SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Stranger | JeffBarcode

Stranger | JeffBarcode

BAGIAN 000 | DISCLAIMER

Halo, Semuanya.

Stranger adalah Penpiksi yang aku buat di Wattpad sebelumnya. Karena seringnya eror dari wattpad, aku memutuskan mencari platform lain untuk menulis Penpiksi JeffBarcode. Aku direkomensadikan Novel Toon oleh pembaca setiaku di sana.

Untuk NovelToon ini aku mulai dari BAGIAN 034. Untuk Bagian 000 - 033 Kalian bisa baca di Wattpad:

Judul: Stranger [JeffBarcode].

Nama pena/author: RINEEST

Untuk wattpad satu bagian aku biasa buat 10RB+ kata. Semoga kalian bisa enjoy untuk membacanya.

Love,

RINEEST♡

BAGIAN 034

Hai, semuanya.

Terima kasih sudah masuk ke dalam penpik Stranger. Bagian yang akan kalian baca saat ini adalah lanjutan dari bagian 000 - 033 yang aku publish di Wattpad.

Yang baru banget kenal Stranger boleh baca dulu bagian sebelumnya sambil menunggu update di MangaToon. Yang datang dari Wattpad, terima kasih banyak-banyak masih setia sama bayi kecil aku ini.

...••••...

"Kamu mau pergi kemana?"

Pertanyaan itu sukses menghentikan langkah kaki Jeff. Kucing hitam di gendongan mulai mengeong tidak nyaman. "Menyusul Barcode," jawabnya.

"Jeff, Phi minta maaf. Kita bicara dulu."

"Apa Phi pikir, aku akan melepaskan Barcode begitu saja setelah apa yang kalian lakukan hari ini??"

"Phi yakin kamu enggak akan pernah meninggalkan Nong Ngod, karena itu Phi berani mengambil keputusan ini."

"Tapi, Phi dan—" mendesis penuh amarah Jeff pada pria yang kini menjadi suami Kakaknya itu. "Kalian," tekan Jeff. "Kalian membuat senyumnya hilang dengan cepat! Apa kalian berpikir sekali saja bagaimana perasaan Barcode?? Kalian tahu seperti apa Barcode dengan masa lalunya! Dan, di saat dia sudah bahagia. Kalian kembali memberikan luka??!"

Menatap tajam Jeff pada Apo. Amarah di ujung lidahnya semakin berkobar, "Nong kesayangan, Phi bilang??"

"Jeff," Mile memohon.

"Kesayangan apa yang Phi maksud, hah?!" tantang Jeff. "Menekannya dengan keegoisan Phi sendiri, apakah itu rasa sayang yang Phi maksud?! Kemana Phi Po yang akan melakukan segalanya untuk Nong kesayangannya itu!? Yang bahkan akan mengkarateku kalau aku membuat air matanya keluar walau satu tetes!"

Mendengus Jeff dengan napas yang panas. Suaranya rendah, namun menghunjam jantung Apo begitu kuat, "Phi bahkan membuatnya menangis lebih keras, membuat air matanya mengalir lebih deras. Seperti itu kah cara Phi menyayangi Barcodeku ... Ngod kecilku ...?"

Mile terdiam. Jeff tidak pernah sekali pun meninggikan suaranya. Tidak sekali pun Jeff membantah dirinya. Tapi, Mile sadar, bahwa apa yang Jeff lakukan saat ini adalah sebuah kewajaran. Sebuah hal yang benar dimana Ia akan melakukan hal yang sama saat ada di posisi adik semata wayangnya itu.

"Bagaimana Phi tahu, bahwa orang yang Barcode cintai adalah seorang laki-laki. Dari sekian banyak orang, Jeff. Dari sekian banyak orang! Dan itu kamu!" timpal Apo.

Jeff mendengus sinis. Pembelaan yang tidak berguna.

"Dan kalian yang sudah tahu, termasuk Phi," tunjuk Apo pada pria yang telah berstatus suaminya, "Bagaimana bisa kalian menyembunyikannya dariku??"

"Phi yang selalu enggak mau dengar!" sentak Jeff. "Barcode selalu ingin mengatakannya. Tapi, Phi bilang, mau melihatnya secara langsung! Sekarang, aku di hadapan Phi! Apakah itu akan merubah apa yang sudah Phi berikan pada Barcode?!"

