SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Simon Says

Simon Says

- [Prolog] Biarawati

Tahun 1990...

"Bakar!"

Teriakan para warga yang mengamuk dan membakar sebuah biara yang berdiri kokoh di kampung mereka. Sebuah berita mengejutkan datang dari salah satu warga yang mengatakan jika penyebab dari meninggalnya para warga di setiap hari jum'at adalah karena menjadi tumbal seseorang yang membuat perjanjian dengan iblis.

Seorang biarawati muda dan cantik bernama Anna terlihat terduduk lemah di atas tanah, menyaksikan tempat pengabdiannya terlahap oleh api yang setiap detiknya semakin membesar.

Tubuhnya bak tengkorak hidup, wajahnya pucat dan kedua tangannya bergetar hebat. Dia sudah mencari banyak cara untuk menyembuhkan penyakit ganas yang hinggap di dalam tubuhnya akibat sebuah perjanjian yang ia lakukan dengan iblis. Karena dia melanggar janjinya itu, membuat dirinya terkena penyakit ganas.

"Bakar tubuhnya!" seorang warga mendekati Anna dan langsung menyeret tubuhnya, warga itu kemudian melemparkan tubuh Anna ke tumpukan kayu, tubuhnya di siram oleh minyak tanah, lalu tak lama kemudian salah satu warga melemparkan obor kepadanya sehingga menciptakan api yang perlahan menggerogoti tubuh Anna.

Anna berteriak kesakitan, ia meminta tolong kepada para warga yang hanya diam melihatnya yang perlahan-lahan terbakar oleh api, seolah-olah para warga sudah di butakan oleh kemarahannya karena kelakuan yang di perbuat oleh Anna sendiri.

Michael, anak tunggal dari sepasang kekasih. Dia terlalu introvert dan menyendiri, oleh karena itu orang-orang di sekitarnya merasa susah untuk mendekatinya karena sifatnya yang selalu menyendiri. Semenjak dia menginjak kelas 10 menengah atas, Michael tidak memiliki teman selain Denzzel dan Hanni yang selalu menemaninya. Sedangkan Denzzel, anak bungsu dari sepasang kekasih yang memiliki kekuasaan di kota tersebut. Orang tuanya dengan orang tua Michael sudah saling mengenal sejak lama, bisa di bilang jika Denzzel dan Michael adalah sahabat masa kecil.

"Michael, jangan lupa belajar ya, sebentar lagi kamu bakal ujian dan lulus sekolah jadi harus banyak belajar." sang ibu memberi pesan kepada Michael yang sedang duduk di kursi penumpang, wanita itu melihat anak semata wayangnya di kaca spion mobil.

Michael hanya mengangguk, ia mengambil beberapa buku novel lalu mencium tangan sang ibu sebelum akhirnya turun dari mobil. Dengan santai, Michael berjalan memasuki halaman sekolahnya.

Seseorang sengaja menabrak pundak Michael, membuat novel yang di pegangnya terjatuh ke atas tanah. Michael menatap laki-laki yang menabraknya itu dengan kesal, Rean yang menabraknya hanya bersikap acuh tak acuh, tidak berniat membantu atau bahkan meminta maaf kepadanya.

Seseorang berjalan mendekati Michael dan membantunya untuk mengambil novel yang tergeletak di atas tanah, Michael mendongak dan langsung melebarkan kelopak matanya saat melihat Chaiden di sampingnya, Michael begitu mengagumi Chaiden semenjak dia kelas 11. Selain tampan, Chaiden juga terkenal karena kepintarannya, bahkan dia selalu mengikuti olimpiade dan lomba-lomba untuk mewakili kota dan sekolahnya.

Sangat berbeda dengan Rean, laki-laki itu terkenal karena selalu menjadi anak 'pembuat onar' di sekolahnya, bahkan dia selalu membolos hanya untuk mengikuti tawuran antar sekolah, bajunya selalu berantakan. Kelakuan nakalnya yang selalu di kenang oleh para guru adalah saat Rean menggantikan bungkusan gula menjadi garam di kantin sekolah, sehingga dia di panggil oleh guru bimbingan konseling. Bukannya sadar, Rean malah terlihat bangga karena bisa terkenal lewat jalur kelakuan nakalnya itu, dia selalu di ceritakan oleh guru-guru kepada adik kelas dan juga kakak kelasnya dulu.

"Makasih," ucap Michael.

Chaiden hanya berdehem lalu berjalan pergi menuju aula sekolah, untuk beberapa saat Michael masih terpesona, hingga saat seseorang menepuk pundaknya membuat kesadaran Michael datang kembali. Ia melirik kearah Denzzel yang kini berdiri di sampingnya sambil menyeringai nakal, dengan santai laki-laki itu melingkarkan tangannya di pundak Michael.

"Kenapa wajah lu merah kayak gitu, Shortie?"

