SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Fiksi Distorsi

Fiksi Distorsi

Ragnarok

Langit di atas medan perang terbuka terbelah oleh kilatan petir yang tak kunjung berhenti.

Suara gemuruh terdengar seperti jeritan alam semesta yang merintih di bawah beban perang yang telah menghancurkan segalanya.

Perang Ragnarok, akhir dari segala yang ada, berlangsung dengan kekejaman yang tak terlukiskan.

Minami berdiri di tengah-tengah kekacauan yang seolah tak berujung, tubuhnya terpaku oleh pemandangan mengerikan di sekelilingnya.

Tanah yang dulu subur dan hijau kini berubah menjadi lautan darah, basah oleh cairan kehidupan yang telah lama mengalir tanpa henti.

Potongan-potongan tubuh berserakan di mana-mana, tidak lagi dikenali sebagai manusia atau makhluk lainnya.

Bau besi darah, campuran debu, dan api menyusup ke dalam hidung Minami, membuat setiap tarikan napas terasa seperti racun yang membakar paru-parunya.

Tanah, yang dulu dipijaknya dengan tenang, kini terasa licin di bawah kakinya, seolah-olah dunia itu sendiri telah menyerah dan mulai tenggelam dalam kekelaman.

Di kejauhan, terdengar suara jeritan ribuan orang, tidak hanya manusia, tetapi juga makhluk-makhluk dewa yang jatuh dari singgasana mereka.

Tentara, ksatria, dan dewa bertarung melawan monster-monster yang tak pernah dibayangkan oleh imajinasi terliar pun.

Behemoth raksasa dengan tubuh yang menjulang setinggi gunung menghancurkan segalanya di jalannya, menelan puluhan nyawa hanya dengan satu gerakan.

Naga yang tubuhnya berkilauan oleh api surgawi melayang di udara, membakar habis apapun yang berani melawan kekuatan apinya.

Dan di antara mereka, pasukan makhluk hidup berusaha bertahan, tetapi harapan mereka sudah lama memudar.

Minami melihat seorang prajurit yang terluka parah, tubuhnya tergeletak di tanah dengan satu tangan terpotong dan wajah yang hancur oleh serangan pedang.

Dia berusaha merangkak, mencari bantuan yang tak pernah datang. Mata mereka bertemu sebentar, sebelum prajurit itu menghembuskan napas terakhirnya, mulutnya terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi suara itu tak pernah keluar.

Minami memalingkan wajahnya, tetapi pemandangan serupa terus menghantuinya, di mana pun dia melihat.

Tak jauh dari sana, sebuah kapal besar yang dibuat oleh tangan dewa sendiri terbelah dua oleh kekuatan musuh yang tak tertandingi.

Ribuan pejuang jatuh ke laut darah, tenggelam dalam gelombang kehancuran. Suara jeritan mereka memenuhi udara, seperti nyanyian kematian yang bergema di seluruh medan perang.

Minami merasa tubuhnya gemetar, bukan karena ketakutan, tetapi karena keputusasaan yang melumpuhkan.

Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah tubuhnya diseret oleh beban jiwa-jiwa yang mati di sekelilingnya.

Di atas bukit yang tak jauh dari tempatnya berdiri, dia melihat para raksasa, makhluk-makhluk purba yang lahir dari kegelapan sebelum waktu, bertarung dengan para dewa terakhir yang tersisa.

Pedang besar mereka mengiris udara dengan mudah, menghancurkan tanah dan membelah pegunungan.

Setiap tebasan, setiap hentakan kaki mereka menyebabkan gempa bumi yang menggetarkan seluruh alam semesta. Dan di sana, di puncak kekacauan, Minami melihat kematian Ibunya.

Ibunya, sosok yang dulu ia pandang sebagai dewi pelindung, kini hanya menjadi salah satu korban dari kekacauan ini. Tubuhnya yang berkilauan dengan cahaya ilahi kini bersimbah darah.

Pedang besar milik raksasa menembus tubuhnya, menancap hingga ke tanah. Minami hanya bisa berdiri diam, suaranya tercekat di tenggorokan.

Rasa sakit yang menusuk di dadanya jauh lebih kuat dari serangan fisik apapun yang pernah ia terima. Dia tidak dapat bergerak, bahkan ketika dia menyaksikan tubuh ayahnya runtuh seperti boneka yang talinya dipotong.

Seketika, dunia terasa runtuh di sekeliling Minami. Suara perang seolah menjadi hampa, semua yang ada di sekitarnya berubah menjadi kabur.

Dia tidak bisa mendengar jeritan atau ledakan, hanya suara detak jantungnya yang menggema di telinganya, semakin cepat, semakin keras.

Matanya dipenuhi air mata yang memburamkan pandangannya, tetapi dia tahu, dia tahu bahwa ayahnya sudah tiada.

