SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Jerat Tumbal Pesugihan

Jerat Tumbal Pesugihan

Awal

"Kang, cari kerja, dong. Mau sampai kapan kita begini terus? Beras tinggal beberapa genggam, anak-anak pada nangis minta makan," omel Ayu pada pagi ini.

 Suasana yang masih gelap harus diwarnai dengan omelannya, sembari menggendong si bungsu yang masih berusia satu tahun, dan ia tampak kesusahan dengan perutnya saat ini sedang membuncit karena mengandung delapan bulan.

Sugi menarik rokoknya dengan dalam, lalu menghembuskan karbondioksida yang kini mengepul diruang dapur yang sangat sederhana.

Tak ada sahutan. Biasanya Sugi akan menyahuti omelan Ayu dengan berkata "Emangnya selama ini Akang gak kerja, setiap hari akang berusaha memenuhi kebutuhan kalian, dan bla, bla,".

Ayu semakin geram dengan sikap Sugi yang tidak memberikan solusi apapun untuk kehidupan yang lebih layak. Ia merasa sangat sial menikah dengan pria itu, karena hidup dalam kemelaratan yang terus menerus tiada habisnya.

Sugi beranjak dari kursi plastik yang duduki. Ia pergi keluar rumah tanpa berpamitan.

Saat ini Saleh yang masih dalam gendongannya rewel terus menerus dan membuat Ayu semakin frustasi.

"Kamu bisa diam, gak, sih,? Rewel banget jadi anak," sergah Ayu pada bocah tersebut. Mendengar sergahan ibunya, Saleh semakin menangis dan hal ini hampir membuat sang ibu merasa gila.

Laila sang kakak yang masih berusia 11 tahun, terbangun dari tidurnya. Ia mendengar omelan ibunya dan bergegas meraih sang adik. Ia takut nanti Saleh akan dipukul jika terus saja rewel.

"Sudah, Bu. Saleh biar sama Laila saja." Gadis kecil itu mengulurkan tangannya yang kurus untuk meraih sang adik dari gendengan sang ibu yang saat ini terlihat sedang emosi.

Ayu adalah sosok yang tempramen. Ia tak jarang mencubit dan memukul anak-anaknya jika sedang dalam kondisi marah. Oleh sebab itu, Laila yang sudah kenyang akan semua tindakan kekerasan yang dilakukan oleh wanita itu, mencoba meredakan emosi sang ibu yang sudah melahirkannya dengan cara mengurangi beban hidupnya, yaitu membantu pekerjaan rumah tangga yang ia mampu.

Ayu menyerahkan Saleh kepada anak sulungnya. Biasanya Saleh akan diam jika berada dalam pengasuhan sang kakak.

Bocah perempuan itu berusaha menyanyi dan mengajak sang adik untuk bermain, tapi kali ini tangisannya tak juga berhenti.

Aliyah sedikit kebingungan, dan mencoba bersabar. Ia berfikir jika adiknya saat ini sedang lapar ataupun haus.

Ia menuju meja makan yang terbuat dari kayu yang dirancang dan dibuat oleh Bapaknya.

Ia menyingkap tudung saji. Terlihat tidak ada apapun disana, bahkan sebutir nasi pun tak ia temukan.

Sedangkan Ayu saat ini terlihat sedang duduk menyandarkan dirinya dilantai yang hanya terbuat dari semen kasar, sebab ini adalah rumah kontrakan yang paling termurah didesanya.

Ayu tampak mengusap perutnya yang membuncit. Ia terlihat sangat kesusahan. Dalam kondisi mengandung seperti itu, ia seharusnya mendapatkan asupan makanan dan gizi yang cukup, agar janinnya tumbuh sehat.

Laila memeriksa tempat beras, hanya ada dua genggam saja. Ia tampak berfikir. "Adik duduk bentar ya," ucap Laila. Kemudian meletakkan sang adik dilantai. Ia meraih beras yang ada, dan berniat memasak bubur agar menjadi banyak dan dapat dinikmati oleh ke lima orang adiknya.

Memiliki enam orang anak dengan kondisi ekonomi yang sulit, tentu membuat hidup Ayu semakin frustasi. Ditambah lagi ia saat ini dalam kondisi mengandung, maka akan ada tujuh anak yang harus diberi makan setiap harinya.

Menunggu bubur matang. Laila mencoba mengajak Saleh bermain, agar bocah itu tak lagi menangis dan ibunya berhenti mengomel.

Satu jam kemudian, bubur matang dan ia mengambil beberapa sendok untuk diberikan kepada sang adik.

