Voice Heart
"Bagi gue yang beneran serius itu bukan ngajak pacaran baru nikah, tapi ngajak nikah baru pacaran."
-Yharadira Nova Azzahra-
***
"Yharaaaaaaa!"
Yhara langsung menoleh ketika merasa namanya terpanggil dan melihat Aina yang sudah berada di depan pintu sambil tersenyum padanya. Tasnya sudah disandang di bahunya menandakan dia tengah bersiap-siap untuk pulang.
"Jadi ngga lu ke rumah gue, Ra?"
"Boleh nih, asal kalau pulangnya nanti lu mau anterin gue sampe rumah," ujar Yhara sembari membereskan beberapa berkas-berkas dan memasukan beberapa map yang ada di meja ke dalam lemari yang ada di meja kerjanya.
"Siap itu mah," Aina mengacuhkan jempolnya. "Tapi cepat dong, udah sore nih,"
"Sabar atuh, orang sabar itu di sayang tuhan. lu ngomel mulu kek emak-emak yang kurang uang belanja, lama-lama gue slotip tuh mulut lu pakai kaos kakinya mimiperii,"ujar Yhara. Setelah mengunci laci yang ada di mejanya ia pun menyandang tas merahnya, lalu ia bergegas menemui sahabatnya yang sedari tadi setia menunggunya di depan pintu.
"Kalem Ra,"
"Jadi ngga lu bikin kue cubit yang kemarin lu bilang itu?"tanya Yhara sembari kaki mereka melangkah meninggalkan tempat mereka bekerja itu.
"Jadi dong Ra,"
"Hmm," Yhara hanya berdehem kecil sambil tersenyum lebar.
"Kalau gue pikir-pikir nih ya, lu susah banget tau ngga di ajak kerumah gue, harus di sogok dulu pake makanan baru mau datang," ucap Aina
"Dihh, enak aja!" Yhara tertawa kecil mendengar ucapan sahabatnya itu.
"Noh buktinya tadi lu nanyain makanan kan?!"
"Cuma nanya, emang ngga boleh?" Yhara mencibirkan bibirnya.
"Boleh sayang, boleh aja kok." Aina tersenyum lalu melanjutkan ucapannya. "Bukan kue cubit aja yang lu dapetin nanti, gue kenalin deh sama cowok yang samping rumah gue,"
"Cowok mana sih?"
"Iya, gue juga baru kenal beberapa minggu, tapi papa gue sih udah kenal lama sama dia."
"By the way, orangnya gimana, Ai? Ganteng ngga?"
"Ya lumayan lah, Cocok lah sama lu kalau gue rasa nih ya, soalnya tau ngga lu, orangnya itu dewasa, perhatian, baik banget deh,"
"Gila lu, Ai! Belum juga gue kenal sama orangnya, udah mau ngejodohin aja lu,"
"Yaelah Yhara, emangnya kenapa sih?" Aina pura-pura bingung. "Lagian ngga ada salahnya kan kalau gue itu nyariin yang terbaik buat lu, salah lu sendiri sih, ngapain lu masih jomblo aja sampe sekarang. Betah amat lu jomblo," ledek Aina.
"Dih dasar lu," Yhara mencubit lengan Aina pelan. Tetapi Aina mengelak pelan sembari memegang lengannya.
"Wlee ngga kena," ledek Aina lagi.
"Bocah lu ah," ujar Yhara.
Sesampainya diparkiran Aina langsung mengambil motornya, lalu ia pun keluar dari lokasi parkir menuju rumahya dengan membawa Yhara yang berada di belakangnya.
Mentari mulai tenggelam. Angin sepoi-sepoi yang bertiup semilir mempermaian rambut indah milik Yhara yang tergerai panjang itu. Dirangkulnya pinggang langsing milik Aina yang tengah asik menyetir motornya sembari bernyanyi ia melewati jalan demi jalan yang lurus dan kadang juga berkelok-kelok.