Minami terjatuh ke lututnya, tangannya mencakar tanah yang dingin dan basah oleh darah. Tidak ada yang tersisa.

Tidak ada yang bisa diperjuangkan. Dia merasa seluruh kekuatannya menguap, hilang begitu saja. Rasa dingin menjalar dari ujung jari-jarinya hingga ke tulang belakangnya.

Tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena kehampaan yang menyelimuti dirinya. Minami sudah tidak peduli lagi dengan perang yang terus berkecamuk di sekelilingnya. Apa gunanya bertarung jika pada akhirnya semua orang yang dia cintai akan mati?

Namun, perang tidak berhenti hanya karena Minami menyerah. Ledakan besar mengguncang tanah di sekelilingnya.

Kilatan cahaya biru dan merah saling bertabrakan di udara, menghancurkan setiap benda yang berada di lintasannya. Suara ledakan itu mengiris langit, membuat bintang-bintang jatuh dari angkasa, seolah-olah langit itu sendiri terpecah menjadi serpihan.

Beberapa makhluk yang masih tersisa bertarung habis-habisan, tetapi jelas terlihat bahwa mereka semua hanya menunda apa yang tak terelakkan.

Minami melihat Mina, adiknya, masih berjuang di antara para pejuang yang tersisa. Wajah Mina penuh dengan determinasi, meski tubuhnya terluka parah.

Mina adalah satu-satunya orang yang masih bertahan, satu-satunya alasan Minami belum benar-benar hancur.

Tapi bahkan Mina, dengan segala kekuatannya, tidak akan bisa bertahan lama. Kematian mereka hanya masalah waktu.

Pikiran itu menghantam Minami dengan keras. Dia tidak ingin kehilangan satu-satunya keluarga yang tersisa.

Namun, tubuhnya tetap tak bergerak, dibelenggu oleh rasa bersalah, ketakutan, dan putus asa. Setiap detik yang berlalu, dia merasa semakin tersedot ke dalam jurang kegelapan yang tak berdasar.

Perang Ragnarok tidak lagi menjadi pertempuran antara dewa dan manusia, antara kebaikan dan kejahatan.

Itu telah menjadi perang tanpa arti, di mana semua pihak kehilangan tujuan dan hanya tersisa kehancuran total.

Alam semesta itu sendiri berteriak minta dibiarkan beristirahat, tetapi kekuatan-kekuatan yang bertikai tidak memberikan belas kasihan. Ragnarök adalah akhir, dan akhir itu kini berdiri di hadapan Minami, tak terhindarkan.

Dan di tengah lautan darah, di antara reruntuhan dunia dan kematian yang tak terhitung, Minami hanya bisa menatap kehancuran yang pernah menjadi dunianya.

Minami berdiri diam di tengah lautan darah dan kehancuran yang membentang sejauh mata memandang. Suara dentuman perang, jeritan korban, dan gemuruh kehancuran terdengar begitu nyata.

Namun, semakin lama dia berdiri di sana, semakin ada sesuatu yang tidak masuk akal di dalam dirinya.

Seolah-olah pikirannya berteriak menolak apa yang dilihat oleh matanya. Semuanya terlalu suram, terlalu mengerikan, hingga terasa... tak nyata.

"Ini semua... pasti tidak benar," gumam Minami pelan, suaranya teredam oleh keriuhan di sekelilingnya.

Di kejauhan, Mina berlari mendekat, wajahnya pucat dan penuh luka. "Kakak! Kita harus pergi dari sini! Semua sudah berakhir!"

Namun, bahkan suara adiknya pun terdengar jauh, seolah-olah berasal dari tempat lain, tempat yang tidak bisa Minami jangkau.

Minami menggelengkan kepalanya. "Tidak... ini tidak benar."

Pandangannya menyapu medan perang. "Ibu... mati. Semua orang mati. Dunia ini... sudah hancur."

"Tapi mengapa aku masih di sini?" Dia merasakan sesuatu yang aneh—sebuah kehampaan yang semakin menggerogoti pikirannya."

"Semua ini, semua darah, kehancuran, jeritan, terasa seperti mimpi buruk yang tidak berujung..."

Mina meraih tangan Minami, mengguncangnya dengan keras. "Kakak, apa yang kau bicarakan? Ini nyata! Kita harus bertahan hidup!"

"Ibu sudah mati, tapi kita masih bisa menyelamatkan yang lain!" Suara Mina terdengar panik, namun ada sesuatu yang janggal di balik kata-katanya, seperti gema yang terdistorsi.

Minami memandangi Mina dengan mata kosong. "Tidak... ini tidak nyata. Ini semua hanya ilusi. Semua ini... tipuan."

Kata-kata Minami bergema dalam pikirannya, semakin kuat setiap kali dia mengucapkannya. "Palsu... palsu... semuanya palsu!"

