Bunda Bukan Wanita Malam
Sebuah pernikahan harusnya menjadi babak baru dalam kehidupan seseorang, tak terkecuali bagi Alviana Andini. Seorang wanita muda yang akan dinikahi oleh seorang pria dewasa bernama Wiratama Abimanyu Sudarmadi.
Dengan balutan kebaya putih yang semakin memancarkan aura kecantikannya, Via duduk di sisi pria yang sebentar lagi akan berstatus sebagai suaminya. Lirikan penuh kebencian Wira terarah pada dirinya, yang membuat wanita itu menunduk takut.
"Saya terima nikah dan kawinnya Alviana Andini Binti Adam dengan mahar seperangkat alat shalat dibayar tunai." Suara lantang Wira terdengar begitu merdu mengucapkan ijab qabul. Via memejamkan matanya sesaat dengan tetesan air mata membasahi wajahnya. Beberapa orang saksi pernikahan yang hadir menyerukan kata sah.
Tangannya terulur, hendak menyalami sang suami. Namun yang diperoleh Via tidak seperti pengantin lain, tak ada senyuman, tak ada kecupan lembut di kening.
Malam pengantin yang seharusnya menjadi malam terindah bagi Via nyatanya menjadi malam paling menyedihkan dalam hidupnya. Bagaimana tidak, ia ditinggalkan di malam pertama pernikahannya. Lelaki tampan yang baru saja menjadi suaminya sangat membenci dirinya dan bersumpah akan membuat Via hidup bagai di neraka.
Kebencian Wira pada Via bukan tanpa alasan. Dengan julukan sebagai wanita murahan, Wira tak henti-hentinya menghina Via yang diketahuinya berprofesi sebagai seorang wanita penghibur.
Jika boleh memilih, Via bahkan tak ingin menginjakkan kakinya kedalam kubangan lumpur yang menodai nilai kesuciannya sebagai seorang wanita.
Wira memutuskan menikahi Via demi menjauhkan ayahnya dari godaan Via, yang ia duga merupakan wanita simpanan ayahnya. Yang membuat Wira seakan tak percaya adalah ayahnya sangat mendukung keputusannya menikahi wanita malam tersebut.
"Jangan pernah bermimpi untuk bisa menjadi istriku yang sebenarnya. Wanita kotor sepertimu bahkan tidak layak untuk laki-laki mana pun," ucap Wira seraya mendorong tubuh Via hingga terhempas ke atas sebuah kasur lantai yang lusuh.
Sekuat tenaga, Via menahan air matanya agar tidak terjatuh. Dalam hati masih ada keyakinan bahwa Tuhan tidak pernah tidur. Akan ada keajaiban baginya. Hanya doa dan harapan yang menguatkannya, bahwa suatu hari Wira akan melembutkan hatinya.
Namun, ucapan Wira seakan menorehkan sayatan sembilu di hati gadis rapuh itu. Pertahanan yang dibangunnya runtuh menahan lara di hati, manakala Wira meninggalkannya dalam sebuah kamar sempit yang lebih layak disebut gudang. Tangis pilunya memecahkan keheningan malam, kesunyian seolah memeluknya erat.
****
"Wira, kau sudah mulai mabuk. Pulanglah! Bukankah ini malam pengantinmu. Harusnya kau menikmati malam pertamamu di rumah bersama istrimu, bukannya malah mabuk-mabukan disini," ucap Ivan, seorang sahabat Wira.
"Haha, kau tau alasanku menikahi wanita malam itu, Van. Aku menikahinya hanya untuk membalas sakit hatiku pada ayah. Teganya dia berselingkuh dengan wanita murahan itu, sementara ibuku sedang sakit."
"Tapi ayahmu bukan orang seperti itu. Mungkin kau salah, Wira."
"Aku pernah melihat buktinya, Van. Aku melihat mereka keluar bersama dari tempat hiburan malam," jawabnya dengan yakin. "Dia wanita menjijikkan, dan kau malah menyuruhku pulang? Aku lebih baik minum di sini," sahut Wira yang suaranya sudah mulai berat.