Sesekali Yhara menutup kedua matanya, merasakan betapa jahilnya angin sore yang membuat mata mengantuk. Ah, ternyata pulang dari kantor ataupun pergi ke kantor naik motor asik juga. Selain terhindar dari kemacetan, juga bisa sampai lebih cepat tentunya. Sayangnya, Yhara tak bisa mengendarai motor, bukan tak bisa sih, hanya saja Yhara takut belajar mengendarai motor, mendengar klakson dari kendaraan lain di jalan saja dia kaget. Gimana nyetir motor yang ada bisa menjadi bahaya nantinya. Seketika Yhara sempat membayangkan ada seseorang yang setia mengantarnya ke kantor dan menjemputnya setiap hendak pulang dari kantor. Jadi dia tak perlu lagi harus naik angkutan umum yang harus menunggu lama hingga penumpang penuh dan harus lagi dengan berdesak-desakan bila angkutannya terlalu penuh, meskipun sekarang zaman modern yang jika ingin naik taxi juga tak masalah, hanya tinggal memesan dari sebuah aplikasi di andorid. Tetapi Yhara lebih sering naik angkutan umum, ya mungkin karena lebih hemat. Tapi dia kembali berfikir, siapa yang mau setia menunggunya? Pacar? Sampai saat ini dia masih tetap dengan status jomblonya, pacaran saja belum pernah seumur hidupnya.
Tak lama pula akhirnya motor Aina pun berhenti didepan teras rumah yang tak begitu besar bercat biru tosca. Dengan cepat Yhara loncat dari boncengan. Rumah ini memang sudah tidak asing lagi baginya. Karena dia juga sering kesini, ya ngga sering-sering banget sih. Tapi orangtua Aina sudah sangat mengenal baik Yhara.
Seorang wanita paruh baya yang masih tampak sangat cantik segera keluar dengan senyum tipis.
"Eh, ada Yhara, kemana aja toh nak, kok jarang main kesini," senyumnya makin berkembang lebar ketika melihat senyum manis Yhara.
"Iya tante, soalnya Yhara banyak kerjaan," Yhara menunduk hormat.
"Ayo masuk," mamanya Aina segera membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkannya duduk.
"Lu mau minum apa? Jus jeruk, Jus wortel? Ju.. "
"Terserah lu aja deh"
"Tapi yang ada cuma air putih sih"
"Ngapain di tawarin kalo gitu, Aina" Yhara tertawa kecil.
"Wkwk, Tunggu ya, gue ambilin minum dulu buat lu," Aina pun bergegas ke dapur dan meninggalkan Yhara di ruang tamu. Tak lama kemudian Aina datang dengan segelas air dingin dan sepiring kue cubit.
"Lu cobain dah nih kue cubit gue, kalau chef Aina yang masak mah ngga ada yang bisa ngalahin," ujarnya menyombongkan diri.
"Bangga ni ye," goda mamanya sambil tertawa kecil.
"Kenapa?? Emang enak kan? Mama sendiri tadi yang bilang," ujar Aina yang tak mau kalah bicara.
"Ra, lu mau duduk-duduk di depan ngga? enak tuh sambil makan kue buatan gue ini" ujar Aina, lalu Yhara mengambil satu kue cubit itu, tanpa berbasa-basi lagi Aina langsung menarik pergelangan tangan Yhara, menju ke depan rumah.
"Nah Ra, duduk disini kan lebih enak, sejuk banget kan?"
"Yang seperti ini mah yang hampir setiap hari gue lakukan setiap gue pulang dari kantor. Duduk-duduk hanya untuk menghilangkan rasa lelah, seraya menikmati angin sejuk disini. Biasanya sih setelah ini gue mandi lalu gue tidur. Tapi kalau gue lagi capek banget gue pernah ketiduran disini,"
"Idih. Tapi emang disini tempatnya enak sih, apalagi kalau dipakai untuk santai, sayangnya halaman rumah gue ngga luas. Kalau aja luas begini udah gue tanamin pohon-pohon dan bunga-bunga yang indah agar teduh." Ujar Yhara sembari memandangi halaman rumah Aina. Mendengar tutur kata Yhara, Aina hanya tersenyum seraya mengeleng-gelengkan kepalanya. Namun tiba-tiba dia langsung terbangun dari yang tadinya dengan posisi tidur.
