SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Mechanical Heart: The Red Revelation

Mechanical Heart: The Red Revelation

Bab 1

Dunia terasa sunyi saat Adrian Stoneheart menggali lebih dalam, serpihan tanah menempel di ujung sekopnya. Di hadapannya, sebuah reruntuhan kuno terbaring diam, terhimpit oleh waktu dan tanah yang melingkupinya selama ribuan tahun. Hawa yang berat menyelimuti lembah yang terlupakan ini, seolah berbisik tentang sesuatu yang seharusnya tak pernah ditemukan. Namun, bagi Adrian, seorang arkeolog muda yang penuh rasa ingin tahu, misteri ini adalah panggilan yang tak bisa diabaikan.

Cahaya matahari yang redup mulai tenggelam di balik puncak bukit, membentuk bayangan panjang yang merayap ke tempat Adrian berdiri. Dengan napas terengah, ia melangkah lebih dekat ke struktur yang mulai terlihat di antara timbunan tanah. Sebuah pintu batu besar tampak di hadapannya, dihiasi dengan ukiran aneh yang sudah terkikis waktu, namun masih memancarkan aura magis yang tak terbantahkan.

Jantungnya berdebar kencang. Ia tahu, di balik pintu ini mungkin tersembunyi jawaban yang dicari oleh para arkeolog selama berabad-abad—peninggalan peradaban yang hilang, atau bahkan lebih dari itu. Adrian meraih kantong di sampingnya, meraba-raba pahat yang dibawanya, dan mulai bekerja membuka jalan.

Dengan sedikit usaha, pintu batu itu bergeser, memperlihatkan sebuah lorong gelap yang dipenuhi debu dan keheningan. Saat ia melangkah masuk, sesuatu terasa berubah di sekitarnya. Udara di dalam lebih berat, lebih dingin, seolah dipenuhi dengan kehadiran yang tak kasatmata.Di ujung lorong, sesuatu berkilauan samar di bawah sinar lampu Adrian. Matanya menyipit, berusaha memastikan apa yang ia lihat. Di sana, tertanam di altar kuno yang terlupakan, sebuah batu berwarna merah menyala, berdetak perlahan seperti jantung yang hidup.

Cahaya merah itu tampak tidak wajar, menyiratkan kekuatan yang jauh melampaui apa yang bisa dipahami manusia biasa.Adrian menelan ludah. Batu itu bukan hanya sebuah artefak kuno—ia terasa hidup, penuh dengan rahasia dan kekuatan yang menunggu untuk terungkap. Tanpa pikir panjang, Adrian meraih batu itu, dan saat jari-jarinya menyentuh permukaannya, dunia di sekitarnya berubah.

Suara gemuruh menggema dari kedalaman reruntuhan. Udara bergetar, dan lantai di bawah kakinya retak. Batu itu bersinar lebih terang, seolah merespons sentuhan Adrian, memancarkan gelombang energi yang tak terkendali. Dalam sekejap, Adrian tersadar bahwa ia telah melakukan sesuatu yang tak bisa dibatalkan. Batu ini bukan sekadar peninggalan kuno—ia adalah kunci, dan Adrian baru saja memutarnya.

Tepat saat itu, dunia seakan terbalik. Cahaya merah yang menyilaukan melahap segalanya, merenggut Adrian dari realitas dan membawanya ke tempat yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ke mana ia pergi, atau siapa yang menunggunya di sana, Adrian tak pernah menduga. Tapi satu hal pasti: ini bukan sekadar petualangan biasa. Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang bisa menghancurkan semua dimensi, jika batu itu jatuh ke tangan yang salah.

Batu Mechanical Heart telah bangun. Dan dengan itu, datanglah kekuatan gelap yang telah lama tertidur.

-

Langit mendung menggantung rendah di atas reruntuhan kuno yang terlupakan, sementara suara gemerisik angin membawa aroma tanah basah dan debu berusia ribuan tahun. Adrian Stoneheart menyeka keringat dari dahinya dengan punggung tangannya, matanya tajam memperhatikan setiap goresan yang ia buat pada dinding reruntuhan di hadapannya. Sekop kecil yang ia pegang dengan hati-hati bergerak untuk menggeser batu terakhir yang menutupi pintu ke dalam ruang yang belum pernah tersentuh manusia selama berabad-abad.

