SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Rumah Di Tengah Sawah

Rumah Di Tengah Sawah

Hunian nyaman

Bulan februari tahun 2011 pagi, hujan rintik-rintik. Cokelat hangat menemani aku yang duduk-duduk santai di teras rumah. Udara yang dingin membuat kepulan asap dari cokelat di cangkir bertuliskan Pesona Fm.

Namaku Dani, mahasiswa yang sekaligus kerja part time di salah satu stasiun radio di kota. Aku tinggal di pelosok desa, di ujung selatan jawa timur. Rumah yang aku tempati bersama kedua orangtuaku dan adik perempuan yang masih balita berada di tengah tengah sawah, yang kali ini baru di panen.

"Dan, ibuk mau ke pasar dulu yoo, itu adiknya dijaga!" si ibuk ngomong plus "ngongkon" sambil berlalu.

Hadeh, padahal lagi menikmati ngelamun sambil lihat hujan. me time, me time. Aku seret kaki, mendekati adikku yang lagi asyik main lego. Adikku masih berusia 4 tahun lebih 1 bulan. Jarak kami cukup jauh. Aku yang sudah kuliah semester 4 sementara adikku masih balita. Dulu, semua orang berpikir aku ini anak tunggal. Bahkan perlakuan orangtua ku pun selayaknya aku anak tunggal. Manja banget. Eh, tak tahu nya si adik "launching" pas aku duduk di bangku SMA. Tapi itu semua membuat aku bener-bener seneng dan bersyukur. Pada dasarnya aku nggak begitu suka di manja-manja. Bagiku laki-laki itu harus bisa mandiri. Mengingat hal itu, aku jadi senyum sendiri kepala adik aku usap usap dengan sedikit kasar. Dia tidak terganggu tetep asyik dengan lego nya.

Oiya, rumah yang kami tempati ini kata ibuk, dibangun tepat setelah aku lahir. Jadi bisa dikatakan, rumah ini seusia denganku. Rumah yang nyaman, udara seger, sejuk, dan meskipun di pelosok desa tapi kualitas jalannya bagus lho. Jalan tidak beraspal, namun dari semen, orang sekitar menyebutnya jalan "rabat". Jarak rumah ini dari kota sekitar 35 kilo meter, dengan waktu tempuh biasanya sekitar 45 menit. Rumah ini berada tepat di tengah sawah berdiri sendirian tidak ada bangunan lain. Tetangga terdekat berjarak sekitar lima ratus meter , cukup jauh, memang di desa rumah kan jarang jarang, tidak seperti di kota yang berdiri berjejer.

Musim hujan seperti saat ini adalah favorit aku. Aroma tanah basah, suara kodok bersahut sahutan di sore hari, sungguh menentramkam pikiran. Di saat teman teman SMA ku memilih kuliah ke luar kota, aku memilih mendaftarkan diri di universitas swasta di kota ini. Salah satu alasannya memang karena aku nggak betah rasanya jauh jauh dari rumah ini. Teman teman dulu banyak yang mengatakan bahwa aku ini "cah omahan" (anak rumahan). Tapi yo nggak masalah to, toh kuliah dimanapun yang penting aku fokus belajar di jurusan yang aku pilih aku yakin bakalan jadi orang yang sukses suatu saat nanti.

Entah kenapa, aku sangat betah berlama lama di rumah. Rasanya bener bener nyaman. Saat banyak tugas menumpuk, atau jadwal siar radio dengan jadwal kuliah yang tiba tiba berubah akhirnya berbenturan, atau saat aku bermasalah dengan teman atau gebetanku, semua problem itu akan menghilang ketika kaki ku sudah menginjak rumah ini. Mungkin karena aku dan rumah ini "lahir" ditahun yang sama, kita jadi seperti saudara, rumah ini mengerti aku. Memberi keteduhan dan kenyamanan.

Rumah ini biasa saja, jangan membayangkan seperti villa mewah di tengah pedesaan. Rumah ini cukup kecil, berlantai satu dengan ukuran 8 x 9 meter. Tembok ber cat putih polos, dengan lantai keramik dan sebagian tegel. Memiliki 3 kamar tidur, 1 kamar mandi tanpa ada toilet. Iya, memang nggak ada toiletnya, biasanya kalau buang air, warga desa sini ke sungai terdekat. Ini bukan sesuatu yang benar, tapi begitulah, dari yang aku ingat, mulai dari aku di dalam perut, sampai saat ini, semua orang buang air nya ke sungai. hihihi . . .

Rumah dengan fasilitas seadanya seperti itu, bagiku adalah tempat ternyaman di seluruh alam semesta jagat raya. Rumah adalah tempatku untuk pulang, menampung segala keluh kesah, tersenyum bersama, tertawa bersama, bahkan menangis pun juga bersama. Rumah ini benar-benar telah melakukan yang terbaik untuk aku dan keluargaku selama sembilan belas tahun ini.

