SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Seven Years After Divorce

Seven Years After Divorce

1

1

Bumi tempat Hilda berpijak bagai terguncang, air matanya mengalir, dadanya sesak ketika mendengar pengakuan sang suami, bahkan bibirnya tak sanggup berkata, hanya isak tangis yang keluar. 

“Aku tak ingin menyakitimu, sungguh,” Sesal Aldy, “tapi aku juga tak bisa melupakan perasaanku terhadapnya.” Imbuhnya tanpa perasaan. 

Hilda menatap marah pada sepasang mata Aldy, “Kurangkah pengabdian, cinta, serta perhatianku selama ini, Mas?” Ujarnya lirih. 

Aldy menggeleng, “bukan, justru kamu terlalu baik untuk ku, tak pantas aku menjadi imam bagimu, lelaki yang tak pernah bisa mencintaimu.” Jawab Aldy dengan wajah menunduk malu. “Kamu berhak bahagia, karena itulah aku ingin melepasmu, agar kamu bisa menikah lagi dengan laki-laki baik. Jika kamu bersedia bertahan sekalipun, kamu tetap akan sakit, karena aku tetap ingin menikahinya.” 

Hilda beranjak dari kursi ruang tamu, ia melangkah gontai tanpa suara menuju kamar, setelah pintu tertutup, Hilda pun menguncinya, ia menumpahkan tangisnya di atas pembaringan, tempat biasanya ia dan Aldy memadu cinta. Hilda pikir ketulusan dan cintanya selama 4 tahun ini, sudah cukup menghangatkan hubungannya bersama Aldy, karena Aldy terlihat bahagia serta tersenyum ketika Hilda memasak makanan kesukaannya, atau ketika dengan senang hati ia memanjakan kebutuhan batinnya, bahkan mengurus rumah dengan sebaik-baiknya. 

Nyatanya, semua itu tak cukup, Hilda tahu pernikahan nya dengan Aldy adalah buah dari perjodohan teman-teman mereka. Hilda yang saat itu bekerja di toko kue, dikenalkan dengan Aldy kawan baik dari pemilik toko. Saat itu Aldy sedang galau gelisah, karena wanita yang dicintai memilih perjodohan yang sudah di atur oleh kedua orang tuanya. 

Hari berganti, minggu pun dengan cepat berganti, Hilda mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda kala melihat senyum Aldy, walau tahu Aldy tak mencintainya, tapi Hilda bersedia menjadi istrinya. Ketika Aldy melamarnya saat itu, pria itu juga menyampaikan keinginannya untuk melupakan mantan kekasihnya, ia ingin mencari pendamping dengan harapan agar cintanya pada Widya, sang mantan kekasih bisa memudar seiring waktu. 

Kini setelah 4 tahun berlalu, mimpi buruk itu akhirnya datang juga, rumah tangga mereka yang damai tiba-tiba di guncang badai besar. 

Tanpa ada pertengkaran bukan berarti tak ada prahara, ribut kecil memang lah bumbu penyedap dalam rumah tangga mereka yang kosong, ternyata perhatian dan sikap baik Aldy selama ini, hanya kamuflase belaka, sejujurnya Aldy belum bisa melupakan mantan kekasihnya, walau sudah 4 tahun membina bahtera bersama Hilda. 

Bukan salah Widya yang tiba tiba menjanda. Bukan pula salah Aldy yang masih menyimpan rasa. Sepenuh nya Hilda merasa bodoh, karena dengan mudahnya percaya pada kalimat Aldy ketika melamarnya 4 tahun silam. 

Seminggu berlalu. 

Aldy masih mondar-mandir di depan teras rumahnya, sudah hampir 30 menit ia menunggu kedatangan Hilda, entah kemana Hilda pergi hingga di jam 16.30 ia belum kembali ke rumah, padahal biasanya wanita itu selalu menanti kedatangan Aldy di teras rumah mereka, entah sambil menyapu halaman, membaca buku, atau menyiram bunga-bunga. 

