SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Masa Remaja Sekolah Aku Smk Istiqlal Delitua

Masa Remaja Sekolah Aku Smk Istiqlal Delitua

sebuah perjalanan lemban

Mekali lagi dua kereta terparkir di pintu depan rumah S di Petrovskoe. Dalam salah satu kendaraan tersebut duduklah Mimi, dua anak perempuan, dan pelayan perempuan mereka, dengan juru sita, Jakoff yang duduk di atas kotak, sementara di kereta satu lagi-sebuah kereta beratap terbuka-duduklah Woloda, aku, dan pelayan kami Vassili. Papa yang akan menyusul kami ke Moskow dalam beberapa hari lagi sedang berdiri tanpa topi di pijakan pintu masuk. Dia membuat tanda salib pada jendela-jendela kereta, dan berkata: "Kristus bersamamu! Selamat tinggal." Jakoff dan kusir kereta kami (yang mengurus kuda- kuda kami) mengangkat topi mereka untuk menjawab dan juga membuat tanda salib.

"Amin. Tuhan bersama kami." Kereta mulai bergulir pergi, dan pepohonan birch di jalan raya memenuhi pemandangan. Aku tidak sedang dalam suasana hati depresi pada saat inı, karena pikiranku tidak terlalu banyak tertuju pada hal yang telah kutinggalkan, sebaliknya, pada apa yang sedang menantiku. Dalam porsi yang sewajarnya, selagi berbagai objek yang terhubung dengan kenangan-kenangan sedih yang akhir-akhir ini memenuhi imajinasiku tertinggal di belakang, kenangan-kenangan itu telah kehilangan kekuatannya, dan menyerahkan tempatnya bagi perasaan terhibur mengenai kehidupan, semangat muda, kesegaran, dan harapan. Jarang terjadi aku menghabiskan empat hari lebih- uh, aku tidak akan mengatakannya dengan ceria karena aku masih harus menahan diri dari terlihat ceria-tapi lebih kepada sikap yang mudah diterima dan lebih me- nyenangkan daripada mereka yang bergabung dalam per- jalanan kami. Kedua mataku tidak lagi menatap pintu kamar Mamma yang tertutup (tempat yang tidak pernah mampu kulewati tanpa merasakan sakit di dadaku), tidak juga pada piano tertutup kain (yang tidak ada lagi seorang pun menyibaknya, dan yang padanya tidak pernah sanggup kutatap tanpa merasa gemetar), tidak juga mengenakan pakaian-pakatanı berkabung (kami semua mengenakan pakaian perjalanan kami yang biasa), tidak juga pada objek-objek lain yang dengan nyata mengingatkanku pada kehilangan kami yang tak tergantikan dan memaksaku untuk menarik diri dari kesenangan apa pun agar jangan sampai tanpa kusadari melukai kenangan mengenai-NYA. Sebaliknya, rangkaian tanpa putus-putusnya atas objek dan tempat yang baru dan menarik kini menarik dan mendapat perhatianku, dan pesona musim semi mem- bangkitkan ke dalam jiwaku sebuah perasaan lembut atas kepuasan terhadap masa sekarang dan atas harapan penuh kegembiraan mengenai masa depan. Keesokan subuh, Vassili yang tanpa ampun (yang baru saja bergabung untuk melayani kami, dan karena itu, seperti kebanyakan orang dalam posisi tersebut, begitu giat bekerja) datang dan menyibak selimutku, menyampaikan bahwa sudah waktunya bagiku bangun karena semua telah siap bagi kami untuk melanjutkan perjalanan. Meski- pun aku lebih ingin merenggangkan tubuhku dan mem- berontak meskipun aku akan lebih dengan senang hati menghabiskan seperempat jam lagi dalam kesenangan nikmat dari tidur pagiku yang manis-wajah Vassili yang tak kenal ampun menunjukkan bahwa dia bukannya akan memberiku waktu

