Gadis Di Rumah Itu
Baru sekali ini Dara melihat beribu-ribu belut. Dia bahkan tak suka pecel lele. Belut-belut itu menggeliat-geliat, tumpang tindih. Ada sekitar sepuluh bak berukuran dua kali dua meter. Semuanya terisi penuh. Air di dalam bak berbuih karena lendir, bau amis menyeruak.
Dara berpikir, untunglah dia yang bekerja di sini. Adik laki-lakinya yang sangat resik itu, jangankan mendekat ke bak, pasti langsung balik badan begitu mencapai pintu. Sewaktu berusia empat tahun, bau laut saja membuat adiknya muntah-muntah seolah ingin mengeluarkan seluruh ususnya.
Adalah Oom Bernard, kenalan Mama, sedang mencari tenaga kerja laki-laki. Oom Bernard adalah seorang pengekspor belut ke Taiwan dan Cina. Sebenarnya ini bukan pekerjaan perempuan, karena itu ia mencari seorang karyawan laki-laki. Tetapi Mama mengatakan pada Oom Bernard, bahwa yang masih menganggur dan sedang mencari kerja itu anak perempuannya.
Berpuluh surat dan email lamaran kerja telah Dara kirim ke banyak perusahaan tanpa ada balasan. Di tahun 1999, setahun setelah krisis ekonomi yang menumbangkan presiden Indonesia yang telah berkuasa lebih dari 30 tahun, ternyata masih sangat sulit mendapat pekerjaan bagi seorang Dara yang berusia dua puluh dua dengan ijazah SMA, tanpa pengalaman kerja.
Maklumlah, saat krisis ekonomi itu, nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika melejit, dari sekitar lima ribu lima ratus rupiah, menjadi hampir tujuh belas ribu rupiah pada puncak krisis ketika presiden digulingkan.
Banyak perusahaan bangkrut, melakukan pemutusan hubungan kerja besar-besaran, bahkan tidak mampu membayar pesangon. Akibatnya, pengangguran di mana-mana. Dara sudah tujuh bulan berusaha mendapatkan pekerjaan dengan hasil nihil.
Dara pernah kuliah sampai semester empat, tetapi terpaksa berhenti karena orang tuanya terkena imbas krisis ekonomi itu, Papa termasuk salah satu karyawan yang dirumahkan, dan akhirnya melanjutkan usaha Nenek membuat kue, sementara Mama menerima jahitan.
Namun, usaha itu tidak terlalu menghasilkan. Orang-orang mengerem membeli kue, lebih mendahulukan membeli nasi dan lauk yang lebih membuat kenyang. Untunglah usaha jahit Mama cukup laris. Banyak pengusaha lokal yang memiliki tabungan dolar menjadi kaya mendadak karena nilai tukar yang bombastis itu. Dan istri mereka suka dengan jahitan Mama yang rapi.
Dara terpaksa mengalah karena saat ini orang tuanya hanya bisa membiayai sekolah satu anak saja. Itu berarti adiknya yang bungsu, karena adik tengahnya sudah lulus SMA. Setidaknya demi asas keadilan, pendidikan mereka bertiga sama rata, lulusan SMA. Dara tidak bisa menjahit, sementara usaha kue tidak terlalu menghasilkan, karena itu terpaksa melamar kerja ke mana-mana, tanpa hasil.
Meskipun sedang mencari karyawan laki-laki, Mama tetap meminta Oom Bernard bertemu dengan Dara dulu. Dan Oom Bernard jatuh hati padanya, seperti kebanyakan teman-teman Mama yang lain. Yang punya anak bujang selalu berharap Dara menjadi menantunya. Biasanya Dara hanya tersenyum. Dia belum ingin menikah. Jatuh cinta pun dia belum pernah.
Dengan parasnya yang cantik dan rambut ikal tebal yang tergerai sepanjang pinggang, tentu saja yang naksir banyak, tetapi semua dia tolak. Ada yang dengan cara halus, sebagian lagi dia jauhi dengan judes. Dara tahu apa yang dia inginkan. Yang jelas, Dara tak ingin menikah lalu tinggal di kota kecil ini seumur hidup sebagai istri seseorang.
Oom Bernard langsung mengatakan ingin mengangkatnya sebagai anak. Ia tidak punya anak bujang, sehingga tidak bisa mengangkat Dara sebagai menantu.
“Dara, anak baik, ikut Oom ke Bekasi ya, tinggal sama Oom dan istri Oom. Anggap Oom dan Tante sebagai orang tua angkat, Oom akan perlakukan Dara sebagai anak angkat, bukan karyawan, jadi jangan takut dan jangan sungkan sama Oom.” Oom Bernard tersenyum.