"Adik lapar, ya?"tanya Laila, kepada Saleh, yang mana ingusnya juga meleleh karena terus menangis, dan ia terlihat mengangguk menyahuti ucapan sang kakak.

"Ayo, Mam," Laila menyuapkan bubur tersebut ke mulut mungil tersebut.

Tampak sang adik memakannya dengan lahap. Setelah merasa perutnya kenyang, bocah itu terlihat diam dan mengantuk, Laila menidurkan sang adik.

Hari tampak terang. Ia harus bergegas ke sekolah dan membangunkan Bagas, Nisa, Juni, dan juga Meli.

Mereka harus berangkat ke sekolah. Kecuali Meli yang masih berusia 3 tahun.

"Laila, kamu hari ini jangan berangkat ke sekolah, jaga adikmu, ibu mau bertemu seseorang hari ini," ucap Ayu mengingatkan.

"Tapi, Bu. Hari ini ada ulangan," sahut Ayu.

"Kamu denger gak, sih, apa yang ibu bilang, hah!" Ayu kembali menggelegarkan suaranya dan tentu saja itu mampu membuat Laila dan juga ke empat adiknya terdiam tanpa bantahan.

"Iya, Bu," jawabnya patuh.

Bocah perempuan itu menyendokkan bubur ke empat mangkuk dan membagikannya kepada ke tiga orang adiknya, dan untuknya. Tetapi Meli terbangun saat mendengar suara amarah sang ibu, dan Laila kembali mengambilkan satu mangkuk untuk sang adik.

"Kak, Bagas harus bayar uang LKS, hari ini terakhir," bisik bocah laki-laki itu pada sang kakak.

Laila hanya terbengong, apa yang dapat dilakukannya? Ia sendiri tak memiliki uang. "Nanti kakak coba minta sama bapak," sahut Laila. Ia tak tahu caranya untuk memecahkan masalah hidup yang berhubungan dengan uang.

Bagas menggaruk kepalanya. Ia merasa jika kali ini ia tidak akan mendapatkan buku LKS itu, sama seperti hari-hari biasanya.

Bagas duduk dikelas 4 SD, Nisa dikelas 3 dan Juni dikelas 1. Mereka lahir dengan jarak yang cukup dekat, sehingga membuat tingkatan sekolah mereka hanya berbeda satu kelas saja.

Hari semakin terang, ketiga adiknya sudah berangkat ke sekolah. Laila harus mengurus kedua adiknya dan juga pekerjaan rumah tangga.

Saat bersamaan, Sugi sang ayah datang dengan nafas yang terlihat tersengal. "Yu, Ayu," panggilnya dengan nafas yang memburu.

"Ada apa sih, Kang!" sahut Ayu dengan nada tinggi dan ia sudah terlihat sangat rapih, tidak seperti biasanya.

Sugi memandangnya dengan penuh heran dan selidik. "Kamu mau kemana?" Sugi terlihat penasaran.

"Mau periksa kandungan. Mana uangnya!" jawab Ayu dengan terlihat ketus.

Sugi mengulurkan uang lembaran 50 ribu kepada istrinya yang cantik tersebut. Ia berharap sang istri tak mengomel lagi.

Ayu meraih uang tersebut dengan membolakan matanya. "Dari tadi keluar cuma dapat 50 ribu. Kamu itu kerja yang bener dong, Kang! Aku sudah muak hidup susah terus sama kamu," ucapnya ketus, kemudian melemparkan uang itu ke lantai dan bergegas pergi.

Laila ketakutan setiap kali mendengar pertengkaran kedya orangtuanya. Sang ibu terlihat pergi meninggalkan rumah.

"Laila, sini," panggil Sugi kepada putri sulungnya yang terlihat mengintai dari balik pintu kamar.

Bocah mendekati sang Bapak. "Pergi ke warung, beli beras dan lauk ya," titah Sugi sembari menunjuk uang yang dilemparkan Ayu barusan.

Laila mengangguk dan memungut uang tersebut, kemudian bergegas pergi ke warung.

Sementara itu, Ayu bertemu seorang pria berperawakan sedang dan terlihat sudah sangat lama menantinya.

"Bagaimana? Apakah kamu mau dengan tawaran saya yang kemarin?" tanya pria tersebut.

Ayu menganggukkan kepalanya dengan cepat, "Iya, Kang. Aku mau," kemudian keduanya memasuki mobil dan meninggalkan jalanan desa.