"Jeff ...." Khun Maa mengusap-usap bahu Jeff. Mereka pikir adu fisik sudah cukup meredam amarah dari masing-masing kepala. Namun, tidak. Amarah itu masih saja meletup-letup. "Tenang na. Kita bicarakan di rumah. Kita bicara baik-baik."

Jeff menolak tawaran itu. Megabaikan semua orang, ia pun pergi begitu saja dari ballroom. Khun Chay yang sudah menunggunya bergegas membuka kunci mobil. Pengemudi StuonSats itu tampak khawatir. Pasalnya Jeff terlihat kacau, bibirnya luka, tatanan rambutnya berantakan. Namun, ia sendiri tidak berani bertanya tentang kenapa Presidennya bisa seperti itu.

"Antar aku ke ...." Suara itu tertahan di tenggorokannya. Jeff tidak tahu kemana perginya sang kekasih.

Pria dua enam pun mengambil ponsel di saku. Tanpa basa-basi ia menelepon kekasihnya yang entah ada dimana. Dering itu tak langsung bersambut. Kepergian Barcode yang sudah lewat dari tiga puluh menit itu membuat Jeff resah.

"Sial, Phi Po!" maki Jeff. Sesal tumbuh begitu saja. Dia seharusnya tidak menghabiskan waktu untuk meladeni karate suami Kakaknya itu.

Jeff masih terus menghubungi Barcode. Dering itu tidak juga bersambut. Nadanya di seberang sana menggema keras, mengisi heningnya kabin mobil. Papa meliriknya dari spion tengah, wajah Barcode masih menatap ramainya kendaraan di luar sana dengan mata terpejam. Ketenangan itu tampaknya tidak mudah ia dapatkan.

"Papa mengerti perasaan kamu," Papa embus napasnya berat. "Kamu bisa bicara dengan Jeff untuk terakhir kalinya, Ngod."

Terbuka mata itu. Sungguh, rasa sayang yang Barcode rasakan sejak dirinya kecil kini seolah menguap. Pergi seperti asap yang dibawa angin. Entah kesayangan siapa dirinya kini. Kakaknya begitu egois, mementingkan kebahagiaannya sendiri. Meski tahu apa yang dirinya inginkan, Apo terus melangkah maju, mengabaikannya sendirian. Sementara itu, Orang tua yang membesarkannya begitu egois demi sebuah harga diri.

Ah, seandainya Mama dan Papanya masih hidup. Seandainya ia bisa ikut pergi bersama mereka. Barcode tidak perlu merasa sendirian seperti saat ini. Kini, ia memahami sesuatu tentang kepergian. Bukan hanya raga yang hilang di pandangan, bukan juga sosok yang tak lagi bersamanya, melainkan perasaan tidak bersama siapa pun meski banyak orang bersamanya. Rasanya begitu menyakitkan.

Siapa yang harus ia percaya kini, jika kepergian tidak selamanya meninggalkan namun memberikan rasa dalam kesendirian?

"Ngod, kami semua menyayangi kamu na," timpal Mama. "Kami mengerti."

"Mengerti perasaanku?" dengus Barcode sinis. "Kalau Papa dan Mama mengerti perasaanku, Papa dan Mama enggak akan menuntut Phi Jeff untuk melepaskan aku dan Papa enggak akan menuntut aku untuk menjadi pewaris!"

"Lalu, siapa?!!" sentak Papa tiba-tiba. Ia yang sejak tadi berusaha tenang kini tidak lagi bisa mengendalikan dirinya. "Apo??" dengus Papa. "Anak yang sudah diberi kebebasan, tapi kebebasannya itu melampaui batas??!

"Phi kamu sudah gamblang mengatakan kepada semua orang kalau kamu adalah pewaris! Kamu lihat siapa saja orang-orang yang hadir di sana, Ngod?? Mereka bukan hanya jajaran Direksi, tapi juga kolega bisnis kita."

Barcode embus napasnya keras. Ia tidak percaya. Semua yang Barcode pikirkan kini telah mengkhianatinya begitu nyata. Mama dan Papa yang telah membesarkannya nyatanya tidaklah sebaik yang ia pikirkan selama ini: tidak peduli dengan keturunan melainkan kebahagian Apo.

Melemah suara Barcode, kecewa jelas terpancar nyata dari manik yang memantul di kaca spion.