"By the way... lu mau kan gue kenalin sama cowok yang di sebelah rumah gue?"
"Kepo amat lu, Ai,"Yhara memandang wajah Aina dengan penuh heran. "Kayak gimana sih tampangnya? Sampai lu itu mau banget ngenalin gue sama dia?"
"Bilang gue kepo sendirinya juga kepo, tapi tenang aja lah, nanti kan juga lu liat. Pokoknya lu pasti suka dah"
"Tapi gue ngga mau lu bawa gue kerumahnya. Gue kan cewek masa ya kan gue kerumahnya."
"Ya ngga lah, Yhara. Gue juga tau dong. Ngga mungkin gue bawa lu kesana" ujar Aina. "Sabar ya, liat aja sebentar lagi dia pasti lewat disini. Dan kalau ada gue, biasanya dia langsung mampir."
Yhara hanya mengangguk mendengarkan Aina. Pandangan mereka terus tertuju ke pintu pagar rumah cowok yang dijelaskan oleh Aina.
"Ohiya, tadi lu bilang apa? Kalau misalnya dia liat lu di sini. Dia pasti mampir kesini. Jangan-jangan, dia naksir ke elu lagi, Ai,"ucap Yhara mengoda Aina.
"Gila ya lu!"ujarnya sembari memukul pelan lengan Yhara. " mau gue kemanain si Dhika kalau gue sama dia? Lagian mah kagak bakalan lah dia naksir ke gue. Dia kan udah anggap gue sebagai adiknya. Orangtua gue juga udah anggap dia anak sendiri,"
"Oh gitu,"ujar Yhara sembari mengangguk paham. "Enak dah dia, baru disini udah punya keluarga angkat"
"Tapi lu tau kaga? Dia itu udah mapan, udah punya gelar loh,sarjana hukum."
"Lalu? Segitu aja kok bangga."cibir Yhara.
"Ya jelas bangga dong. Untuk dapat titel itu kagak segampang yang lu pikir, Ra. Butuh perjuangan banget. Apalagi untuk anak desa seperti Fauzan. Tapi jangan salah, meskipun anak desa penghasilannya sekarang itu gede banget. Sampai dia bisa beli rumah disini."
Yhara hanya mengangguk-angguk saat mendengarkan penjelasan Aina yang diucapkannya dengan sangat serius itu.
"Gue pikir nih yaa.. beruntung sekaligus bahagia banget cewek yang menjadi istri Fauzan. Dia itu cowok yang baik pake banget, lembut kalau bicara dan sangat perhatian, hidupnya pun sangat mapan."
Yhara hanya menghela nafasnya mendengar Aina yang sangat bersemangat menceritakan lelaki itu. Sebenarnya hati Yhara penasaran juga dengan penuturan sahabatnya itu. Namun kepandaian Yhara menutup rasa penasaran itu dan seolah bersikap biasa-biasa saja.
"Maka dari itu, gue mau jodohin lu sama dia. Kayaknya lu pantes banget deh sama dia. Lu kan jomblo dari lahir."
"Astaga, emang ya lu, pinter amat kalau jodohin orang. Mentang-mentang gue jomblo," ujar yhara. "Emang berapa sih lu di bayar samaa tuh cowok, sampe lu bangga-banggain dia setinggi langit gitu?"
"Dih, yang gue ceritain itu beneran kampret. Gak percayaan amat dah lu"
Tak berberapa lama perbincangan mereka, seseorang memparkirkan mobil lamborghini birunya. Dari dalam mobil itu ada seorang lelaki yang melambaikan tangannya ke arah Aina dan di balas oleh Aina.
"Itu dia kak Fauzan," Aina pun langsung mencubit pelan pipi Yhara. "Tunggu ya, bentar lagi dia pasti kesini. By the way dia punya hobby yang sama kayak gue. Suka duduk-duduk disini sepulang kerja."
