SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Bahu Bakoh

Bahu Bakoh

Bab 1. Kaos Kaki

Seorang anak kecil berjalan pelan menunduk sepulang sekolah. Bukan mencari receh yang mungkin jatuh tapi, dia hanya berhati-hati kalau-kalau sepatu yang dipakainya terbuka makin lebar di bagian depannya. Sepatu yang sudah seperti mulut buaya yang sedang berjemur itu masih saja dipakai si bocah karena memang dia tidak memiliki sepatu lain lagi sebagai gantinya.

Teriknya matahari siang ini menambah dahaga si bocil, tatapannya makin sayu saat melihat penjual es dawet yang sedang dikerubungi para fansnya yang kehausan butuh kesejukan pada tenggorakan mereka.

Diah Ayu, nama bocah yang sekarang membuka tas selempang nya. Mencari botol air mineral yang dia pakai sebagai wadah air minumnya. Masih ada sedikit air. Dia meneguk air itu sambil membayangkan sedang menikmati es dawet yang manis dingin di setiap tegukan nya.

"Yu Ayu.. Kamu pulang bareng aku aja yuk!" Ajak Dinda, teman sekelas Ayu yang sedang dibonceng ibunya dengan motor matic.

Rumah mereka berdekatan, itu sebabnya Dinda menawarinya tumpangan. Tadinya Ayu, panggilan bocah delapan tahun itu, bersemangat ingin pulang bersama Dinda. Tapi akhirnya, Ayu menggeleng pelan saat melihat wajah ibu Dinda yang merengut menunjukkan ketidaksukaan yang nampak nyata.

Mata ibu Dinda bahkan melotot mengisyaratkan agar Ayu tak mendekati motornya yang masih menyala.

"Din, habis ini mama mau ambil belanjaan di kios koh Al lho. Belanjaan mama banyak! Mau ditaruh di mana belanjaan mama kalau kamu ngajak dia segala." Kata ibunya Dinda judes.

Tak mau makin banyak drama, Ayu hanya tersenyum saat Dinda melambaikan tangan dengan jarak yang makin menjauh.

Setengah jam berjalan kaki, Ayu sampai juga di rumahnya. Melepaskan sepatu yang menjadi alas kakinya, yang telah berjasa membawanya kembali pulang ke rumah tanpa merasakan sakitnya butiran kerikil dan panasnya aspal jalanan.

"Bapak belum pulang.." Ucap Ayu saat melihat rumahnya masih sepi.

Setelah mengganti baju, Ayu berjalan menuju dapur. Matanya menyusuri meja kecil, di sana ada dua bungkus mi instan. Dengan cekatan Ayu mengambil beberapa batang kayu bakar guna menyalakan perapian. Tak ada kompor gas, hanya tungku tanah liat yang sudah hitam dan penuh dengan abu bekas pembakaran.

Hanya mi instan saja sudah cukup membuat Ayu senang. Perutnya yang sedari tadi berdendang bisa kembali kalem setelah menyantap sepiring mi tadi.

"Yu.." Suara lelaki yang sangat dia kenal memanggil namanya.

Ayu yang telah menyelesaikan makannya langsung beranjak keluar dari dapur setelah mendengar bapaknya memanggilnya.

"Ya pak. Tadi mi nya tak makan satu pak, masih satu.. mumpung apinya masih nyala, Ayu masakin satunya buat bapak ya?!"

Ayu ingin kembali ke dapur tapi bapaknya mencegah niatnya itu.

"Udah Yu. Enggak usah.. Bapak udah makan tadi. Ini.. bapak beliin kamu kaos kaki. Kamu bilang kaos kakimu udah bolong. Jempolnya kelihatan.. Ini buat sekolah besok ya." Bapak menyerahkan kaos kaki putih ukuran anak SD pada Ayu. Ayu tersenyum. Dia senang bukan kepalang.

