Dare To Love
🍁🍁🍁
Sekitar pukul tujuh pagi, suara gedoran pintu di kediaman Nomor 14, perumahan Tulip Pusaka terdengar hingga pintu luar. Rumah itu tidak luas, hanya satu kaveling saja di jalan buntu.
Suara gedoran itu kian keras, “Kakak, Kakak, ayo cepat bangun! Kakak bahkan belum membuat sarapan! Hmph!”
Gedoran keras di pintu kamarnya itu semakin membuat kedutan di kepala Virga kian menggila, ‘Sakit sekali.’ Batinnya.
Gadis itu membuka matanya yang terasa lengket, kepalanya berdenyut-denyut kencang oleh setiap gerakan kecil yang dibuatnya. Ia merangkak turun dari kasurnya, tertatih-tatih menuju pintu.
“Apa?” Tanyanya jengkel pada adiknya, Sonia.
Sonia adalah adik tirinya. Mama Sonia dan ayah Virga adalah janda dan duda beranak satu yang akhirnya menikah lagi. Sayangnya, dari pernikahan baru mereka, mama Sonia dan ayah Virga tidak dikaruniai anak.
“Apa kakak sedang sakit? Atau kakak hanya malas? Ini hari pertama kita sekolah lho...” Sonia berkacak pinggang manja, rambut panjangnya ia kepang dua di sebelah kanan dan kiri.
“Aku sedang sakit. Izinkan aku pada Bu Mus.” Bu Mus adalah wali kelas Virga, kelas XI IPA-A.
Virga hendak menutup pintu kamarnya sebelum Sonia menahan pintu kamarnya. “Tunggu! Kakak belum memberiku uang makan!” Jerit Sonia.
“Aku kan sudah memberimu uang jajan bulan ini!” Omel Virga.
‘Ah, rasa-rasanya kepalaku seperti akan meledak. Sakit sekali.’
“Uang jajan ya uang jajan! Uang makan beda lagi!” Balas Sonia sengit.
“Andai kamu tahu, kalau uang makanmu Kakak ambilkan dari jatah uang jajan Kakak.” Balas Virga lemah.
‘Brak’ Virga menutup pintu kamarnya.
Terdengar sungut-sungut suara Sonia menggerutu, suara pintu rumah ditutup pelan, kemudian suara ontel Sonia mulai menjauh samar.
Virga kembali merangkak menuju ranjangnya. Tidak sanggup naik, ia menyandarkan kepalanya di pinggiran kasur sementara kakinya masih di lantai kamarnya. Ia meraba keningnya, panas sekali. Harusnya ia titip obat sakit kepala pada Sonia.
Mata beriris cokelat itu perlahan menutup, air mata yang terasa panas deras menetes.
“Setiap kali aku sakit, aku selalu saja meneteskan air mata.” Ucap Virga sambil mengusap air matanya kasar.
'Bukannya menangis, aku hanya meneteskan air mata karena sakit saja.’ Itu yang selalu Virga katakan pada orang-orang yang melihatnya menangis ketika sakit.
Sudah empat bulan sejak ayahnya berhenti mengirimi uang bulanan. Hingga akhirnya dua hari yang lalu ayahnya, Samuel Robert, mengajak bertemu di salah satu restoran franchise pizza ternama. Tidak ia sangka, ternyata di pertemuan itu, mama Sonia, Amy Yanti dan Sonia juga hadir.
(Flashback 2 Hari yang Lalu)
Di tengah keramaian restoran, meja nomor 03 itu hening. Ketika seorang pelayan menyajikan pizza bertaburkan sosis dan sapi panggang ukuran Large Splitza, Sonia mulai makan. Ia terlihat acuh tak acuh pada situasi di meja keluarganya.
Seorang pramusaji lelaki datang lagi, ia meletakkan Winter Punch di depan Virga. Ia heran, entah siapa yang memesan, tapi semua minuman yang dipesan adalah favorit masing-masing.