Dia melepaskan tangannya dari cengkeraman Mina, lalu berteriak ke langit yang dipenuhi kilat dan api, "Ini tidak nyata!"

Tiba-tiba, medan perang di hadapannya mulai bergetar. Langit yang gelap dan dipenuhi petir perlahan memudar, berubah menjadi warna abu-abu yang semakin memutih.

Suara jeritan dan gemuruh meredup, seperti suara-suara yang ditarik ke dalam kehampaan. Tanah di bawahnya mulai pecah, retak, dan runtuh, tetapi Minami tetap diam, memandang kehancuran yang perlahan menghilang di hadapannya.

Mina—atau setidaknya sosok yang tampak seperti Mina—menatapnya dengan tatapan penuh keputusasaan. "Kakak! Apa yang kau lakukan? Jangan biarkan semuanya hilang!"

"Jangan tinggalkan aku!" Tapi suaranya pun semakin jauh, semakin samar, hingga akhirnya menghilang sepenuhnya.

Dan kemudian, semuanya gelap.

Minami terbangun dengan napas tersengal-sengal. Dadanya berdegup kencang, keringat dingin membasahi dahinya.

Dia terbaring di sebuah tempat yang asing. Tidak ada darah, tidak ada kehancuran, hanya ketenangan yang aneh, seperti jeda di antara dua hal yang tak diketahui.

Perlahan, ia mencoba memfokuskan penglihatannya. Dinding-dinding putih bersih mengelilinginya, dan bau antiseptik memenuhi udara. Cahaya lembut dari langit-langit menerangi ruangan.

Dia berada di sebuah tempat... rumah sakit?

Minami mencoba menggerakkan tubuhnya, merasakan kasur yang empuk di bawahnya, tidak seperti medan perang keras yang dia ingat sebelumnya.

Tubuhnya terasa lemah, tetapi tidak terluka seperti seharusnya. Dia mengedarkan pandangannya, mendapati dirinya terhubung dengan berbagai mesin medis yang mengeluarkan suara bip-bip pelan. Jantungnya masih berpacu cepat, namun sekarang lebih tenang.

"Di mana... ini?" Minami bergumam.

"Apa yang terjadi?"

Dia mencoba mengingat dengan jelas pertempuran terakhir yang dia saksikan—Ragnarok, ibunya yang gugur, Mina yang berteriak memanggilnya.

Namun, setiap kali dia mencoba menggali lebih dalam ke dalam ingatan itu, segalanya terasa kabur, seperti mimpi buruk yang tidak sepenuhnya bisa ia pahami.

Terdengar langkah kaki pelan mendekat dari luar pintu. Seorang wanita berambut hitam panjang dengan seragam aneh yang belum pernah Minami lihat sebelumnya masuk ke dalam ruangan.

"Ah, kau sudah bangun," katanya dengan senyum tipis, seolah Minami baru saja terjaga dari tidur panjang yang wajar.

"Bagaimana perasaanmu?"

Minami memandangnya dengan tatapan kosong. "Di mana... aku? Ini bukan... tempatku."

Wanita itu menatapnya sejenak, sebelum menuliskan sesuatu di papan digital yang dia bawa. "Kau berada di fasilitas pemulihan."

"Namun... ini mungkin bukan tempat yang kau kenal. Kami... bukan berasal dari dunia yang sama denganmu."

Minami merasakan detak jantungnya meningkat lagi. "Apa maksudmu? Dunia lain?"

Wanita itu tersenyum kecil. "Ya. Dunia di mana kau berasal—dunia yang dihancurkan oleh perang yang disebut Ragnarok—sudah lama hilang."

"Kau sekarang berada di tempat yang jauh berbeda, di luar alam semesta yang kau kenal."

Mendengar penjelasan itu, Minami terdiam. Dia berusaha memproses informasi yang diberikan kepadanya, tetapi otaknya masih terlalu lelah, pikirannya terlalu tumpul untuk sepenuhnya menerima kenyataan itu.

Apakah semua yang dia alami selama ini hanya mimpi? Atau apakah ini hanya bagian dari kenyataan baru yang lebih mengerikan?

"Apa yang terjadi padaku?" Minami bertanya dengan suara bergetar.

"Apakah yang aku lihat... sungguh terjadi?"

Wanita itu menatapnya dengan pandangan simpati. "Itu bukan hanya mimpi. Ragnarok memang terjadi. Dan kau... adalah salah satu dari sedikit yang selamat."

Minami memandang wanita itu dengan kebingungan yang mendalam.

Kata-katanya terperangkap di tenggorokan sejenak sebelum akhirnya dia bertanya, "Ragnarok... apa sebenarnya itu?"

"Aku ingat kehancuran, perang besar... tapi semuanya terasa kabur. Siapa yang memulainya? Mengapa itu terjadi?"