Dara melirik mamanya bingung, Mama mengangguk, begitu pula Papa yang ikut duduk mengobrol bersama di situ.
“Ikut saja, baik-baik sama Oom Bernard, bantu dan kerja yang rajin.” Begitu kata Papa. Sehingga sebagai anak yang patuh, Dara mengangguk.
Dara menerima pekerjaan ini demi Mama. Dia tak tahu apa yang harus dilakukannya nanti. Juga tidak negosiasi gaji, jadi tidak tahu akan menerima berapa per bulan.
“Urusan gaji gampang. Nanti Dara pegang pembukuan saja. Tidak perlu ikut campur mengurusi belut.” Kata Oom Bernard sambil tersenyum. Membuat matanya yang sipit itu hilang. Dara percaya saja padanya. Wajah Oom Bernard yang ramah itu membuatnya merindukan kakek yang telah lama meninggal.
'Tapi dia masih tampak sehat dan gagah, ketika muda ia pasti sangat tampan.' Dara membatin di dalam hati.
Setelah membereskan koper dan menata beberapa pakaian, esok harinya Dara ikut mobil Oom Bernard ke Bekasi. Sepanjang jalan Oom Bernard menjelaskan, bahwa belutnya diekspor ke Taiwan dan Cina, yang menerima di sana adalah anaknya. Jadi, eksportir dan importirnya sebenarnya tetap dia. Katanya, belut-belut itu kemudian dikirim ke pasar untuk dipasok ke restoran-restoran.
Mobil sedan hitam itu terus melaju, keluar tol dan terus menyusuri jalanan sampai ke daerah yang sepi, malah melewati kawasan yang sepertinya masih dipenuhi hutan dan pepohonan. Dara cukup bingung tapi tidak berani bertanya. Ternyata bukan kota Bekasi seperti dalam bayangannya, melainkan Bekasi coret yang jauh ke mana-mana.
Selintas tadi, Dara sempat melihat pelang bertulisan Kecamatan Cibitung. Yah, maklumlah, usaha Oom Bernard butuh tempat luas dengan bak-bak penampungan, sehingga tidak mungkin terletak di tengah kota. Dara menghibur diri.
Mobil pun akhirnya berhenti di sebuah gerbang besi tinggi bercat hitam. Letak rumah ini benar-benar terpencil, agak tersembunyi setelah jalanan tanah tanpa aspal yang dinaungi pepohonan. Hanya ada satu bangunan saja, tidak ada tetangga di sekitarnya. Dari jalanan besar, tidak akan ada yang tahu ada bangunan di sini.
“Kita sudah sampai,” Oom Bernard yang duduk di sebelahnya, menoleh pada Dara. “Ayo turun. Nanti Oom perkenalkan dengan istri Oom.”
Dara mengangguk, keluar mobil dan menyeret koper kecilnya setelah dikeluarkan dari bagasi, melangkahkan kaki masuk ke dalam gerbang yang terbuka.
Begitu keluar mobil, udara panas sangat menyengat. Di mobil tadi, suhu AC dipasang pada posisi paling rendah dengan angin maksimal.
“Oom terbiasa dengan iklim di Cina, sehingga AC harus dingin dan kencang. Jakarta terlalu panas. Oom tidak tahan.” Oom Bernard menjelaskan ketika Dara memeluk tubuhnya yang menggigil.
“Dara kedinginan? Pakai jaket saja ya.” Katanya lagi, sehingga Dara terpaksa meminta izin Oom Bernard menghentikan mobil, untuk mengambil jaketnya di koper yang diletakkan di bagasi.
Dan sekarang, keluar dari mobil, Dara langsung berkeringat diterpa udara kering tengah hari, ditambah jaket yang dia kenakan. Sebelum masuk, Dara menghentikan langkah dan menoleh ke belakang gerbang.
'Ini menjorok sangat jauh dari jalanan utama, tidak ada akses kendaraan umum, mengapa aku merasa akan terpenjara di sini?'' Dara bergumam di dalam hati.
Oom Bernard meninggalkannya dan masuk ke dalam rumah sambil memanggil-manggil nama seseorang. Setelah melepaskan jaket dan menyeka peluh di kening, Dara melangkah perlahan, mengedarkan pandangan ke sekitar.
