SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Living Core

Living Core

Pulang

Angin bertiup dari jendela yang terbuka, udara pegunungan yang dingin menerpa wajahku, membawa aroma khas pegunungan yang menyegarkan, mengingatkanku pada masa lalu yang hampir tidak bisa ku ingat.

Ban berdecit saat bus tua itu perlahan melambat dan berhenti di halte kecil yang tampak kotor tak terurus. Aku segera mengemasi barang bawaan ku yang hanya berupa tas ransel dan sebilah pedang melengkung yang aku ikat di pinggulku.

Sopir bus menatapku ketika aku bersiap turun. "Jarang ada penumpang yang turun di sini. Apa kau tersesat, anak muda? Atau..." Pandangannya jatuh pada lenganku yang seketika membuat sorot matanya berubah menjadi iba. "Maaf, tak bermaksud mengganggu," tambahnya cepat, sebelum terdiam.

Begitu kakiku menyentuh tanah, bus itu langsung melaju kencang, meninggalkan asap knalpot hitam pekat yang menyengat hidungku.

Aku menghela napas panjang lalu memandang gapura yang menunjukkan nama desa dimana arah jalan setapak itu menuju, “Sawungbaya, mari lihat sudah menjadi seperti apa desa itu setelah sepuluh tahun.” seingatku jaraknya tak terlalu jauh, hanya butuh berjalan kaki selama kurang lebih satu jam.

“Aku harap tidak ada monster yang menghadang jalan.” aku memastikan pedangku berad di posisi yang tepat agar tidak terjadi kesalahan jika terjadi hal yang tidak terduga. karena aku tahu perjalanan menuju kampus halamanku tidak akan mudah.

***

Awalnya aku berpikir perjalanan akan menyulitkan dengan serangan hewan buas yang menghadang di setiap meter jalan. Tapi setelah setengah jam berlalu, yang aku dapatkan hanyalah kesunyian hutan.

“Mungkin ada seorang Hunter tangguh yang tinggi di desa.” pikirku yang mulai menurunkan penjagaan. Tetapi baru saja berniat menyalakan penerangan agar bisa berjalan lebih lancar, tiba-tiba perasaan tidak nyaman memperingatiku.

Aku berhenti, menajamkan pendengaranku untuk Merasakan keadaan sekitar. Kepakan sayap terdengar di atas kepalaku, itu adalah kelelawar besar penghisap darah, tapi bukan hanya itu. Aku merasakan lebih banyak pergerakan sekitarku.

Insting yang sudah terasah selama bertahun-tahun sebagai Hunter, merasakan tanda bahaya, “Seharusnya akan mudah, tapi....” aku menatap lengan kiriku yang tidak utuh. “Ini akan menjadi tantangan.”

Geraman serigala semakin jelas, suaranya terdengar dari segala arah, seperti gelombang yang memantul di antara pepohonan. Puluhan pasang mata merah mulai bermunculan dari balik bayangan, mengepungku secara perlahan.

Zrak! Aku segera menarik pedang di pinggangku. Meskipun keadaanku saat ini sangat buruk, tapi aku tidak akan menyerah begitu saja. “Kalian tidak akan mendapatkan makanan gratis.” senyumku mengembang.

Seekor serigala besar melompat dari balik semak-semak, dengan mata merah menyala dan mulut terbuka lebar, binatang liar ini siap menerkam ku. Dengan satu tangan, aku tidak bisa bertarung seperti dulu, tapi aku masih punya pengetahuan dan ketangkasan yang cukup.

Aku bergerak ke samping untuk menghindar serangan serigala, lalu dengan satu serangan balasan sudah cukup untuk membuat serigala terkapar di tanah dengan bersimbah darah.

Zrat! Tebasan pedang menyogok daging.

Kaing! Suara tangisan serigala sekarat.

Tebasan berikutnya memotong leher serigala itu untuk memastikan binatang itu benar-benar mati.

