Misi Jaksa Tampan
Aku benar-benar malas untuk bergerak dan membuka mata, padahal hanya sekedar untuk melihat ponsel milik siapa yang terus bergetar tidak sabar di atas nakas. Suara getarannya yang berisik di tengah kesunyian malam berhasil mengusik tidur nyenyakku bersama istriku, Monica.
"Ponselmu, Lucius," ucap Monica serak sambil menepuk-nepuk halus punggungku, seakan memintaku segera mengangkat ponselku atau mematikan ponselku secepatnya dan kembali tidur.
Ponselku? Benarkah? Betapa bodohnya aku, lupa mematikannya sebelum tidur, batinku kesal.
Kujulurkan tanganku dari balik selimut, menggapai-gapai ponsel yang ada di atas nakas yang ada di sebelahku. Begitu ponselku berhasil kuraih, aku segera membuka mataku untuk membaca nama orang yang berani meneleponku dan mengganggu jam istirahatku.
Sial, ternyata Andrew, asistenku di kejaksaan, yang meneleponku tengah malam begini. Benar-benar tidak sopan. Bukankah aku sudah berpesan kepadanya, agar tidak menggangguku malam ini, karena aku benar-benar butuh istirahat. Aku sudah dua hari tidak tidur gara-gara lembur. Apa dia sudah lupa? Awas kau, Andrew! batinku kesal.
"Andrew menelepon, sayang. Sepertinya ini penting. Maafkan dia, sudah mengganggu tidurmu. Kembalilah tidur. Aku akan menerima panggilan ini di luar," ucapku lembut sambil mengecup kening Monica yang berkerut kesal.
Monica menarik tangan kananku yang menggenggam ponsel mendekat ke wajahnya. Mata bulatnya langsung mengawasi layar ponselku yang memperlihatkan foto Andrew dalam ukuran besar. Ia tersenyum sekilas padaku, karena tahu kalau aku tidak membohonginya.
"Jangan lama-lama teleponnya. Besok masih ada persidangan yang harus kamu hadiri," nasehat Monica sambil merapatkan selimutnya agar lebih hangat dan nyaman.
Aku mengangguk, segera turun dari tempat tidur, berjalan ke arah pintu kamar, membukanya perlahan tanpa suara agar Monica tidak terganggu dan secepatnya keluar dari kamar tidur.
Kugeser tombol hijau yang ada di ponselku begitu kakiku menginjak ke dalam ruang kerja yang ada di samping kamarku.
"Selamat malam, Pak Lucius. Maafkan saya menelepon malam-malam," ucap Andrew sopan.
"Awas kau, kalau bukan hal penting yang ingin kau sampaikan," balasku marah sambil menekan saklar lampu ruang kerjaku. Seketika ruang kerjaku menjadi terang dan aku melangkah menuju sofa empuk yang ada di tengah-tengah ruang kerjaku untuk duduk.
"Maafkan saya, Pak Lucius. Saya tidak bermaksud ingin menganggu bapak. Namun, baru saja Dokter Jenny dari bagian forensik menelepon, mengabarkan bahwa ada mayat seorang wanita muda baru saja ditemukan. Kondisi tubuhnya melepuh terbakar hampir 70%. Wajahnya tidak dapat dikenali lagi, sangat mengerikan. Beliau mendesak saya untuk segera mengabari bapak secepatnya tentang hal ini. Oh iya, beliau juga mengirimkan beberapa foto kepada saya dan berpesan agar saya mengatakan dengan jelas kepada bapak bahwa cincin berlian hijau sudah diketemukan," ucap Andrew cepat khawatir aku makin marah.
"Cincin berlian hijau? Apakah mayat wanita muda itu mengenakan cincin berlian hijau?" tanyaku kaget hingga terlonjak dari sofa empuk.
"Sepertinya begitu, Pak," jawab Andrew singkat.
"Cepat kirimkan foto cincin berlian hijau padaku!" perintahku spontan.
"Sudah saya kirimkan lewat whatsapp, Pak. Lengkap dengan foto-foto mayatnya," ucap Andrew sambil menahan tawa.
Aku segera menekan ikon warna hijau yang ada di layar ponselku, mencari nama Andrew dan mengklik foto-foto yang dikirimkan Andrew.