lagı melainkan siap untuk menarikku

Keluar dari selimut dua puluh kali lebih jika diperlukan. Oleh karena itu aku menyerah pada hal yang tak terelakkan tersebut dan berlari ke halaman untuk membersihkan diri di mata air. Di ruang jamuan, sebuah ketel teh telah diletakkan di atas api yang sedang ditiupi menggunakan alat tiup olch Milka, sang tukang kuda yang berwajah semerah kepiting. Suasana di halaman kelabu dan berkabut seperti uap dari tumpukan kotoran hewan yang dibakar, tapi di langit timur matahari memancarkan sinar yang cerah dan ceria, dan membuat atap-atap jerami dari kandang-kandang di sekitar halaman berkilauan oleh embun malam. Di bawah bangunan-bangunan itu kuda-kuda kami diikat pada palungan dan aku dapat mendengar suara kunyahan mereka yang tak henti-hentinya. Anjing berbulu keriting yang telah menghabiskan malam di atas tumpukan kotoran hewan kering kini bangkit dengan malas dan menggoyang ekornya, berjalan perlahan melintasi halaman. Nyonya pemilik rumah yang sibuk membuka pintu derit, menggembalakan sapi-sapinya yang tenang ke arah jalan (tempat datangnya hewan-hewan ternak yang pendek dan lebih pendek lainnya) dan bertukar sapa dengan seorang tetangga yang mengantuk. Philip, dengan lengan baju tergulung, sedang menggunakan mesin kerek dari sumur timba

, dan mengalirkan air segar ke dalam palung

Ek, sementara pada kolam di bawahnya bebek-bebek yang telah bangun lebih pagi sedang mandi. Itu memberiku kepuasan untuk mengamati wajah berjanggut dengan raut tegasnya, dan urat nadi serta otot-otot yang menonjol karena usaha penuh kekuatan dari tangannya setiap kali dia berusaha lebih keras. Di ruangan belakang dinding partisi tempat Mimi dan para anak perempuan tidur (namun masih begitu dekat dengan kami hingga sepanjang malam kami dapat berbagi rahasia) dapat terdengar gerakan, pelayan perempuan mereka terus berlalu lalang dengan pakaian-pakaian, dan akhirnya pintu terbuka dan kami dikumpulkan untuk sarapan. Meskipun begitu Woloda masih tetap menyibukkan diri selagi dia berlari untuk mengambil suatu barang kemudian barang lainnya dan meminta para pelayan perempuan untuk mempercepat persiapan mereka. Kuda-kuda disiapkan dan menunjukkan ketidak- sabaran dengan mengguncangkan lonceng mereka. Bingkisan-bingkisan, bagasi-bagasi, koper-koper pakaian, dan kotak-kotak telah diletakkan kembali, dan kami beranjak ke tempat duduk kami. Namun setiap kali kami masuk, gunungan barang bawaan di kereta terbuka seperti- nya membesar, lebih daripada sebelumnya, dan kami begitu kesulitan untuk memahami bagaimana benda-benda ini disusun kemarin dan bagaimana kami harus duduk

Sekarang. Aku secara khusus merasa tidak nyaman dengan peti teh, namun Vassili mendeklarasikan bahwa "semuanya akan baik-baik saja segera, dan aku tidak punya pilihan lain selain memercayainya. Matahari baru saja terbit, tertutup oleh awan putih tebal, dan setiap benda di sekitar kami terlihat dalam nuansa yang cería dan tenang. Pemandangan secara keseluruhan terlihat sedap dipandang, dan aku merasa nyaman dan ringan. Di depan kami jalanan terlihat seakan-akan pita lebar yang berlekuk-lekuk membelah ladang jagung yang berkilauan karena embun. Di sana sini terdapat semak gelap atau pohon birch muda yang menyebabkan bayangan panjang pada jejak roda dan rumput yang tersebar di sepanjang jalur. Namun bahkan keriuhan monoton dari roda kereta kami dan lonceng leher tidak dapat menenggelamkan lagu ceria dari burung lark yang beterbangan. Kombinasi bau pakaian yang dimakan ngengat, debu, dan aroma asam khas kereta terbuka kami pun tidak dapat menghalangi aroma segar pagi. Aku merasakan dorongan untuk bangkit dalam hatiku dan melakukan hal yang merupakan pertanda kesenangan tulus. Karena aku tidak sempat mengucapkan doaku di halaman penginapan, namun hal ini telah dipastikan sejak