Setuju

"Kita mau kemana, Kang?" tanya Ayu dengan tak sabar. "Kita harus membeli semua perlengkapannya. Kamu harus mencari alasan kepada suamimu untuk pergi besok," ucap Pria tersebut mengingatkan. Ia menuju pasar yang berjarak sekitar 30 menit dari tempat tinggal Ayu.

"Aku harus cari alasan apa ya, Kang? Kira-kira Kang Ujang punya ide, gak?" Ayu berbalik bertanya. Saat ini ia sudah tidak dapat lagi memikirkan ide apapun.

"Katakan saja pada suamimu kalau kamu mau pulang kampung ke rumah ibumu, selama seminggu gitulah," Kang Ujang menyarankan.

Ayu menganggukkan kepalanya, sepertinya ide pria itu dapat dijadikannya sebagai alasan kepada suaminya untuk pergi esok.

Ujang menghentikan mobilnya. Mereka telah tiba dipasar dan suasana terlihat sangat ramai. "Kamu tunggu di sini saja, jangan keluar dari mobil," pesan pria tersebut, kemudian beranjak keluar dari dalam mobil dan menuju tempat pedagang unggas.

Ayu mengamati isi mobil. Ia berkhayal jika saja ia memiliki mobil dan andaikan tidak menikah dengan Sugi, mungkin hidupnya tidak akan semelarat ini.

Ia sangat malu jika bertemu dengan teman-teman sekolahnya yang saat ini sudah berhasil dan memiliki suami yang bekerja dengan gaji yang sangat tinggi. Sedangkan dirinya, mendapatkan suami yang hanya bekerja serabutan.

Sementara itu, Laila sedang memasak didapur. Berbelanja ke warung dan memasak sudah menjadi pekerjaannya sehari-haru, bahkan ia juga harus mencuci pakaian dan juga piring setelahnya. Belum lagi harus merawat keempat adiknya.

"Pak, ini kopinya," Laila menghidangkan segelas kopi kepada sang Bapak yang saat ini tampak muram. Raut wajahnya terlihat sedang memikirkan sesuatu.

"Ibu pergi ke mana, Pak?" tanya Laila, membuyarkan lamunan pria berusia 40 tahun tersebut.

Sugi memandang puterinya yang terlihat sangat kurus tersebut. Masa kecilnya yang seharusnya dihabiskan untuk belajar dan juga bermain, kini harus menanggung beban pekerjaan rumah tangga.

"Katanya ke Bidan Andana, mungkin sebentar lagi akan balik," jawab Sugi, lalu menyeruput kopi hitam yang disuguhkan oleh Laila.

Ia beranjak dari duduknya. Lalu kembali menatap sang puteri kecilnya. "Bapak mau keluar, mau cari kerja. Kamu jaga adik-adikmu, ya," ucap pria itu, bahkan kopinya pun tak ia habiskan.

Kemarahan Ayu pagi tadi membuatnya harus segera mencari rezeki lainnya, ia akan meminta pekerjaan kepada siapapun yang membutuhkan tenaganya.

Ujang datang dengan membawa ayam berwarna hitam gelap, serta ramuan lainnya. Ia meletakkan ayam tersebut ke dalam keranjang yang telah disiapkannya dari rumah.

"Untuk apa ayam hitam tersebut, Kang?" tanya Ayu penasaran.

"Ya sebagai persyaratannya," jawab Ujang menjelaskan.

Ayu hanya menganggukkan kepalanya. Ia juga belum mengerti dengan apa yang akan terjadi esok.

"Kita pulang dulu. Besok kita ketemu lagi, dan jangan lupa persiapkan dirimu," pesan Kang Ujang kepada Ayu.

"Antarkan aku ke Bidan Andana. Aku akan memeriksakan kandunganku," pinta Ayu. Ia mengenal pria bernama Ujang karena mereka satu desa dan pria itu juga merupakan teman sekelasnya sewaktu SMA.

Ujang menganggukkan kepalanya, kemudian mengemudikan mobilnya menuju kediaman Bidan Andana, sebab Ayu akan memeriksakan kandungannya.

Sugi berjalan gontai menuju bengkel tempat Darmadi bekerja. Ia ingin meminta pekerjaan ke pada pemuda itu, mungkin saja ia dapat merubah nasibnya, setidaknya anak-anaknya tidak kelaparan dan tetap dapat makan.

Setelah beberapa menit berjalan, ia tiba dibengkel yang menangani berbqgai mesin diesel. Ia melihat pemuda itu sedang menelefon seseorang, tampaknya seorang wanita, sebab wajahnya menyunggingkan senyum sumringah.