Dalam hitungan detik, foto-foto itu terdownload. Aku tersenyum kecil saat melihat foto-foto itu. Pantas saja Andrew menahan tawa saat berbincang tadi karena foto-foto yang dikirimkan sangat menggelikan. Dokter forensik wanita yang memiliki paras manis itu bertingkah sangat konyol, ia berselfie ria dengan aneka gaya di samping mayat yang menjijikan dan di samping sebuah jari manis yang melepuh memakai sebuah cincin berlian warna hijau.
Aku segera memperbesar foto cincin itu dan mengamatinya dengan cermat.
"Oh Tuhan, cincin ini benar-benar milik Edith, wanita yang kucari selama ini. Apakah mayat wanita muda itu adalah Edith? Semoga saja bukan. Pria itu akan hancur lebur jika mayat wanita itu benar-benar Edith," gumamku pelan dan sedih.
"Maaf, Pak. Saya tidak mendengar ucapan bapak," ucap Andrew sedikit bingung.
"Lupakan, aku hanya bergumam sendiri. Apakah Dokter Jenny punya pesan lain?" tanyaku.
"Hmm... Dokter Jenny juga meminta maaf karena tidak menghubungi bapak secara langsung, karena beliau tidak ingin terjadi kesalah pahaman antara bapak dan istri bapak. Mungkin beliau sudah mendengar rumor yang berhembus, istri bapak memiliki sikap cemburu yang berlebihan, dan beliau takut istri bapak akan marah besar seperti saat ada polwan yang menelepon bapak malam-malam, beberapa bulan lalu," ucap Andrew sambil menahan tawa.
"Kau sangat menyebalkan, Andrew. Temui aku di ruangan Dokter Jenny setengah jam lagi. Kita harus menyelidiki kasus ini secepatnya," ucapku tegas.
"Aduh, Pak. Ini kan sudah hampir pagi. Apakah tidak bisa ditunda besok siang saja setelah sidang selesai?" tanya Andrew memohon penuh harap agar tidak perlu pergi keluar subuh-subuh.
"Tidak, harus sekarang juga. Ini sangat penting!" jawabku tidak ingin menunda lebih lama lagi.
"Apakah tidak cukup melihat foto-foto kiriman Dokter Jenny? Apakah harus melihat mayat itu secara langsung, Pak?" tanya Andrew memelas.
"Kalau kau terlambat datang, aku akan memberikan penilaian yang jelek karena kamu tidak disiplin dan membantah atasan agar bagian pusat memotong gajimu," hardikku kesal.
"Baiklah, Pak. Saya akan segera meluncur ke sana," ucap Andrew sedih.
"Good boy," ucapku sambil menutup panggilan telepon.
Aku segera mencari nama Dokter Jenny di kontak ponselku dan meneleponnya.
"Selamat pagi, Lucius. Ternyata Andrew sudah menyampaikan pesanku dengan baik," ucap Dokter Jenny senang.
"Pagi, Dokter. Terima kasih banyak untuk semua foto-fotonya. Saya akan segera ke kantor anda, Dok. Tolong dokter jangan pulang dahulu. Tunggu saya datang ya, Dok. Sekarang saya akan mengirimkan beberapa data melalui email, tolong dianalisa, apakah mayat yang ditemukan itu memiliki persamaan dengan data yang saya kirimkan," ucapku cepat.
"Baiklah, kutunggu kedatanganmu," ucap Jenny menggoda.
"Terima kasih banyak, Dok. Maaf sudah merepotkan dokter," ucapku sopan.
"Takperlu sungkan, Lucius. Saya senang dapat membantumu," ucap Dokter Jenny.
Aku segera memutuskan panggilan telepon kemudian melangkah menuju meja kerjaku, membuka laptopku dan mengirimkan beberapa foto wajah, foto tanda lahir, foto dan keterangan posisi tahi lalat, rontgent tulang, foto panoramic gigi, sidik jari dan catatan kesehatan milik Edith lewat email kepada Dokter Jenny.
Setelah itu aku segera mengganti piyama tidurku dengan kemeja dan celana panjang yang tersimpan di lemari ruang kerjaku. Taklupa mengambil sebuah kotak warna perak dari dalam laci meja kerjaku, memasukkannya ke dalam kantong celana panjangku sebelum pergi ke Laboratorium Badan Forensik.
*
*
*
Ketika aku tiba di ruangan Dokter Jenny, kulihat Andrew sudah ada di dalam. Ia sudah mengenakan masker dan sarung tangan. Jemari tangannya yang tertutup sarung tangan membekap erat masker area mulutnya, seakan berusaha menahan diri agar tidak muntah saat berada di samping mayat yang berada di atas meja warna silver yang ada di ujung ruang autopsi jenazah.
