Perfection System
Furya Aditya adalah anak yatim yang harus bekerja keras demi keluarga di umurnya yang masih sangat muda.
Sejak setahun yang lalu kedua orang tuanya mengalami kecelakaan dan sang ayah meninggal dunia lalu ibunya harus koma dan dirawat di rumah sakit.
Belum lagi kedua adik kecilnya yang juga harus ia nafkahi. Sampai sekarang Furya masih belum bisa memaafkan si pelaku penabrakan.
Tapi karena pelaku adalah orang berada yang memiliki banyak uang dan pengaruh membuat kejadian itu di tutup-tutupi dan seakan hilang ditelan bumi.
Tentu saja Furya dan keluarganya sudah menerima uang kompensasi, tapi uang itu banyak terpakai untuk pengobatan.
Lalu setelah setahun uang kompensasi sudah habis tak tersisa dan alhasil Furya harus bekerja lebih keras lagi untuk menghidupi keluarganya.
Untung saja bengkel peninggalan sang ayah bisa ia pakai untuk mencari nafkah.
karena Furya dulu juga sering membantu ayahnya, ia jadi tau tentang Otomotif dan memang mencintai dunia Automotive dan Tecnology.
Di pagi hari...
Di sebuah rumah kecil yang tepat berada di pinggir jalan.
Karena sebuah alarm hp, bangunlah seorang anak muda berumur 17 tahun yang bernama Furya Aditya.
Pemuda itu terbangun dengan keadaan masih sangat kotor karena oli dan minyak bekas pekerjaan tadi malam yang masih menempel ditubuhnya.
Jika dilihat dari dekat wajahnya lumayan. Matanya hitam sipit dan terlihat keren, tubuhnya juga tinggi dan rambutnya hitam sedikit acak-acakan.
Jika ada yang kurang dari Furya itu adalah kakinya yang tak berfungsi sebelah karena luka saat tragedi berdarah setahun yang lalu.
Ditambah luka jahitan yang memenuhi hampir seluruh tubuhnya membuat pemuda itu seperti zombie di film-film.
Sambil mematikan alarm hp miliknya, Furya terbangun dari kursi di bengkel kerjanya.
“Hoammm, dah pagi aja.”
“Sialan ... lagi-lagi aku ketiduran di sini.”
Dengan cepat Furya langsung berjalan ke dalam rumahnya yang memang bengkel dan rumahnya masih menjadi satu.
Kurang lebih sudah sebulan ini bengkel peninggalan sang ayah memang selalu ramai.
Furya yang masih harus bersekolah dan hanya dapat mengerjakan pekerjaan di bengkelnya setelah pulang sekolah membuat pemuda itu hampir setiap hari lembur sampai larut malam.
Itu semua ia lakukan tak lain adalah untuk mendapatkan uang lebih karena tabungan dari biaya kompensasi yang tak seberapa sudah lama habis.
Ditambah biaya perawatan sang ibu di rumah sakit yang sudah dua bulan ini belum di bayar oleh si penabrak seperti perjanjian awal makin membuat kepalanya sakit.
Sebenarnya Furya sudah lama ingin membawa sang ibu pulang ke rumah.
Tapi Kata dokter, kepala sang ibu mengalami luka parah sehingga sangat sulit untuk diobati dan harus terus di pantau kesehatannya dengan alat-alat cangih yang memadai.
Karena alasan itulah sang ibu tercinta harus dirawat intensif di rumah sakit.
Setelah mandi dan bersiap-siap ke sekolah, Furya langsung membangukan kedua adiknya yang masih tertidur pulas.
“Ren, Yuki ... cepat bangun, mau tidur sampai kapan kalian!”
Karena teriakan Furya, kedua adik kembar kesayangannya mulai membuka mata mereka.
“Kakak, udah pagi ya...” kata Ren sambil mengelap matanya yang masih mengantuk.
“Iya, sana cepat mandi nanti kita bisa telat lagi.”
Karena teriakan sang kakak di pagi hari, Ren dan Yuki yang memang harus di teriaki dulu baru bangun seperti sudah terbiasa dengan teriakan sang kakak dan Ren mulai berjalan terlebih dahulu ke kamar mandi.
Selagi kedua adiknya mandi, Furya seperti biasa menyiapkan sarapan. Saat melihat isi kulkas yang sudah kosong ia hanya bisa tersenyum tipis.
“Hemmm, sepertinya hari ini harus keluar uang lebih.”