Hari pertama, ketika aku tidak melakukan upacara tersebut suatu ketidakberuntungan akan mengusikku, kini aku ber- gegas memperbaiki kelalaian tersebut. Melepaskan topi- ku, dan beranjak turun ke suatu sudut kereta terbuka, dengan khusuk aku merapal doaku, dan dengan tidak mencolok membuat tanda salib di dalam mantelku. Namun ribuan benda yang berbeda mengalihkan perhatianku dan berulang kali aku harus kembali mengucapkan doaku. Segera pada jalan setapak kecil di samping jalan raya terlihat beberapa sosok yang bergerak pelan. Mereka adalah para peziarah. Di kepala mereka tersemat saputangan kotor, di punggung sekumpulan kulit pohon birch, dan di kaki mereka sebundel kain kotor dan sepatu bersol berat. Menggerakkan tongkat jalan mereka dalam ritme tetap dan hampir tidak melirik ke arah kami sama sekali, mereka terus beranjak maju dengan langkah berat dan dalam barisan. "Dari mana mereka berasal?" Aku bertanya-tanya, "Dan ke mana mereka menuju? Apakah mereka sedang men- jalani sebuah ziarah panjang?" Namun, segera, bayangan yang mereka timbulkan pada jalan menjadi semakin tidak terlihat oleh karena bayangan dari semak-semak yang mereka lewati. Selanjutnya, sebuah kereta, dan terdapat empat orang di dalamnya, terlihat mendekati kami. Dalam sesaat saja

Wajah-wajah yang memandangi kami dengan senyuman keingintahuan dari dalam kereta tersebut menghilang. Betapa janggal rasanya bahwa wajah itu semestinya tidak memiliki kesamaan apa pun denganku, dan pastinya mereka tidak akan pernah bertatapan mata denganku lagi! Selanjutnya datanglah sepasang kuda pos dengan belang melingkar di leher mereka. Salah satu dari mereka adalah kusir pos muda-topi bulu dombanya miring ke samping-sedang menendang kaki bersepatu botnya de- ngan malas ke arah panggul dari tunggangannya selagi menyenandungkan lagu pendek yang melankolis. Namun wajah dan sikapnya bagiku terlihat mengekspresikan ketidakacuhan dan sikap santai yang kubayangkan sebagai puncak kebahagiaan sebagai seorang tukang pos dan untuk menyanyikan lagu melankolis. Jauh di sana, melewati persimpangan jalan, segera ter- lihat, membelakangi langit biru muda, atap hijau gereja desa. Tak lama kemudian desa itu pun terlihat, bersama dengan atap rumah bangsawan dan taman yang terhubung dengan rumah tersebut. Siapa yang tinggal di rumah itu? Anak-anak, orang tua, guru? Mengapa kami tidak mampir dan berkenalan dengan penghuninya? Selanjutnya kami melewati sebuah gerobak penuh barang-sebuah iring-iringan yang menyebabkan kendaraan kami harus mengalah dari jalan.