Wanita tersebut menurunkan tangannya dari papan digital, menatap Minami dengan tatapan serius dan penuh pemahaman.

"Ragnarok... bukan sekadar perang biasa."

"Itu adalah kehancuran alam semesta, benturan antara kekuatan kosmik yang jauh di luar kendali makhluk seperti kita."

"Tidak hanya dunia dan kehidupan yang hancur, tetapi seluruh tatanan alam semesta runtuh."

"Kekuatan-kekuatan yang terlibat dalam Ragnarok tidak berasal dari dunia ini... mereka diciptakan oleh sesuatu yang jauh lebih kuat."

Minami menahan napas, seakan tahu bahwa apa yang akan didengarnya berikutnya akan mengubah cara pandangnya tentang segalanya.

"Ragnarok," lanjut wanita itu.

"Diciptakan oleh entitas misterius yang dikenal sebagai Touriverse. Kami tidak tahu banyak tentang entitas ini."

"Bahkan dalam semua catatan yang kami miliki, keberadaannya sulit dipahami. Ia tidak berasal dari dimensi mana pun yang kita kenal, tidak dari waktu atau ruang yang biasa kita temui."

"Touriverse adalah pencipta dan penghancur, entitas yang mampu merancang Ragnarok seperti permainan yang mengadu makhluk-makhluk terkuat dari berbagai alam semesta."

Minami terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. "Touriverse... entitas itu, menciptakan semua ini?"

"Perang yang menghancurkan segalanya... kematian Ibuku, semua korban... semuanya karena dia?"

Wanita itu mengangguk pelan. "Ya, Touriverse menciptakan Ragnarok sebagai semacam eksperimen... atau mungkin hiburan bagi entitas-entitas yang lebih tinggi darinya."

"Kami tidak sepenuhnya tahu apa motivasinya. Namun, yang pasti, Touriverse memiliki kekuatan yang tak terukur, dan ia menebarkan kekacauan ke dalam berbagai realitas yang berbeda."

Minami menggenggam tepi selimut yang menutupi tubuhnya dengan erat, rasa marah dan putus asa mengalir dalam dirinya. "Jadi... semua ini hanya permainan baginya?"

"Kehidupan kita, perjuangan kita... hanya mainan bagi entitas yang tidak peduli?"

Wanita itu menundukkan kepalanya sejenak, menunjukkan kesedihannya. "Begitu banyak yang telah hancur karena kehendak Touriverse."

"Kau bukan satu-satunya yang kehilangan segalanya dalam perang ini."

"Ada banyak makhluk seperti kau di berbagai dimensi, yang selamat namun tanpa dunia, tanpa tempat untuk kembali."

Minami mengatupkan rahangnya, pikirannya terombang-ambing antara keputusasaan dan kemarahan yang mendidih. "Kalau begitu, apa yang tersisa untukku?"

"Jika entitas itu begitu kuat, apa yang bisa kulakukan? Apa yang tersisa bagi dunia... bagi alam semesta, jika semua ini sudah ditentukan oleh Touriverse?"

Wanita itu menatapnya dengan penuh empati. "Ada alasan mengapa kau masih di sini, Minami. Kau diberi kesempatan kedua—tidak hanya untuk bertahan, tapi untuk mengubah sesuatu."

"Aku tidak bisa memberitahumu apa jawabannya, namun tempat ini... akademi yang akan kau masuki, memberikan kesempatan bagi mereka yang selamat untuk membuat permintaan."

"Permintaan yang mungkin bisa mengubah nasibmu. Bahkan, mungkin kau bisa menemukan cara untuk menghentikan Touriverse."

Minami terdiam lama, menatap langit-langit ruangan. Pikirannya terombang-ambing antara kenyataan pahit yang baru saja ia pelajari dan harapan samar yang ditawarkan kepadanya.

Touriverse—sosok misterius yang telah menghancurkan segalanya, entitas yang bahkan bisa menciptakan Ragnarok seperti permainan. Apa yang bisa dilakukannya melawan kekuatan sebesar itu?

Namun, di balik semua ketidakpastian itu, ada satu hal yang jelas di pikirannya: dia tidak bisa kembali memperjuangkan sesuatu.

"Aku sudah berhenti berjuang..."

Kitsune Legend

Langit kelabu menutupi sisa-sisa dunia yang pernah ada, menghitam seperti abu yang melayang di udara.

Tanah di bawah kaki Mina begitu sunyi, penuh dengan puing-puing reruntuhan yang dulu merupakan kota, hutan, dan pegunungan.

Kini, tak ada yang tersisa selain kehancuran, dan di sekitarnya, hamparan tubuh tak bernyawa membentang sejauh mata memandang.

Angin dingin menderu pelan, mengirimkan bau kematian yang membekas dalam setiap helaan napas.

