Antara Takdir Dan Harga Diri.
Pagi menjelang, matahari belum lagi muncul di ufuk timur, kabut pegunungan menyelimuti alam sekitar nya.
Disebuah pondok kecil seukuran tiga kali lima meter, seorang pemuda duduk dari pembaringan nya setelah semalaman tidur.
Dilawan nya rasa kantuk, sambil menguap beberapa kali, ditatap nya pria kurus yang terbaring di sebelah nya tadi.
Pria kurus itu nampak bernafas tersengal-sengal, sambil sesekali batuk.
Perlahan di cium nya pipi kurus itu cukup lama, hingga pria kurus itu terjaga dari tidur nya.
Untuk kesekian kali nya, mata anak muda itu basah melihat derita sang ayah.
"Kau sudah bangun nak?" tanya pria kurus itu.
"Baru saja ayah, maaf bila membuat ayah terbangun, Ido mau berwudhu dahulu ya ayah" ujar anak muda itu lembut.
"Bawakan ayah air juga ya, ayah mau berwudhu juga nak" pinta pria kurus itu.
Anak muda bernama Ridho itu merangkul tubuh ayah nya, membantu sang ayah untuk duduk.
Lalu kelambu tua itu dia singkap, dengan sebuah pelita kecil, bergegas menuju sumur di belakang pondok.
Setelah berwudhu, lalu membawakan ayah nya seember air dan sebuah baskom.
Dengan sebuah gayung dari batok tempurung kelapa, dibantu nya sang ayah berwudhu.
Kedua nya segera menunaikan shalat subuh, bersujud pada sang Khaliq, menyerahkan semua takdir dan nasib mereka pada kekuasaan sang pencipta nya. Pak Firman ayah Ridho, mengimami shalat sambil duduk, maklum beliau sudah tidak mampu berdiri lagi.
"Ya Allah, seandainya nya hamba boleh meminta, panjangkan umur ayah hamba, sembuhkan penyakit nya, cuma dia yang hamba miliki ya Allah, engkau lah pemegang nasib semua mahluk mu" ratap Ridho dalam doa nya yang di iringi deraian air mata nya.
Setelah selesai shalat subuh, Ridho mencium tangan ayah nya, kembali air mata nya jatuh membasahi telapak tangan pria kurus itu.
"Ayah, bila Ridho ada salah, ampuni Ridho ya ayah, ayah harus kuat, temani Ridho, Ridho tidak bisa hidup tanpa ayah" bergetar suara Ridho di iringi Isak tangis nya.
Sudah hampir satu tahun ini ayah nya terkena kangker paru paru, hingga tubuh nya yang dulu tegap, kekar, sedikit demi sedikit menyusut.
Ridho sebenar nya ingin membawa ayah nya ke kota untuk berobat, namun kehidupan mereka yang pas Pasan, membuat harapan Ridho tergantung sebagai harapan belaka.
Ditambah lagi karena selama ini sang ayah yang selalu menyembunyikan penyakit nya, membuat semua nya menjadi lebih parah, saat penyakit nya diketahui, keadaan nya sudah sangat parah.
Bergegas Ridho ke dapur, membuat kan nasi lembek(antara bubur dan nasi keras) untuk sang ayah.
Setelah selesai, Ridho Kembali menemui ayah nya membawa nasi dan segelas kopi manis kesukaan ayah nya.
"Do!, ido tidak makan nak?" tanya sang ayah lemah.
"Nanti yah, setelah Ido menyuapi ayah makan, baru giliran Ido makan" tolak Ridho lembut.
"Do!, Ido ingat engga waktu Ido kecil dulu, ayah yang menyuapi Ido makan, ayah kangen masa masa itu nak, ayo ayah suapi, siapa tahu ini kenangan terakhir kita nak" pinta sang ayah pada nya.
"Ayah!, Ido tidak ingin ayah pergi, ayah harus kuat yah, Ido masih butuh ayah" tangis anak muda itu pecah lagi.