Dengan cepat Furya yang memang rumahnya berada di pinggir jalan langsung keluar dan membeli lontong sayur di depan rumah untuk sarapan kedua adiknya.
Untung saja tadi malam ada dua motor yang bisa ia servis dan perbaiki, jadi dari sana ia mendapatkan sedikit uang.
“Buk, beli lontong sayurnya dua ya.”
“Ehhh Furya, bentar ya ibuk baru dateng dan lagi siap-siap.”
“Oke buk, kalo udah siap anterin ke bengkel aja kaya biasa.”
“Sep, nanti ibuk anterin.”
Setelah memesan dua lontong sayur untuk sarapan kedua adiknya, Furya kembali ke bengkel dan mulai merapikan peralatan dan perkakas yang masih berserakan.
Lokasi bengkel peninggalan alm ayahnya yang sangat strategis memang membuat bengkel itu sangat ramai dikunjungi pelanggan.
Meskipun kecil, karena cukup terkenal bengkel Furya Kencana milik sang ayah selalu ramai.
“Huh ... akhirnya beres juga.”
Tepat setelah merapikan semua peralatan bengkel, Furya langsung mengeluarkan sepeda motor Legenda sang ayah dan memanaskannya.
Motor butut yang hanya tersisa kerangkanya saja itu memang harus dipanaskan lebih awal karena sering kali bermasalah.
Mesinnya yang sudah sangat tua jelas membuat motor jadul itu butuh perlakuan lebih spesial.
Sambil memanaskan motor kesayangannya, pesanan lontong Furya akhirnya datang.
Di saat pesanan datang, kedua adiknya juga sudah berpakaian rapi dan siap bersekolah.
Ren dan Yuki lalu langsung menuju ruangan depan rumah mereka yang tak lain adalah bengkel motor.
“Kak ... udah siap.”
“Hemm, sana makan dulu sama Yuki, kakak lagi panasin motor.”
Ren dan Yuki adik Furya yang masih kelas 2 SD memang terlahir kembar. Kedua adiknya itu memiliki wajah yang hampr serupa dengan dirinya dan sang ayah yang masih keturunan Jepang.
Tapi sifat keduanya berbeda jauh. Jika Ren sangat aktif, maka Yuki sangat pasif dan pendiam.
Ditambah setelah tragedi berdarah yang menimpa keluarga mereka membuat sang adik bungsu alias Yuki menjadi makin jarang berbicara.
Setelah motor siap dan kedua adiknya selesai sarapan, Furya langsung mengunci garasi bengkel dan pergi menuju sekolah.
Motor butut peninggalan sang ayah menjadi satu-satunya alat transportasi bagi ketiga kakak beradik itu.
Setelah sampai di depan sekolah kedua adiknya, Ren dan Yuki langsung turun dari motor.
“Ren, nanti siang pulang duluan sama Yuki, kakak mau ada urusan ... nih kakak kasih jajan lebih sekalian buat jajan siang.”
“Wihhh 10 ribu, oke kak.”
“Terus inget, jalannya hati-hati dan jaga adikmu.”
“Siap bos...”balas Ren sambil memberi hormat.
Setelah memberikan uang jajan, Furya langsung tancap gas dan menuju SIS ( Sanjaya International School) tempatnya bersekolah.
Di perjalanan motor butut yang sering kali berulah seperti ngambek dan akhirnya terhenti.
“Sialan ... seriusan nih dikit lagi nyampe padahal.”
Karena sekolahnya sudah dekat, Furya yang takut terlambat langsung mendorong motor bututnya menuju sekolah.
Sebenarnya bisa saja ia melihat dan memperbaiki motor kesayangannya dahulu.
Tapi karena di pepet waktu dan gerbang sekolah akan di tutup pada waktunya, pria muda 17 tahun itu lebih memilih mendorong motornya dengan pelan menuju sekolahnya.
“Aku mengerti Arthur ... ayo kita jalan bersama.”kata Furya sambil tersenyum menatap motor bututnya.
Dengan bersemangat, Furya dan motor bututnya berjalan beriringan dengan pelan menuju gerbang sekolah.
Karena kaki kirinya tak berfungsi dengan baik, Furya hanya bisa berjalan pelan menuju parkiran motor.
Sambil mendorong Arthur alias motor kesayangannya, Furya yang sampai di parkiran akhirnya bisa bernafas lega.
“Huh ... akhirnya sampai, padahal hanya beberapa meter tapi rasanya lelah sekali.”