"Andrew, apakah kau menemukan sesuatu yang penting?" tanyaku tiba-tiba menepuk punggung Andrew.
Andrew yang kaget langsung terhuyung-huyung tak seimbang maju ke depan, hampir menabrak mayat yang ada di depannya, jika aku tidak sigap menarik lengan tangannya.
"Hati-hati, Andrew. Kau takingin memeluknya kan?" tanya Dokter Jenny sambil tersenyum nakal.
Andrew langsung menggeleng cepat-cepat.
"Apakah data yang saya kirim sudah diterima?" tanyaku pada Dokter Jenny.
"Sudah, terima kasih banyak, Lucius. Datanya sangat lengkap. Saya akan segera memproses dan mengabarimu kalau hasilnya sudah keluar," ucap Dokter Jenny puas.
Aku segera merogoh kantung celanaku dan mengeluarkan kotak warna perak, lalu menyodorkannya pada Dokter Jenny.
"Apa itu?" tanya Andrew penasaran.
"Potongan kuku dan rambut milik seseorang yang diperlukan untuk tes DNA," jelas Dokter Jenny.
"Seseorang? Siapa?" tanya Andrew penasaran.
"Mau tahu aja kamu, Andrew. Lebih sedikit yang kamu tahu lebih baik," ucapku tegas.
"Kalau begitu, untuk apa saya kemari, jika saya tidak diperlukan?" tanya Andrew kesal.
"Untuk membantuku menyelidiki kasus ini," jawabku dengan tatapan kejam ingin menyiksa Andrew.
"Sudahlah, Lucius. Jangan terlalu galak pada Andrew. Kemari, lihatlah ini! Tatto sebuah simbol yang terbakar sebagian, aku baru saja menemukannya, jadi aku akan mengirimkan fotonya padamu setelah ini. Mungkin kau dapat memulai penyelidikan dari tempat tatto ini dibuat," ucap Dokter Jenny sambil menunjuk bagian pinggang mayat wanita muda itu.
Lucius segera mendekati meja autopsi, mencondongkan tubuhnya mengamati simbol tatto tersebut, begitu pula Andrew.
"Honey and Bee Tatto?" tanya Lucius pada Dokter Jenny.
"Tepat sekali," ucap Dokter Jenny senang mendengar tebakan Lucius yang 100% benar.
"Sudah lama kami berdua tidak pergi ke sana, senang bisa bertemu Jason, pemilik tempat itu sekali lagi," ucap Andrew senang.
"Jangan macam-macam lagi, kita ke sana bukan mau minta tatto gratis, tapi untuk menyelidiki kasus," bentakku agak keras.
Andrew tersenyum senang berhasil membuatku marah sekali lagi.
"Dokter, tolong ceritakan kronologis penemuan mayat wanita muda ini," pintaku sambil menatap serius Dokter Jenny.
"Seorang warga yang sedang bersepeda di taman kota sekitar pukul 18.00, menemukan mayat tersebut tergeletak di sela-sela tanaman yang ada di taman kota bagian timur. Awalnya ia tidak menyangka bahwa benda aneh itu adalah mayat, karena penerangan di area itu kurang, sampai ia mendekati dan menyinarinya dengan lampu ponsel. Ia langsung menelepon polisi dan polisi langsung mengamankan jenazah dan lokasi. Beberapa meter dari lokasi, ditemukan sebuah ponsel yang wallpapernya adalah foto mayat wanita muda tersebut. Sungguh aneh sekali," ucap Dokter Jenny.
"Apakah ponsel itu milik jenazah?" tanya Andrew.
"Sepertinya bukan, ponsel itu tidak memiliki data apapun, seperti ponsel baru yang hanya memuat satu foto di gallery dan foto tersebut dijadikan wallpaper," jawab Dokter Jenny.
"Ponsel mahal atau murahan, Dok?" tanya Andrew sambil tersenyum nakal.
"Kurang lebih harganya dua juta rupiah ke atas," jawab Dokter Jenny memprediksi harga ponsel tersebut.
"Wow, jaman ekonomi sulit seperti ini, uang dua juta dibuang begitu saja di taman kota. Luar biasa," celetuk Andrew sambil menggeleng - gelengkan kepalanya.
"Apa maksudnya meninggalkan ponsel baru dengan wallpaper mayat di taman kota?" tanya Dokter Jenny padaku.