Pak firman mengusap pucuk kepala putra nya, "Ido tidak boleh seperti itu nak, kau putra ayah yang paling kuat, kau pasti bisa menghadapi badai sekuat apapun, karena Ido bersama Allah dan doa doa ayah, suatu saat, entah hari ini atau kapan kapan, waktu itu akan tiba nak, kau harus menyiapkan kan hati untuk waktu itu, ingatlah baik baik nak, kemiskinan bukanlah satu kehinaan, dan kesendirian bukanlah satu aib, lebih baik hidup miskin dengan harga diri, dari pada kaya raya tetapi tanpa harga diri nak, miskin dalam kejujuran itu ujian, tetapi kaya tanpa keimanan itu bencana nak, ayah Ridha menjadi ayah mu, ayah ikhlas berjuang untuk mu nak, maafkan ayah bila akhir akhir ini jadi beban mu ya?" ....
"Ayah bukan beban Ridho yah, Ridho sayang ayah, ridho ikhlas kerja buat kita yah" ucap Ridho sambil meneteskan air mata nya.
Pak Firman meneruskan ucapan nya,"Nak!, ketahuilah, kematian bukan pemisah, hanya perpindahan raga, dari Dunia ke alam barzah, namun jiwa ayah akan selalu bersama ridho, hidup dihati dan pikiran ridho, ingat ingatlah itu nak" ucap pak Firman menghibur putra nya itu.
Pak firman menyendok nasi setengah bubur itu, dan menyodorkan ke mulut Ridho putra nya itu.
Dengan terpaksa, ridho menerima nasi itu.
Pagi itu mereka makan bersama satu piring berdua, seperti dahulu waktu Ridho masih kecil.
Entah mendapat kekuatan dari mana, pagi itu pak firman makan cukup banyak, dan wajah nya berseri seri, serta tenaga nya seperti pulih kembali, beliau bisa berdiri dan berjalan beberapa langkah.
Melihat kemajuan itu, sedikit kegembiraan menyelimuti hati Ridho.
"Yah, apakah ayah bisa Ido tinggal?, soal nya Ido mau kerja lagi di bengkel mang Leman" Ridho minta ijin ayah nya.
Pria kurus itu tersenyum menatap kearah putra nya, "pergilah nak, kasihan mang Leman tidak ada yang bantuin" ....
Memang sudah hampir dua tahun selepas lulus dari SMK jurusan otomotif, Ridho bekerja di bengkel mang Leman.
Meskipun dengan keterbatasan pisik, kaki yang cacat semenjak lahir, namun ke ahlian mang Leman di bidang permesinan, tidak diragukan lagi di Desa Paku, sebuah ibu Kota kecamatan Paku Alam di lereng gunung Tanggui.
Dengan otak nya yang terbilang cerdas, ditambah bakat dan hobinya pada otomotif, membuat hanya dalam waktu yang relatif singkat, Ridho sudah ahli di bidang perbaikan mesin motor atau pun mobil.
"Pergilah nak, nanti kan wa' Darmin juga datang kesini" kata pak firman sambil tersenyum ramah.
Wa' Darmin atau nama lengkap beliau Darminto itu, adalah sahabat karib pak firman, semenjak ayah Ridho itu sakit, hampir setiap hari beliau mampir bila sedang pergi ke ladang nya.
Ridho segera mempersiapkan diri, melepas sarung lusuh yang dia pakai untuk sholat tadi.
Dengan sepeda Phoenix tua milik ayah nya, Ridho pergi ke bengkel mang Leman untuk bekerja.
Letak rumah Ridho yang berada dua kilometer di belakang Desa Paku, membuat nya harus pagi pagi sekali untuk pergi ke bengkel.
Setiba nya di bengkel milik mang Leman, Ridho segera mengambil kunci bengkel ke rumah mang Leman yang berada di belakang bengkelnya.
Segera Ridho membuka bengkel, membersihkan sampah, dan mempersiapkan segala perlengkapan kerja, sebelum karyawan yang lain nya hadir.