Sonia seperti biasa, minuman berasa alpukat, Mama Amy berasa jeruk, dan minuman Ayah Samuel berasa kopi susu.
Setelah pelayan itu pergi, Ayah Samuel membuka suara. Pelan dan berat. “Kami memutuskan untuk berpisah.”
Untuk sepersekian detik, tubuh Virga berhenti bergerak. Setelah sadar dari kekagetannya, gadis itu menarik tangannya dari atas meja. Tangannya bergetar dan terasa dingin
“Huh,” Mama Amy mendengus. “Jangan salahkan aku, Virga. Ayahmu saja yang kurang ajar. Dia berselingkuh.” Mama Amy dengan sengit menatap Ayah Samuel.
“Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan di setiap perjalanan dinasmu dengan atasanmu?” Balas Ayah Samuel.
Ayah Samuel adalah seorang asisten kontraktor di sebuah perusahaan konstruksi. Tubuhnya kurus dan tinggi. Rambutnya hitam cepak disisir ke kiri. Kulitnya kuning kecoklatan. November tahun lalu, usianya menginjak 46 tahun. Meski begitu, di antara kerutan-kerutan di sekitar mata dan bibirnya, wajahnya masih tetap terlihat tampan.
Kemeja putih dan celana kerja hitamnya memberikan kesan yang tak bisa diremehkan. Hidungnya yang mancung dan runcing mengintimidasi, matanya yang dalam menatap tajam ke arah Mama Amy.
Mama Amy bekerja sebagai seorang pegawai negara bagian keuangan level kota. Kulitnya yang putih memantulkan sinar lampu terang restoran. Ia memakai gaun biru tua ketat selutut dengan blazer putih gading di atasnya. Tubuhnya sedikit berisi, wajah cantiknya berpoles make up dengan lipstik merah terang yang membuatnya kian memesona.
Sementara Ayah Samuel dan Mama Amy terus bertengkar, Virga bernostalgia 7 tahun yang lalu, ketika Mama Amy dan Sonia mulai hadir di keluarga kecilnya.
Ibu Virga, Winnie Tetsuo, adalah seorang blasteran Jepang-Russia. Ia meninggal dunia ketika melahirkan Virga. Virga kemudian dirawat oleh nenek dari ayahnya, dan setelah ayahnya bertemu Mama Amy, mereka mulai membina rumah tangga bersama.
Meski lahir di tahun yang sama, Virga 3 bulan lebih tua Sonia. Mereka selalu sekolah di sekolah yang sama dengan Sonia memanggilnya kakak, dan Virga memperlakukannya sebagai adik kecilnya.
Bisa dikatakan, keluarga mereka adalah keluarga yang bahagia.
Namun, semua berubah ketika Ayah Samuel dan Mama Amy mulai bertengkar, mulai dari hal kecil seperti siapa yang mengantarkan sekolah anak-anak, siapa yang menghabiskan waktu dengan anak-anak setiap akhir pekan, hingga akhirnya mereka berdua keluar dari rumah. Tidak lagi tinggal di rumah yang sama.
Sepertinya, adu mulut antara kedua orang tuanya sudah mereda, mereka berdua melihat ke arah Virga yang sedari tadi diam. Gelas berbentuk botol di depannya kian berkondensasi tak tersentuh.
“Kamu tidak apa-apa kan, Nak?” Tanya Ayah Samuel, ia merengkuh Virga ke dalam pelukannya dan menciumi kepalanya.
“Yeah.. Aku baik-baik saja” Jawab Virga tak berekspresi sambil mendorong ayahnya menjauh.
Pizza besar di meja sudah hampir habis setengahnya dimakan oleh Sonia. Ayah Samuel dan Mama Amy menghela nafas panjang dan menyeruput minuman mereka bersamaan.
“Lalu, bagaimana dengan kita?” Tanya Virga sambil menunjuk ke arahnya dan Sonia.
“Aku akan ikut mama.” Jawab Sonia. Ia bertatapan lama dengan Virga.