"... Kenapa Papa dan Mama enggak bisa seperti Mama dan Papa Phi Jeff? Mereka bisa menerima hubungan anak-anaknya tanpa memikirkan keturunan. Mereka bahkan bisa sangat menyayangi Phi Po seperti Phi Po adalah anak mereka. Mereka sangat menyayangiku."

"Ngod pikir Mama enggak sayang Ngod?" Mama mulai diliputi kesedihan dengan amarah yang kentara. "Mama memang enggak sebijak Khun Maa Jeff na. Tapi, Mama menyayangi Ngod. Ngod anak Mama. Mama membesarkan Ngod. Kenapa Ngod bisa membandingkan Mama dengan orang yang Ngod baru kenal??"

"Kalau Ngod anak Mama, Mama sayang sama Ngod," bergetar suara itu seperti nanar di matanya, "... biarkan Ngod bersama Phi Jeff. Biarkan Phi Po melakukan surogasi. Na, Mama?"

"Kamu harus mengerti na, Ngod," Papa mulai mengatur emosinya. Bagaimana pun kondisi ini dipaksakan, ia tetap menyayangi Putra bungsunya. "Ada perbedaan antara anak dari surogasi dan anak dari pernikahan. Anak itu memiliki ikatan dengan Ibunya, sebesar apa pun kita membayar wanita itu.

"Siapa pun akan melakukannya untuk mendapatkan uang. Dan, enggak akan menutup kemungkinan wanita itu akan menuntut banyak hal dari Apo. Statusnya enggak sah. Dia bukan keturunan dari keluarga kita meski dia anak kandung Apo. Banyak yang akan mempertanyakan statusnya.

"Kalau Apo ingin memberikan keturunan, lebih baik dia menikah saja sekalian dengan wanita. Jelas Kedua orang tua anak itu nantinya."

Ah, Barcode ingat dengan sepupu Jeff yang pada akhirnya menikah dengan aktris idolanya di teater StuonSky. Miris. Menyedihkan. Apa memang dunia tidak pernah adil meski pintunya sudah terbuka lebar?

"Apa Papa dan Mama enggak mau melihat Phi Apo bahagia?" Barcode seka kasar air di pelupuk matanya. "Enggak mau melihat aku bahagia? Apa kebahagiaan Phi Po dan aku enggak berarti buat Papa dan Mama?"

"Maaf. Papa egois. Seharusnya Papa melakukan hal ini sejak dulu kepada Apo. Seharusnya Papa lebih tegas dengan hubungannya dan Mile, enggak memberikannya kebebasan sampai mereka melewati batas."

"Aku enggak mau maaf Papa. Maaf Papa enggak akan pernah mengizinkan aku bersama Phi Jeff lagi 'kan?"

"Ngod," Mama mengenggam tangan Barcode. "Mengerti na, luk. Hanya kamu anak Mama dan Papa saat ini."

Barcode ambil tangannya sendiri. "Aku enggak mau mengerti."

"Ngod ... Luk."

"Mama dan Papa yang seharusnya mengerti aku."

"Kamu dan Jeff menjalin hubungan belum lama, Ngod," kata Papa. "Perasaan itu bisa berubah. Dengarkan dan menurut. Apa selama ini Papa dan Mama membesarkan anak-anak yang keras kepala? Yang lebih memilih orang lain daripada orang tua mereka sendiri?"

"Aku sangat menyayangi Mama dan Papa. Kalian menggantikan posisi orang tuaku. Tapi, Phi Jeff .... Phi Jeff membuatku hidup, Papa. Phi Jeff memberikan aku keberanian, kekuatan, kepercayaan."

"Tapi, Jeff juga yang membuat kamu ketakutan, membuat kamu merasa sendirian, membuat kamu enggak percaya dengan siapa pun bahwa enggak ada yang akan meninggalkan kamu. Jeff yang memulai, Jeff yang mengakhiri. Dan kamu," Mama berkata tegas. "Kamu melanjutkan hidup kamu. Lupakan Jeff, Ngod."

Tak percaya Barcode dengan apa yang telinganya dengar. Belum lama Mama mempercayakan dirinya kepada Jeff, dan sekarang, ia kembali menyalahkan.

"Bagaimana Mama bisa ...." mengambang kalimat itu di bibir yang mulai kelu. Rasanya percuma ia mengatakan apa pun sampai lidahnya mati rasa.