"Apa yang kau bawa di sana?" tanya Vassili kepada salah satu pemilik gerobak yang menggantungkan tungkai kakinya dengan malas di atas papan penutup kendaraan angkutnya dan mengibaskan cemetinya ke sekeliling selagi dia memandangi kami dengan pandangan kaku dan kosong; namun dia barulah menjawab ketika kami sudah terlalu jauh untuk menangkap apa yang dia katakan. "Dan apa yang KAU punya?" tanya Vassili pada pemilik gerobak kedua yang berbaring sepenuhnya di bawah sebuah karpet baru di atas tempat duduk pengemudi dari kendaraannya. Kepala dan wajah merah di bawah kain tersebut terangkat untuk sesaat dari dalam lipatan karpet, memperhatikan kereta terbuka kami dengan pandangan dingin yang merendahkan dan kemudian dia kembali berbaring; dari sana aku menyimpulkan bahwa pengemudi tersebut bertanya-tanya pada dirinya sendiri siapakah kami, dari mana kami berasal, dan ke mana kami akan pergi. Beragam objek menarik telah menyerap seluruh waktu- ku sehingga, sampai saat ini, aku belum memperhatikan angka jelek pada tonggak-tonggak verst¹ selagi kami me- lewatinya dalam pergerakan yang cepat, namun segera matahari mulai membakar kepala dan punggungku, jalanan menjadi semakin berdebu, tumpukan barang dalam kereta semakin membuat tidak nyaman, dan tubuhku Satuan Rusia untuk menghitung panjang, sekitar 0,66 mil (1,1 km).

Mulai merasa kram. Akibatnya, aku kembali memusatkan seluruh indraku pada tonggak-tonggak jarak dan angka- angka yang tertera padanya, dan mencoba menyelesaikan persoalan matematika yang sulit mengenai waktu kapan kami harus tiba di rumah persinggahan selanjutnya. "Dua belas verst adalah sepertiga dari tiga puluh enam, dan jarak seluruhnya menuju Lipetz adalah empat puluh satu. Kita sudah menyelesaikan sepertiga dan seberapa banyak lagi kalau begitu?" dan begitulah seterusnya. "Vassili," adalah perkataanku selanjutnya, mengamati bahwa dia mulai mengangguk-angguk di atas kotak tempat duduk, "Mau tukar tempat duduk?" Vassili setuju, dan segera merenggangkan tubuh di dalam kendaraan, kemudian dia pun mulai mendengkur. Di atas tenggeran baruku sebuah pemandangan yang paling menarik kini terlihat untukku-sebut saja, kuda-kuda kami, yang seluruhnya hingga detail terkecilnya pun tak asing bagiku. "Mengapa Diashak ada di kanan hari ini, Philip, mengapa tidak di kiri?" tanyaku sok tahu. "Dan Nerusinka tidak menarik dengan benar." "Aku tidak bisa memosisikan Diashak di kiri," jawab Phillip, sekaligus mengabaikan pernyataan terakhirku. "Lagi pula dia bukan kuda yang tepat untuk diletakkan di

Ketika tiba di sebuah turunan tajam, kami semua keluar dan berlari turun ke jembatan kecil, sementara Vassili dan Jakoff mengikuti, menopang kereta dari sisi lain, seakan menahannya agar tidak jatuh. Setelah itu, Mimi memberi izin untuk bertukar tempat duduk, dan sesekali Woloda atau aku akan duduk di dalam kereta, dan Lubotshka atau Katenka di dalam kereta ter- buka. Pengaturan ini sangat menyenangkan bagi para perempuan karena ada begitu banyak kesenangan yang terjadi di kereta terbuka. Tepat ketika hari sedang pada puncak terpanasnya, kami memasuki hutan dan me matahkan sejumlah ranting, mengubah kendaraan kami menjadi sebuah bungalo. Anjang-anjang perjalanan ini kemudian sibuk mengikuti kereta kami, dan memberikan kesan menggembirakan hingga Lubotshka mengeluarkan suara jeritan memekik menandakan kesenangan yang merupakan kebiasaan yang selalu dia lakukan. Akhirnya kami berhenti di dekat desa tempat kami

beristirahat dan makan malam. Kami telah dapat mem- bayangkan aroma tempat

tersebut-aroma asap dan aspal dan domba dan beragam suara, langkah kaki, dan pedati.