"Hentikan ini! Ayo, aku akan mengantarmu pulang!"
"Tidak! Aku bahkan tidak mau melihat wajah wanita murahan itu. Bagiku dia sangat menjijikkan," imbuhnya seraya menenggak minuman.
"Kalau begitu istirahat di rumahku saja. Bagaimana?" tawar Ivan lagi.
Sejenak laki-laki itu mengerutkan dahinya, pertanda sedang memikirkan sesuatu.
"Baiklah ... Tolong bantu aku berdiri. Kepalaku terasa berat."
Ivan pun menggotong Wira keluar dari tempat itu lalu membawa pulang ke rumahnya untuk beristirahat.
***
Via PoV
Hari ini pertama kalinya aku menginjakkan kakiku di rumah laki-laki yang telah resmi menjadi suamiku, Mas Wira. Seorang pria dingin, sedikit arogan, pemarah dan kaku.
Mas Wira sudah pernah menikah sebelumnya. Aku dengar beberapa tahun lalu istri pertamanya pergi dengan membawa anak pertama mereka dan menuntut cerai. Entahlah, aku juga tidak tahu pasti.
Menikah dengan seseorang yang teramat membenciku bukan sesuatu yang kuharapkan sebenarnya. Dan sampai sekarang, aku tidak tahu, apa alasan Mas Wira mengikatku ke dalam sebuah pernikahan dengan beberapa syarat yang bagiku sangat berat.
Yang aku tahu, Mas Wira memandang hina diriku karena pekerjaanku sebelumnya. Aku pernah bekerja sebagai seorang wanita penghibur. Bukan tanpa alasan, aku rela menjadi wanita malam. Demi membiayai pengobatan putri angkatku, Lyla.
Gadis kecilku yang kini berusia 4 tahun. Dia mengidap penyakit leukemia. Lyla divonis mengidap penyakit mematikan itu saat usianya satu tahun. Dan sejak saat itu aku berjuang untuk membiayai pengobatannya, sendirian. Aku tinggal di Panti Asuhan Kasih Bunda sejak masih bayi. Karena itulah aku tidak mengenal siapa orang tuaku.
Melihat kondisi tubuh Lyla yang semakin hari semakin lemah membuat hatiku seakan diremas, bagaimana anak sekecil dirinya bisa bertahan melawan penyakit mematikan itu. Tubuh lemahnya bahkan tak mampu membelenggu semangatnya untuk terus bertahan hidup. Tubuhnya rapuh, tapi semangatnya menyala seperti mentari. Bahkan dia tidak pernah menangis walau pun merasa sakit.
Jika seorang anak lemah seperti Lyla saja mampu berjuang melawan sakitnya, kenapa aku tidak bisa berjuang untuk membiayai pengobatannya yang mahal. Aku bersumpah pada diriku sendiri, akan ku lakukan apapun demi Lyla kecilku. Aku akan berjuang keras untuknya.
Dan kenyataan pahit adalah, aku tidak mungkin bisa membiayai pengobatan Lyla sementara aku hanya seorang karyawan biasa di sebuah butik. Kadang aku menerima pekerjaan lembur, walaupun bayaran tak seberapa.
Suatu hari aku mendapatkan tawaran kerja dari seorang teman semasa sekolahku, Laras. Ia menawarkan pekerjaan dengan penghasilan menggiurkan. Karena aku hanya lulusan SMA, sehingga hanya pekerjaan dengan gaji tidak terlalu besar yang bisa kudapat.
Dengan mata berbinar, aku menanyakan pada Laras tentang pekerjaan apa yang sedang digelutinya. Aku benar-benar ingin mendapatkan pekerjaan layak dengan gaji besar untuk bisa membiayai pengobatan Lyla
"Tidak begitu sulit. Tugas mu hanya menemani tamu mu duduk dan menyenangkan mereka," jelasnya.
Aku diam mematung mendengarkan penjelasan singkatnya. Apakah ada pekerjaan yang hanya menemani seseorang duduk dan membuatnya senang? Pekerjaan macam apa itu, pikirku.