Mama tangkup wajah Barcode. Ia tersenyum dimana senyum itu mengukir paksaan dan rasa kecewa, "Kamu hanya terlalu sering bersama Jeff na, Ngod. Saat kamu pindah kuliah ke Chulalongkorn, kamu akan melupakannya. Kamu enggak akan bergantung dengan Jeff. Fokus dengan pendidikan na, Ngod. Setelah itu pegang Perusahaan."

"Aku mau tetap kuliah di Cambridge," kukuh Barcode.

"Kamu hanya akan bersama Jeff."

"Papa mengizinkan aku bersama Phi Jeff sebelumnya."

"Karena saat itu Papa masih berharap pada Apo. Papa yakin Jeff bisa memberikan kamu kebahagiaan dengan yang dia miliki. Tapi, situasi dan kondisi yang Apo ciptakan saat ini membuat Papa harus memilih. Kenapa kamu enggak mengerti juga??"

Iya. Barcode masih tidak mengerti kenapa Mama dan Papa begitu keras kepala dengan keturunan yang dihasilkan dari pernikahan. Barcode memang tidak menyukai surogasi itu sendiri, tapi kalau saja Papa dan Mama bisa menerima surogasi dari Apo, semua tidak akan serumit ini.

"Ngod." Mama cium kening Barcode, ia melempar senyum yang lembut kali ini. "Ngod sayang Mama 'kan? Ngod anak Mama. Ngod bisa melakukan apa pun seorang diri. Ngod enggak butuh siapa pun. Ngod bisa tanpa Jeff na."

Barcode masih begitu kalut. Ia teguh sesungguhnya untuk bersama Jeff. Kadung cinta itu tumbuh terlalu dominan, mengikis rasa takut akan eksistensinya. Sosok Jeff bagaikan nikotin dalam setiap tarikan napasnya, memberi rasa candu yang menyenangkan dan menenangkan untuk Barcode. Bukan hanya karena ketampanannya, melainkan bagaimana pria dua enam itu mampu membuat dirinya menyadari bahwa kepergian tidak selamanya menyakitkan. Kepergian tidak berarti meninggalkan. Dia tidak sendirian. Jeff berhasil memberikan rasa aman dan nyaman di saat yang bersamaan dengan kepercayaan.

Kini, beban tanggung jawab yang Apo lempar kepada dirinya dengan begitu egois merenggut kebahagiaan yang ia rasakan dua hari lalu, merenggut rasa percaya bahwa semua orang akan bersamanya. Ia dipaksa oleh situasi dan kondisi yang Apo ciptakan untuk melupakan Jeff. Situasi dan kondisi yang Apo ciptakan, membuat Barcode mempertanyakan kasih sayang kedua orang yang telah membesarkannya.

Sungguh, Apo memberikan hadiah ulang tahun terburuk yang pernah pria itu berikan sepanjang dirinya berulang tahun.

Remaja tujuh belas kembali melempar tatap pada jalan yang silih berganti. Matanya kali ini tidak memejam. Barcode biarkan tiang-tiang listrik menghipnotisnya, membawanya ke dalam alam bawah sadar dimana ia bisa menemukan ketenangan.

Ketenangan.

Detik-detik berlalu, menit terbang begitu saja. Barcode tidak mendapatkan ketenangan itu sekuat apa pun ia mencoba. Setiap saraf di kepalanya meliar. Ada perasaan iri menyentil hatinya secara tiba-tiba yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya.

Wanita. Makhluk yang diciptakan dengan segala keistimewaannya. Keistimewaan yang tidak akan pernah didapatkan oleh seorang laki-laki. Seandainya ia terlahir dengan keistimewaan itu, seandainya ia memiliki uterus seperti halnya omega di dalam kisah fiksi, seandainya ....

Seandainya itu semua terjadi, tentu akan sangat menyenangkan. Ia bisa menikah dengan Jeff, memiliki anak bersamanya, memberikan keturunan sebagai pewaris Perusahaan Mama dan Papa. Ah, bahkan dia tidak perlu repot-repot jika saja Apo juga bisa melakukannya.

Tiba-tiba tawa lolos dari bibir Barcode. Dirinya mulai kehilangan kewarasan. Pengandaian itu terlalu gila untuk diterima oleh akal sehatnya.

Mama dan Papa menatap bingung sang remaja. Mungkin situasi ini akan memengaruhi psikis Barcode seperti saat kedua orangtuanya membuat ia takut untuk ditinggal sendirian. Mama tarik bahu remaja itu, jelas khawatir tersirat di wajah dan suaranya, "Ngod, apa yang kamu tertawakan?"