Bagaimanapun juga, mereka telah menghabiskan waktu bersama yang tak sebentar.
Sonia memalingkan wajahnya. “Tapi mungkin aku akan tinggal di kota ini hingga semester depan. Sekolah baru saja dimulai, tidak mungkin pindah sekolah sekarang.”
Sonia dan Virga sekolah di SMA yang sama. Meski awalnya Virga bisa saja masuk ke SMA nomor 1 di kotanya, tapi ia lebih memilih masuk ke SMA urutan ketiga di kota ini demi bisa satu sekolah dengan Sonia.
“Lalu, bagaimana denganku?” Tanya Virga lirih.
Entah kenapa, ia merasa tenang. Lebih tepatnya, ia tidak merasakan apa pun. Bahkan kepalanya pun kosong. Tidak memikirkan apa pun.
Ayah Samuel menghela nafas panjang. “Rumah itu milikmu. Ayah membelinya atas namamu.”
“Ayah akan tetap mengirimiku uang bulanan kan?”
“Tentu saja.”
“Lalu kenapa Ayah tidak mengirimiku uang 4 bulan ini?”
Ayah Samuel tidak menjawab.
“Ayahmu sibuk dengan keluarga barunya.” Jawab Mama Amy.
Virga mengerutkan keningnya. Tidak terlalu faham dengan maksud kalimat Mama Amy.
Ayah Samuel, “Kita sudah resmi bercerai April tahun lalu.”
Tangan Virga yang tengah memutar-mutar sedotan terjatuh lemah ke atas meja.
Ia melihat ke arah Sonia yang masih acuh tak acuh memainkan ponselnya. “Apa kau tahu?” Tanyanya pada Sonia. Ia tanpa sadar meremas tangan Sonia dengan kuat.
Sonia melepas tangan Virga dengan lembut. Ia memandang wajah Virga dalam-dalam sebelum menjawab, “Ya, aku tahu.”
🍁🍁🍁
A/N: Jangan lupa like dan komen ya..
🍁🍁🍁
Sekitar pukul tujuh pagi, suara gedoran pintu di kediaman Nomor 14, perumahan Tulip Pusaka terdengar hingga pintu luar. Rumah itu tidak luas, hanya satu kaveling saja di jalan buntu.
Suara gedoran itu kian keras, “Kakak, Kakak, ayo cepat bangun! Kakak bahkan belum membuat sarapan! Hmph!”
Gedoran keras di pintu kamarnya itu semakin membuat kedutan di kepala Virga kian menggila, ‘Sakit sekali.’ Batinnya.
Gadis itu membuka matanya yang terasa lengket, kepalanya berdenyut-denyut kencang oleh setiap gerakan kecil yang dibuatnya. Ia merangkak turun dari kasurnya, tertatih-tatih menuju pintu.
“Apa?” Tanyanya jengkel pada adiknya, Sonia.
Sonia adalah adik tirinya. Mama Sonia dan ayah Virga adalah janda dan duda beranak satu yang akhirnya menikah lagi. Sayangnya, dari pernikahan baru mereka, mama Sonia dan ayah Virga tidak dikaruniai anak.
“Apa kakak sedang sakit? Atau kakak hanya malas? Ini hari pertama kita sekolah lho...” Sonia berkacak pinggang manja, rambut panjangnya ia kepang dua di sebelah kanan dan kiri.
“Aku sedang sakit. Izinkan aku pada Bu Mus.” Bu Mus adalah wali kelas Virga, kelas XI IPA-A.
Virga hendak menutup pintu kamarnya sebelum Sonia menahan pintu kamarnya. “Tunggu! Kakak belum memberiku uang makan!” Jerit Sonia.
“Aku kan sudah memberimu uang jajan bulan ini!” Omel Virga.
‘Ah, rasa-rasanya kepalaku seperti akan meledak. Sakit sekali.’
“Uang jajan ya uang jajan! Uang makan beda lagi!” Balas Sonia sengit.