Erni

Seperti yang sudah aku ceritakan, rumahku benar benar nyaman bagiku. Sampai aku enggan untuk keluar rumah. Tapi pagi ini aku harus pergi kuliah, lanjut sore ada jam siar. Dandanan necis, aroma wangi menyengat parfum semprot harga 15 ribu. Rambut sisir pakai jari, baju kotak kotak celana jeans pensil, sepatu merk luar negeri KW, pundak menggendong tas ransel buteg. Becermin dan menggumam, weh ganteng banget aku.

Oke, sehabis sarapan jagung rebus, meluncur lah aku. Melewati persawahan, orang orangan sawah seakan melambai sambil ngomong hati hati di jalan ya. Mungkin kalau bukan orang sekitar yang melintas di area persawahan ini bakalan takut ya, suasana nya sepi, hawanya sejuk malah terlampau dingin, serta beberapa orang orangan sawah yang terbuat dari "damen". Cocok kayaknya untuk lokasi shooting film horor.

Beberapa ratus meter berikutnya membentang sungai. Sungai khas pedesaan dengan batu batu se gedhe perumahan. Suara air yang mengalir deras terdengar sampai beberapa ratus meter. Untuk menuju seberang hanya ada satu jembatan di daerah sini yang bisa digunakan melintas. Jembatan yang memiliki lebar tidak lebih dari 2,5 meter.

Setelah 40 menitan dalam lamunan menikmati perjalanan, sampailah aku di tujuan, kampus fakultas ilmu pendidikan. Hari ini ada beberapa mata kuliah yang mesti aku ikuti. Untuk pagi ini, pukul 8 aku harus menikmati sajian mata kuliah bimbingan dan konseling. Masuk ruangan, duduk di pojok belakang adalah jalan ninjaku.

Ternyata hari ini pembagian tugas kelompok. Aku sih bakalan mudah cari teman untuk tugas kelompok, karena aku termasuk salah satu mahasiswa teladan. Tapi sebenarnya aku pengen banget bisa satu kelompok dengan Erni.

Ya, namanya Erni. Aku belum akrab dengannya. Cewek berjilbab, dengan hidung minimalis, alis segaris, kulit putih bersih dan senyum yang super manis. Seringkali aku mencuri curi pandang terhadapnya. Setahu aku dia nggak punya cowok, eh belum mungkin ya. Tapi mau langsung mendekat tanpa alasan yang jelas pantang bagi seorang Dani. Begitu pikirku.

Nah, mungkin memang hari ini adalah hari keberuntunganku. Pembetukan kelompok terdiri dari 3 orang secara acak. Dan namaku muncul satu kelompok bersama Erni dan Nita. Wah, mimpi apa aku semalam. Rasanya lirik lagu "Senangnya dalam hati, kalau beristri dua, seakan dunia, aku yang punya" terngiang ngiang ditelingaku. Setelahnya setiap kelompok diwajibkan membuat materi presentasi tentang pentingnya konseling di sekolah dasar.

Nita, cewek berponi dengan panjang rambut sebahu memulai percakapan.

"Oke, kapan kita ngerjainnya?"

"Lha mbuh, ngikut aja aku" jawabku enteng. Kulirik Erni, dia hanya manggut manggut.

"Eh, rumahmu mana to Dan?" tiba tiba Erni bertanya, yang cukup membuat aku gelagapan, mungkin kalau manusia itu kulitnya transparan, akan terlihat jantungku berdetak melebihi batas kecepatan normal.

"Eee, itu lho daerah Karang" jawabku dengan suara sedikit bergetar.

"Lhah, aku pengen tau daerah situ, yog kesana yog!" Nita menimpali sambil memukul ujung pundakku sebelah kanan.

"Sama, aku belum pernah kesana, yog ke rumahmu Dan, sekalian ngerjain tugas" Erni antusias.

"He?? jangan hari ini, aku ada jam siar" jawabku gelagapan. Kaget, campur seneng, lebih banyak senengnya sih, Erni mau ke rumah.

"Oke, yowes, lusa nek gitu ya, piye?" Nita memutuskan meminta persetujuan.

"Aku sih oke aja" Erni menjawab.

Aku manggut manggut meng iya kan. Meskipun lusa ada jam siar, bisa lah nanti diatur. Minta ijin sama kabag siar ada jam kuliah tambahan, gitu aja pikirku. Mungkin tubuhku saat ini terlalu banyak memproduksi hormon dopamin. Rasanya bibir ini semacam di tarik jari jemari tak terlihat agar tidak berhenti menyunggingkan senyum. Tubuh serasa ringan banget.

Dalam hati aku berharap dengan tugas kelompok ini, aku bisa lebih mengenal Erni, syukur syukur bisa lebih dekat. Hi hi hi . . .