Barcode menatap masih dengan ekor bibir yang menyungging. "Kehidupanku, takdirku. Sangat lucu."

"Ngod ...."

Barcode tarik napasnya dalam, duduk menarik bahu dari tangan Mama. Terlempar kembali manik itu ke jalan. "Aku mau bertemu Phi Jeff, sekali saja."

...••••...

Pria dua enam di dalam mobil hanya diam memegang ponselnya. Entah kemana ia bisa menemui Kekasihnya, atau sekedar bicara dengannya melalui panggilan suara.

"Jeff."

Jeff angkat kepalanya, ia menoleh ke sisi jendela. Di sana, sang Sekretaris menampakkan wajah cemas. Jeff turunkan kaca mobilnya.

"Phi boleh libur," kata Jeff datar. "Enggak ada makan malam bersama. Enggak ada ulang tahun yang akan kita rayakan."

"Khun Maa dapat telepon dari Nong Barcode."

Terkejut tentu wajah Jeff, "Bagaimana? katakan padaku!"

Khun Venus menjelaskan, "Nong mau makan malam tetap ada, Jeff. Di rumahnya, Chiang Mai. Khun Paa sudah menyewa jet pribadi untuk pergi ke sana. Kamu diminta untuk ikut."

"Dimana Khun Paa?"

"Di sini."

Sosok pria dengan mata tegas dan rambut kilat putih itu muncul tiba-tiba. Jeff segera turun dari mobilnya, masih menggendong Siidam. "Benar Barcode mau tetap makan malam? Merayakan ulang tahunnya setelah apa yang terjadi?"

"Khab," Khun Paa lempar senyumnya.

"Kenapa enggak menelepon Jeff? Jeff meneleponnya berkali-kali sejak tadi."

"Ngod hanya bicara agar kita semua ke Chiang Mai na, luk. Makan malam bersamanya. Mungkin dia berhasil membujuk Papa dan Mama Apo. Bagaimana pun mereka semua menyayanginya."

Getir Jeff tersenyum kala sosok Kakaknya dan Kakak Barcode muncul. "Makan malamnya, entah rasanya lezat atau buruk. Hari ulang tahunnya hancur begitu saja."

Apo ingin menimpal, tapi Mile menahan dirinya.

"Sebelum itu, kita semua bicara dulu di rumah," Khun Paa mengambil keputusan. "Venus, kamu ikut kami."

"Kha, Khun Paa."

Jeff belai kucing hitam yang menyundul dagunya. "Kamu sudah merindukannya?" gumam Jeff. "Kita akan menemuinya na."

Semua orang pun berpisah. Jeff lebih memilih naik mobil StuonSats yang dikemudikan oleh Khun Chay daripada bergabung bersama Khun Paa dan Khun Maanya dimana Mile dan Apo juga ada di sana. Khun Venus pun akhirnya memilih untuk satu mobil dengan Jeff. Sekretaris Jeff itu bisa melihat bagaimana kalutnya wajah Jeff. Pilihan apa pun yang ada di depan matanya, Khun Venus yakin itu bukan pilihan yang mudah.

"Apa Barcode enggak mengatakan apa pun lagi, Phi?"

Menoleh Khun Venus dari kursi sisi kemudi. "Enggak ada," katanya. "Jeff, Nong kuliah di Cambridge. Enggak akan sulit kalian untuk bertemu. Dan Ngod mengajak makan malam, mungkin Khun Maa benar, Nong sudah bisa membujuk kedua orang tua Apo."

"Aku hanya ingin tahu apa yang Barcode rasakan saat ini."

"Nong masih tujuh belas, baru saja tujuh belas," Khun Venus embus napasnya berat. "Tapi, terkadang Nong sangat dewasa. Jangan khawatir na."

"Dia manja."

Khun Venus kecil mengulas senyumnya. Iya, dia tidak menutup mata bahwa Barcode terkadang bersikap manja. Namun, remaja itu hanya bersikap manja pada Jeff. Barcode sangat mandiri kala Jeff tidak di sisinya, dan begitu manja kala Jeff bersamanya.

Pria dua enam itu menatap layar ponselnya. Ia mencoba mengirim pesan pada Barcode, namun pesannya tak berbalas. Jeff mencoba menelepon, namun panggilan itu dialihkan.