“Kau pasti ada di sini,” gumam Adrian pelan, seolah berbicara pada reruntuhan itu sendiri.

Setiap kali dia mengekskavasi situs baru, ada kegugupan yang menempel di benaknya. Namun, tempat ini terasa berbeda—berat, misterius. Reruntuhan ini tidak tercatat dalam peta mana pun, hanya muncul dalam catatan usang yang ia temukan di perpustakaan tertua di Eropa. Mereka berbicara tentang artefak kuno yang memiliki kekuatan besar, artefak yang, jika benar, bisa mengubah dunia. Sebagai seorang arkeolog, Adrian dilatih untuk skeptis, tetapi di lubuk hatinya, dia tahu dia tak bisa mengabaikan insting yang terus membawanya ke sini.

Dengan dorongan terakhir, pintu batu besar itu bergerak sedikit. Hembusan angin dingin keluar dari dalamnya, membuat bulu kuduknya meremang. Dia menyalakan lampu di helmnya dan perlahan melangkah masuk.

Lorong gelap menyambutnya, sempit dan berliku, dindingnya dipenuhi ukiran-ukiran kuno yang tak dikenalnya. Setiap langkah terasa berat, seolah tanah di bawah kakinya telah menyerap beban waktu dan sejarah yang panjang. Kakinya menapak pelan, menimbulkan gema kecil di dalam ruang kosong itu.

Di ujung lorong, cahaya samar berkilauan.

Adrian mempercepat langkahnya. Ketika dia mendekati cahaya itu, dadanya terasa semakin berat. Cahaya itu semakin jelas, bersumber dari sebuah altar di tengah ruangan kecil yang tersembunyi. Di atas altar itu tergeletak sebuah batu berwarna merah menyala, memancarkan sinar halus yang tampak hidup, seperti jantung yang berdetak perlahan.

Adrian membeku, terpukau oleh pemandangan yang tidak biasa. Batu itu tidak terlihat seperti benda kuno yang terkikis waktu—justru sebaliknya, ia tampak seolah baru saja dibuat. Warnanya yang merah gelap seperti darah yang mengental, memancarkan aura misterius yang tak dapat dijelaskan.

"Dewa-dewi kuno... apa ini?" bisiknya, tanpa sadar mendekat.

Ada sesuatu dalam batu itu yang seolah memanggilnya. Naluri ilmiah Adrian berteriak agar ia berhenti, bahwa ia harus meneliti lebih dulu, mengambil foto, dan menganalisis situasi. Tetapi rasa penasaran yang luar biasa menguasai dirinya. Tanpa sadar, tangannya terulur, ujung jarinya hampir menyentuh permukaan batu yang halus.

Begitu jari-jarinya menyentuh batu itu, dunia di sekitarnya berubah.

Sebuah dentuman keras menggema dari dalam altar, disusul dengan getaran hebat yang mengguncang seluruh reruntuhan. Dinding-dinding batu mulai bergetar, debu berjatuhan dari langit-langit. Adrian tersentak mundur, tapi matanya tetap terpaku pada batu di depannya. Cahaya merah itu tiba-tiba meledak dalam kilatan yang menyilaukan, menyelimuti seluruh ruangan.

"Ap—apa ini?" Adrian mencoba melangkah mundur, tetapi kakinya terasa berat, seolah diikat oleh kekuatan tak terlihat.

Batu itu mulai berputar pelan di udara, sinarnya semakin terang, hingga menelan seluruh pandangan Adrian. Udara di sekelilingnya terasa bergetar, seolah ruang dan waktu mulai bergeser. Sebelum dia bisa bereaksi, sensasi berat menyeret tubuhnya. Tubuhnya melayang, terhisap ke dalam pusaran energi merah yang tak terkendali. Dunia di sekitarnya mulai menghilang, berganti dengan kegelapan yang pekat.

Seketika itu pula, Adrian jatuh ke tanah, mendarat dengan keras di permukaan yang asing. Dia tersentak, mencoba mengatur napas. Saat dia membuka matanya, pemandangan di depannya telah berubah total.

Dia tidak lagi berada di reruntuhan kuno.

Sebaliknya, dunia di sekelilingnya terasa aneh dan asing. Langit di atasnya berwarna merah keunguan, dengan kilatan-kilatan cahaya samar yang melintas di antara awan-awan gelap. Di kejauhan, pepohonan besar dengan batang hitam seperti arang menjulang tinggi, sementara tanah di bawah kakinya berwarna abu-abu pekat. Suasana di sini seolah-olah dunia ini tidak mengenal cahaya matahari yang cerah.