"Cocok dong dia jadi pacar lu" Yhara tersenyum menggoda.
"Kalau masih single mah gue mau. Tapi gue kan sekarang punya Dhika dan gue sama dia udah tunangan. Masa gue khianati dia," Aina pun tersenyum meski suaranya terdengar lebih tinggi.
"Siap-siap lu dia bakalan datang kesini" ujar Aina yang merapikan rambutnya sendiri. Padahal Yhara ingin mengodanya namun tidak ada kesempatan lagi. Karena lelaki itu sudah berjalan menghampiri mereka.
"Hallo kak, kok baru pulang?" Sapa Aina dengan akrabnya
"Iya nih, macet di jalan,"
Di tempat duduknya, Yhara hanya terpaku memandang lelaki yang baru saja datang itu. Ya memang yang di ceritakan Aina tidak berbeda jauh. Yang bernama Fauzan di depannya itu terlihat begitu dewasa. Tapi apakah tak salah bahwa Aina menjodohkannya dengan Fauzan? Jika dari wajahnya terbilang tidak begitu muda lagi. Ya sekitar 30 tahunan.
"Ohiya kenalin kak ini temenku," Aina langsung melirik Yhara.
"Yharadira Nova Azzahra. Panggil aja Yhara" ujarnya Yhara menyebutkan nama lengkapnya, ia tersenyum manis sembari mengulurkan tangan.
"Fauzan " ia pun membalas dengan senyum yang tak kalah manisnya.
"Kamu teman kerja Aina?"tanya Fauzan.
"Iya mas" angguknya sopan, ia memang terbiasa menyebut mas untuk lelaki yang lebih tua darinya.
"Rumahnya di mana?"
"Di daerah komplek melati. ngga jauh kok dari sini."
"Oh begitu" ujarnya sembari di pandanginya gadis yang berada di depannya. Sangat cantik kalau di bilang, wajahnya oval, hidungnya mancung dan bibirnya tipis berwarna pink alami dan sinar matanya menunjukan gadis ini bersifat lemah lembut. Dalam diam Fauzan tertarik juga dengan rambut panjang Yhara yang tergerai indah. Fauzan masih diam dengan pandangan mata yang terus tertuju ke arah wajah Yhara yang kini sangat tersipu malu.
"Eh Ra, gue masuk dulu ye bentar. kak, aina masuk dulu ya" ujar Aina dan di balas anggukan oleh keduanya.
" Aina bilang... Mas Fauzan baru aja ya pindah disini?" Tanya Yhara membuat lamunan Fauzan terbuyar.
"Iya benar" angguknya. "Saya disini baru beberapa minggu kok. Saya sangat senang bisa beli rumah disini, selain suasananya aman juga disini orangtua Aina sangat baik. Jadi serasa orangtua angkat." Ujarnya hanya di balas anggukan kepala oleh Yhara. Memang benar keluarga Aina sangat baik.
Karena Yhara sangat asik di ajak berbicara dan tidak kaku, meski mereka baru kenal. Fauzan pun semakin betah berlama-lama dengan Yhara. Tapi sebenarnya Yhara sangat reseh karena ditinggal cukup lama oleh Aina. Yhara berfikir sejenak apa Aina memang sangaja meninggalkannya dengan Fauzan, agar dirinya lebih akrab dengan Fauzan.
Mungkin dugaan Aina benar kalau sampai Yhara dekat dengan Fauzan, tetapi dalah besar kalau Yhara sampai tertarik atau jatuh hati dengan mudah pada Fauzan. Bukan lelaki seperti Fauzan yang di dambakannya. Bukan dengan sikap perhatian Fauzan yang bisa membuatnya jatuh cinta, apalagi karena Fauzan sudah mapan. Yhara bukan perempuan mata duitan yang menginginkan itu semua.