Lonceng pada kuda-kuda kami mulai berdenting lebih samar daripada ketika kami

Penutup jendela kecil yang dicat merah atau hijau, tempat di sana sini terdapat wajah seorang wanita yang terlihat penasaran. Anak-anak petani mengenakan baju kerja hanya berdiri dengan mata terbuka lebar atau menjulurkan lengan mereka pada kami, berlari bertelanjang kaki melintasi jalanan berdebu untuk memanjat naik ke belakang barang bawaan meskipun Phillip memberikan sikap mengancam. Kemudian juga pelayan-pelayan berambut merah muncul di sekeliling kereta untuk mengundang kami, dengan perkataan dan tanda, agar memilih penginapan mereka sebagai tempat istirahat kami. Akhirnya, sebuah gerbang berderik terbuka, dan kami memasuki halaman. Empat jam waktu istirahat dan kebebasan kini menanti kami.

berada di area terbuka, dan kedua sisi jalan berderet gubuk-gubuk-pemukiman dengan atap jerami, dan beranda-beranda berukir, dan

ll hujan badai

 Jatahari terbenam di ufuk barat dan sinar panjang M nan panasnya membakar leher dan pipiku hingga tak tertahankan lagi, sementara itu kepulan debu tebal naik ke atas permukaan dan memenuhi udara. Tidak ada sedikit pun angin berembus membawanya pergi. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Baik Woloda yang berwajah hitam oleh debu yang sedang tertidur di sebuah pojok, atau gerakan dari punggung Philip, maupun bayangan panjang kereta terbuka

 yang mengikuti di belakang kami selagi kendaraan tersebut bergulir, tidak dapat

 memberikan kelegaan bagiku. Aku memusatkan seluruh perhatianku pada

Segera awan telah menutupi wajah matahari dan biarpun demikian benda langit tersebut masih memancarkan sinar terakhirnya pada garis horizon yang gelap dan mengerikan, dia tidak memiliki pilihan lain selain menghilang di balik awan-awan tersebut. Mendadak segala yang ada di sekitar kami terlihat berubah, dan semacam memiliki unsur kemurungan. Pepohonan aspen yang kami lewati terlihat bergoyang de- ngan dedaunannya, menunjukkan warna putih di atas latar lila tua dari awan, berdesik bersama dalam sikap gelisah. Puncak dari pohon yang lebih besar mulai membengkok ke kanan dan kiri, dan dedaunan serta rumput-rumput kering berputar dalam pusaran di atas jalanan. Burung layang dan kapinis melayang di sekeliling kereta terbuka dan bahkan melewati kaki depan kuda-kuda. Sementara kendati sayap mereka terbuka, burung-burung gagak melayang di udara menggunakan pundi-pundi udara. Akhirnya kain pelapis terbuat dari kulit yang melindungi kami mulai berkibar dan terhempas ke samping kendaraan. Kilat menyambar tepat ke arah kereta terbuka seakan membelah kegelapan untuk sesaat. Cahaya tersebut me- nerangi lapisan awan kelabu dan sosok Woloda menempel di suatu pojok.

 tonggak-tonggak jarak di depan dan awan-awan yang hingga kini berserakan di langit, membentuk kegelapan yang mengancam dan mulai menggabungkan diri menjadi sebuah massa padat utuh. 18

Dari waktu ke waktu suara petir di kejauhan dapat terdengar-sebuah situasi yang sangat meningkatkan ketidaksabaranku untuk segera sampai di penginapan tempat kami akan menghabiskan malam. Hujan badai selalu mengekspresikan sebuah perasaan tertekan yang tak terlukiskan mengenai rasa takut dan kemurungan bagiku. Namun kami masih harus menempuh jarak sepuluh verst menuju desa selanjutnya, dan sementara itu kumpulan awan ungu besar-muncul entah dari mana-kini ber- arak menuju kami. Matahari, masih belum tertutup, me- nonjolkan bentuk gelap awan tersebut dengan cahaya menyilaukan dan menandai bagian depannya dengan garis abu-abu membentang hingga garis horizon. Berselang waktu, cahaya jelas dapat dilihat di kejauhan diikuti dengan gemuruh pelan yang semakin lama semakin keras hingga suara tersebut menyatu sahut-menyahut yang seakan-akan memeluk seluruh surga. Akhirnya Vassili bangkit dan memayungi kereta terbuka, sang kusir membungkus diri dalam mantel dan mengangkat topinya untuk membuat tanda salib pada setiap kilatan petir berturut-turut, dan kuda-kuda menegakkan telinga mereka, dan mendengus seakan menghirup udara segar dari awan yang melayang menjauh. Kereta terbuka mulai bergulir lincah di sepanjang jalanan berdebu, dan aku mulai merasa tidak tenang, dan