Saking senangnya, Ayu membuka kaos kaki yang masih terbungkus plastik dengan gerakan cepat. Dia mencobanya. Matanya terlihat berbinar. Dia sudah membayangkan besok waktu sekolah dia tak perlu lagi menekuk ujung jempolnya guna menyembunyikan jempolnya yang muncul dari balik sepatu karena kondisi kaos kakinya yang bolong.

"Suka Yu?" Tanya bapaknya tersenyum melihat kebahagiaan putri kecilnya.

"Suka pak! Ayu suka banget.. Bapak kok tahu ukuran kaki Ayu, lihat deh pak! Pas dipake Ayu." Ayu tidak tahu jika semua ukuran kaos kaki anak SD dibuat sama dari pabriknya.

Ayu sekarang duduk di kelas dua SD. Dia tinggal berdua dengan bapaknya di rumah kecil berlantai tanah, dengan dinding dari papan kayu yang terlihat dibeberapa bagian nampak dimakan rayap. Tak ada televisi layar datar, apalagi smart TV seperti di kebanyakan rumah di desa mereka. Hanya TV dengan layar jenong seperti ikan lohan yang menghiasi ruang tamu mereka. Itupun sudah tidak berfungsi karena bapak Ayu belum bisa membelikan stb agar televisi mereka bisa beralih ke siaran televisi digital.

Bapak Ayu bekerja sebagai kuli pemecah batu. Pekerjaan serabutan yang tidak setiap hari bisa beliau andalkan untuk menghasilkan uang. Sebagai alternatif lain agar kebutuhan tercukupi, bapak Ayu kadang bekerja di pasar menjadi tukang panggul barang di sana. Tetap bukan pekerjaan yang menjanjikan kemewahan tapi, itulah yang beliau bisa lakukan untuk mensejahterakan Ayu. Meski bapak Ayu sangat yakin saat ini kehidupan keluarganya jauh dari kata sejahtera.

Malam tiba, rintik hujan jatuh berirama saat air dari langit itu terjun bebas membentur genting rumah pak Teguh, nama ayah Ayu. Dia teringat anaknya tadi menjemur sepatu di teras rumah mereka. Bergegas pak Teguh mengambil sepatu Ayu sebelum basah kuyup karena kehujanan.

Di tengah pekatnya malam, diiringi gemericik air hujan, pak Teguh mengambil benang dan jarum khusus untuk menjahit bagian depan sepatu Ayu yang menganga.

'Yu.. Maafkan bapak yang belum bisa memberikan sepatu baru buat kamu nak. Hanya kaos kaki itu saja yang bisa bapak berikan.'

Suara petir mengagetkan Ayu yang sudah tertidur pulas di kamarnya. Dia berjalan keluar kamar mencari bapaknya yang masih terjaga. Ayu melihat bapaknya sibuk bergelut dengan benang serta jarum, menjahit sepatunya yang rusak.

"Pak.." Lirih Ayu.

"Lho kenapa Yu? Kaget sama petir ya? Sini.." Tangan pak Teguh melambai meminta Ayu menghampirinya. Ayu menurut.

"Maaf ya Yu.. Bapak belum bisa beliin sepatu baru." Ujar pak Teguh saat Ayu duduk merapat kepadanya.

"Enggak apa-apa pak. Tangan bapak berdarah?" Melihat tangan bapaknya.

"Hahaha.. Bukan, ini cat. Kamu baru bangun jadi ngawur lihatnya." Pak Teguh menyembunyikan tangannya.

Tapi, Ayu tak mudah dibohongi. Meski baru berusia delapan tahun tapi, Ayu cukup kritis dengan keadaan sekitar.

"Bapak enggak usah bohong sama Ayu. Ayu lihat kok tangan bapak berdarah.. Kalau saja ibu masih ada ya pak, bapak enggak perlu ngesol sepatu Ayu sendiri kayak gini. Pak.. Ayu kangen banget sama ibu.." Ayu terisak.