Aldy sungguh kesal jika setibanya di rumah ia tak menjumpai Hilda, sejak awal pernikahan Aldy sudah menegaskan ia tak ingin istrinya kelak bekerja, ia ingin istrinya di rumah dan mengurus rumah mereka, serta menyambut kedatangannya usai lelah bekerja. Dan kini tak mendapati Hilda di teras rumah, atau senyuman di wajah istrinya mendadak Aldy menjadi kesal sendiri. 

Aldy pikir ia sudah sangat mapan, karena kini sedang berada di puncak karier, menjadi Direktur Utama sebuah Bank Swasta adalah pencapaian gemilang di usianya saat ini. Karena itulah ia menyampaikan keinginannya untuk poligami kepada Hilda, tapi karena Hilda menolak, maka perceraian adalah jalan yang terpaksa ia pilih saat ini. Walau begitu, Aldy tak ingin lepas tangan begitu saja, Aldy sudah menyiapkan sejumlah dana dengan nilai fantastis, sebagai gono-gini dari perceraian mereka. 

Sebuah motor dengan pengemudi memakai jaket warna hijau hitam berhenti di depan pagar, rupanya Hilda baru saja pulang. Wanita itu memasang wajah manis penuh senyuman, walau tak selebar biasanya, “sudah lama menunggu Mas?” Tanya Hilda lembut seperti biasa. 

“Dari mana kamu?” Tanya Aldy yang terlihat enggan menjawab pertanyaan wanita yang masih berstatus sebagai istrinya tersebut. 

Hilda berjalan mendekati Aldy, kemudian menyalami tangan suaminya dengan takzim, “Aku mengambil kelas memasak, biar tidak bosan di rumah.” jawab Hilda pelan. 

“Sampai jam segini?” 

“Tidak, kursus selesai jam 2 siang.”

“Lalu dari mana saja kamu, hingga jam segini baru tiba di rumah?” 

“Kita lanjutkan nanti Mas, sekarang sudah hampir maghrib.” Terlihat sekali Hilda tak ingin terpancing emosi. 

Aldy mengikuti langkah Hilda memasuki rumah mereka. Hilda segera menuju dapur, menghangatkan masakan yang sudah ia siapkan sebelum pergi pagi tadi. 

Beberapa kali ia menghela nafas berat, menangis pun sudah tidak ada guna nya, biar bagaimanapun, dirinya tak bisa menang bersaing melawan Widya. 

Usai semua siap Hilda menghidangkan ayam rica-rica, serta beberapa lauk pelengkap, sengaja Hilda siapkan semua makanan favorit Aldy. 

Aldy keluar dari kamar, sudah rapi dengan pakaian sholatnya, “aku ke masjid dulu ya?” 

“Iya, Mas.” 

Rupanya Aldy tak pulang usai sholat maghrib, jadi kemungkinan pria itu sudah jama'ah Isya’ di masjid, syukurlah, mereka bisa makan bersama usai sholat isya’. 

Dalam sujudnya Hilda memohon agar diberikan ampunan, serta kelapangan hati menjalani takdir yang sudah ia pilih, tak ingin goyah hanya karena merasa ia bukan lah pilihan bagi suaminya sendiri. Lirih dalam sepinya ia menangis, air matanya menetes tanpa bisa ditahan, luka ini sangat menyakiti hatinya, namun Ikhlas tetaplah diatas segalanya, karena ada Allah yang akan menjadi tempatnya berkeluh kesah. 

Entah sudah berapa lama ia menangis dalam doanya, hingga ketika rintihan doanya berakhir, ia baru tersadar waktu sudah menunjuk angka 8.30 malam, “astaghfirullah, Mas Aldy pastI sudah pulang.” Gumamnya ketika tergesa gesa merapikan kain sholat serta sajadahnya. 

“Sudah makan, Mas?” Tanya Hilda semberi menutup pintu kamar. 

“Belum, Mas menunggumu.” Bukannya senang, jawaban Aldy membuat hati Hilda semakin teriris perih. Sisi ini jua lah yang membuat Hilda semakin mencintai suaminya, Aldy begitu mengutamakan istrinya. Contohnya seperti saat ini, Aldy tak akan makan jika Hilda belum menyentuh makanannya, Aldy bahkan selalu memanjakan Hilda dengan materi berlimpah, serta dengan tegas melarang Hilda bekerja di luar rumah, “biarlah ragaku yang berantakan, asal kamu tak merasa kekurangan.” Ujar Aldy ketika Hilda mengungkapkan keinginannya membuka pesanan kue untuk mengisi waktu luang. 