“Andai kamu tahu, kalau uang makanmu Kakak ambilkan dari jatah uang jajan Kakak.” Balas Virga lemah.
‘Brak’ Virga menutup pintu kamarnya.
Terdengar sungut-sungut suara Sonia menggerutu, suara pintu rumah ditutup pelan, kemudian suara ontel Sonia mulai menjauh samar.
Virga kembali merangkak menuju ranjangnya. Tidak sanggup naik, ia menyandarkan kepalanya di pinggiran kasur sementara kakinya masih di lantai kamarnya. Ia meraba keningnya, panas sekali. Harusnya ia titip obat sakit kepala pada Sonia.
Mata beriris cokelat itu perlahan menutup, air mata yang terasa panas deras menetes.
“Setiap kali aku sakit, aku selalu saja meneteskan air mata.” Ucap Virga sambil mengusap air matanya kasar.
'Bukannya menangis, aku hanya meneteskan air mata karena sakit saja.’ Itu yang selalu Virga katakan pada orang-orang yang melihatnya menangis ketika sakit.
Sudah empat bulan sejak ayahnya berhenti mengirimi uang bulanan. Hingga akhirnya dua hari yang lalu ayahnya, Samuel Robert, mengajak bertemu di salah satu restoran franchise pizza ternama. Tidak ia sangka, ternyata di pertemuan itu, mama Sonia, Amy Yanti dan Sonia juga hadir.
(Flashback 2 Hari yang Lalu)
Di tengah keramaian restoran, meja nomor 03 itu hening. Ketika seorang pelayan menyajikan pizza bertaburkan sosis dan sapi panggang ukuran Large Splitza, Sonia mulai makan. Ia terlihat acuh tak acuh pada situasi di meja keluarganya.
Seorang pramusaji lelaki datang lagi, ia meletakkan Winter Punch di depan Virga. Ia heran, entah siapa yang memesan, tapi semua minuman yang dipesan adalah favorit masing-masing.
Sonia seperti biasa, minuman berasa alpukat, Mama Amy berasa jeruk, dan minuman Ayah Samuel berasa kopi susu.
Setelah pelayan itu pergi, Ayah Samuel membuka suara. Pelan dan berat. “Kami memutuskan untuk berpisah.”
Untuk sepersekian detik, tubuh Virga berhenti bergerak. Setelah sadar dari kekagetannya, gadis itu menarik tangannya dari atas meja. Tangannya bergetar dan terasa dingin
“Huh,” Mama Amy mendengus. “Jangan salahkan aku, Virga. Ayahmu saja yang kurang ajar. Dia berselingkuh.” Mama Amy dengan sengit menatap Ayah Samuel.
“Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan di setiap perjalanan dinasmu dengan atasanmu?” Balas Ayah Samuel.
Ayah Samuel adalah seorang asisten kontraktor di sebuah perusahaan konstruksi. Tubuhnya kurus dan tinggi. Rambutnya hitam cepak disisir ke kiri. Kulitnya kuning kecoklatan. November tahun lalu, usianya menginjak 46 tahun. Meski begitu, di antara kerutan-kerutan di sekitar mata dan bibirnya, wajahnya masih tetap terlihat tampan.
Kemeja putih dan celana kerja hitamnya memberikan kesan yang tak bisa diremehkan. Hidungnya yang mancung dan runcing mengintimidasi, matanya yang dalam menatap tajam ke arah Mama Amy.
Mama Amy bekerja sebagai seorang pegawai negara bagian keuangan level kota. Kulitnya yang putih memantulkan sinar lampu terang restoran. Ia memakai gaun biru tua ketat selutut dengan blazer putih gading di atasnya. Tubuhnya sedikit berisi, wajah cantiknya berpoles make up dengan lipstik merah terang yang membuatnya kian memesona.
Sementara Ayah Samuel dan Mama Amy terus bertengkar, Virga bernostalgia 7 tahun yang lalu, ketika Mama Amy dan Sonia mulai hadir di keluarga kecilnya.