"Sorry kak, tadi Aina tinggal lama soalnya Aina abis mandi, hehe"
"Oh gapapa kok, Ai" ujar Fauzan cepat sambil nengulas senyum di wajahnya.
"Kampret lu upil kudanil, minta maafnya sama mas fauzan doang, gue malah lu lupain" umpatnya kesal dalam hati.
"Dah malam, Ai" Yhara melirik arlojinya sambil membuang perasaan kesalnya. "Pulang dulu ya."
"Eits, nanti dong. Masih juga setengah 7"
"Lu udah mandi Ai, gue belom" bisiknya pelan kearah Aina.
"Yaudah sih kan bisa mandi disini, pakai aja pakaian gue" ujarnya dengan berbisik juga. " lagian ngapa buru-buru pulang sih, kan lagian gue janji mau anter lu pulang" kali ini Aina meningikan suaranya.
Aina hanya menghela nafasnya mendengar Aina berbicara seperti itu, sebelum ia bicara. Fauzan sudah duluan berbicara.
"Tenang aja, Ra. Kalau kamu takut kemalaman. Saya bisa kok anterin kamu" ujar Fauzan
"Nah bagus tuh kak," ujar Aina tertawa nakal.
"Apaan sih, Ai. Tidak usah mas, mereportkan nanti."
"Dih gapapa kali, Ra. Biar nanti gue dan kak Fauzan ikut nganterin lu deh. Jadi ngga usah takut dan khawatir. Gue percaya papa dan mama lu tidak akan marah kalau ada gue. Lagian lu tadi udah izin kan kalau lu main kesini?"
Yhara hanya mengangguk pelan.
"Nah" Aina tertawa pelan. " biasa kak, dia emang kaya gitu. Ngga banyak bicara. Tapi kalau udah dekat tuh mulut kaya toa musholla,"
"Apaan sih Aina" Yhara mencubit pelan lengan Aina.
"Aaaa atit au" ujar Aina manja. Fauzan yang melihat aksi itu hanya tersenyum.
Fauzan benar-bener tak bisa membohongi dirinya kalau ada perasaannya dalam hatinya saat Aina bilang bahwa Yhara belum mempunyai pasangan. Jadi dia mempunyai kesempatan untuk di hati gadis itu. Ya semoga saja Yhara mengerti dan dapat mengetahui bahwa Fauzan sudah terpikat sejak pandangan pertama.
Yharadira Nova Azzahra, nama itu selalu mengema sampai dia mengantar gadis itu kerumah. Fauzan terus tersenyum membayangkan wajah Yhara.
"Mungkin orang-orang melihat sisi-sisi untuk mencintai. Tapi tidak denganku, karena mencintai seseorang tak dapat di lihat dari status ataupun rupanya."
-Yharadira Nova Azzahra-
\*\*\*
Malam baru saja menunjukan pukul 22:00. Didalam kamarnya Yhara tengah asik duduk di meja kerjanya, di tengah menulis buku hariannya. Dia tak pernah lupa peristiwa malam itu, ketika Aina dan Fauzan mengantarnya pulang kerumah. Sikap baik Fauzan sukses membuat Orangtuanya terkesan. Iya sih, memang mereka sempat ngobrol panjang kali lebar dan Yhara mengakui bahwa Fauzan sangat pandai dalam mencari bahan pembicaraan hingga papa dan mamanya pun kelihatan sangat tertarik dan serius mendengarkan ucapannya. Terlebih lagi mamanya yang menanyakan asal usul Fauzan, padahal Yhara pun sudah berdehem, sebagai isyarat agar mamanya tidak terlalu menanyakan yang terlalu mendetail. Sementara Aina hanya tersenyum bahagia.
Yhara pun terus mengingat pembicaraan mereka tadi. Seperti melody musik yang di dengarkan. Tiada henti dan terus terniang di kepala.
"Nak Fauzan asal darimana?"
"Saya dari Riau, tante. Kalau orangtua saya sih masih disana" ujar Fauzan dengan sangat sopan.
"Oh begitu, berapa bersaudara nak?" Tanya mama Yhara lagi.