Michael menepis tangan Denzzel dan langsung pergi menuju aula sekolah, mengabaikan pertanyaan Denzzel, sedangkan laki-laki itu hanya tersenyum tipis lalu ia pun menyusul Michael yang sudah menjauh.

Begitu mereka berdua sampai di kelas, suara ribut Reygan, Eric, Yahezkael dan juga Rean merusak indra pendengaran Michael. Gadis itu menatap tajam Rean yang sedang menatapnya dengan tatapan meledek, entah apa masalahnya dengan Michael, tetapi akhir-akhir ini Rean selalu mengganggunya.

Denzzel mengamati Michael yang berjalan dan duduk di bangkunya, laki-laki itu pun kemudian duduk di bangkunya sendiri, di samping Chaiden.

Suara gebrakan meja yang berasal dari Axel, sang ketua kelas seketika menarik perhatian teman-temannya.

"Kata pak Ridwan kumpul di lapangan basket, cepet ganti baju. Karena pak Ridwal bakalan telat masuk, pemanasan di pimpin sama seksi olahraga, Shaerin sama Vino, lima menit udah harus ada disana." suara Kanin, sang wakil ketua kelas seketika membuat teman-temannya bersiap untuk berganti pakaian.

Joshua, sebelum keluar kelas mengacak-acak rambut Shaerin terlebih dahulu, gadis itu hanya mengerucutkan bibirnya sambil melihat sang kekasih yang keluar kelas untuk pergi ke toilet siswa.

- Basket

Dengan perpaduan kaos hitam dan kemeja seragam sekolah yang tidak di kancing kan, Rean menghampiri salah satu teman sekelasnya yang bernama Vino sambil membawa sebuah tongkat bisbol di tangannya, dengan ekspresi wajah yang angkuh, Rean langsung melayangkan sebuah pukulan tepat di lengan Vino.

"Bajingan, lu yang mata-matain gue sama anak sekolah lain, kan?"

Kedua matanya menggelap saat melihat Vino yang meringis kesakitan, tongkat bisbol tersampir di bahu kanannya.

"Cepet jujur, anjing!"

Saat Rean hendak memukul Vino lagi menggunakan tongkat bisbolnya, Kanin dan Alin datang, mereka berdua segera menghentikan Rean. Sedangkan, Michael yang baru saja kembali dari kamar mandi langsung terkejut melihat keributan tersebut, dia hanya diam berdiri di ambang pintu.

Kanin di dorong oleh Rean sehingga gadis itu jatuh terduduk di atas lantai, melihat Rean yang akan melayangkan tongkat itu lagi, dengan cepat Michael berlari dan berdiri di tengah-tengah Rean dan juga Vino.

"Ngapain lu? awas!"

Michael hanya terdiam, tatapannya tajam bak silet saat menatap Rean. Gadis itu pun berbalik memunggunginya dan mengulurkan tangan untuk membantu Vino berdiri, dengan senang hati laki-laki itu menerima bantuannya dan bangkit.

Rean terdiam, merasa geli melihat tindakan Michael yang menurutnya sangat menyebalkan itu.

Saat seluruh murid kelas ips 4 berkumpul di lapangan dan bermain bola basket, Kanin terus melihat jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir 20 menit, tetapi guru olahraganya tidak kunjung datang.

"Shortie, awas!"

Michael yang sedang duduk di pojok lapangan langsung tersadar dari lamunannya saat melihat sahabatnya menangkap bola basket yang hendak mengenainya. Denzzel menghela nafas dan melemparkan bola basket tersebut kepada Joshua, dia pun menghampiri Michael dan duduk di sebelahnya.

"Lu kenapa? dari tadi ngelamun terus."

Michael terdiam sejenak lalu menatapnya, ia pun tersenyum tipis sambil menggeleng pelan. "Gak kenapa-napa, gue lagi gak ada energi aja buat gabung sama yang lain."

Ada keheningan di antara mereka selama beberapa detik, sebelum akhirnya Denzzel kembali bersuara. "Orang tua lu ribut lagi ya, Shortie?"

Tidak ada pergerakan apapun, Michael hanya terdiam dengan pikirannya yang kemana-mana, apa yang di katakan oleh Denzzel memang benar, dia sedang memikirkan orang tuanya yang akhir-akhir ini selalu bertengkar.

"Gue tau, pas gue mau ajak lu jalan waktu kemarin sore, ternyata lu gak ada di rumah. Gue nge denger orang tua lu berantem," Denzzel terdiam sejenak untuk mengamati reaksi sahabatnya.

"Lu tau kan, ada gue yang selalu ada di samping lu. Kalau lu ngerasa gak nyaman di rumah sendiri, lu bisa pergi ke rumah gue, nyokap sama bokap gue pasti dengan senang hati nampung lu."

Michael yang mendengarnya langsung terkekeh, dia mengangguk kecil.

Semua murid yang sedang bermain bola basket seketika menghentikan aktivitasnya saat mendengar suara mikrofon yang berada di ruang siaran berbunyi, beberapa detik kemudian terdengar suara seorang perempuan yang tidak mereka kenali.