Setelah mengelap keringan yang bercucuran, Furya berjalan pelan menuju kelasnya.
Kelas IPS 2D. Itu adalah kelas Furya yang semua isinya hampir kebanyakan pria dan para brandalan.
Saat sampai di kelas, keadaan kelas yang ribut dan bising seperti sudah akrab dan Furya langsung berjalan menuju tempat duduknya.
Baru sesaat ia duduk, sahabat baiknya Jamal yang melihatnya berkeringat langsung menyapa Furya.
“Jir, kenapa kamu keringetan gitu?”
“Huh, diamlah aku capek dan mau tidur.”
Baru saja sampai di kursinya, Furya yang memang habis begadang mengerjakan beberapa pesanan motor di bengkel langsung duduk kalem dan tidur.
Seperti yang kita tau SMA di Indonesia seperti apa. Bahkan Sanjaya High Scholl dengan predikat sangat baik itu terlihat begitu bebas sampai seorang Furya bisa terlelap tidur dikala suara bising kelas seperti tak mengganggunya.
Dan benar saja, karena mata pelajaran jam pertama adalah IPS, Furya yang sudah hafal betul dengan kelakuan pak Bambang yang merupakan guru IPS langsung memilih tidur karena guru satu itu memang jarang masuk dan suka memberi tugas lewat buku.
Sampai tanpa terasa jam pelajaran IPS selesai dan guru fisika yaitu Buk Dewi langsung masuk dan pelajaran selanjutnya pun segera di mulai.
“Hoi bangun, buk Dewi dah masuk.” tegur Jamal sambil mendorong Furya yang tertidur pulas.
Di dorong teman baiknya jelas langsung menyadarkan Furya kembali dan di jam kedua ia mau tak mau harus bangun dan belajar.
Buk Dewi yang masih muda dan terkenal galak langsung memulai absen dan pelajaranpun di mulai.
~Ting...tong...teng...ting~
Setelah bel istirahat berbunyi, Jamal dan Furya yang sangat akrab langsung berjalan bersama menuju kantin.
Tak lupa diperjalanan mereka membahas hal yang berkaitan dengan dunia Teknology dan perwibuan.
“Cih, seriusan kamu, 'kan orang Jepang Fur, kok kamu gak tau soal Jepang sih?”
“Kan udah pernah ku bilang, aku lahir di Indonesia dan besar di Indonesia, mana tau aku soal pulau Hokkaido.”
“Hadeh, padahal banyak yang mau ku tanyain tapi yaudahlah ... dasar Jepang KW lu.”
Sambil berjalan ke kantin dua remaja itu terlihat saling bergurau dan merangkul.
Sesampainya di kantin, Jamal langsung mengantri dan memesan makanan terlebih dahulu.
“Sana amanin kursi, biar aku yang antri.”
“Oke, aku pesen kayak biasa.”
Karena tau sahabatnya itu pincang dan sulit berdiri, Jamal langsung mengantri dan menyuruh Furya duduk dan menunggu.
Meskipun perkataannya kadang kasar, Jamal jelas sangat peduli pada sahabatnya itu.
“Nih satu mangkuk soto Bude pesenanmu.”
“Wihhh, akhirnya makan juga.”
Dengan lahap Furya dan Jamal yang memang bernasib hampir sama yaitu miskin memakan pesanan mereka dengan cepat.
Tapi belum selesai makan, Joni yang merupakan kakak kelas mereka datang bersama rombongan besarnya dan menyuruh mereka pindah.
“Hoi Mal, sana bawa si pincang pindah ke meja lain, aku sama anak-anak mau makan di sini.”
Jamal dan Furya yang mendengar itu terlihat cuek dan lanjut makan.
Meskipun Joni kakak kelas di sekolah itu, senioritas tak terlalu berlaku dan di sekolah yang isinya sebagian besar pria, hukum rimba masih berlaku.
“Kampret nih anak, jangan pura-pura gak denger dan sana pindah sebelum...”
“Sebelum apa, gak liat kau aku lagi makan? Sana cari meja lain, disini udah ada yang make.” tegas Jamal sambil menatap Joni dan rombongannya.
Karena kondisi kantin yang kecil dan meja yang terbatas, memang sebagian siswa pasti tidak dapat meja makan.
Tapi balik lagi, seperti sudah menjadi tradisi. Siapa cepat dia dapat, itu adalah peraturan yang berlaku di kantin kedua alias untuk para gembel di Sanjaya International Scholl.