Ibu Virga, Winnie Tetsuo, adalah seorang blasteran Jepang-Russia. Ia meninggal dunia ketika melahirkan Virga. Virga kemudian dirawat oleh nenek dari ayahnya, dan setelah ayahnya bertemu Mama Amy, mereka mulai membina rumah tangga bersama.
Meski lahir di tahun yang sama, Virga 3 bulan lebih tua Sonia. Mereka selalu sekolah di sekolah yang sama dengan Sonia memanggilnya kakak, dan Virga memperlakukannya sebagai adik kecilnya.
Bisa dikatakan, keluarga mereka adalah keluarga yang bahagia.
Namun, semua berubah ketika Ayah Samuel dan Mama Amy mulai bertengkar, mulai dari hal kecil seperti siapa yang mengantarkan sekolah anak-anak, siapa yang menghabiskan waktu dengan anak-anak setiap akhir pekan, hingga akhirnya mereka berdua keluar dari rumah. Tidak lagi tinggal di rumah yang sama.
Sepertinya, adu mulut antara kedua orang tuanya sudah mereda, mereka berdua melihat ke arah Virga yang sedari tadi diam. Gelas berbentuk botol di depannya kian berkondensasi tak tersentuh.
“Kamu tidak apa-apa kan, Nak?” Tanya Ayah Samuel, ia merengkuh Virga ke dalam pelukannya dan menciumi kepalanya.
“Yeah.. Aku baik-baik saja” Jawab Virga tak berekspresi sambil mendorong ayahnya menjauh.
Pizza besar di meja sudah hampir habis setengahnya dimakan oleh Sonia. Ayah Samuel dan Mama Amy menghela nafas panjang dan menyeruput minuman mereka bersamaan.
“Lalu, bagaimana dengan kita?” Tanya Virga sambil menunjuk ke arahnya dan Sonia.
“Aku akan ikut mama.” Jawab Sonia. Ia bertatapan lama dengan Virga.
Bagaimanapun juga, mereka telah menghabiskan waktu bersama yang tak sebentar.
Sonia memalingkan wajahnya. “Tapi mungkin aku akan tinggal di kota ini hingga semester depan. Sekolah baru saja dimulai, tidak mungkin pindah sekolah sekarang.”
Sonia dan Virga sekolah di SMA yang sama. Meski awalnya Virga bisa saja masuk ke SMA nomor 1 di kotanya, tapi ia lebih memilih masuk ke SMA urutan ketiga di kota ini demi bisa satu sekolah dengan Sonia.
“Lalu, bagaimana denganku?” Tanya Virga lirih.
Entah kenapa, ia merasa tenang. Lebih tepatnya, ia tidak merasakan apa pun. Bahkan kepalanya pun kosong. Tidak memikirkan apa pun.
Ayah Samuel menghela nafas panjang. “Rumah itu milikmu. Ayah membelinya atas namamu.”
“Ayah akan tetap mengirimiku uang bulanan kan?”
“Tentu saja.”
“Lalu kenapa Ayah tidak mengirimiku uang 4 bulan ini?”
Ayah Samuel tidak menjawab.
“Ayahmu sibuk dengan keluarga barunya.” Jawab Mama Amy.
Virga mengerutkan keningnya. Tidak terlalu faham dengan maksud kalimat Mama Amy.
Ayah Samuel, “Kita sudah resmi bercerai April tahun lalu.”
Tangan Virga yang tengah memutar-mutar sedotan terjatuh lemah ke atas meja.
Ia melihat ke arah Sonia yang masih acuh tak acuh memainkan ponselnya. “Apa kau tahu?” Tanyanya pada Sonia. Ia tanpa sadar meremas tangan Sonia dengan kuat.
Sonia melepas tangan Virga dengan lembut. Ia memandang wajah Virga dalam-dalam sebelum menjawab, “Ya, aku tahu.”
🍁🍁🍁
A/N: Jangan lupa like dan komen ya..