Melihat kehadiran Sugi, Pemuda itu mengakhiri panggilannya. "Sudah dulu, ya. Nanti kita sambung lagi," ucap Darmadi berbisik, dan menutup layar ponselnya.

"Eh, Kang Sugi. Ada perlu apa, Kang?" tanya pemuda itu ramah.

Sugi duduk dibangku kayu berbentuk segi empat yang hanya muat untuk bokong saja, dan bangku kayu itu juga sudah menghitam karena terkena oli saat sedang membengkel.

"Pagi-pagi sudah kusut saja wajahnya, Kang," ucap Darmadi, lalu menyodorkan sebungkus rokok kepada pria tersebut.

Sugi mengambil sebatang rokok dan menyulutnya dengan pemantik api, lalu menyesapnya dengan dalam.

"Di, ada kerjaan gak buat akang? Aku pusing banget ini, mana istri mau melahirkan," Sugi berkeluh kesah dengan segala permasalahan hidupnya.

Darmadi terdiam. Mencoba mencarikan solusi bagi Sugi, meskipun hidupnya sendiri penuh dengan masalah.

"Kang, kamu coba melaut. Aku punya sampan motor dan jaring. Nanti aku beri uang untuk minyaknya. Mungkin saja hidupmu akan berubah, Kang," saran Darmadi.

Seketika raut wajah Sugi berubah cerah. "Beneran, Di? Terus cara bagi hasilnya gimana?" cecar Sugi tak sabar.

"Sudahlah, jangan di fikirkan dulu bagi hasilnya. Kalau ada untung, bagi seikhlas kang Sugi saja untuk biaya perawatan sampan," jawab Darmadi. Ia sangat iba melihat kehidupan pria itu, sebab terbilang cukup melarat dengan anak yang cukup banyak.

"Makasih banyak, Di..., aku doain kamu cepat dapat jodoh, aamiin," Sugi tak mampu lagi mengungkapkan perasaannya yang sangat bahagia hari ini.

"Aamiin, " jawab Darmadi.

Kemudian ia menyerahkan uang dua ratus ribu rupiah untuk membeli minyak solar sebagai bahan bakar. Sugi menerimanya dengan suka cita dan beranjak menuju tempat sampan milik Darmadi ditambatkan.

Sementara itu, Ayu berjalan menuju kediaman bidan Andana sembari memegangi pinggangnya yang terasa sakit.

Setibanya dikediaman bidan Andana. Terlihat Reva baru saja keluar dari ruang pemeriksaan. Melihat kehadiran Ayu diruang yang sama, Reva memandang sinis. "Ya elaah, Mbak. Anaknya sudah banyak, hidup melarat pula, pakai Ka-be lah," ucap wanita itu sinis.

Ayu menatap dengan tajam. "Eh, mulut ember, apa urusanmu kalau aku bunting. Emang kamu, sudah 5 tahun nikah gak bunting juga," sahut Ayu dengan sinting.

Andana yang mendengar pertengkaran pasiennya mencoba melerai dan meminta Reva segera pulang.

"Mbak Reva pulang saja, ya. bulan depan datang lagi, ada program yang harua dijalani," ucap Andana, dan ternyata itu berhasil membuat Reva mengalah.

"Ayo, Bu Ayu, kita masuk dulu, biar saya periksa," ucap Andana dengan selembut mungkin.

Ayu menurut dan memasuki ruang pemeriksaan.

"Hemm..., kondisi janin sangat bagus. Dan posisinya juga sudah menghadap jalan lahir. Jika tak ada rintangan, Insya Allah dua minggu akan dilahirkan," ucap Andana menjelaskan.

Ayu merasa tenang, setidaknya tidak terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan tentang kondisi kandungannya.

"Ini obat tambah darah dan juga vitaminnya diminum, Ya, Bu," Andana memberikan beberapa tablet obat untuk diminum Ayu.

"Makasih, Bu bidan," jawabnya, kemudian meraih obat tersebut. "Berapa biayanya?" tanya Ayu kepada sang bidan.

"Dua puluh ribu saja, Bu," jawab Andana.

Ayu tak membawa uang, sebab ia tadi melemparkan uang pemberian dari suaminya tadi. "Tapi saya lupa bawa uang," jawab Ayu.

Andana nyengir kuda. Ia sudah menduganya sejak awal.

"Ya, sudah, bayar saja nanti kalau sudah ada uangnya.

Terpopuler