Mina berdiri di tengah-tengah semua itu, sendirian. Sepasang mata kuning yang dahulu cerah kini terlihat buram, dipenuhi keputusasaan yang dalam.

Tubuhnya terasa begitu lemah, lelah, dan rapuh, seolah-olah setiap gerakan adalah perjuangan yang berat.

Sisa luka-luka yang memenuhi tubuhnya terasa memar, dan darah kering menempel di kulitnya, namun semua itu terasa sepele dibandingkan dengan kehancuran emosional yang ia rasakan.

Di hadapannya, tumpukan mayat tak ada habisnya. Orang-orang yang pernah ia kenal, teman-teman seperjuangannya, sekutu-sekutunya—semua terbaring tak bernyawa.

Mereka telah berjuang, mereka telah memberikan segalanya untuk mempertahankan dunia mereka.

Tapi pada akhirnya, semuanya sia-sia. Perang besar, yang dikenal sebagai Ragnarok, telah memusnahkan segalanya.

Tidak ada yang tersisa untuk dilindungi. Tidak ada yang bisa diselamatkan.

Langkah kaki Mina terasa berat saat dia tersandung di antara tumpukan mayat, mencari satu wajah yang paling ia takuti untuk temukan di antara mereka.

Air matanya sudah kering, begitu banyak yang ia tumpahkan selama pertempuran berlangsung.

Namun, sekarang, meskipun hatinya terbelah, tidak ada air mata yang tersisa. Yang ada hanyalah kehampaan. Yang ada hanyalah rasa sakit yang menusuk jiwanya.

Dan di sana, terbaring di tengah kehancuran, dia menemukannya. Minami.

"Kakak..." Suara Mina pecah saat bibirnya bergetar.

Tubuh kakaknya, Minami, terbaring tak bergerak di atas tanah yang retak dan berlumuran darah.

Mata Minami terpejam, dan wajahnya yang biasanya penuh semangat kini tampak pucat dan kosong.

Mina berlutut di sisinya, tangan kecilnya menggenggam pergelangan tangan Minami yang dingin.

"Kakak... bangunlah..." bisiknya, memohon dengan suara yang terdengar begitu lemah.

Namun, tidak ada jawaban.

Mina mengguncang tubuh kakaknya dengan lembut, memohon lagi, "Tolong, Kakak... jangan tinggalkan aku sendirian..."

"Aku tidak bisa melakukannya tanpa Kakak." Suaranya semakin serak, setiap kata keluar dengan penuh penderitaan yang mendalam.

"Tolong... bangun... katakan padaku ini semua tidak nyata..."

Dia menggenggam tangan Minami dengan lebih erat, air mata yang ia kira sudah habis mulai mengalir kembali, menetes ke wajah kakaknya.

Tangisan itu datang pelan pada awalnya, seperti tangisan anak kecil yang ketakutan, namun semakin lama semakin keras, menjadi ratapan penuh putus asa.

"Kakak! Bangun! Tolong, aku tidak bisa... aku tidak bisa sendirian..."

Suara tangisnya bergema di tengah kehampaan yang mengelilingi mereka. Tidak ada yang mendengarnya. Tidak ada yang tersisa untuk merespons.

Di sekelilingnya hanyalah tubuh-tubuh yang hampa, mata-mata kosong yang tidak akan pernah terbuka lagi.

Dunia telah mati, dan Minami—satu-satunya orang yang masih ada untuknya—tidak bergerak.

Mina memeluk tubuh kakaknya dengan erat, berusaha menghangatkannya dengan pelukan yang sia-sia. "Kakak, aku mohon... kau selalu melindungiku."

"Jangan pergi sekarang. Jangan tinggalkan aku di sini... aku tidak bisa melakukan ini tanpa kau..." Suara Mina tenggelam dalam tangis yang mengguncang tubuhnya.

Rasanya seperti seluruh dunia telah menghancurkannya, meninggalkannya tanpa tempat untuk berlindung.

Mina ingat setiap kali Minami menenangkannya saat dia takut. Kakaknya selalu menjadi perisai, selalu menjadi tempat perlindungannya.

Namun kini, Minami diam, tak memberikan kata-kata penghiburan, tak ada tangan hangat yang membelai rambutnya seperti dulu. Kali ini, dunia terlalu berat bagi Mina untuk menanggungnya sendiri.

Dia mendongak ke langit yang kelabu, matanya berkaca-kaca oleh air mata.

"Apakah tidak ada yang mendengarku?" jeritnya putus asa.

"Apakah ini hukuman bagi kita semua? Apa dosa yang telah kami lakukan sehingga harus merasakan ini?" Tapi tidak ada jawaban, hanya keheningan yang menakutkan, yang menelan setiap ratapannya.

Kepedihan itu begitu dalam, seakan menghancurkan setiap serpihan yang masih tersisa di dalam dirinya.