Di pondok nya, pak firman, ayah Ridho tersenyum menatap punggung putra tersayang nya itu.
"Ya Allah, aku titipkan Ridho kepada mu, bimbing lah dia agar selalu berjalan dijalan yang kau Ridha i, jaga dia ya Allah, hanya kepada mu aku berpasrah diri" gumam ayah Ridho sambil melangkah tertatih tatih menuju ke sumur untuk kembali berwudhu.
Mata hati mulai naik, ketika ayah Ridho duduk diatas sajadah, menunaikan shalat Dhuha.
Selesai raka'at pertama, dan pada saat sujud di raka'at kedua, jiwa suci pak firman pun dipanggil Tuhan.
Tidak berselang lama, sepeda wa Darmin terdengar berhenti di depan pondok Ridho.
"Firman!, uu Firman!, Firman!" terdengar suara wa Darmin memanggil.
Namun kali ini tidak seperti biasa nya, tidak ada sahutan dari ayah nya Ridho itu. Bahkan suara batuk nya saja tidak terdengar.
Dengan hati was was, wa Darmin segera naik ke pondok Ridho.
Karena pondok itu tidak pakai sekat, apalagi kamar, maka dari teras, terlihat jika pak firman ayah nya Ridho sedang sholat Dhuha.
Wa Darmin menunggu beberapa saat lama nya, namun ayahnya Ridho tidak jua bangkit dari sujud nya.
Akhirnya wa Darmin memberanikan diri menghampiri pak firman yang masih sujud itu.
"Man!, Firman!" ....
Wa Darmin menggoncang tubuh pak Firman, membangunkan nya.
"Bruk!" tubuh pak Firman roboh kesamping kanan, tak lagi bernafas.
Meskipun wa Darmin mengguncang tubuh pak firman beberapa kali, tetapi tidak juga ada reaksi apapun juga.
Wa Darmin segera berlari keluar dari pondok Ridho, memacu sepeda ontel nya kembali ke Desa Paku.
Setiap bertemu warga, wa Darmin menceritakan keadaan pak firman yang telah meninggal Dunia itu.
...****************...
Hari itu Ridho bekerja tidak fokus sebagai mana biasa nya, entah mengapa, pikiran nya selalu tertuju kepada ayah nya saja, hingga beberapa kali dia kena tegur sama mang Leman.
Guntur sang sahabat satu profesi bahkan satu sekolah nya sudah beberapa kali memperbaiki pekerjaan Ridho yang salah.
"Do!, disini kau paling jenius, bahkan kejeniusan mu menyaingi mang Leman, tetapi kenapa hari ini kau kerja selalu salah Do? Apa tidak sebaik nya kau istirahat dulu hari ini?" saran Guntur sang sahabat karib nya itu.
"Enggak ah Tur!, aku harus bekerja mengumpulkan uang, tabungan ku masih sedikit, masih perlu banyak untuk membawa ayah berobat ke kota Tur" sanggah Ridho.
"Do!, Do!, Redho!, sini nak" panggil mang Leman pada Ridho.
Buru buru Ridho menghampiri mang Leman di dalam bengkel.
"Ada apa mang?" tanya Ridho was was karena hari ini dia banyak melakukan kesalahan.
"Ini kopi nak, duduk lah dulu di sini, ngopi biar otak mu fokus kembali" ujar mang Leman sambil menyodorkan segelas kopi hitam dan pisang goreng.
Mang Leman memang menyayangi Ridho melebihi karyawan nya yang lain, hal itu karena Ridho lah yang paling bisa diandalkan dalam hal perbaikan mesin.
Ridho duduk di kursi plastik, sambil menghirup kopi panas nya.
"Kau nampak tidak konsentrasi hati ini Do, apa sebaik nya kau libur dulu hari ini?" usul mang Leman.
"Tidak mang, Ido harus bekerja, tabungan Ido belum cukup untuk membawa ayah berobat ke kota" jawab Ridho buru buru.