Selanjutnya terdengar sebuah suara mengerikan yang semakin lama semakin tinggi dan menyebar semakin luas, meningkat hingga suara tersebut mencapai klimaks dengan suara guntur yang memekakkan telinga yang membuat kami gemetar dan menahan napas. "Kemarahan Tuhan" - ungkapan sederhana yang populer. Kecepatan gerak kendaraan semakin meningkat dan dari punggung Phillip dan Vassili (Phillip menarik tali kekang dengan tegang) aku dapat melihat betapa cemasnya mereka. Bergulir menuruni turunan, kereta terbuka mem- bentur dengan kasar jembatan kayu di sisi bawah. Aku tidak berani bergerak dan terus-menerus memperkirakan kemungkinan terburuk. Kruk! Sebuah tali terlepas dan, meskipun tak henti- hentinya terdengar suara guntur memekakkan telinga, kami harus berhenti di jembatan. Menyandarkan kepala dengan murung pada sisi kereta terbuka, dengan jantung berdebar keras aku mengikuti gerakan jemari hitam besar Phillip selagi dia mengikat kembali tali yang terputus dan dengan tangan dan ujung cemeti, dia memasang kembali tali pengaman

pada tempat- nya.

Rasa takutku semakin menjadi karena ganasnya guntur. Tentu saja, pada puncak keheningan yang biasanya diikuti dengan intensitas tinggi badai, ketakutanku meningkat hingga aku merasa seperempat jam lagi emosi ini akan membunuhku. Pada saat itu kemudian muncullah dari bawah jembatan seorang manusia yang mengenakan pakaian rombeng dan kotor, didukung oleh sepasang tungkai kaki yang tipis tak berotot, menampilkan wajah idiot, kepala botak yang gemetar, dan sepasang tunggul merah bersinar dalam genggaman tangan yang dia sodorkan ke arah kereta terbuka. "T-tuanku! Satu kopek saja, demi Tuhan!" rintih suara samar selagi pada setiap suku kata sang orang malang tersebut membuat tanda salib dan membungkuk hingga menyentuh tanah. Aku tidak dapat mendeskripsikan perasaan merinding ketakutan yang merasuki hatiku pada saat itu. Bulu kuduk- ku meremang dan mataku mulai menatap kosong penuh teror kepada orang terasing tersebut. Vassili yang bertugas membagikan sedekah sepanjang perjalanan terlalu sibuk membantu Phillip, dan barulah ketika semua telah kembali benar dan Phillip telah kembali menarik tali kekang, dia memiliki waktu untuk meraih

Dompet. Dengan susah payah kereta terbuka mulai bergerak ketika sebuah kilat yang menyilaukan memenuhi langit dengan sambaran cahayanya yang membuat kuda-kuda berdiri dengan kaki belakangnya. Kemudian, kilat tersebut diikuti oleh raungan memekakkan hingga seakan-akan kubah langit jatuh ke atas kepala kami. Angin berembus lebih keras dari sebelumnya, mantel Vassili, surai-surai dan ekor-ekor kuda, pelapis kereta seluruhnya terhempas ke satu arah selagi mereka berkibar hebat karena embusan kuat. Akhirnya, turun ke atas tudung kereta terbuka beberapa titik besar air hujan-"satu, dua, tiga," kemudian mendadak dan seakan tabuhan genderang sedang ditabuh ke atas kepala kami, seluruh kota bergema oleh rinai hujan lebat. Dari gerakan Vassili aku bisa melihat bahwa dia kini telah membuka dompet dan orang malang terasing itu masih membungkuk dan membuat tanda salib selagi dia berlari di samping roda kendaraan, dengan risiko akan terlindas, dan berulang kali mengulangi permohonannya, "Demi-demi Tuhan!" akhirnya satu kopek bergulir ke tanah dan sosok menyedihkan-lengan termutilasinya dengan lengan baju basah terjulur ke depan-termangu di tengah jalan dan mulai menghilang dari pandanganku.