Perasaan hampa dan putus asa merambat ke setiap sudut jiwanya, membuatnya merasa lebih kecil dan lebih tak berdaya dari sebelumnya.

Tidak ada yang bisa menolongnya. Tidak ada yang bisa menghapus rasa sakit yang meremukkan hati dan pikirannya.

Mina menyandarkan kepalanya di dada Minami yang dingin, mendengarkan detak jantung yang tak lagi berdenyut.

Segalanya terasa tak mungkin diperbaiki lagi. Dunia sudah tidak ada, begitu juga harapan.

"Maafkan aku, Kakak," bisiknya dengan suara gemetar.

"Aku tidak cukup kuat. Aku tidak bisa bertahan tanpamu... Kau selalu yang terkuat di antara kita."

"Tapi sekarang... aku tidak tahu harus berbuat apa." Tangisnya kembali pecah, membanjiri wajah kakaknya dengan kesedihan yang tak terkatakan.

Dia berusaha berbicara, namun suaranya tercekat di tenggorokan.

Waktu berlalu perlahan, seolah-olah dunia berhenti bergerak. Dan di tengah kehancuran ini, di tengah ribuan mayat yang tak bernyawa,

Mina terus memeluk kakaknya, satu-satunya sosok yang membuatnya merasa aman di tengah dunia yang telah runtuh.

Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain memohon kepada langit kelabu yang kosong, berharap pada keajaiban yang tidak pernah datang.

Mina terisak di antara tumpukan mayat, begitu kecil dan tak berdaya di hadapan kegelapan yang melingkupi dunianya.

Tidak ada yang tersisa. Hanya dia dan tubuh kakaknya yang diam, dalam keheningan yang menusuk jiwa.

Dan di sanalah dia, sendirian. Terjebak dalam kehampaan, di dunia yang telah mati.

Mina tetap memeluk tubuh kakaknya dengan erat, pandangannya mulai memudar. Matanya yang sebelumnya dipenuhi air mata kini buram, dunia di sekitarnya semakin samar seperti kabut yang menelan semuanya.

Udara terasa berat, dan napasnya mulai tersengal-sengal. Tubuhnya begitu lelah, begitu letih setelah semua yang ia lalui. Dia tidak tahu berapa lama lagi dia bisa bertahan. Mungkin ini akhirnya.

Namun, di tengah kabut yang mulai menyelimuti pikirannya, suara langkah kaki terdengar pelan, mendekat. Sebuah suara lembut namun tegas memecah keheningan.

“Kau tidak sendiri, nak. ” kata suara itu.

Suara itu rendah, penuh empati, dan sedikit serak seperti seseorang yang telah menyaksikan banyak hal, tapi masih memelihara harapan. "Aku ada di sini untukmu. Jangan takut."

Mina mengerjap, mencoba fokus pada sumber suara itu, tapi semuanya tampak buram. Dunia di sekitarnya seperti bayangan yang kehilangan bentuknya.

Yang bisa ia lihat hanyalah siluet seorang wanita yang mendekat dengan perlahan, pakaian wanita itu berwarna cokelat, menyerupai seragam militer yang dikenakan prajurit di medan perang.

Sepatu botnya yang kokoh menghentak lembut tanah yang hancur, dan ada sesuatu dalam caranya bergerak yang menenangkan.

Wanita itu berjongkok di hadapan Mina, menatapnya dengan sorot mata yang penuh keteguhan, namun hangat.

“Aku tahu kau lelah, sangat lelah,” lanjutnya, suaranya serak namun penuh ketenangan.

“Semua ini sudah terlalu berat untuk ditanggung olehmu sendiri. Tapi kau tidak harus menanggungnya sendirian lagi.”

Mina, meski hampir tidak bisa melihat, merasakan kehadiran wanita itu begitu dekat, begitu nyata.

"Si...siapa kau?" suaranya bergetar, hampir tak terdengar.

Wanita itu tersenyum samar, meski senyuman itu tak terlihat jelas di mata Mina. "Aku seseorang yang mengerti apa yang kau alami."

"Seseorang yang juga pernah kehilangan segalanya. Tapi sekarang, aku di sini untuk membantu." Tangan wanita itu terulur, lembut namun kokoh, menyentuh bahu Mina yang gemetar.

Sentuhan itu membuat hati Mina yang hancur sedikit bergetar. Ada sesuatu dalam nada suara dan kehangatan dari tangan wanita itu yang terasa begitu tulus.

“Aku... aku tidak bisa melakukannya lagi... aku... lelah...” bisik Mina, nyaris tak bersuara.

Wanita itu mengangguk perlahan, lalu berkata, “Kau telah berjuang keras, Mina. Sangat keras."

"Tapi sekarang, biarkan aku yang membantu. Aku akan membawamu ke tempat yang aman. Kau tidak perlu merasa sendirian lagi.”