"Maaf, Dok. Saya belum dapat menjawab pertanyaan dokter sekarang karena saya harus menggali dan menemukan bukti-bukti lebih untuk mendukung jawaban saya. Apakah dokter memiliki foto tersebut, apakah saya boleh melihatnya?" tanyaku.
"Ya, polisi sudah mengirimkan foto itu kepadaku. Ini fotonya," ucap Dokter Jenny sambil menyodorkan ponselnya kepadaku.
Aku segera mengambil ponsel Dokter Jenny dari tangannya. Andrew langsung mendekatiku untuk melihat foto tersebut bersama-sama. Foto yang memperlihatkan mayat wanita berambut panjang dengan mata terpejam, dahinya melepuh merah dan separuh wajahnya berwarna hitam gosong.
"Ih... Seram sekali," celetuk Andrew segera menjauh dariku.
"Apakah polisi mengatakan detail waktu foto itu diambil?" tanyaku ingin tahu.
"Hari ini, pukul 17.00," jawab Dokter Jenny.
"Bagaimana prediksi waktu kematian wanita muda ini menurut anda, Dok?" tanyaku ingin mengecek apakah prediksi waktu kematian wanita muda ini sama dengan detail waktu foto di ponsel.
"Kepala bagian belakang wanita muda ini terluka cukup parah karena pukulan benda tumpul. Saya perkirakan wanita muda ini sudah meninggal dunia sebelum dibakar oleh pelaku. Dan jika melihat luka di kepala yang masih mengucurkan darah segar dan luka bakar yang masih basah, sepertinya wanita muda itu dibunuh dan dibakar hari ini," ucap Dokter Jenny.
"Lalu bagaimana dengan sidik jari wanita muda ini, Dok? Apakah tidak dapat dikenali lagi?" tanyaku sambil mengamati jari jemari mayat.
Dokter Jenny menggelengkan kepalanya.
"Jarinya terbakar. Sidik jarinya rusak. Saya hanya mendapatkan sampel rambut, darah, kulit dan pakaian saja. Semua kuku jari tangan dan kakinya bahkan sudah dicabut," ucap Dokter Jenny.
"Sadis sekali pembunuhnya," ucap Andrew terkesiap kaget.
"Entah kesalahan apa yang sudah diperbuat korban sampai disiksa habis-habisan sebelum dibunuh," ucap Dokter Jenny lirih.
"Dok, dimana cincin berlian hijau milik korban?" tanya Andrew karena tidak melihat sebuah cincin melingkar di jari jemari mayat.
"Polisi membawanya setelah kami selesai mendokumentasikannya dalam bentuk foto," jawab Dokter Jenny.
"Ah, sayang sekali. Jauh-jauh kemari hanya untuk melihat mayat," gerutu sesal Andrew.
Aku mengangguk paham. Tentu saja, polisi segera mengamankan benda berharga itu karena nilainya yang sangat mahal, mungkin setara dengan dua buah rumah mewah di kompleks perumahan elite.
"Sepertinya hanya tatto itu saja petunjuk pertama kita untuk mencari tahu identitas korban. Baiklah, terima kasih banyak, Dok. Jika ada hal penting yang ingin disampaikan, tolong hubungi saya secepatnya," ucapku undur diri sambil menarik tangan Andrew untuk segera beranjak keluar dari ruangan Dokter Jenny.
"Ya, saya akan memberikan salinan hasil forensik secepatnya pada Andrew setelah saya selesai membuat laporan," ucap Dokter Jenny.
*
*
*
"Andrew, besok kita ke Honey and Bee Tatto Studio dan taman kota, aku ingin melihat lokasi tempat mayat wanita itu ditemukan," perintahku saat berjalan keluar dari Laboratorium Badan Forensik.
"Untuk apa, Pak? Bukankah di taman kota ada cctv dan kasus pembunuhan ini ditangani oleh polisi, kenapa bagian kejaksaan juga ikut menyelidikinya?" tanya Andrew tak ingin terlibat lebih dalam dari kasus pembunuhan mengerikan ini.
"Karena aku ingin menyelidikinya. Jangan khawatir, kalau kamu bersedia membantuku, aku akan memberikan bonus uang lembur tiga kali lipat dari yang biasanya kamu dapat," ucapku sambil mengedipkan mata pada Andrew.
"Wah... Wah... sangat menggiurkan sekali, tapi saya lebih menyukai kasur dan bantal empuk saya daripada uang lembur," ucap Andrew sambil menguap lebar dan mengangkat kedua belah tangannya.