"Tenang saja Do, kau kuberi cuti, alias kau tetap ku gajih, hanya saja kau istirahat di rumah dulu" ujar mang Leman lagi.
Buru buru Ridho menggelengkan kepala nya, "Tidak!, tidak! Mang, Ido tidak mau diupah tanpa bekerja, Ido harus tetap bekerja agar dapat upah, itu yang benar mang, Ido janji tidak akan salah lagi deh" ...
"Ada masalah kau Do?" tanya nya lagi.
"Tidak mang, hanya saja sedari tadi, pikiran saya teringat pada ayah saja, dan jantung saya berdegup kencang sedari tadi, mungkin itu yang membuat saya kerja kurang fokus mang" ujar ridho.
Mang Leman tersenyum mendengar prinsip hidup anak muda ini, tidak mau menerima bayaran tanpa bekerja.
Baru saja mang Leman bangkit berdiri mau masuk kedalam rumah nya dari arah jalan raya terdengar teriakan dari wa Darmin.
"Do!, Ridho!, Ridho!" dari jauh wa Darmin sudah berteriak kalang kabut memanggil nama Ridho.
"Ada apa mang?" tanya Guntur Melihat napas wa Darmin ngos ngosan, seperti dipompa itu.
"Ido! Ido!, Ido mana Tur?" tanya wa Darmin langsung.
"Tuh!" tunjuk Guntur kearah Ridho yang sedang menikmati kopi panas nya bersama mang Leman.
Buru buru pria paro baya itu berlari kearah Ridho.
"Do! Kau pulang sekarang nak, pulang cepat, sekarang juga" ujar wa Darmin buru buru.
"Deg!" ....
Jantung Ridho tiba tiba seperti mau meledak, "a… ada apa wa?"tanya nya.
" A… Ayah mu nak!, ayah mu!" cuma itu ucapan yang mampu keluar dari mulut wa Darmin saat itu.
"A… Ada apa dengan ayah wa?" tanya Ridho mulai merasakan firasat yang kurang baik.
"Ayahmu me… ning… gal Do" ucap wa Darmin putus putus.
"Apa? Ayah meninggal?, jangan bercanda wa, ini tidak benar kan?, uwa hanya bercanda kan wa?, bilang wa, ini tidak benar kan?" jerit Ridho tidak percaya.
Mang Leman segera mendekati mereka berdua, " ada apa bang Darmin, apa benar ayah ridho telah tiada?" tanya nya.
"Benar adi, benar, tadi pagi seperti biasa nya, saya mampir ke pondok Ridho sekedar ingin tahu kabar Firman, saya lihat beliau sedang sujud shalat Dhuha kaya nya, tetapi setelah saya tunggu lama la, eh tidak bangkit bangkit, saya samperin, ternyata beliau sudah wafat!" ujar wa Darmin menjelaskan.
Mendengar penjelasan dari wa Darmin, tiba tiba tubuh Ridho limbung, kekuatan nya seperti lenyap seketika.
Meskipun tanpa suara, Isak tangis Ridho jelas terdengar oleh semua nya.
"Innalillahi wa Inna ilaihi Raji'un, Do!, pulanglah nak, Tur!, Guntur!, ambil motor, antar Ido pulang nak, yang lain, tutup bengkel, hari ini kita libur, semua nya ketempat Ido, ayo ayo!" perintah mang Leman pada semua anak buah nya.
Guntur segera mengambil motor inventaris bengkel, untuk mengantarkan Ridho pulang. Sedangkan wa Darmin kembali ketempat Ridho dengan sepeda ontel nya lagi.
Di pondok Ridho, ternyata sudah banyak warga yang datang melayat.
Jasad pak Firman sudah di letakan membujur kiblat dan di tutupi kain jarik yang dibawa oleh beberapa ibu ibu.
Ridho berlari kearah jasad ayah nya, tangis nya kembali luruh sambil memeluk tubuh sang ayah.
