mereka, dia hanyalah seorang anak malang yang sedang berjuang antara hidup dan mati di tengah jalanan yang keras.

Detik demi detik berlalu dengan lambat. lan terbaring di situ, napasnya lemah, kesadarannya semakin memudar. Pikirannya melayang, antara dunia nyata dan bayangan, suara sirene ambulan mulai terdengar dari kejauhan, namun bagi lan, semua itu seperti mimpi yang jauh.

Hidup yang penuh dengan kesulitan dan penolakan seolah-olah mencapai titik terendahnya di sini, di tengah jalan yang dingin dan keras. Di tengah kegelapan yang menyelimuti pikirannya, lan bertanya-tanya apakah ini akhirnya. Apakah ini takdir yang menantinya? Tanpa jawaban, kesadaran lan perlahan menghilang, menyerahkan dirinya pada kegelapan yano nekat.

Bersambung...

Bab 2: Suara Misterius

Bab 2: Suara Misterius

Dalam kegelapan yang pekat, Ian terombang-ambing antara kesadaran dan ketidaksadaran. Tubuhnya terasa berat, seperti tenggelam dalam lautan hitam tanpa dasar. Di tengah kekosongan itu, tiba-tiba terdengar suara. Bukan suara yang biasa ia dengar, melainkan sesuatu yang asing, seperti berasal dari dalam kepalanya sendiri.

“Penyatuan Sistem dengan entitas bernama Ardian sedang diproses... Apakah Anda menerima penyatuan ini?”

Suara itu bergema di dalam pikirannya, berulang-ulang, seolah menunggu jawaban darinya. Namun, Ian yang masih dalam kondisi setengah sadar hanya bisa diam. Pikirannya yang lemah tak mampu mencerna kata-kata tersebut, apalagi memberikan respon. Suara itu terus mengulang pertanyaannya, namun tanpa jawaban dari Ian, perlahan-lahan suara itu mulai memudar, menghilang di balik bayangan pikirannya yang kabur.

Hari-hari berlalu dalam sekejap. Ian terjebak dalam keadaan koma, tubuhnya terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, tubuhnya dipenuhi dengan berbagai alat medis yang membantu menjaga hidupnya. Di luar kamar, para dokter dan perawat bekerja keras memantau kondisinya, sementara dunia di luar rumah sakit terus berjalan seperti biasa.

Tiga hari kemudian, kelopak mata Ian akhirnya mulai bergerak. Dia perlahan membuka matanya, pandangannya kabur dan segala sesuatunya tampak samar. Cahaya lampu di langit-langit ruangan menyilaukan matanya yang belum terbiasa dengan terang. Suara alat-alat medis yang berdengung di sekitarnya mulai masuk ke telinganya, menandakan kalau dia masih hidup.

"Nnngh..." Ian mencoba bersuara, tapi hanya gumaman lemah yang keluar dari bibirnya. Tubuhnya terasa kaku, dan setiap gerakan kecil membuatnya merasakan sakit yang tajam di seluruh tubuhnya. Namun, di balik rasa sakit itu, ada kelegaan kecil bahwa dia masih hidup.

Perlahan, Ian mulai menyadari di mana dia berada. Ruangan rumah sakit yang serba putih dengan bau antiseptik yang menusuk hidung. Pikirannya masih kabur, tapi ingatan akan kecelakaan itu tiba-tiba muncul. Ia ingat mobil itu, benturan keras, dan kemudian... kegelapan.

“Kamu sudah sadar?” sebuah suara lembut terdengar dari sebelahnya. Seorang perawat muda tersenyum padanya, terlihat lega melihat Ian membuka matanya. “Tunggu sebentar ya, aku panggilkan dokter.”

Ian hanya bisa mengangguk pelan, belum sanggup untuk berbicara. Ia berusaha untuk mengingat kembali apa yang terjadi setelah kecelakaan itu, namun yang dia ingat hanyalah suara aneh yang terdengar di kepalanya saat dia tidak sadarkan diri. Suara yang berbicara tentang ‘Sistem’.