"Belum terlalu berkarat, ternyata," gumamku, saat menatap pedang yang sudah lama tidak aku gunakan.

Serigala yang tersisa berusaha menyerang ku bersama kelelawar besar. Awalnya aku bisa mengendalikan keadaan saat menghadapi dua hingga tiga binatang buas sekaligus. Tetapi saat jumlah lawan semakin bertambah membuatku kesulitan dan berakhir menggunakan strategi tabrak lari.

Aku terus bergerak saat bertarung, bertujuan menyulitkan para binatang mengepungku. Meskipun strategi ini sangat menguras tenaga dan waktu, tapi cukup efektif saat menghadapi lawan yang jumlahnya jauh lebih besar.

Beberapa saat kemudian setelah bermain kejar-kejaran kematian.

“Slas!” tebasan kuat membuat gelombang angin yang langsung memotong kepala serigala terakhir. Nafasku sesak dan hampa tidak dapat berdiri dengan benar, tapi aku bersyukur akhirnya bisa mengalahkan semua binatang buas itu.

Aku menatap hutan yang dipenuhi oleh mayat serigala dan kelelawar. "Sangat menyedihkan, aku hampir mati hanya untuk bertahan dari binatang buas." Merasa lelah aku berniat beristirahat sebelum melanjutkan perjalannya.

Namun, terdengar suara jeritan dari kejauhan, membuatku yang berniat beristirahat akhirnya mengurungkan niatku. Dengan jelas aku mendengarnya, itu adalah jeritan manusia. "Aku tidak mungkin salah akan hal ini"

Tanpa peduli dengan keadaan tubuhku yang kelelahan, aku segera bergegas menuju sumber suara yang berasal dari arah desa. Saat suara teriakan semakin jelas, aku mendapati beberapa pemuda desa sedang diserang oleh lebih banyak serigala. Mereka terlihat panik, berusaha menahan serangan setiap hewan liar dengan tombak dan senjata seadanya.

Satu serigala besar mengambil kesempatan, menerjang pemuda yang tampaknya adalah pemimpin kelompok itu dari belakang. Tanpa berpikir panjang, aku segera berlari ke arah mereka, melompat lalu menebas serigala itu sebelum sempat mengenai sasarannya.

Para pemuda itu menatapku dengan mata terbelalak. Aku mengambil jarak aman agar tidak membuat mereka takut. Tapi aku rasa usahaku sia-sia, salah satu dari mereka, yang tampaknya paling muda, hampir menjatuhkan tombaknya karena kaget. "Kau... kau siapa?"

Aku tidak punya tidak segera memberikan balasan karena posisi kami sudah terkepung. "Simpan semua pertanyaan untuk saat ini. Kita harus menangani hewan-hewan ini, atau kita semua tidak akan melihat hari esok!" Ucapku dengan tenang.

Aku mengarahkan pedangku ke serigala-serigala yang masih mengelilingi kami. “Ikuti instruksi ku jika kalian ingin tetap hidup.” mendengar itu para pemuda merasa enggan mempertaruhkan nyawa mereka pada orang asing, terlebih saat mereka melihat kondisi tubuhku.

Tetapi mereka segera berubah pikiran setelah melihat bagaimana aku bertaring. Mereka mengikuti panduan ku, meskipun awalnya mereka kesulitan menanggapi perintahku, tapi semakin lama mereka mulai terbiasa.

“Kalian tidak terbiasa bertarung, yak?.” perkataan ku membuat semua pemuda terdiam yang merupakan sebuah jawaban pasti.

Beberapa serigala berusaha menyerang dengan strategi sederhana, ada yang bertugas mengalihkan perhatian dan yang lain melakukannya serangan. Jujur aku agak kerepotan dengan taktik yang binatang-binatang ini gunakan.

Pedang satu tangan tidak begitu kuat, tapi membuat serangan ku menjadi lebih cepat. Kecepatan itu aku gunakan untuk bertahan, seperti yang aku lakukan sebelumnya. Hingga saat para pemuda desa berhasil mengalahkan lawannya, mereka pun segera membantuku.