"Saya anak pertama dari empat bersaudara, tan. Adik saya tiga orang, dua laki-laki dan satu perempuan. Yang satu sudah menikah, yang satu perempuan masih mengurus pertunangan. Yang satu lagi masih kuliah"
"Hati-hati lho kak, di susul lagi nanti sama adiknya, makanya buru-buru dong kak cari calon istri" ujar Aina membuat raut muka Fauzan tersipu sambir melirik wajah Yhara.
Yhara yang sempat menangkap lirikan mata itu pun tiba-tiba saja jantungnya berdebar-debar. Hatinya kini menduga macam-macam. Apalagi tanpa sungkan Aina yang sudah akrab dengan keluarganya pun ikut tersenyum menggoda Yhara sembari mengulurkan lidahnya kearah Yhara.
Untung lah jam dinding menunjukan pukul 9 pikir Yhara. Fauzan pun mengajak Aina pulang. Nampaknya mama dan papanya kelihatan berat hati melihat kepergian Fauzan. Mungkin karena mereka nyaman berbicara dengan Fauzan. Tapi tidak dengan dirinya, bukannya ia tak suka dengan kehadiran Fauzan, tapi ntah mengapa ia merasakan hal aneh yang membuatnya sangat risih.
"Sering main kesini ya nak kalau ada waktu" ujar papanya saat mengantar Fauzan menuju mobilnya.
"Iya om, inyaallah. Kalau kedatangan saya tidak menganggu" jawab Fauzan sambil melirik Yhara. Tapi Yhara membuang pandangannya ke arah lain, pura-pura tidak mendengar ucapan itu.
Lalu Fauzan pun menyalakan mesin mobilnya dan menjalankan mobil itu meninggalkan halaman rumah Yhara sambil melambaikan tangannya. Yhara pun membalas lambaian itu dengan canggung.
"Sudah lama kamu mengenal Fauzan nak?"tanya mamanya ketika mereka sudah masuk kerumah.
"Baru aja tadi sore, Ma. Rumahnya kan disebelah rumah Aina dan ia baru beberapa minggu tinggal disana," jawab Yhara.
"Tapi kelihatannya dia anak yang baik dan sopan ya," komentar mamanya dan di jawab anggukan oleh Yhara. "Mama harap kalian bisa dekat dengan baik dan berjodoh." Ujar mamanya membuat Yhara sedikit kaget.
"Kalau berteman sih ya gapapa, Ma. Aku kan berteman dengan siapa saja. Tapi kalau sampai dekat banget dan berjodoh nanti-nanti aja deh, Ma"
"Sampai berapa lama lagi atuh, umur kamu toh sudah 21 tahun sudah pantas menikah. Emang kamu mau kalau kamu keduluan sama adik kamu? Kamu ngga malu?"
"Ah mama, kan aku udah pernah bilang berulang kali, kalau Tyara mau nikah lebih dulu ya silahkan, aku mah ngga keberatan, Ma."
"Ndak bisa gitu dong nak, kamu kan kakaknya. Kamu toh yang keluar duluan dari rahim mama, ya masa adik kamu duluan yang keluar dari rumah ini."
"Tapi ma... jodoh kan ngga bisa di atur, Ma." Protes Yhara.
"Kamu emang benar nak. Tapi, ngga ada salahnya kan, kalau mama menahan Tyara dulu agar tidak mendahuluimu? Lagi pula.. dia toh usia 19 tahun itu masih terlalu muda untuk membina rumah tangga. Maka itu mama belum mau menerima lamaran dari Azriel kalau kamu sendiri belum ada tanda-tanda mendapatkan calon suami, Nak."
Yhara pun menghembuskan nafasnya yang terasa sangat berat mendengar ucapan mamanya. Ya dia cuma bisa diam saja. Karena seperti apa pun dia membantah ia tak akan menang jika mamanya sudah memutuskan sesuatu.