Sepenuh hati Hilda melayani suaminya, mulai dari menyendok nasi, hingga lauk pauk nya, namun tak ada senyum ceria seperti biasa, yang ada hanya senyum terpaksa, bahkan bicara pun ala kadarnya. 

“Tadi selesai kelas memasak, aku pergi mencari kerja.” Hilda membuka percakapan setelan menelan suapan terakhirnya. 

Aldy terdiam dengan rahang mengeras, serta otot-otot wajah menyembul ke permukaan, “Haruskah kamu melakukan itu? Apa kurang uang pemberianku, hingga kamu berkeliaran di luar mencari pekerjaan?” Tanya Aldy dengan suara pelan namun sarat amarah. 

“Aku rasa itu pertanyaan yang sudah jelas jawabannya Mas.” 

“Tapi aku masih sangat mampu membiayai kebutuhanmu.” Keukeuh Aldy, sebagai kepala keluarga ia tak akan membiarkan istrinya mengalami kesulitan keuangan. 

“Aku sudah mengambil keputusan Mas, aku kabulkan keinginanmu untuk menikahi Widya.” Setitik air mata keluar dari kelopak indah Hilda. Tanpa bisa bersembunyi, terlihat sangat Jelas bahwa dirinya terluka. “Besok pagi, aku akan mendaftarkan gugatan.” 

Aldy memejamkan kedua matanya, harusnya ia bahagia, karena sebentar lagi keinginanya akan terwujud, ia akan segera meraih cinta pertamanya, wanita yang hingga kini masih tersimpan jauh di lubuk hatinya. 

Tapi bahagianya kini terasa begitu hampa. 

#2

#2

...WARNING!!...

...Sekedar informasi bagi pembaca baru yang belum tahu, Novel ini di adaptasi dari cerpen yang pernah othor tulis, berjudul "Ketika Aku Bertemu Mantan Istriku". Tentunya di novel ini akan ada beberapa perubahan, demi menyesuaikan isi cerita, tapi tak akan jauh berubah dari cerpen, jasi secara garis besar akan tetap sama jalan ceritanya....

...Bagi pembaca baru yang penasaran dengan cerpennya, silahkan mampir ke profile Othor yess....

...Gumawoooo and Happy Reading 🥳🥳🥳...

...🌸🌸🌸...

Aldy menatap nanar tubuh Hilda yang meringkuk di pembaringan, pastilah Hilda tertidur, setelah lelah menumpahkan tangis sedihnya. 

Hanya berbekal insting alaminya, Aldy berbaring di sisi tubuh ringkih tersebut, kemudian memeluknya dengan erat, sepenuh hati ia berterima kasih, atas pengabdian tulus Hilda selama menjadi istrinya. Pelukan Aldy semakin erat manakala tanpa sadar, Hilda mencari posisi ternyamannya. 

Tubuh Aldy bergetar hebat, seperti ada tumpukan rindu yang tengah merasuki kalbunya, membuatnya lupa bahwa Ia ingin menyudahi bahteranya bersama Hilda. 

Dengan bahasa yang hanya dimengerti oleh tubuh keduanya, malam itu berbagai rasa melebur jadi satu. Hening berganti dengan kidung yang mengalun mesra, dawai menjadi musik pengiring yang indah, hingga tanpa terasa malam berlalu begitu saja. Menyisakan selaksa bahagia tanpa untaian kata.

Esok mungkin akan segera tiba, tinggallah sesak dan luka tak kasat mata, karena mahligai indah itu kini hanya berupa puing-puing berserakan, dan hari ini tak mungkin sama dengan hari esok.

“Maaf Mas, Bukan aku mengelak dari kewajiban ku sebagai istri, tapi rasanya tak etis jika kita masih melakukannya, bahkan mungkin menjadi dosa, karena yang Mas bayangkan adalah wajah dan tubuh wanita lain, aku harap kejadian semalam tak akan terulang lagi.” Getir memang, pahit dan pedih mencabik relung hatinya, tapi Hilda harus bangun, karena bahtera indahnya sudah diambang kehancuran.