Mina ingin menjawab, namun lelah yang begitu mendalam menahannya. Tubuhnya terasa begitu berat, dan pandangannya semakin buram, hampir tak bisa melihat apa pun selain bayangan samar wanita di hadapannya.

Namun, meskipun dunia di sekitarnya runtuh, ada sesuatu dalam suara wanita itu yang membuatnya merasa... aman.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Mina merasa hatinya sedikit lebih ringan.

Ada seseorang yang datang untuknya. Seseorang yang mengerti. Seseorang yang bisa membantunya, meski hanya untuk saat ini.

Senyuman kecil, nyaris tak terlihat, muncul di bibir Mina yang pecah-pecah.

Rasanya seperti keajaiban yang tak pernah ia duga akan datang. Dan dalam senyuman itu, seluruh tubuhnya menyerah pada kelelahan yang ia tanggung selama ini.

Matanya perlahan tertutup, dan dalam keheningan, di bawah langit yang kelabu,

Mina jatuh pingsan, tubuhnya tertidur dalam pelukan kehangatan yang asing namun penuh kedamaian.

Wanita itu menghela napas pelan, lalu dengan lembut mengangkat tubuh Mina ke pelukannya sedangkan Minami di angkat oleh rekannya yang baru saja datang, melindunginya dari dingin dan sisa-sisa dunia yang hancur di sekitar mereka.

Mata wanita itu menyiratkan tekad, dan dengan langkah tegas, ia membawa Mina pergi dari lautan kehancuran itu, meninggalkan medan perang Ragnarok yang telah menelan begitu banyak kehidupan.

Namun, mungkin, untuk Mina, ini bukanlah akhir. Mungkin, ini adalah awal dari perjalanan baru, di mana ada secercah harapan yang tersisa.

...

...

Wanita berpakaian cokelat itu berjalan menyusuri lorong-lorong fasilitas pemulihan dengan langkah yang tegas.

Cahaya lampu di langit-langit memberikan penerangan yang lembut, namun kesunyian yang menyelimuti tempat itu memberi kesan mencekam.

Di balik pintu-pintu besi yang kokoh, berbagai sosok terluka dan rusak akibat perang sedang dirawat, namun di antara mereka, Mina adalah yang paling menarik perhatian.

Mina berbaring di ranjang dengan wajah yang pucat, tubuhnya terbungkus selimut putih bersih. Di sisi ranjangnya, berbagai alat medis menempel, berfungsi untuk memonitor kesehatannya.

Napasnya tenang dan teratur, tetapi luka-luka yang ia derita selama Ragnarok masih belum sepenuhnya sembuh, terutama luka batinnya.

Wanita berpakaian cokelat itu berdiri di dekat jendela ruangan, memperhatikan Mina dengan tatapan penuh rasa empati, namun juga dengan sorot mata yang memperlihatkan tekad kuat.

Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka, dan seorang dokter masuk. Pria paruh baya itu mengenakan jas lab putih dengan raut wajah serius.

Dia menghampiri wanita itu dan berdiri di sampingnya, mengamati Mina yang masih terbaring tak sadarkan diri.

“Bagaimana keadaannya?” tanya wanita itu dengan suara rendah, nadanya penuh perhatian.

Dokter menghela napas pelan sebelum menjawab, “Secara fisik, dia akan sembuh."

"Namun, luka yang paling parah bukan pada tubuhnya… tapi pada jiwanya.” Dokter memandang wanita itu dengan pandangan serius.

“Perang Ragnarok telah menghabiskan banyak energi kehidupan dan kekuatan spiritualnya."

"Sebagai seekor ras Kitsune Legend, dia memiliki kemampuan penyembuhan yang luar biasa, tetapi trauma yang dia alami..."

"Itu akan membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih.”

Wanita itu mengangguk perlahan, matanya masih tertuju pada Mina yang tertidur.

“Dia ras pejuang yang disebut bangsa Legenda, dikenal dengan sejarahnya penuh perjuangan sampai mereka akan terus memperjuangkan apapun itu sampai mati,” katanya pelan, hampir berbicara pada dirinya sendiri.

"Bahkan bagi pandangan bangsa Legenda, kematian itu lebih baik diterima jika dibandingkan dengan kekalahan sepahit ini."

“Seorang Kitsune Legenda tidak menyerah dengan mudah.”

"Mental Mina akan aku perbaiki sampai dia bisa mengubah kegagalan itu menjadi suatu kesempatan untuk ke depannya." Wanita itu tersenyum.

"Kau memang hebat dalam segi psikologis..." Ucap dokter tersebut.

Dokter memperhatikan ekspresi wanita itu, lalu melanjutkan dengan nada hati-hati selagi membaca catatannya itu, "Rasnya adalah sesuatu yang langka… Kitsune Legenda merupakan setengah ras yang mirip seperti manusia, setengah rubah."