Kalau sudah seperti ini, pak Teguh hanya bisa menghela nafas. "Yu.. Ibu sudah tenang di alamnya ya. Kalau kangen ibu, kamu ingat bapak nyuruh apa sama kamu?"

"Bacain al-fatihah pak.." Masih terisak.

"Iya. Bacain al-fatihah, berdoa sama Allah agar ibu di sana enggak sedih lihat kamu di sini nangisin ibu terus." Mengusap lembut rambut Ayu.

Hati pak Teguh pun tersayat jika Ayu mulai merasakan kerinduan pada ibunya yang telah pergi mendahului mereka menghadap sang Pencipta.

"Yu.. Dengarin bapak, enggak usah nangis terus. Besok kita ke tempat ibu ya, mau? Katanya kamu mau kasih lihat ke ibu gambar yang kemarin kamu bikin di sekolah." Pak Teguh menciptakan suasana baru agar Ayu tidak terus-menerus menangis. Ayu mengangguk meski belum sepenuhnya terdiam dari tangisnya.

"Tidur lagi ya kesayangannya bapak." Ayu terdiam, dia lebih memilih tidur di pangkuan bapaknya. Pak Teguh membiarkan saja Ayu bermanja kepadanya seperti itu.

Dengan suara pas-pasan pak Teguh menyanyikan lagu kasih ibu sambil mengusap perlahan kepala Ayu. Lambat laun mata Ayu terpejam, tertidur dengan harapan bisa bermimpi bertemu ibunya.

'Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia.'

Tak terasa air mata pak Teguh menetes. Bukan hanya Ayu yang merindukan sosok ibunya tapi, pak Teguh yang amat mencintai mendiang istrinya itu juga merasakan sesak di dada menahan kerinduan untuk istrinya.

Bab 2. Ibu

"Ayo pak..!" Teriak Ayu bersemangat memanggil bapaknya. Dia menyuruh bapaknya bergegas padahal dia sendiri masih sibuk riwa-riwi keluar masuk rumah.

Sekali lagi Ayu menatap ke arah cermin retak di lemari yang sudah diberi solasi agar tetap saling menempel pada bagian sisi-sisinya.

Bocah ini memastikan jika dia sudah rapi dengan kerudung hitam, baju panjang serta rok panjang semata kaki yang dia pakai untuk menemui ibunya. Ayu berlari ke dalam rumah untuk kesekian kalinya mengambil gambar yang akan dia tunjukan pada ibunya nanti. Dengan cekatan dia letakkan gambar itu pada plastik putih.

"Kamu jangan lari-larian gitu Yu, kalau jatuh malah kita enggak jadi ke tempat ibu." Pak Teguh merapikan kerudung Ayu yang sedikit miring, memasukkan anak rambut yang mengintip keluar dari balik kerudung hitam Ayu.

"Abis Ayu kangen ibu pak." Jawab Ayu tersenyum gembira.

"Itu plastik apa lagi Yu? Kok banyak banget kamu bawa plastik." Pak Teguh sedikit protes saat tahu anaknya itu menenteng beberapa kresek di tangannya.

"Ada deh pak. Ini semua buat ibu." Ayu mendekap gambar yang dia buat di sekolah kemarin lusa.

"Udah? Pegangan lho ya, jangan sampai jatuh." Perintah bapaknya diberi anggukan mantap di jok belakang.

Bukan berangkat dengan motor, hanya sepeda ontel tua satu-satunya alat transportasi milik pak Teguh, selain becak tua yang teronggok di pojok rumah. Tangan kecil Ayu berpegang pada perut bapaknya. Gambar yang Ayu ingin perlihatkan pada ibunya terselip erat antara dada Ayu dan punggung pak Teguh.

"Mau kemana Guh?" Begitu tanya orang-orang yang tak sengaja ditemuinya di jalan. "Ke tempat ibunya Ayu," Jawab pak Teguh sambil tersenyum.

"Pak.." Panggil Ayu masih dengan pegangan eratnya pada perut bapaknya.