Mendengarnya saja membuat hati Aldy terasa getir, bagaimana dengan Hilda yang setiap detik mencoba menguatkan hatinya, setiap saat menyemangati dirinya yang mulai rapuh. 

Walau tuduhan Hilda tidaklah benar, tapi entah kenapa lidahnya kelu, tak sedikitpun ia berniat membantah tuduhan Hilda. Karena semalam ia begitu menikmati percintaan mereka, bahkan selama menjalani bahtera bersama Hilda, belum pernah ia merasakan pengalaman bercinta sehebat malam tadi. 

Usai mengatakannya, Hilda berlalu pergi, membiarkan Aldy menikmati sarapan paginya seorang diri, memilih mengurung diri hingga Aldy pergi bekerja. 

Hari-hari selanjutnya pun demikian, Hilda tetap mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa, memasak, membersihkan rumah, mencuci dan menunggu Aldy pulang kerja. Tapi ketika Aldy sudah kembali ke rumah, yang Hilda lakukan justru hanya berdiam diri di kamar berbeda, karena sejak kejadian malam itu Hilda menolak tidur satu kamar dengan Aldy.

.

.

Security komplek menghentikan mobil yang Aldy kemudikan, “selamat siang Pak?” Sapa security. 

“Siang Pak, ada apa ya?” Tanya Aldy. 

“Ada titipan kunci rumah dari Bu Hilda.” 

Dengan perasaan tak menentu, Aldy menerima kunci rumah tersebut, berbagai pikiran buruk mulai berkecamuk, tapi Aldy berusaha menampiknya. 

“Baik, terima kasih pak.” Ucap Aldy. 

Sesudahnya Aldy memacu kencang mobilnya menuju rumah yang selama 4 tahun ini ia huni bersama Hilda, Aldy tergesa-gesa membuka pintu rumahnya, sunyi … sepi … dan dingin. Tak ada sapaan Hilda, tak ada senyuman Hilda, tak ada canda tawa lagi, sejak beberapa minggu yang lalu, usai Aldy menyatakan keinginan terpendam nya. 

Aldy membuka pintu kamar yang selama beberapa minggu ini Hilda tempati, single bed dengan sprei putih bersih, kamar yang semula mereka rencanakan untuk kamar anak mereka kelak, yang hingga palu perceraian di ketuk, tak kunjung hadir. 

Kini kamar itu telah kosong, seiring dengan kepergian Hilda tak ada satupun pakaian dan jejak Hilda yang tertinggal di sana.

Hanya sepucuk surat di atas meja yang menjadi penyambung lidah mereka. 

Assalamualaikum, Mas … 

Maaf Mas karena aku melanggar aturan syari'at, untuk tidak pergi dari rumahmu selama menjalani masa iddah. Sungguh setiap detik aku merasa seperti menjalani siksaan jika aku terus berada di rumah ini, melihatmu hari demi hari, tapi tak bisa lagi berinteraksi seperti dulu. 

Maafkan aku yang egois Mas, tapi inilah aku yang serakah karena tak rela membagi dirimu, hati, serta cintamu, dengan wanita lain. Maka untuk terakhir kali aku minta ridho mu untuk melangkah keluar dari rumah yang selama ini kamu sediakan sebagai istana tempatku bernaung. Aku sudah menyingkirkan barang barang pribadiku, yang tersisa hanya perabot rumah, jadi Mas tak perlu repot menyingkirkan barang-barang pribadiku. 

Aku pulang Mas, kembali ke kampung halamanku, mencoba kembali menata hidupku tanpa hadirmu. Aku harap Mas juga kembali menata kehidupan Mas, hapuslah aku dari pikiranmu, dan bahagialah menyongsong kehidupan baru Mas bersama Mbak Widya. 

Terima kasih karena selama ini memberiku kasih sayang dan perhatian luar biasa, walau tanpa cinta. 

Selamat tinggal mas. 