"Nong bilang akan naik pesawat. Mungkin handphonenya dimatikan," Khun Venus mencoba untuk memberi ketenangan.

Jeff akhirnya menyerah menghubungi Barcode. Ia lempar tatap pada dedaunan yang digoyah angin. Lalu-lalang kendaraan membuatnya memejam mata. Jeff ingin sekali terjebak di dalam mimpi. Menganggap apa pun yang terjadi hari ini bukan sesuatu yang nyata.

Mesin mobil itu dimatikan. Tanpa terasa Jeff sudah tiba di rumahnya. Manik yang terpejam tanpa lelap itu terbuka. Langit-langit kabin mobil menampakkan wujud yang mononton, membosankan, dan menyebalkan. Mimpinya terlalu nyata.

"Khun Paa enggak mau ada suara tinggi di meja ini," Khun Paa memulai. Secangkir teh kamomil menguar ketenangan. Ia menyesap hangatnya air teh itu, meletakan kembali di atas meja makan. Tegas maniknya melempar pada Mile. "Kalian sudah menikah. Kenapa menyembunyikannya, Mile?"

"Khun Paa." Mile kulum bibirnya sendiri. Membalas dirinya tatapan tegas Sang Khun Paa. "Cepat atau lambat aku dan Apo akan menikah. Alasan kami menyembunyikannya karena orang tua Apo. Khun Paa tahu na, mereka enggak menyetujui hubungan kami."

"Tapi, ini hal besar na, luk," Khun Maa menimpal. "Dan cara kalian memberitahukannya pada kami, itu lebih dari mengejutkan."

"Maaf, Khun Maa. Tapi, aku memang sengaja melakukannya," Apo menjawab. "Hanya dengan seperti itu Mama dan Papaku akan menerimanya. Mereka enggak akan membuat keributan di depan Jajaran Direksi dan para kolega perusahaan."

"Dan Barcode?" Sela Jeff.

"Kamu tahu Papa dan Mama Phi enggak menyetujui hubungan Phi dan Phi Mile," tukas Apo. "Tapi, kamu masih berani menjalin hubungan dengan Nongnya Phi?? Kamu sendiri yang menciptakan hal rumit ini, Jeff."

"Aku mencintai Barcode. Apa itu salah?? Kalau saja aku bisa memilih untuk enggak jatuh cinta pada Barcode, seharusnya Phi juga bisa untuk memilih enggak jatuh cinta pada Phi Mile!"

"Jangan meninggikan suara," tegur Khun Paa.

Semua orang menutup mulutnya. Keheningan terasa begitu nyata sampai akhirnya Mile kembali bicara, "Aku minta maaf karena diam-diam menikah dan memberitahukannya seperti ini. Tapi, seperti yang Apo bilang, hanya ini caranya agar orang tua Apo menerima. Dan untuk Nong Ngod, Jeff ....

"Phi tahu kalau Apo akan memintanya untuk menjadi pewaris, tapi Phi enggak mengira kalau Mama dan Papa akan menerimanya begitu saja. Mereka sangat bersikukuh kalau Apo yang harus jadi pewaris, dan Phi pikir kalau kami sudah menikah mereka akan menerima anak surogasi."

"Banyak hal yang enggak Phi kira," sinis Jeff mendengus. "Banyak hal yang Phi pikir. Tapi, enggak satu pun yang menguntungkan Barcode di sana. Hanya Phi dan ...." mendesis Jeff merasa jengah dengan status pria di sisi Kakak kandungnya itu.

Apo embus napasnya. Terlempar manik itu pada wajah yang keras. "Jeff, Phi benar-benar enggak tahu kalau Ngod mencintai kamu. Dan Phi Mile enggak mengatakan apa pun. Jadi, sampai akhirnya Ngod bicara, Phi masih berpikir bahwa Ngod menyukai perempuan. Kekasihnya adalah teman sekolahnya."

"Tapi, setelah Phi tahu. Phi tetap memaksanya. Menempatkannya di posisi paling sulit. Phi bahkan enggak bertanya bagaimana perasaannya atau apa yang dia inginkan. Phi memberikan situasi yang bahkan lebih buruk daripada yang pernah aku berikan. Barcode pernah mengalami trauma, apa Phi enggak tahu? Dia Nong kesayangan Phi 'kan??"