"Hanya menemani duduk, lalu digaji sebesar itu?" tanyaku yang belum mengerti penjelasan Laras.
"Iya, kalau kau ingin mendapatkan lebih, kau bisa melayani mereka. Setelah mereka puas, mereka akan memberimu bonus yang besar," imbuh Laras kemudian.
Aku kembali membeku. Perlahan aku mulai bisa menebak pekerjaan macam apa yang sedang ditawarkan oleh temanku itu. Dengan perasaan berkecamuk aku memberanikan diri menanyakannya lagi.
"Ap... apa maksudmu pekerjaan ini adalah menjadi wanita penghibur begitu?" tanyaku ragu-ragu.
"Iya... benar. Memang pekerjaan apa yang bisa kudapatkan dengan bekal ijazah SMP?"
Aku membelalakkan mataku tak percaya. Ternyata selama ini temanku bekerja sebagai wanita penghibur. Tidak, aku tidak boleh menerima tawarannya sekalipun aku butuh. Dengan keyakinan penuh aku menolak tawaran kerja yang diberitahukan temanku tersebut.
Namun, hal lain justru terjadi, kondisi kesehatan Lyla semakin memburuk. Sedangkan kami tidak punya cukup uang untuk berobat.
Kata dokter, Lyla dapat tertolong dengan pencangkokan sumsum tulang belakang dari pendonor orang tua atau saudara kandungnya. Sementara aku sama sekali tidak mengetahui siapa orang tua kandung Lyla, dimana mereka berada, dan mengapa mereka membuang Lyla-ku yang malang.
Aku pun teringat kembali pada tawaran Laras. Dengan sangat terpaksa, aku mendatangi Laras untuk menawarkan diriku dan memohon diberi pekerjaan itu.
Ya Tuhan, kenapa sepertinya takdir menarikku ke dalam lubang hitam itu. Aku seperti akan tenggelam ke dalam lumpur hitam yang dalam.
Langkahku terasa berat, bahkan bernafas pun aku sulit. Namun, inilah pilihan satu-satunya yang dapat kutempuh untuk mengobati Lyla. Laras pun mengenalkanku dengan seorang pria yang merupakan bos pemilik sebuah tempat hiburan.
Dan kisahku menjadi seorang wanita malam pun dimulai ....
🌵🌵🌵🌵🌵🌵🌵
Novel ini banyak kisah sedihnya jadi harap sedia kanebo untuk menyeka air mata.
Jangan lupa tinggalin like dan komen ya man teman. 🤭🥰🥰🥰
Flashback on (Author POV)
Malam itu Laras membawa Via menemui seorang pria. Saat memasuki tempat terkutuk itu, Via merasa seperti ditarik ke dalam lumpur kotor. Rasanya ingin berlari keluar meninggalkan tempat itu. Namun, setiap teringat kondisi Lyla, ia mencoba menguatkan hatinya.
"Bos ini gadis yang akan bergabung bersama kita," ucap Laras pada seorang pria bertubuh kekar. Marco, seorang pria berusia 35 tahun yang diketahui sebagai pemilik tempat hiburan. Laki-laki itu tersenyum menatap Via, memperhatikan dari ujung kaki ke ujung kepala.
"Cantik juga temanmu. Namanya siapa?" tanya laki-laki itu.
Dengan perasaan malu bercampur ragu, Via menyebutkan namanya. "Nama saya Alviana, Tuan!" jawabnya.
"No no no...! Jangan pakai nama asli. Disini kau akan dipanggil dengan nama samaran. Bagaimana kalau aku memberimu panggilan, Cleopatra. Bagaimana Scarlet?"
"Bagus, Bos, sesuai," jawab Laras diiringi senyum khasnya. Laras menggunakan nama panggilan Scarlet di sana. Dan mulai hari itu Via menjadi Cleopatra. Laras pun mulai mengenalkannya pada dunia malam, dunia yang bagi Via sangat kelam.