Di balik pintu gerbang itu, adalah ruang terbuka tanpa atap, dengan lantai semen. Ada timbangan besar manual di pojok, mungkin dengan kapasitas seratus sampai seratus lima puluh kilo. Terdapat ember-ember dan keranjang-keranjang plastik besar yang ditumpuk di satu sisi, dan bersusun-susun box styrofoam berjajar di sisi yang lain.
Dara terus melangkah semakin masuk, langkahnya berhenti di depan bak-bak penampungan besar, dengan bau amis menguar. Bak-bak itu tidak tinggi, kedalamannya hanya sekitar delapan puluh sentimeter. Tempat ini beratap, sehingga setelah dihajar matahari yang garang di luar tadi, di sini terasa agak teduh.
Dara melongok ke dalam bak-bak itu, dan matanya membelalak. Di dalamnya, makhluk-makhluk kehitaman berlendir itu menggeliat-geliat, sehingga membuat air yang menggenang di situ berbuih. Jumlahnya mungkin ribuan, tampak seperti ular di kepala karakter di sebuah film horor. Ternyata seperti ini belut sebelum berakhir di piring menjadi santapan.
Dara tidak takut, malah bersyukur dialah yang akhirnya ikut bekerja dengan Oom Bernard, bukan adik tengahnya yang gila kebersihan itu. Bagaimanapun, meskipun statusnya tidak jelas, dia harus bersyukur akhirnya mendapat pekerjaan.
Istri Oom Bernard bertubuh sintal dengan kulit bersih dan putih mulus. Matanya bulat besar, bersanggul di atas kepala. Ia tidak terlalu tinggi. Usianya mungkin baru lima puluh, jelas terpaut jauh dengan Oom Bernard.
Kalau tidak salah, Mama mengatakan usia Oom Bernard sekitar tujuh puluh, meskipun masih terlihat gagah dan sehat. Tubuhnya tinggi dan belum bungkuk, dengan alis tebal dan mata masih awas, belum mengenakan kaca mata ketika membaca. Ketika muda ia pasti sangat tampan.
‘Tidak seperti Papa yang terlihat lebih tua dari usianya,’ Dara membatin dalam hati. Uang memang bisa membuat penampilan seseorang terlihat lebih baik. Atau itu karena ia lebih banyak bermukim di Cina yang udaranya segar dan makannya sehat? Atau mungkin keduanya.
“Mir, ini Dara, dia akan tinggal di sini, aku menugaskan dia untuk membereskan pembukuan kita,” Oom Bernard memperkenalkan mereka.
Di belakang Tante Mir, seorang gadis berambut sebahu mengikuti.
“Itu Siti.” Oom Bernard menunjuk gadis di belakang Tante Mir, lalu berkata kepadanya, “Siti, mulai besok kamu serah terima pekerjaan. Pembukuan akan dipegang Dara, kamu urus operasional saja.”
Dara benar-benar terkejut karena datang-datang ia sudah merebut pekerjaan orang. Wajah Siti jelas menunjukkan rasa tidak suka. Bibirnya tertarik sinis. Kedua matanya menatap Dara dari kepala ke kaki.
Dara ingin balas menatapnya dari kaki ke kepala lalu ke kaki lagi. Tapi ia takut mengecewakan Mama, ia harus bersikap sopan, atau ia akan kehilangan pekerjaan ini. Jadi ia menekan ego, mengulurkan tangan, tersenyum menjabat tangan Tante Mir dan Siti.
Tante Mir menatapnya dengan pandangan yang sulit dibaca. Dara tak bisa menerjemahkan makna apa yang ada di sorot matanya.
“Siti, antarkan Dara ke kamar yang kemarin sudah gua bilang.” Tante Mir menoleh pada Siti, lalu berkata pada Dara. “Kamu taruh dulu kopernya, Siti akan antar kamu.”
“Oom akan masak dulu, nanti makan bareng ya.” Oom Bernard tersenyum, lalu berjalan pergi diikuti Tante Mir. Mungkin menuju dapur.
Rumah ini sangat besar, sepertinya dipisahkan menjadi tiga bagian. Begitu masuk adalah area terbuka yang pasti berfungsi sebagai tempat kerja, menerima dan mengolah belut dari pemasok. Agak masuk adalah bangunan beratap yang ternyata bak-bak penampungan.
Ada taman kecil yang tampak tak terurus, dengan rumput-rumput yang mulai meninggi. Dara sudah membayangkan nyamuk-nyamuk beterbangan di malam hari.
Siti berjalan mendahuluinya, melewati taman itu, dan berhenti di salah satu dari tiga kamar yang berderet. Kamar itu terletak paling depan, dengan pintu masuk dari taman, dan jendela kecil yang menghadap ke area terbuka itu.