Akhirnya, setelah beberapa menit pertempuran sengit, kami berhasil mengalahkan semua serigala. Nafasku berat, kepalaku sakit dan hampa saja terjatuh. Keadaan para pemuda tidak lebih baik dariku, mereka menatapku dengan campuran rasa terimakasih dan penasaran.

Salah satu dari mereka, yang sebelumnya aku selamatkan berjalan mendekatiku. "Kau... terima kasih... Kau menyelamatkan kami." Ucapnya sambil menjulurkan tangan. aku memperhatikan dia membawa bunga berwarna kuning di tasnya.

Aku mengangguk, tapi perhatianku terfokus pada pedangku yang kotor oleh darah. Jika aku memiliki dua tangan, aku pasti sudah menyekanya agar tidak gampang karatan. "Tidak apa, sudah sewajarnya sesama manusia saling menolong." Balasku.

Setelah berjabat tangan, pemuda itu menatapku dengan cara yang aneh. Membuatku mulai merasa risih.

"Tunggu... kau pasti Arkan, cucu Pak Karta, kan? Yang dulu pergi dari desa ini?"

Oh, sepertinya dia mengingatkanku, meskipun aku lupa siapa dia.

Aku hanya bisa tersenyum tipis, mencoba menutupi kebingunganku. "Ya, itu aku."

Dia tampak tak percaya dan kembali melihat tangan kiriku yang tidak ada ditempatnya. "Kami sudah dengar kau kembali, tapi... kami tak menyangka kau akan datang sendirian, apalagi di saat seperti ini." Tatapannya padaku berubah iba.

Aku mengangkat bahu. "Tidak masalah, meskipun keadaanku seperti ini, kekuatanku yang tersisa sudah cukup untuk melawan hewan buas."

Pemuda itu mengangguk seolah mengerti apa yang aku katakan. "Terima kasih lagi. Kami seharusnya yang menjemputmu, tapi keadaan di desa sedang... kacau. Banyak monster keluar belakangan ini."

Ketika pemuda itu berbicara, Aku menatap desa yang dikelilingi pagar kayu di kejauhan. "Aku bisa melihat itu. Ayo, kita masuk sebelum lebih banyak hewan buas yang muncul." Setelah itu mereka mengantarku menuju desa.

Malam pertama di Sawungbaya

"Terima kasih," katanya pemuda yang terus menempel padaku sepanjang jalan menuju desa. Suaranya terdengar tulus, meskipun masih ada nada kebingungan di balik tatapannya. "Kau pasti tidak mengingatku, bukan?. Aku adalah Erik, anak penempa besi di desa."

Aku menjabat tangannya dan tersenyum tipis karena masih tidak ingin apapun. "Arkan," jawabku singkat.

Erik terus saja menatapku, aku merasa cemas dengan tatapan Itu. Pandangannya bergantian antara wajahku dan lengan kiri ku.

“Apa kau mengalami krisis identitas?.” tanyaku. Yang seketika dibantah oleh Erik, “Aku ini pria normal!.” dia membentak dengan agak emosi.

"Aku pikir kau cukup kuat. Hanya dengan satu tangan kau bisa bertahan dari serigala-serigala lemah itu," katanya, seolah ingin menekankan kekurangan fisikku dan kekuatanku yang dia anggap lemah.

Yang lain mulai merasa tidak nyaman dengan cara Erik berbicara denganku, tapi Erik tetap melanjutkan tanpa peduli dengan ketidak nyamanan teman-temanya, "Bagaimana rasanya... bertarung dengan satu tangan?" Pertanyaannya yang sungguh menjengkelkan.

Aku menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. "Rasanya seperti menjadi iron man." Jawabku singkat.

Para pemuda lainnya saling melirik, sedangkan Erik mulai tertawa dan mengatakan jika lawakan yang aku katakan cukup bagus, “Sepertinya kau sudah berdamai dengan dirimu sendiri. Itu sangat bagus, setidaknya kau tahu posisimu sendiri.”.