"Hmm, apa Yu?"

"Ayu lupa wajah ibu pak. Apa itu artinya Ayu udah jadi anak durhaka?" Pertanyaan Ayu membuat pak Teguh mengingat kembali wajah cantik kalem istrinya. Sebaris senyum tercipta.

"Ya enggak. Mana ada seperti itu. Kamu kok lucu,"

"Tapi pak.. Malin Kundang juga lupa sama ibunya. Dia dikutuk jadi batu." Celoteh Ayu makin membuat pak Teguh melebarkan senyumnya.

"Malin Kundang dikutuk jadi batu bukan karena lupa wajah ibunya Yu. Dia durhaka karena enggak mengakui ibunya sendiri. Ibu yang merawat dan membesarkan Malin sedih, marah, dan kecewa waktu Malin yang sudah memiliki banyak harta enggak mengakui ibunya. Ibu Malin lalu berdoa agar Malin diberi hukuman atas perbuatannya yang menyakiti hati ibunya itu Yu."

"Iya Ayu udah tahu cerita itu di sekolah pak. Kok Malin tega sama ibunya ya pak, Ayu aja pengen terus bareng-bareng sama ibu.. Dia malah jahat sama ibunya. Sukurin jadi batu kan dia!" Ayu gemas kalau mengingat dongeng Malin Kundang.

Terus berceloteh tak terasa mereka sampai di pemakaman umum, tempat peristirahatan terakhir ibunya Ayu. Pak Teguh menyenderkan sepeda pada pagar di luar area makam. Berjalan dengan langkah pelan. Ayu juga demikian tapi, Ayu memilih berjalan memimpin di depan bapaknya. Dia sangat tahu dan hafal di mana letak makam ibunya.

"Assalamu'alaikum bu. Bu.. Maaf ya Ayu baru bisa datang ke sini jenguk ibu. Ibu kangen Ayu enggak? Soalnya Ayu kangen banget sama ibu. Ayu sebenarnya pengen tiap hari ke sini bu tapi bapak kerja, enggak ada yang anterin Ayu ke sini." Kalimat pertama yang Ayu sampaikan di depan makam ibunya. Tangan kecil Ayu tak diperintah langsung mencabuti rumput-rumput yang tumbuh di sekitar dan di atas makam ibunya.

"Bu.. Kemarin di sekolah Ayu ada tugas menggambar sama bu guru temanya keluarga. Ayu dapat nilai A bu, ibu mau lihat enggak gambar Ayu? Sebentar.. (Tangan Ayu mencari plastik putih yang tadi di pakai untuk membungkus gambarnya.) Ini bu!"

"Ibu suka? Bapak suka enggak pak? (Memperlihatkan gambar yang dia buat kepada bapaknya). Ini bapak.. Ibu.. Ayu.. Kita lagi piknik. Tapi, Ayu enggak pernah piknik bareng bapak sama ibu.. Piknik itu rasanya seperti apa ya bu?"

"Oiya.. Ini Ayu juga bawain ibu bunga mawar. Ayu tanam sendiri, pot nya di kasih Dinda. Udah pecah sih tapi, masih bisa dibuat naruh bunga mawar ini. Bagus enggak bu? Ibu suka? Kata bapak ibu suka mawar putih tapi, di sekolah Ayu cuma ada mawar warna merah.. Jadi Ayu tanam yang merah aja." Ayu membuka plastik kresek hitam yang ternyata berisi bunga mawar yang sudah mekar di dalam pot. Menaruh pot itu di samping nisan ibunya.

"Satu lagi bu.. Ayu punya ini buat ibu." Ayu mengambil plastik lagi yang di dalamnya ada selembar kertas yang di hiasi sedotan bekas di sekelilingnya. Terlihat kertas itu dibingkai oleh sedotan yang dijejer rapi membentuk hati.

"Ayu bacain ya bu.. Pak.. Ayu bacain ya pak.." Pak Teguh mengangguk menanggapi ucapan Ayu.