"Dasar, asisten tidak sopan. Andrew, kudengar Jaksa Prisil membutuhkan seorang asisten baru karena asisten lamanya sebentar lagi akan cuti hamil. Apakah kamu ingin aku transfer ke ruangan Jaksa Prisil sementara waktu sampai asisten lamanya kembali?" tanyaku dengan nada mengancam.
"Jangan, jangan, Pak. Lebih baik saya membantu bapak daripada menjadi asisten Jaksa Prisil yang tiap hari lembur, bahkan di hari Minggu sekalipun," ucap Andrew memohon.
"Bagus, kalau begitu ikuti perintah saya. Toh, saya juga membayar tenaga dan pikiranmu, bukan memintamu melakukan sesuatu secara gratis," ucapku senang berhasil menundukkan Andrew.
"Iya, Pak. Bapak memang baik," puji Andrew.
"Andrew, bagaimana kasus ini menurutmu?" tanyaku ingin menguji cara berpikir Andrew.
"Sebenarnya, saya merasa ada yang aneh dalam kasus ini. Pertama, kenapa membuang mayat di tempat umum yang ramai? Bukankah seharusnya setelah membunuh itu, mayat korban harus disembunyikan? Apakah pelaku ingin mencari sensasi?" ucap Andrew.
"Good, analisamu bagus. Lalu yang kedua?" tanyaku pada Andrew.
"Jika pembunuhan terjadi pukul 17.00 dan mayat ditemukan ditemukan pukul 18.00, berarti pelaku hanya memiliki waktu kurang lebih satu jam untuk memindahkan mayat ke taman kota bagian timur yang sangat ramai itu, tanpa diketahui banyak orang. Bagaimana caranya ya? Memasukkan mayat ke dalam kantung plastik hitam dan membawanya di punggung? Sepertinya itu tidak mungkin dan terlalu mencurigakan, pasti tertangkap kamera cctv di taman kota dan banyak saksi mata yang melihatnya," ucap Andrew makin bingung.
"Kenapa kamu menyimpulkan bahwa pembunuhan terjadi pukul 17.00? Karena foto mayat itu diambil pukul 17.00 kan?" tanyaku pada Andrew.
Andrew menganggukkan kepalanya.
"Hati-hati, kamu sudah mulai terkecoh, Andrew. Dokter Jenny hanya mengatakan perkiraan waktu pembunuhan adalah hari ini, bukan pukul 17.00. Jadi mungkin saja korban dibunuh pagi hari, lalu dibuang ke taman kota saat suasana taman kota sedang sepi, mungkin di pagi hari atau siang hari," ucapku tegas.
"Jadi maksud bapak, pembunuhnya meletakkan mayat itu dahulu di taman kota lalu kembali lagi pukul 17.00 hanya untuk memfoto mayat itu dengan ponsel? Saya kok jadi bingung ya, Pak. Apa tujuannya kembali lagi untuk memfoto mayat pada pukul 17.00?" ucap Andrew dengan ekspresi kaget tidak percaya.
"Entahlah, apakah pelaku yang datang untuk memfoto atau ada orang lain yang memfoto untuk tujuan tertentu. Kasus ini menarik bukan? Oleh karena itu aku tertarik untuk menyelidikinya," ucapku penuh semangat ingin menyelidiki.
Huh, seperti jaksa kekurangan kasus saja. Tuh... di meja bapak, masih ada beberapa kasus persidangan yang harus bapak selidiki, gumam Andrew sebal.
"Sedang bicara apa kamu, Andrew?" tanyaku karena tak mendengar gumaman Andrew dengan jelas.
"Wow, keren sekali analisa bapak. Kalau begitu besok saya akan menemani bapak ke Honey and Bee Tatto dan taman kota. Ah... sudah lama saya tidak jalan-jalan ke taman kota, pasti sangat seru sekali," ucap Andrew tertawa senang.
"Kerja jangan main terus," gerutuku kesal.
"Iya, kalau bisa kerja sambil refreshing kan tidak salah, Pak. Baiklah, sampai ketemu besok. Semoga bapak tidak terlambat bangun dan datang ke persidangan tepat waktu," ucap Andrew sambil melambaikan tangan, berlari kecil menuju ke mobilnya yang diparkir tepat di sebelah mobilku.
Aku mengangguk dan segera masuk ke dalam mobilku.