Semua teman Erik tampak canggung, dan aku bisa merasakan kebingungan yang mulai muncul, seakan hari ini Erik bersikap berbeda dari biasanya. Kami terus berjalan menuju desa, dan Erik tetap berada di sisiku, terus berbicara tanpa henti.

Dia terus menyinggung tentang lengan kiriku yang hilang, seolah pertanyaan itu membuatnya senang saat dia menanyakannya . "Bagaimana kau kehilangan lenganmu? Apa karena kau ketahuan mencuri? Atau mungkin... Terlalu sering peemo?"

Tidak bisa dipercaya, dia sungguh mengatakan itu. Aku melihat teman-teman menatap Erik dengan sinis seakan ingin mengatakan, "Bukannya itu kamu?"

Aku merasakan nada provokatif dalam pertanyaannya, dan aku memutuskan untuk terus mengabaikannya. Selain merasa percuma menanggapinya, orang seperti dia juga justru akan semakin mengganggu saat melihat reaksi apapun yang aku berikan.

Entah apa tujuan Erik yang sepertinya sengaja ingin membuatku terganggu. Tapi apapun itu aku harus menahan diri agar tidak membuat kesan pertama pada penduduk desa menjadi lebih buruk dari kondisi tubuhku.

Saat kami mendekati desa, aku bisa melihat beberapa penduduk desa memegang obor, berdiri di dekat gerbang kayu. Mereka terlihat khawatir, tapi setelah melihat para pemuda yang kembali, wajah mereka dipenuhi oleh senyuman.

Setiap pemuda disambut oleh penjaga gerbang, Aku bisa mendengar bisik-bisik di antara mereka saat melihat keberadaan ku. Beberapa orang tua memperingatkan para pemuda mengenai suara serigala yang membuat semua penduduk ketakutan.

"Suaranya terdengar sepanjang malam," ujar seorang wanita tua dengan raut wajah yang sulit dibedakan antara cemas atau bahagia karena terlalu keriput.

"Kami pikir kalian tak akan kembali." Kata seorang wanita sambil menghapus air matanya.

Erik langsung melangkah maju, dia bersikap seperti seorang bintang yang naik ke atas panggung. "Semua orang tidak perlu khawatir! Kami berhasil mengusir serigala-serigala itu. Malam ini kalian bisa tidur dengan nyenyak," katanya dengan nada membanggakan diri, seolah dia yang melakukan semua kerja keras sendirian.

Beberapa penduduk desa langsung menatapnya dengan rasa kagum, mengucapkan terima kasih dan memuji keberaniannya. Sedangkan teman-temannya hanya bisa menatap sinis, melihat itu Erik segera mengatakan jika temanya juga ikut bertarung bersamanya.

Sebuah tindakan yang bijaksana, karena jika dia tidak melakukan itu mungkin suatu hari dia akan ditusuk dari belakang oleh temannya sendiri.

Namun, Erik tidak menyebutkan satu kata pun tentang bantuan yang aku berikan. Dia benar-benar berusaha mengambil seluruh pujian untuk dirinya sendiri, membuatku tertawa kecil di dalam hati.

'Di manapun tempatnya, akan selalu ada seseorang yang mengaggap dirinya begitu penting, sehingga berpikir semua orang harus menatap ke arahnya.'

Aku mulai bosan melihat drama yang dipentaskan Erik, sehingga aku berencana untuk segera pergi. Namun, saat berniat meninggalkan kerumunan seseorang menyadari keberadaanku.

"Siapa itu di belakang?" tanya salah satu warga, matanya mengarah padaku.

Erik, dengan santainya langsung menjawab dengan nada riang, "Oh, dia? Dia cuma anak ayam yang tiba-tiba teringat dengan kandangnya dan kembali setelah salah satu kakinya patah. Sangat tidak penting."

Dengan jelas dia menyindir tentang kekuranganku.