Beberapa menit kemudian, seorang dokter datang memeriksa kondisinya. "Kamu sudah sadar, itu kabar baik," katanya dengan nada tenang sambil memeriksa tekanan darah Ian. "Kamu mengalami kecelakaan yang cukup parah, tapi sekarang kondisimu sudah stabil. Kamu beruntung masih hidup."

Ian hanya bisa mendengarkan dalam diam, mencoba mencerna informasi itu. Tubuhnya masih terasa lemah, tapi perlahan ia mulai merasa lebih sadar. Namun, meski sudah terjaga, suara aneh tentang 'Sistem' itu tetap mengganggu pikirannya.

"Dok... sistem... apa itu?" tanya Ian dengan suara serak, namun dokter itu hanya mengernyit bingung. "Sistem? Maksud kamu apa?"

Ian tidak punya jawaban. Dia pun mulai meragukan apa yang dia dengar saat tidak sadar. Mungkin itu hanya halusinasi, pikirnya. Tapi, entah kenapa, suara itu terasa begitu nyata. Meski begitu, untuk saat ini Ian hanya bisa fokus untuk pulih, meski pikirannya terus dihantui oleh suara misterius tersebut.

....

Setelah selesai memeriksa keadaan Ian, dokter itu memasukkan beberapa catatan ke dalam clipboardnya dan berdiri. "Baiklah, saya akan kembali nanti untuk memantau kondisi kamu. Untuk sekarang, cobalah beristirahat," katanya sebelum keluar dari ruangan, meninggalkan Ian sendirian dengan pikirannya.

Ian terbaring diam, menatap langit-langit putih di atasnya. Perasaan bingung dan cemas bercampur menjadi satu. Suara tentang ‘Sistem’ itu masih mengganggu pikirannya. "Apa maksudnya? Apa itu hanya mimpi?" pikirnya sambil mencoba mengingat kembali detail dari suara itu.

Saat ia sedang larut dalam pikirannya, tiba-tiba suara itu terdengar lagi, lebih jelas dan nyata.

“Penyatuan Sistem dengan entitas bernama Ardian sedang diproses... Apakah Anda menerima penyatuan ini?”

Ian terkesiap. Suara itu terdengar begitu nyata, seolah-olah ada seseorang yang berbicara langsung ke dalam kepalanya. Ia menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir suara itu, tapi suara itu tetap ada, mengulang pertanyaan yang sama tanpa henti.

Ian berusaha tetap tenang. "Siapa... siapa kamu?" tanyanya dengan suara lemah, meskipun dia tahu tidak ada orang lain di ruangan itu. Tidak ada jawaban selain pengulangan kalimat yang sama.

"Apakah Anda menerima penyatuan ini?"

Ian mulai merasa frustasi. Suara itu terus berulang tanpa memberikan jawaban yang jelas. Ia memejamkan mata, mencoba berpikir jernih. "Apa sih sebenarnya ‘Sistem’ ini? Dan kenapa harus gue?" pikirnya sambil mencoba memahami situasinya.

Meski pikirannya masih kabur dan tubuhnya masih terasa lemah, Ian tahu dia harus membuat keputusan. Suara itu tidak akan berhenti sebelum dia memberikan jawaban. Apa pun itu, Ian merasa bahwa menyetujuinya mungkin adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban atas semua kebingungannya.

Dengan napas yang berat, Ian akhirnya mengambil keputusan. “Baiklah... gue setuju,” katanya pelan namun mantap, meski dalam hati masih ada sedikit keraguan. Tapi dia tahu, hidupnya sudah cukup sulit, dan mungkin ini adalah satu-satunya kesempatan untuk mengubah segalanya.

Begitu kata-kata itu keluar dari mulutnya, ruangan tiba-tiba terasa sunyi. Suara itu berhenti mengulang, seolah puas dengan jawabannya. Ian merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya, seperti ada energi yang mengalir, menembus setiap sel dalam tubuhnya. Tapi sebelum ia bisa sepenuhnya memahami apa yang terjadi, kesadarannya perlahan memudar lagi, menyeretnya kembali ke dalam kegelapan yang tidak diketahui.

Bersambung...