Adrian meraba-raba untuk bangkit. Kepalanya masih berputar, dan lututnya terasa lemas. "Di mana aku?"

Ketika dia berusaha memproses apa yang terjadi, suara langkah-langkah besar terdengar mendekat dari balik kabut. Sesosok bayangan muncul dari kejauhan, tinggi, besar, dan terlihat tidak bersahabat. Hati Adrian berdegup kencang, tubuhnya membeku.

Makhluk itu melangkah keluar dari kabut, menampakkan sosok besar berbalut armor gelap, dengan mata merah menyala yang menyorot dari balik helmnya. Tanpa peringatan, makhluk itu mengangkat pedang besar yang terbuat dari logam hitam, dan berlari ke arah Adrian dengan kecepatan yang mengerikan.

Adrian mundur, mencoba mencari jalan keluar. Tapi tidak ada jalan kembali.

Ketika pedang besar itu hampir menghantamnya, sebuah ledakan cahaya merah terang muncul dari batu yang masih tergenggam di tangannya. Gelombang energi dahsyat menyapu seluruh area, memukul mundur makhluk itu dengan keras. Tubuh Adrian terlempar kembali, jatuh ke tanah dengan keras, tetapi batu itu tetap ada di tangannya, berdenyut pelan seolah merespons setiap detak jantungnya.

“Ini... tidak mungkin,” gumamnya sambil terengah-engah, masih belum mampu memproses apa yang terjadi.

Sementara itu, di tempat lain, jauh dari dimensi ini, Maya dan Liam, yang masih berada di dunia nyata, mulai merasakan sesuatu yang aneh. Getaran halus menjalar melalui udara, seolah memanggil mereka menuju reruntuhan yang sama tempat Adrian menghilang. Mereka belum tahu apa yang menunggu mereka di sana, tapi satu hal pasti—Adrian sedang dalam bahaya, dan mereka harus menemukannya.

Bab 2

Sementara Adrian tersesat di dunia yang asing, Maya Fireforge menatap ponselnya dengan cemas. Sejak pagi, ia belum mendengar kabar dari Adrian, dan firasat buruk mulai menyelimuti pikirannya. Tidak biasanya Adrian begitu lama tidak merespons pesan, terutama ketika dia tengah berada di ekspedisi penting. Maya meletakkan ponselnya di atas meja dan melirik ke luar jendela, ke arah langit yang tiba-tiba mendung.

Liam Shadowstrider duduk di seberang meja, membolak-balik buku tua dengan sikap tenang yang selalu membuat Maya sedikit frustrasi. Liam selalu terlihat tenang, seolah-olah dunia bisa runtuh dan dia masih akan tetap dengan ekspresi datar dan tak tergoyahkan.

"Apa menurutmu Adrian baik-baik saja di sana?" tanya Maya, suaranya penuh keraguan.

Liam hanya mengangkat bahu tanpa melepaskan pandangannya dari halaman buku yang ia baca. “Adrian tahu apa yang dia lakukan. Dia arkeolog berbakat. Reruntuhan tua bukan sesuatu yang baru baginya.”

Maya mendesah dan meraih secangkir kopi yang sudah mendingin. Meskipun dia tahu Adrian ahli dalam bidangnya, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Adrian telah berbicara tentang Batu Mechanical Heart dengan semangat yang tidak biasa. Ia menyebut-nyebut peradaban yang terlupakan dan kekuatan misterius yang terdengar lebih seperti legenda daripada fakta ilmiah. Namun, entah mengapa, cerita itu terus terngiang di pikiran Maya.

“Jika ada yang salah, kita tidak akan tahu sampai terlambat,” gumam Maya pelan.

Liam mengangkat alisnya dan menutup bukunya dengan lembut, tatapannya akhirnya berpindah ke arah Maya. "Apa kau benar-benar yakin ada sesuatu yang salah?"

Maya ingin menyangkal, tapi saat itu juga, angin dingin menerpa wajahnya meski jendela masih tertutup rapat. Tubuhnya tiba-tiba merasakan getaran aneh—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, seolah udara di sekitarnya berubah menjadi berat dan tegang.

"Liam, kau tidak merasakan itu?" tanya Maya, suaranya bergetar.