"Let's play a game called Simon Says..."

Michael dan Denzzel saling berpandangan, sedangkan yang lainnya terdiam dengan penuh kebingungan.

"Perintah yang di berikan oleh Simon harus diikuti oleh pemain lain, tetapi hanya setelah frasa Simon berkata diucapkan. Berikut adalah beberapa hal yang perlu di ketahui tentang permainan Simon says yang akan diikuti oleh seluruh murid kelas 12 ips 4..."

Rean yang mendengarnya melanjutkan permainannya, dengan mudah ia melemparkan bola basket dan masuk ke ring basket. Sedangkan, yang lainnya tetap terdiam dan menunggu ucapan wanita itu.

"Pertama, perintah yang akan di berikan oleh Simon harus di ikuti oleh pemain, dan pemain tidak boleh berkata tidak atau menolak melakukan apa yang di katakan oleh Simon."

Reygan tertawa meremehkan tetapi dia tetap mendengarkan ucapan wanita itu karena penasaran.

"Permainan bocah, kan?" tanya Yahezkael.

"Kedua, jika ada perintah yang tidak di dahului dengan Simon berkata dan pemain mengikuti perintah tersebut, maka pemain tersebut akan di eliminasi dari permainan."

"Lagi gabut anjir yang ada di ruang siaran," kata Eric.

"Tapi bukannya ini jam pelajaran ya? berani banget yang ada di ruang siaran." sahut Naira sambil melihat teman-temannya.

"Ketiga, jika ada yang tidak melakukan perintah Simon atau pemain ingin keluar dari permainan maka akan di eliminasi."

Michael dan Denzzel kini bangkit dan berjalan menghampiri teman-temannya yang lain, mereka semua berkumpul berkeliling di tengah-tengah lapangan.

"Dan permainan dimulai..."

Semuanya saling terdiam, Rean menghela nafas dan ikut bergabung dengan teman-temannya. Kedua tangannya ia masukan ke dalam saku celana olahraganya, tatapannya terlihat malas. Jelas, dia tidak ingin mengikuti permainan yang akan membuang-buang waktunya, tetapi melihat temannya ikut bermain, mau tak mau ia pun ikut serta dalam permainan tersebut.

"Joshua lemparkan bola basket kepada Shaerin."

Joshua melebarkan matanya, tidak mungkin dia harus menyakiti pacarnya sendiri, itu sangat gila.

"Bangsat, apaan anjing!" teriak Joshua sambil menyundulkan bola ke tanah.

"Tapi gimana kalau lu gak ngikutin perintah Simon? lu bakal di eliminasi." sahut Yaksa sambil mendekati Joshua.

"Bodo amat, gue gak mau ngikutin perintah si Simon. Males gue, gak perduli gue di eliminasi ataupun keluar dari permainan bocah!"

Hanni memeluk lengan Shaerin, sedangkan yang lainnya saling terdiam. Hingga beberapa menit kemudian, terdengar suara wanita itu lagi.

"Joshua di eliminasi..."

Semua mata tertuju kepada Joshua yang berdiri tegak, entah kenapa ada raut kekhawatiran dari wajah Axel.

Beberapa detik berlalu, tiba-tiba saja bola mata Joshua memutih dan darah keluar dari hidungnya, semua langsung mundur beberapa langkah sedangkan Shaerin segera menghampiri sang kekasih.

"Kamu gak apa-apa, kamu mimisan..."

Joshua tidak menjawab, dia bahkan tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Dia ingin menjawab perkataan Shaerin tetapi seolah-olah ada yang mengendalikan tubuhnya, kakinya melangkah menjauhi Shaerin, dia berjalan menuju tiang ring basket. Chaiden yang selama ini memperhatikannya merasa bingung dengan sikap Joshua yang berbeda.

Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Joshua tiba-tiba saja membenturkan kepalanya ke tiang ring basket beberapa kali. Semua yang ada disana terkejut, terutama teman-teman Joshua.

Saat Shaerin ingin menghampiri Joshua, dengan cepat Kanin dan Hanni menahannya. Sedangkan Reygan, Yaksa, Eric dan Denzzel langsung berlari menghampiri Joshua dan menghentikannya, tetapi Joshua tidak mendengarkan mereka dan terus membenturkan kepalanya ke tiang ring basket, membuat kepalanya berdarah.

"Stop, Joshua!" teriak Yaksa.

"Lu gila? lu nyakitin diri lu sendiri bangsat!" bentak Denzzel.

Hingga benturan terakhir yang lumayan kencang membuat Joshua terjatuh dan terbaring di atas tanah.

Semuanya saling terdiam, bingung apa yang telah terjadi. Nafas Denzzel memburu saat melihat tubuh Joshua yang tidak bergerak, Eric melihat tiang ring basket yang berlumuran darah lalu tatapannya kembali kearah Joshua.

Terpopuler