'Ibu

Hari ini adalah hari ibu. Teman-temanku ke sekolah diantar ibu mereka. Aku? bahkan tak perlu aku memintanya, aku yakin ibu selalu menemaniku kemanapun aku pergi.

Hari ini adalah hari ibu. Dinda membuat kue spesial untuk ibunya aku yakin kuenya enak, banyak stroberi yang menghiasi kue punya Dinda. Seruni membelikan coklat untuk ibunya, bahkan Reza yang paling bandel di kelas berani menyanyikan lagu di depan kelas untuk ibunya. Aku? Kata bapak al-fatihah saja udah bikin ibu senang di sana.

Hari ini adalah hari ibu. Aku sedih melihat teman-temanku dipeluk ibu mereka. Aku sedih, karena hanya aku yang diam membayangkan hangatnya pelukan ibu padaku. Tapi, aku yakin kalau ibu di sini pasti akan memelukku dengan erat.

Hari ini adalah hari ibu. Dan hanya ini yang bisa aku berikan untuk ibu.. Bu, Ayu sayang sama ibu. Ibu tenang di sana ya..'

Ayu menaburkan bunga di atas makam ibunya. Setelah itu Ayu memejamkan matanya dan berdoa. Doa seorang anak di depan pusara ibunya, doa dalam keheningan membuat terenyuh siapapun yang melihatnya. Pak Teguh tak bisa menahan air matanya yang jatuh. Tapi, cepat-cepat dia menghapus air mata itu agar tak dilihat oleh Ayu.

'Yu.. Maafkan bapak yang tidak bisa menjadi sosok ibu untuk kamu. Kurang perhatian sama kamu, memaksamu kuat dan mengerti dengan keadaan kita sekarang ini. Di saat anak lain seusia mu belum lancar berjalan, keadaan memaksamu untuk kuat berlari. Saat anak lain tidur nyenyak dalam dekapan ibu mereka, kamu harus rela pulas hanya dengan mendekap guling usang mu. Maafkan bapak Yu..'

'Dek.. Sudah enam tahun setelah kepergian mu.. Apa kamu tahu sekuat apa aku mencoba bertahan tanpamu? Duniaku seakan ikut terkubur dengan perginya kamu dari sisiku. Tapi, tidak... Kamu memintaku agar kuat, agar terus hidup dan menjaga anak kita. Meski sulit, meski dalam keterbatasan, kamu percaya aku bisa. Dek.. Apa kamu bahagia di sana? Ah pertanyaan bodoh.. Maafkan aku dek, aku tahu kamu pasti lebih bahagia di sana bersama pemilik Sejati mu. Tunggu aku di sana ya sayang, sampai waktu itu tiba.. Waktu di mana aku dan kamu bisa kembali bersama.. Selamanya.. Aku cinta kamu Nur ku.'

Setelah puas berkeluh kesah menceritakan apapun di hadapan makam ibunya, Ayu mengajak bapaknya pulang. Meninggalkan pot bunga mawar kecil di sana.

"Tadi bapak enggak ngomong sama ibu ya?" Tanya Ayu dengan posisi seperti sebelumnya saat mereka berangkat tadi. Duduk memeluk perut bapaknya, dibonceng sepeda dengan kayuhan pelan.

"Ngomong tapi kamu enggak denger aja." Jawab pak Teguh sekenanya.

"Bapak kangen ibu enggak?" Tanya Ayu lagi.

"Kangen. Kenapa Yu?"

"Harusnya tadi bapak juga bawain kado buat ibu. Kan sekarang hari ibu pak." Protes Ayu yang merasa bapaknya tadi tidak membawakan apapun untuk ibunya.

"Bapak ngasih kado yang paling dibutuhkan ibu Yu." Terang pak Teguh selalu sabar menghadapi celotehan putri kecilnya.

Keduanya terus mengobrol di tengah perjalanan, sampai mereka tiba di rumah.