Di singkat nya kain penutup kepala jenazah ayah nya, nampak wajah putih ke kuning Kuningan itu dengan seulas senyum, seperti orang yang sedang tidur.
Berkali kali Ridho mencium wajah sang ayah, menangis di dada nya, mencurahkan semua kedukaan nya disana.
"Ayah!, Ido sayang ayah, ingin rasa nya Ido ikut ayah, ajak Ido yah!" ucap Ridho lirih.
Beberapa orang wanita yang ada disana, tak kuasa menahan air mata nya, melihat kesedihan anak muda ini.
"Do!, bersabar ya nak ya, bersabarlah nak, jangan sesali takdir yang telah Allah tentu kan nak, itu dosa besar, serahkan semua nya pada kehendak dan ketentuan nya semata, ayah mu Khusnul khatimah nak, jangan kau perberat dengan tatapan mu, lapangan jalan nya nak!" ustadz Hidayat berbisik di telinga Redho sambil membelai rambut anak muda itu.
Hari itu juga jenazah pak Firman dimandikan dan dikafani, lalu di shalat kan.
Pak Firman di kebumikan di belakang pondok Disamping pusara istri nya yang telah meninggal Dunia saat Ridho berusia tiga tahun.
Diatas pusara merah, tempat ayah nya beristirahat terakhir untuk selama nya, Ridho Duduk tafakur memanjatkan doa doa, di iringi linangan air mata nya yang terus berderai tanpa henti.
"Ya Allah, terimalah ayahku dalam ampunan mu, kasih dan sayangilah dia sebagai mana dia mengasih dan menyayangi aku, hilangkan sakit nya, hibur duka nya, hanya engkaulah tempat ku berserah diri" lantunan doa doa tak henti hentinya dia panjatkan.
Kenangan demi kenangan berputar di ingatan Ridho, seperti gambar yang di tampilkan kembali.
Dahulu sewaktu Ridho kecil, dan mereka masih belum bisa membeli sepeda, ayah selalu menggendong nya dipundak, bila mau ke Desa.
Tidak ada cerita apapun tentang ibu nya Ridho, yang Ridho tahu cuma ibu nya meninggal saat usia nya baru tiga tahun.
Ridho pernah bertanya tentang sang ibu, namun wajah ayah nya menjadi begitu sedih, hingga mata nya nampak berkaca kaca. Semenjak itulah Ridho tidak lagi bertanya tentang ibu nya, dia tidak mau sang ayah sakit hati. Mungkin karena rasa sayang ayah nya kepada ibu nya yang begitu dalam, sehingga kedukaan itu selalu membekas dihati nya.
Hingga menjelang malam, Ridho termenung di pusara ayah ibu nya, hanya di temani oleh Guntur dengan setia.
Sahabat nya semenjak SMP hingga SMK lalu kerja di bengkel mang Leman itu, begitu setia menemani kedukaan sahabat nya itu.
"Do!, kita pulang yu, hari sebentar lagi gelap, nyamuk mulai banyak Do" bujuk Guntur.
Sebenar nya Ridho ingin berlama lama disana bersama ayah nya, tetapi melihat keadaan Guntur, dia menjadi tidak tega juga akhirnya.
Tanpa komentar apapun juga, Ridho bangkit berdiri berjalan dibelakang sahabat nya itu menuju ke pondok.
Malam itu Guntur memutuskan untuk menginap di pondok Ridho sekaligus menemani sahabat nya itu.
Ustadz Hidayat memutuskan akan mengadakan tahlilan di mesjid saja hingga seratus hari nya, sebagai sedekah pada almarhum pak Firman yang terkenal orang yang sangat baik dan ilmu agama nya juga cukup dalam. Dan yang paling penting, pak Firman selama hidup nya, tidak pernah marah pada siapapun juga, apa lagi sampai mendendam.
Pak Firman selalu meminta maaf kepada siapa pun juga, meskipun yang salah bukanlah dia.
...****************...