Sebelum Liam bisa menjawab, sebuah cahaya merah samar mulai muncul dari kantong ransel Adrian yang tertinggal di sudut ruangan. Maya dan Liam menoleh serentak, terkejut oleh fenomena yang tak terduga itu.

Cahaya itu tampak berasal dari sebuah peta kuno yang Adrian tinggalkan di ranselnya, peta yang selama ini dianggap hanya sebagai artefak belaka. Namun kini, peta itu memancarkan sinar merah yang semakin kuat, dan garis-garis di atasnya mulai bergerak, seolah-olah hidup.

"Astaga... Apa yang terjadi?" bisik Maya.

Liam bangkit dari kursinya dan mendekati peta itu. Tangannya terulur ragu, tetapi ada tekad di balik gerakannya. "Sepertinya ini... semacam petunjuk."

Maya mengikutinya, menatap dengan seksama. "Petunjuk ke mana?"

Liam tak menjawab. Tatapannya kini fokus pada lingkaran merah yang berkedip di tengah peta, sebuah titik yang tampaknya menandai lokasi reruntuhan tempat Adrian terakhir kali berada. Cahaya itu semakin terang, seolah mendesak mereka untuk segera bertindak.

“Kita harus ke sana,” ujar Maya akhirnya, memecahkan keheningan.

“Ini bisa jadi jebakan,” Liam memperingatkan, meskipun suaranya tetap datar seperti biasa.

“Aku tidak peduli. Adrian sedang dalam masalah. Aku bisa merasakannya.”

Liam menatap Maya untuk beberapa detik yang terasa seperti selamanya, lalu mengangguk pelan. “Baiklah. Kita pergi.”

***

Di sisi lain dimensi, Adrian tersandung di tengah hutan kelam yang tidak dikenalnya. Kepalanya masih berdenyut, dan cahaya aneh dari Batu Mechanical Heart terus berdenyut dalam genggamannya. Setiap kali sinar itu menyala, dia merasa tubuhnya semakin kuat, tetapi sekaligus semakin lemah. Seolah-olah batu itu memberikan kekuatan, namun di saat yang sama, menarik energinya sedikit demi sedikit.

“Aku harus menemukan jalan keluar dari sini,” gumamnya, suaranya gemetar meski berusaha tetap tegar.

Namun, tak ada jalan keluar yang jelas. Setiap langkah yang ia ambil hanya membawanya lebih dalam ke hutan gelap ini, dikelilingi oleh suara-suara asing dan makhluk-makhluk yang bersembunyi di balik kabut.

Saat dia melangkah lebih jauh, suara berat langkah mendekat lagi. Adrian berbalik, berharap bukan makhluk yang sama yang dia temui sebelumnya. Namun, kali ini, makhluk itu tampak berbeda. Di hadapannya berdiri sesosok manusia—atau setidaknya, sesuatu yang menyerupai manusia—berbalut jubah hitam yang robek-robek, dengan mata merah menyala yang sama seperti makhluk sebelumnya.

“Siapa kau?” tanya Adrian, berusaha bersikap tenang.

Sosok itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengangkat tangan kurusnya yang pucat, dan dari jari-jarinya, kilatan petir berwarna ungu menyembur ke arah Adrian.

Adrian terjatuh ke tanah, berusaha menghindar, tapi petir itu menabrak batu di tangannya, menyebabkan ledakan cahaya merah yang lebih besar. Ketika cahaya itu memudar, sosok berjubah itu telah lenyap, namun suara samar yang terdengar seperti bisikan masih menggema di udara.

“Kau tidak seharusnya ada di sini…”

Adrian terengah-engah, pandangannya terfokus kembali pada batu di tangannya. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini?”

Dia merasakan kehadiran sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang tidak sepenuhnya dia mengerti. Dunia ini tidak seperti yang dia bayangkan, dan batu ini, entah bagaimana, bukan hanya kunci bagi dimensi yang ia masuki, tetapi juga ancaman bagi siapa pun yang berusaha menguasainya.

Namun, di tengah kebingungannya, satu hal jelas: Adrian tidak bisa kembali tanpa menemukan jawabannya.

Dan di sisi lain, Maya dan Liam kini tengah dalam perjalanan menuju reruntuhan itu, meski mereka tak menyadari bahaya apa yang menanti mereka di sana.