Furya yang melihat Joni dan rombongannya yang ada lima orang juga paham kalau meja mereka pas jika dipakai berenam.
Furya juga sebenarnya memilih meja yang sedikit besar itu karena saat itu hanya meja itu yang tersisa.
Karena tak ingin ribut dan makanannya juga sudah mau habis, Furya langsung melahap habis sisa sotonya dan pergi dari sana.
“Dah Mal ngalah aja, makanan kita juga dah abis.”
Jamal yang memesan nasi goreng juga sebenarnya tak ingin ribut.
Tapi ia paling anti di ganggu kalau lagi makan memang memiliki beberapa peraturan tersendiri.
Baginya waktu makan adalah saat-saat terindah dan karena itu ia sangat menikmati itu.
Tapi melihat Furya yang mengalah dan menatapnya, Jamal langsung menghabiskan makan siang dan dua sahabat itu langsung pergi.
“Ahh kenyang, dah yok cabut.” kata Jamal sambil meninggalkan meja bersama Furya.
Joni dan rombongannya juga hanya tersenyum dan langsung duduk di sana.
Memang anak-anak dari kelas 2D yang dipenuhi berandalan seperti sudah menjadi musuh bebuyutan kelas lain.
Di pertandingan olahraga sekolah juga kelas itu selalu bersaing ketat di final. Bisa dibilang memang kelebihan kelas 2D hanya dalam hal olahraga.
Furya yang selesai makan langsung pergi ke belakang perpus bersama Jamal. Sesampainya di sana tempat itu juga terlihat ramai dan dua sahabat itu langsung merokok sambil berdiri.
“Huh ... pengen ku hajar tuh muka mereka.”
“Hahaha, santai napa ... kita juga dah selesai makan jadi gak usah di perpanjang.”
“Iya aku tau, cuman kalo ngomong baik-baik pasti aku juga bakalan santai. Di tambah mereka pake bawa-bawa kekurangan kamu, gedek aku jadinya.”
“Udahlah, hal gak penting jangan di pikirin.”
Sambil ngudud, dua remaja itu mengobrol pajang lebar.
Setelah bermain game di hp, bel tanda jam istirahat berbunyi dan para berandalan yang ada di sana langsung cabut dan kembali ke kelas mereka masing-masing.
“Hadeh, cepet amat sih jam istirahat rasanya.”
“Udah woi, buk Dewi nih, telat dikit berdiri di kelas kita.” kata Furya sambil memasukkan hp ke kantong celana.
Meskipun cacat dan hidup pas-pasan, Furya sendiri sangat menikmati hidupnya.
Baginya yang sejak kecil dididik keras dan disiplin oleh ayahnya tau betul mana yang benar dan salah.
Meskipun nakal, tapi ia tau batasan-batasan yang tetap harus ia jaga.
Setelah lelah belajar, bel pulang sekolah akhirnya berbunyi. Semua murid juga langsung bubar barisan.
Jamal yang melihat Furya seperti buru-buru ingin pulang langsung mengajaknya nongkrong.
“Gak ikut nongkrong lagi siang nih sama anak-anak?”
“Gak bisa mal, aku siang nih ada perlu.”
“Yaudah nanti malem jangan gak datang lagi dong, dah lama gak ngumpul malam mingguan bareng kita.”
“Sep, nanti aku usahain dateng.”
Sebenarnya Furya sangat ingin menghabiskan waktu dan berkumpul bersama teman-temannya.
Tapi sudah dua bulan ini biaya rumah sakit sang ibu belum di bayar dan uang kompensasi juga sudah habis tak tersisa.
Meskipun mencoba hemat, tapi ia yang masihlah bocah 17 tahun bisa apa.
Karena kekurangan uang juga sudah dua bulan ini ia harus kerja banting tulang di bengkel padahal luka lamanya masih belum sembuh total.
Sambil berjalan ke parkiran, Furya yang mengecek kondisi Arthur bisa bernafas lega.
“Huh ... cuman lagi kumat aja berarti. Oke Arthur, hari ini kita bakalan jalan jauh jadi mohon kerjasamanya.”
Sambil mengendarai motor bututnya, Furya pergi menuju sebuah kantor yang terletak di pusat kota.
Ia berencana menemui orang yang sudah menabrak keluarganya waktu itu untuk membahas masalah kompensasi yang masih belum jelas.