Wassalamualaikum… 

“Astaghfirullaah, Ya Allah … ampuni hamba …”

“Astaghfirullah…”

“Astaghfirullah…”

Entah berapa kali Aldy mengucap istighfar melalui lisannya, ia bersimpuh menangis seorang diri seperti anak kecil, baru lah ia tersadar ia sudah mendzolimi istri nya sendiri, membuat Hilda terpaksa menjanda, demi menuruti keinginannya menikahi mantan kekasihnya yang juga seorang janda. 

Dengan sisa isak tangisnya, Aldy meremas surat tersebut dengan kedua tangannya, ia berlari keluar rumah kemudian kembali memacu kencang mobilnya, harap harap bisa menemukan wanita yang telah ia sakiti, memohon maafnya, jika Hilda bersedia, Aldy ingin merujuknya kembali.

Selama dalam perjalanan, tak terhitung berapa kali ia melakukan panggilan, entah panggilan tersebut tak terdengar atau sengaja hilda abaikan, Aldy tak tahu, “Angkat dong sayang, izinkan aku bicara, beri aku kesempatan kedua.” gumam nya gusar sepanjang perjalanan.

Sasaran pertama adalah stasiun, mungkin saja Hilda ke Jogja dengan menggunakan kereta api, namun hingga 30 menit Aldy mengelilingi stasiun, ponselnya pun tak henti-henti melakukan panggilan, namun wanita berparas Ayu itu tak juga Aldy temukan, berkali-kali pula Aldy memeriksa jadwal keberangkatan kereta yang melalui Jogja, tapi sosok yang ia harapkan tak juga berhasil ditemukan.

“Pergi kemana kamu sayang … kenapa tak mencoba memberi Mas kesempatan?” Lirih Aldy dengan langkah gontai meninggalkan stasiun. Kini barulah terasa betapa berat hatinya melepaskan Hilda, namun semua sia-sia, janjinya pada Widya sudah terucap, serta palu perceraiannya dengan Hilda sudah terlanjur di ketuk. Lara hatinya kini terbalut nestapa, demi ego sesaat ia salah melangkah, hingga berakibat salah dalam mengambil keputusan. 

Setelah menghabiskan berjam-jam di jalanan, Aldy menghentikan mobilnya di bahu jalan, “haruskah aku menyusulmu ke Jogja?” Gumam Aldy ketika matanya terpejam lelah, usai mengarungi jalanan ibu kota. 

Tak lagi berpikir panjang, Aldy kembali memutar kemudi mobilnya, tujuannya adalah pintu tol menuju Jawa Tengah, jika tak ada halangan berarti, besok subuh ia sudah tiba di kota tersebut.

Tetapi baru beberapa menit mobilnya berjalan, ponselnya berdering, ia segera menyambar ponselnya, “Hilda?” jawab Aldy tanpa melihat siapa peneleponnya, 

“Hilda? … ini aku Mas!!” seru suara yang berada di ujung sana, nampak sekali dari nada suaranya, bahwa wanita itu tengah kesal, hanya gara-gara Aldy salah sebut nama.

“Oh Maaf … aku kira kamu Hilda.” 

“Mau ngapain Mas cari-cari Hilda, bukankah kalian juga masih tinggal se rumah?”

Aldy menyugar rambutnya, ia bingung, hatinya bimbang, mendadak galau memikirkan apakah sudah benar keputusannya menceraikan Hilda? “Maaf Wie … aku …”

“Jangan di ulangi, kamu milikku mas, kalian sudah bercerai.” sembur Widya tanpa memberi kesempatan pada Aldy untuk menyelesaikan kalimatnya.

Aldy pun hanya bisa diam, enggan mengungkapkan apa yang ia alami hari ini, takut jika itu akan kembali memicu pertengkaran diantara mereka. Sudah cukup pertengkaran hebat mereka satu bulan yang lalu, penyebabnya adalah karena Widya tak terima dengan keputusan Aldy yang tetap ingin tinggal serumah dengan Hilda, walau status mereka sudah bercerai. 

“Ada apa meneleponku Wie?” tanya Aldy pasrah.

Widya terdiam sesaat, “Gerd ku kambuh Mas, dan sekarang aku mejalani rawat inap di Rumah sakit.” Lapor Widya dengan suara manja seperti biasa. “Bisakah Mas menemaniku di Rumah sakit?”