Dengan sedikit berat hati ia akhirnya masuk ke kamarnya. Ada keresahan yang masuk ke hatinya. Tak pernah di bayangkannya kalau kedatangan Fauzan yang baru sekali itu sangat membuat orangtuanya terkesan, bahkan terpukau. Terutama mamanya yang di ketahuinya sudah sejak lama memang mengharapkan ia cepat mendapatkan calon suami. Bahkan mamanya juga sering membandingkan dirinya dengan adiknya. Mungkin jika Tyara masih jomblo dan belum punya si Azriel, pasti tak mungkin ia akan di desak seperti ini. Apalagi pendirian orangtuanya itu begitu kuat jika anak pertama tidak boleh di dahului atau di langkahi oleh adiknya dalam urusan pernikahan.
Bah!! Kampret dah! Yhara memaki dalam hati. Memaki dirinya yang sampai saat ini belum merasakan jatuh cinta kepada siapapun. Memaki Tyara yang begitu cepatnya sudah memiliki cowok pilihannya, padahal usiannya belum ada dua puluh tahun. Coba kalau Tyara masih jomblo tentu saja dirinya tak akan terpojok seperti ini. Masalahnya hanya satu saja. Hanya karena melihat Tyara punya hubungan serius dengan Azriel. Orangtuanya jadi mendambakan dan mendesak Yhara agar mendapatkan pasangan jua.
Semuanya benar-benar membuat otaknya mumet. Cinta kan tidak bisa dipaksakan? Bagaimana mungkin ia mencintai Fauzan, lelaki yang di sukai kedia orangtuanya, kalau saat pandangan pertama saja hatinya tidak tersentuh? Bahkan ia merasa begitu banyak perbedaan jika nanti ia menjalin khusus dengan Fauzan. Salah satunya masalah Usia. Meskipun usianya tidak telampau jauh yakni 7 tahun. Tetap saja ia tidak ingin dengan orang yang usianya terlampau jauh darinya. Ia ingin mendapatkan yang sebaya atau paling tidak selang 2 tahun darinya. Seperti Aina dan Pacarnya Dhika. Mereka sama-sama masih muda, sama-sama punya hobby dan keinginan yang sama. Kalau ia dengan Fauzan? Pasti bisa saja membuahkan perbedaan pendapat dan keinginan yang bertolak belakang? Ditambah lagi, belum tentu kan Fauzan bisa mengerti selera anak muda sekarang.
Dan Yhara cuma bisa menghembuskan nafasnya yang sangat-sangat terasa berat. "Aina? Ya anak itu benar-benar sangat mengesalkan. Tega-teganya ia jodohin gue dengan Mas Fauzan yang sudah tua. Apa dia pikir aku tidak bisa mencari cowok lain yang sebaya dan lebih tampan dari Fauzan? Lihat aja nanti! Yhara hanya bisa mengeluh pelan saat dibayangkannya wajah sahabatnya itu. Keesokan harinya mereka berjumpa di kantor, Aina pun menghampirinya dengan wajah yang berseri-seri.
"Bagaimana pertemuan semalam, Ra?"tanyanya sambil tertawa nakal..
"Bagaimana apanya?"Yhara sengaja bertanya kembali. Pura-pura semalam tidak terjadi apa-apa.
"Bagaimana tanggapan papa dan mama lu soal Kak Fauzan? Kayaknya mereka setuju ya kalau ka..."
"***!! Lu jangan punya pikiran yang ngga-ngga dah"
"Lah kok marah? Kan udah jelas gitu gue lihat nampaknya kedua orangtua lu itu menyukai kak Fauzan. Kayanya mereka setuju-setuju aja tuh kalau lu sama kak Fauzan" Aina terus mendesak.
"Ahsudahlah, Ai. Jangan ngomongin hal yang belum tentu akan terjadi. Emang lu pikir gue tertarik sama dia, heh?!"
"Kenapa emangnya? Kak Fauzan kan baik, sopan, rendah hati, ganteng, kaya raya dan begitu perhatian. Lu tolo atau **** sih. Tidak bisa memanfaatkan kesempatan yang ada. Kalau gue jadi lu. Ngga bakalan gue sia-siain tuh kesempatan emas."