"Mereka dilahirkan dengan kekuatan yang mengalir dari roh-roh alam dan memiliki ikatan yang kuat dengan elemen-elemen di sekitar mereka."

"Tidak banyak yang tersisa dari mereka sekarang. Mina mungkin salah satu yang terakhir dari garis keturunannya.”

"Kakaknya juga termasuk walaupun kesempatan hidupnya sangatlah kecil karena dia sedang koma..."

Wanita itu menatap dokter dengan pandangan yang tajam. “Aku tahu itu. Mereka adalah pejuang alam semesta."

"Mereka lahir dengan kekuatan yang besar dan kehormatan yang tidak bisa direnggut, tapi sayangnya, Ragnarok menghancurkan segalanya."

"Aku pernah bertarung bersama mereka, dulu. Tapi tak seorang pun siap untuk kehancuran sebesar ini.”

Dokter mengangguk setuju, kemudian berkata dengan nada lebih serius, “Selama pertempuran, kekuatannya terkuras habis. Kemampuannya untuk berubah wujud—untuk memanfaatkan energi rubah di dalam dirinya—nyaris lenyap."

"Tanpa waktu yang cukup untuk pulih, dia tidak akan bisa mengembalikan kekuatan Kitsune miliknya.”

Wanita itu menatap Mina dengan penuh rasa prihatin, lalu beralih menatap dokter. “Dan apa yang terjadi jika dia tidak bisa pulih?”

Dokter terlihat ragu sejenak sebelum menjawab. “Jika dia tidak pulih sepenuhnya, dia mungkin kehilangan kemampuannya selamanya."

"Itu termasuk kekuatan penyembuhan alami, ketajaman insting, dan… kemampuan bertarung. Jika ini terjadi, dia akan rentan di masa depan.”

Keheningan menyelimuti ruangan sejenak. Wanita itu meresapi kata-kata dokter, namun meskipun situasinya tampak suram, ada tekad yang jelas terpancar dari dirinya.

“Dia telah kehilangan banyak hal... tapi aku percaya Mina lebih kuat dari yang terlihat."

"Jika dia diberi waktu yang cukup, aku yakin dia bisa bangkit kembali.”

Dokter tersenyum tipis, meskipun wajahnya masih penuh kekhawatiran. “Waktu adalah yang kita miliki sekarang."

"Namun, yang paling penting adalah apakah dia akan mau bangkit lagi setelah semua yang dia lihat dan alami.”

Wanita itu diam sejenak, tatapannya terarah kembali pada Mina. “Aku akan membantunya."

"Aku akan memastikan dia punya alasan untuk bangkit lagi. Kami kehilangan begitu banyak dalam Ragnarok, tetapi Mina tidak boleh kehilangan harapannya.”

"Setiap dunia... tidak... setiap fiksi yang menerima alur Ragnarok berhak mendapatkan kesempatan untuk bisa berubah demi ke depannya."

Wanita itu mendekati ranjang Mina, lalu duduk di tepinya dengan lembut. Ia memandang gadis muda itu, rambut pendeknya yang emas halus berantakan di atas bantal, napasnya begitu pelan.

Ada sesuatu yang rapuh di wajah Mina saat ini, namun wanita itu bisa melihat bahwa jauh di dalam dirinya, Mina masih menyimpan kekuatan besar.

“Saat dia terbangun, beri tahu aku,” ujar wanita itu kepada dokter.

“Aku ingin berada di sini untuknya.”

Dokter mengangguk dan perlahan meninggalkan ruangan, meninggalkan wanita tersebut sendiri bersama Mina.

Wanita itu duduk di sana, memandangi gadis yang tertidur, merasa beban berat dari pertempuran sebelumnya menggelayuti pikirannya.

Namun dia tidak akan menyerah pada Mina. Dia tahu, jika ada yang bisa bangkit dari kehancuran ini, Kitsune Legend seperti Mina adalah sosok yang akan menemukan jalan kembali.

“Semua belum berakhir, Mina,” bisik wanita itu pelan.

“Kau masih punya kesempatan."

"Kau masih punya kehidupan di depanmu…"

"Aku berjanji, aku akan bersamamu dalam setiap langkahnya.”

Mina mendengar perkataan itu sampai kedua matanya perlahan-lahan terbuka lalu melihat ke arah wanita tersebut.

"Kamu... kamu menyelamatkanku."

"Sepertinya begitu."

Mata Mina mulai memastikan ruangan di sekelilingnya itu, "Ini... dimana...?"

"Fasilitas pemulihan, kamu aman di sini. Tidak perlu mengkhawatirkan tentang perang apapun."

"Terima kasih..."

"Bolehkah aku meminta namamu?"

Wanita itu tersenyum, "Panggil saja..."

"...Morgana."