Hujan lebat mengarah ke depan karena angin yang ganas, menetes turun seakan-akan dituangkan dari ember dan menetes dari mantel tebal Vassili, membentuk beberapa kolam kecil di kain pelindung. Debu telah berubah menjadi pasta yang menempel pada roda, dan bekas roda berubah menjadi anak sungai kecil berlumpur. Akhirnya, kilat pun memudar dan semakin menyebar, dan suara guntur kehilangan kekuatan terornya di tengah rintik monoton dari hujan. Kemudian hujan juga mereda dan awan mulai memencar. Di sisi matahari, sebuah cahaya muncul, dan di antara awan putih kelabu mulai terlihat langit biru. Akhirnya sinar menyilaukan memancar ke atas kolam- kolam di jalanan, memancar di antara rinai hujan-yang kini menetes lebih tipis dan lurus, seakan berasal dari saringan dan jatuh ke atas dedaunan segar dan bilah rumput. Awan besar masih mengambang hitam dan me- ngancam di ujung horizon namun aku tidak lagi takut padanya aku hanya merasakan sebuah perasaan penuh harapan menyenangkan yang tak terlukiskan, seakan kepercayaan dalam kehidupan menggantikan beban ketakutan sebelumnya. Dan tentu saja hatiku seakan baru saja disegarkan dan dihidupkan kembali oleh Alam.

Vassili menanggalkan mantelnya dan mengibas air darinya. Woloda menggulung kain pelapis, dan aku berdiri dalam kereta untuk menghirup udara segar sarat aroma balsam. Di depan kami kereta bergulir dan terlihat sama basah dan megahnya dalam cahaya matahari seakan-akan kendaraan tersebut baru saja dipoles. Di satu sisi jalanan hamparan ladang gandum, bersinggungan dengan berbagai sungai kecil yang kini tampak berkilauan dengan bumi yang lembap dan pepohonan, terbentang hingga ke ujung horizon selayaknya karpet bermotif kotak-kotak sementara di sisi lain kami, pepohonan aspen berbaur dengan semak-semak hazel, dan dilapisi dengan timi liar dalam kesenangan yang berlimpah. Tidak lagi berdesir maupun bergoyang, tapi perlahan meneteskan secercah berlian yang berkilauan ke atas dedaunan mati dari ranting-rantingnya yang baru saja dimandikan. Dari atas kami, dari segala sisi, terdengar nyanyian riang burung-burung kecil yang memanggil satu sama lain di antara semak belukar yang meneteskan air, sementara jelas dari kedalaman hutan terdengar suara burung kukuk. Begitu nikmat aroma hutan yang menakjubkan, aroma yang mengikuti hujan badai di musim semi, aroma pohon-pohon birch, bunga violet, jamur, timi, hingga aku tidak dapat menahan diri untuk tetap berada dalam kereta terbuka. Melompat keluar, aku berlari ke arah beberapa semak, dan

Meskipun dihujani tetesan air hujan, aku memetik beberapa ranting kecil timi dan membenamkan wajahku dalam tanaman tersebut untuk menghirup aroma surgawinya. Kemudian, meskipun lumpur telah menempel di sepatu botku, dan juga stokingku basah, aku melompat melintasi genangan air menuju jendela kereta. "Lubotshka! Katenka!" Aku berseru selagi menjulurkan beberapa timi pada mereka. "Lihat betapa nikmatnya!" Para anak perempuan menghirupnya dan berseru, "A-ah!" namun Mimi menjerit padaku menyuruhku pergi karena takut aku akan terlindas roda. "Oh, tapi coba hirup betapa nikmatnya ini!" aku ber- sikeras.

Terpopuler