Via masuk ke ruang ganti ditemani Laras. Ia membantu berhias diri layaknya wanita-wanita penghibur lainnya. Dandanan menor dengan pakaian cukup terbuka. Via bahkan malu menatap pantulan dirinya di cermin.
"Ras, apa tidak ada pakaian selain ini?" Via kembali meneliti tubuhnya dengan balutan pakaian itu. "Ini terlalu terbuka."
"Memang inilah pakaian yang cocok, Cleo ..." Laras sudah mulai memanggil nama samaran Via. "Kita disini untuk menghibur. Kalau pakaianmu tertutup, mana ada pria yang mau menyewa jasamu?" jelas Laras.
Mendengar ucapan Laras, Via meneteskan air mata. Seberat inikah ujian dalam hidupnya? Keterbatasan membuatnya memilih jalan pintas. Akan tetapi, Via tidak punya pilihan lain untuk ditempuh.
Aku harus kuat demi Lyla. ucapnya dalam hati.
"Via, awalnya aku juga begitu. Tidak ada satu wanita pun yang rela menjual diri jika bukan karena keadaan terpaksa. Awalnya aku juga berat, tapi lama-kelamaan aku mulai terbiasa. Kau pun akan seperti itu," ucap Laras seraya mengusap bahu Via.
Via mengangguk pelan, namun segenap hatinya menolak.
Setelah selesai berhias diri, Via dan Laras keluar dari ruang ganti. Mereka berjalan menuju sebuah meja, dimana beberapa pria sedang minum. Tidak pernah menginjakkan kaki di tempat semacam itu sebelumnya membuat Via benar-benar ketakutan. Di tempat itu hanya ada pria hidung belang dan pemabuk, dengan seorang wanita yang setia menuang minuman di sisinya.
Di sanalah pertama kali Via bertemu dengan Wira. Seorang pria tampan yang duduk seorang diri di sudut, sementara temannya yang lain menikmati kebersamaan dengan wanita. Satu hal yang Via tahu, Wira berbeda. Laki-laki itu bahkan tidak ingin didekati atau disentuh, walau pun beberapa wanita cantik menawarkan diri padanya. Via kemudian melirik Laras, yang kini bergelayut manja di lengan seorang pria, sambil menuang minuman. Ia memberi Via kode dengan kedipan mata, seolah menunjukkan pada Via, cara untuk merayu.
Dalam hitungan detik, seorang pria menariknya untuk duduk bergabung di sana. Via mencoba menghindar, namun pria itu menyodorkan sejumlah uang padanya. Dan demi apapun, jika tidak mengingat biaya pengobatan Lyla, Via pasti sudah melemparkan uang itu ke wajah pria hidung belang itu. Akhirnya ia hanya mampu berdiam diri di tempat duduknya, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Sedangkan Laras begitu menikmati perannya.
*****
"Kau harus bayar harga yang pantas untuk dia," ucap Marco pada seorang pria.
"Baiklah, berapa aku harus membayarnya? Kau bisa menjamin dia barang baru, kan?"
Aldi, seorang pria hidung belang, yang juga merupakan teman minum Wira, malam itu mendatangi Marco untuk menyewa jasa Via untuk semalam.
Marco kemudian membisikkan nominal yang harus dibayar oleh pria tersebut untuk dapat menghabiskan malamnya bersama Via. Walaupun terkejut dengan nilai yang disebutkan oleh Marco, namun ia tetap menyanggupi.
"Mahal juga ya ..." ucap Aldi.
"Kalau kau tidak sanggup, aku akan memberikannya pada orang lain."
"Tidak ... tidak ... aku menginginkannya. Akan kubayar berapapun untuk mendapatkannya."
"Baiklah."
Via menyapu air mata yang menetes membasahi wajahnya, saat mendengar pembicaraan Aldi dan Marco. Akhirnya, ia benar-benar telah menjual harga dirinya. Sesuatu yang mungkin akan menodainya seumur hidup.