Saat semua orang mulai kehilangan minat padaku, salah satu penduduk desa yang lebih tua masih saja menatapku cukup lama, jujur itu membuat merasa risih. Hingga matanya tiba-tiba terbelalak seolah teringat sesuatu .

"Tunggu... bukankah kau Arkan? Cucu dari Pak Karta?" Ucap ria tua itu. Dan segera perhatian orang di sekitar kembali mengarah padaku.

Aku mengangguk dengan canggung, meskipun masih bingung dengan siapa sebenarnya orang itu. "Ya, saya Arkan." Jawabku walaupun tidak ada yang bertanya.

Desa tiba-tiba menjadi hening. Beberapa orang yang mendengar namaku langsung berbisik satu sama lain. Aku dapat mendengar bisikan seperti, 'dia tampan', ‘Padahal masih muda’, ‘Sungguh disandangkan’. Meskipun komentar seperti itu cukup kasar, tapi setidaknya para warga berusaha menyembunyikannya.

Sangat berbeda dengan seorang pemuda yang terang-terangan mengolok-olok kekuranganku.

"Pak Karta... Beliau adalah satu-satunya penyihir yang pernah ada di desa ini, tentu saja kami masih mengingatnya," ujar lelaki tua yang pertama kali mengingatkanku. Tampaknya dia mengenal kakekku dengan baik. "Beliau adalah penyihir yang melindungi desa ini, kami selalu merasa aman saat beliau masih hidup."

Hatiku sedikit tersentuh, merasakan kebanggaan tersendiri mendengar hal baik tentang Kakek. Aku tahu kakekku adalah orang yang dihormati, tapi tak menyangka dia meninggalkan kesan yang begitu mendalam pada warga desa.

Aku tidak sempat melihat kakek di hari-hari terakhirnya, dan mendengar kabar bahwa dia sudah meninggal sejujurnya memberikan perasaan pahit yang sulit dijelaskan.

“Tapi aku sama sekali tidak tahu di adalah seorang penyihir.”

“Benarkah? Hem, jika diingat-ingat dia pernah bercerita tentang kebangkitannya yang terjadi tidak lama setelah kedua orang tuamu pindah ke kota”

Itu adalah cerita yang sangat aneh, tapi aku tidak ingin menggali lebih jauh. Jika kakek memilih untuk merahasiakan kebangkitannya sebagai seorang penyihir hingga akhir hayatnya, maka aku harus menghormati keputusan itu.

Malam semakin larut. Setelah beberapa percakapan singkat, salah seorang penduduk menawarkan aku tempat untuk bermalam dengan alasan letak rumah kakekku yang berada jauh di luar tembok desa.

Aku mengangguk setuju, mengucapkan terima kasih atas tawaran yang sangat membantu. "Terima kasih. Saya akan mengurus rumah kakek saya besok pagi."

“Hahaha, jangan sungkan. Anggap saja ini sebagai balas budi atas kebaikan kakekmu.”

Terasa aneh saat merasakan buah dari kebaikan orang lain. Tapi karena aku juga sedang kesulitan maka tidak ada salahnya memanfaatkan kebaikan warga desa.

Aku dipersilakan tidur di ruang tamu. Setelah berganti pakaian dari yang kotor dengan yang lebih bersih, aku merebahkan diri di atas bangku kayu yang terasa sangat keras. Mataku menatap langit-langit tanpa platform, sementara pikiranku mulai memutar ulang kejadian tadi.

"Ada yang menatapku dengan rasa kasihan, dan beberapa tampak tidak peduli. Syukurlah, hanya satu orang yang terlihat memandangku dengan jijik." Aku menghela napas, mencoba untuk mengabaikan semua hal buruk yang mencoba mengusikku.

Udara semakin terasa dingin memaksaku menarik selimut tipis yang dipinjamkan pemilik rumah. Mataku mulai terpejam dan membiarkan rasa kantuk menguasai tubuhku. Akhirnya aku merasakan ketenangan dalam kesunyian malam.