Furnitur di dalamnya sederhana, hanya ada tempat tidur tunggal, lemari plastik dan meja rias dengan cermin kecil, tanpa AC, hanya exhaust fan yang menempel di dinding, sehingga pasti panas jika berdiam di dalamnya pada siang hari. Sekarang pun Dara sudah merasa pengap begitu pintu dibuka.
“Sebelumnya ini kamar siapa?” tanya Dara pada Siti.
“Gak ada, emang kosong, buat kalau ada tamu yang menginap. Agak panas sih, kalau di kamarku ada AC.” Ujar Siti, tampak puas.
“Gak apa-apa, kamarku di Ciamis juga gak ada AC, kok.” Dara tersenyum, meskipun hatinya merasa dongkol.
Dara tidak melihat rumah mereka.
‘Mungkin terletak di paling dalam.’ Dara berpikir dalam hati.
“Aku mau nunjukin kantor tempat kita kerja.” Siti yang menunggu di pintu sambil melipat tangan di depan dada berkata.
Mendengar itu, Dara hanya meletakkan kopernya begitu saja, tidak jadi membongkar untuk membereskannya, lalu berjalan mengikuti Siti.
Kantor itu terletak di seberang taman, berhadapan dengan kamar mereka. Di dalamnya ada dua meja tulis kayu, dengan lemari dokumen di belakangnya, dan lukisan kaligrafi Cina tertempel di dinding.
Di salah satu meja, terdapat tumpukan buku-buku besar, alat tulis dan kalkulator, serta salinan nota tanda terima. Bahkan tidak ada komputer, semua masih dikerjakan manual.
“Tuan sama Nyonya tinggal di rumah belakang,” Siti menjelaskan. “Kita sih jarang ke sana, kecuali dipanggil.”
Dara mengangguk mengerti.
“Lalu… apakah aku bisa melihat pembukuan seperti apa yang selama ini kamu kerjakan? Yang… yang akan aku pegang nanti?”
“Sabaaarr… napsu amat.” Siti merotasi matanya. Dara terkejut.
“Bukan begitu, aku hanya ingin melihat, karena ini pekerjaan yang benar-benar baru untukku.”
“Kamu bukannya calon sarjana? Pernah kuliah kan? Masa cuma pembukuan aja gak ngerti.” Suara Siti sangat sinis.
Dara terdiam, malas debat kusir dengan orang yang jelas-jelas dengki karena merasa pekerjaannya direbut.
Tak lama kemudian, telepon di meja yang kosong berdering.
“Halo,” Siti menjawab. “Iya.” Lalu ia meletakkan kembali telepon itu.
“Kita dipanggil makan, ke rumah Tuan di belakang.” Katanya, sambil melenggang ke luar kantor.
Dara mengikutinya, membenarkan dugaannya tadi, rumah Oom Bernard terletak di belakang, paling jauh dan tersembunyi.
Rumah itu cukup mewah untuk kondisi ekonomi saat ini. Sangat bergaya Cina. Menampakkan jelas bahwa pemiliknya benar-benar orang Cina. Kata Mama, Oom Bernard memang orang Cina asli, yang datang ke Indonesia ketika remaja. Sudah memiliki istri di Cina, juga di Taiwan, tapi memiliki istri lagi di Indonesia. Jadi istrinya ada tiga.
Bahkan meja makan di sana, adalah meja bulat dengan bagian yang bisa diputar di tengahnya, seperti yang terdapat di drama-drama Mandarin atau restoran Cina. Dan seperangkat piring mangkok serta cangkir di atasnya, yang sekarang telah tersaji dengan hidangan yang dimasak Oom Bernard dan teh panas, juga adalah porselen Cina.
“Ayo duduk, Dara. Makan dulu ya.“ Oom Bernard tersenyum dengan ramah, menunjuk salah satu kursi di sebelah kirinya, sementara Tante Mir telah duduk di sebelah kanannya.
Dara menurut dan duduk di sana, sementara Siti menempati kursi di sebelah kanan Tante Mir.
“Kalian harus bekerja sama.” Oom Bernard memulai pembicaraan. “Pak Haji Mamat sudah telepon, satu minggu lagi akan kirim belut. Katanya bisa satu ton. Jadi satu minggu ini Dara belajar dulu dari Siti ya. Sekarang, ayo makan.”
Dara mengangguk, dan matanya menangkap Siti yang saling melirik dengan Tante Mir.
Dara tidak mengerti mengapa kedua wanita itu tidak menyukainya. Dara memiliki firasat, hari-harinya di sini tidak akan mudah.