Setelah menyelesaikan urusannya dengan Marco, Aldi pun mengajak Via meninggalkan tempat itu menuju sebuah hotel mewah. Saat hendak keluar, bersamaan dengan Wira yang juga akan pergi dalam keadaan setengah mabuk. Wira sempat melirik sinis pada Via, membuat wanita itu menunduk malu.
Sepanjang perjalanan Via diam membisu, walaupun Aldi beberapa kali membuka suara, namun ia bagai tidak mengindahkan keberadaan Aldi di sana. Pikirannya melayang, dan pandangannya hanya mengarah pada keramaian jalan malam itu.
"Cleo ... kau dipanggil Cleopatra kan?" tanya Aldi memulai pembicaraan untuk yang kesekian kalinya.
"Ii-iya..." jawabnya gemetar.
"Kenapa kau mau menjadi seorang wanita penghibur? Bukankah dengan begitu kau baru saja menghancurkan hidupmu?" tanya-nya kemudian.
Via hanya mendengar pertanyaannya tanpa menjawab. Ia lebih memilih diam. Hingga kurang dari satu jam, mereka tiba di sebuah hotel mewah. Memasuki sebuah kamar, hal pertama yang dipikirkannya hanya kehancuran masa depannya. Terutama dosa yang mungkin tidak bisa dipertanggungjawabkan nantinya pada sang pencipta.
"Kau suka tempat ini?"
"Tidak," jawabnya datar.
Perlahan Aldi melangkah mendekati Via, seiring dengan langkah kaki Via yang terus mundur ke belakang. Ia bahkan sudah gemetar ketakutan.
"Ada apa Cleo? Kenapa kau terus melangkah mundur?"
Cairan bening mulai menggenangi bola mata Via, saat punggungnya telah menempel dengan dinding. Akan tetapi Aldi tidak begitu peduli. Ia menelan saliva, saat pandangannya menjelajahi tubuh indah dan seksi yang kini berdiri di hadapannya. Rasanya sudah tidak sabar untuk menyentuh setiap bagiannya. Laki-laki itu menarik dengan kasar pergelangan tangan Via dan berusaha memeluknya. Namun, Via mendorongnya hingga mundur beberapa langkah.
"Tolong jangan sentuh aku!"
"Apa maksudmu, Cleo? Aku sudah membelimu. Aku membayarmu dengan harga yang sangat mahal untuk malam ini. Jadi sekarang layani aku," teriak Aldi seraya menarik tangan Via dan menghempasnya ke atas tempat tidur.
Via berusaha memberontak dengan sekuat tenaga, hingga pakaiannya sobek di beberapa bagian, namun Aldi yang telah dikuasai oleh nafsu tidak memberi celah. Saat ingin menciumnya, Via menendang perut lelaki itu dengan keras hingga meraung kesakitan. Tak ingin kehilangan kesempatan, Via memanfaatkan keadaan itu melarikan diri.
Sambil menahan tangis, Via berlari melewati lorong panjang, mencari jalan keluar. Saat tiba di sebuah lift, ia menabrak seorang pria paruh baya.
Ma-- maaf," ucapnya terbata-bata seraya menoleh kebelakang, takut jika Aldi menemukannya di sana.
"Tidak apa," ucap pria itu. Melihat ketakutan di wajah Via, ia kembali bertanya. "Ada apa, Nak? Apa seseorang mengejarmu?"
Via belum sanggup menjawab. Hanya sesekali menoleh kebelakang sana.
Pria paruh baya itu memperhatikan penampilan Via dengan pakaian sedikit terbuka dan sobek di beberapa bagian. Merasa kasihan, ia pun memberikan jas miliknya untuk menutupi tubuh Via, lalu mengajaknya masuk ke sebuah kamar besar.
"Tenanglah, kau aman di sini," ucapnya berusaha meredam tangisan Via yang semakin menjadi.
Kata orang, Tuhan tidak akan memberi manusia ujian melebihi batas kemampuannya. Via merasa yakin, karena itulah Tuhan mengirim seorang malaikat untuk menolongnya malam itu, seorang pria baik hati bernama Tuan Gunawan.
****