"Gue bukan elu, keinginan kita berbeda" potong Yhara cepat. "Siapa juga yang akan tertarik dengan cowok yang punya umur sudah tua begitu"
"Kak Fauzan lu bilang tua?" Aina sedikit kaget pada ucapan Yhara. Sehingga ia sedikit tak yakin dan nenanyakannya lagi.
"Ya apalagi? Umurnya 27 tahun. Selisih 7 tahun sama gue. Apa itu ngga bisa di sebut tua?"
"Ya ampun, Yhara! Jadi lu kaga suka kak Fauzan hanya karena ia lebih tua dari lu?"
"Ya! Lu ngga tau sih, cowok idaman gue itu yang usianya sebaya. Ya, paling jauh ya kira-kira dua tahunanlah. Jadi aku nggak ngerasa pacaran sama orangtua," sahutnya kalem
"Tapi malahan usianya itu bagus Yhar, dia lebih dewasa dan bisa mengerti dan memahami sikap dan sifat lu nantinya. Coba kalau sebaya, ya pasti akan lebih sering bertengkar karena rasa egoisme karena masih sama-sama muda!"
"Itu kan menurut lo! Tapi gue lain lagi. Dan selera kita tak pasti sama." Ujarnya ringan. "Ngejodoh orang sih boleh-boleh aja, tapi sesuai dong. Tega amat lu jodohin gue sama orang yang sama sekali bukan tipe gue"
"Loh, gue ngga pernah mikir sampai sejauh itu, Ra. Gue pikir dia cocok untuk lu. Dan nyatanya orangtua lu suka sama dia. Kayaknya mereka senang kalau lu mau menerimanya menjadi kekasih. Dan lebih bagus lagi lu bisa terima dia jadi suami" ujar Aina masih memaksa
"Jujur aja lu sama gue, lu di bayar berapa sih? Kok ngotot amat jodohin gue sama dia" nada bicara Yhara mulai meninggi.
"Gue lakuin ini tanpa mengharapkan sepeser pun uang, Ra. Gue lakuin ini juga demi lu, lu sahabat baik gue, Ra." Aina hanya tersenyum dan tak sedikitpun tersinggung dengan kalimat yang di lontarkan Yhara tadi.
"Udah deh, gue ngga tertarik dengan Fauzan" Yhara cepat mengibaskan tangannya. "Kalau lu tetap nekat jodohin gue, tolong cariin cowok lain yang sebaya sama gue, atau tidak yang usianya 1 tahun atau 2 tahun lebih dari gue. Kaya lu sama Dhika"
"Yang sebaya itu belum tentu cocok, Ra. Lagian gue masih sayang banget kalau cowok seperti kak Fauzan itu jatuh ke pelukan wanita lain yang belum tentu bisa menyayangi dan mencintainya dengan tulus" ujar Aina dengan pandangannya yang menerawang. "Gue udah kenal lu lama. Maka dari itu, ngga salah kan kalau gue berusaha nyatuin lu sama kak Fauzan?"
"Tapi sayangnya niat lu itu ngga akan pernah kesampaian, ngga akan pernah jadi nyata" cibir Yhara.
"Ya udah, kalau emang lu ngga mau, ya ngga bisa dipaksa juga kan?"
Yhara hanya mengangkat bahunya mendengar ucapan Aina. Tidak mungkin dia bilangnya bahwa kedatangan Fauzan pada malam itu membuat mamanya menjadi terus mendesaknya untuk cepat-cepat mendapatkan pilihan. Bahkan mamanya pula memberi saran agar dia mau memiliki hubungan lebih erat dengan Fauzan. Tidak mungkin berani Yhara mengatakan itu pada Aina. Bisa-bisa Aina semakin keras kepala dan mempengaruhi orangtuanya agar segera menyatukan Yhara dengan Fauzan. Bisa jadi runyam kalau itu terjadi.
***