Apo mengunci bibirnya. Terbang pikirnya pada Barcode yang entah bagaimana perasaannya. Nongnya itu mungkin akan membenci dirinya setelah ini. Apo tidak pernah berniat memberikan situasi seperti ini pada Barcode, tidak sekali pun. Tapi, semua sudah kadung terjadi. Apo sendiri tidak tahu harus melakukan apa.

"Barcode mungkin berhak dengan hak waris yang ditinggalkan kedua orang tuanya, Phi," imbuh Jeff. Ia sesungguhnya masih begitu kecewa pada Apo dan juga Mile, namun benar apa yang Khun Paanya katakan. Masalah ini tidak akan selesai dengan emosi di ujung lidah. "Tapi, Barcode enggak pernah berpikir sekali pun dia akan menjadi pewaris. Dan ....

"Kita semua diam tentang bagaimana orang tua Phi Po memandang hubungan kalian. Barcode enggak pernah berpikir buruk sekali pun tentang kedua orang tua Phi Po. Karena meski mereka enggak menyetujui hubungan kalian, mereka masih bersikap baik pada Phi Mile. Berbeda saat mereka terang-terangan menunjukan rasa enggak sukanya padaku.

"Saat ini, aku hanya mau tahu. Apa yang Barcode rasakan, bagaimana kondisinya, dan apa yang dia pikirkan. Terserah saja Phi Mile dan Phi Po mau melakukan apa. Semuanya sudah terjadi."

"Apo," Khun Paa memanggil, membuat manik Apo menatapnya. "Kamu mengenal kedua orang tua kamu. Apakah bener mereka akan menerima hubungan Jeff dan Ngod karena Ngod meminta kita tetap makan malam bersama?"

Dengan sangat terpaksa Apo menggeleng kepalanya. "Enggak akan ada kemungkinan itu, Khun Paa. Mengambil keputusan untuk menjadikan Ngod Penerus pun mereka terpaksa dengan keadaan. Semuanya akan mudah kalau laki-laki bisa hamil dan melahirkan," kekeh Apo. Tawanya terdengar getir dan menyakitkan. "Semuanya enggak akan serumit ini. Enggak akan ada yang menyalahkan keputusan atas nama cinta."

Mile ambil tangan pria di sisinya, ia menggeleng kecil. "Tenang na."

"Aku sangat mencintai Phi Mile," kata Apo. Ia tatap Khun Paa dan Khun Maa. "Karena itu ...."

Khun Maa melempar senyumnya lembut. Ia mengangguk kecil lalu bangun dari duduknya. Khun Maa bawa kepala itu ke dalam dekapnya, "Kha. Apo sangat mencintai anak Khun Maa na. Terima kasih sudah mencintai Mile sangat besar na, luk.."

Tangis itu pecah di tengah meja makan. Isaknya menggema keras hingga celah terkecil ruang.

"Apo sudah mengorbankan hal besar na, luk," sambung Khun Maa. Tangannya menepuk-nepuk kepala sang menantu. "Apo anak Khun Maa na. Jangan merasa bahwa semuanya salah kamu."

"Khun Maa," keluh Jeff.

"Kha. Apo memang salah di satu sisi. Tapi, itu pun karena Apo enggak tahu bahwa kekasih Ngod adalah Jeff. Dan, Apo enggak salah sendirian. Mile lebih dewasa, seharusnya berpikir jernih. Pernikahan itu memang antara dua orang. Tapi, bukan berarti melupakan orang terdekatnya. Menyembunyikannya dari semua orang itu kesalahan sampai akhirnya kesalahpahaman terjadi."

Entah apa yang harus Jeff katakan. Khun Maanya menyikapi hal ini terlalu tenang. Lihat betapa beruntungnya sang Kakak Ipar yang mendapatkan kasih sayang penuh. Khun Maa masih menenangkan Apo sampai tangis pria dua tujuh itu mereda sendiri.

"Kita harus menyelesaikan ini," Khun Paa menyela. "Jeff, kita semua terkejut dengan apa yang terjadi hari ini. Kita semua mengharapkan pernikahan Mile dan Apo. Hal itu sudah terjadi, meski dengan situasi dan kondisi yang enggak baik.

"Kamu memiliki hak untuk marah pada Phi kamu, Jeff. Tapi, Khun Paa memohon na ... Jangan memutus hubungan. Kalian saudara, Phi dan Nong. Khun Maa dan Khun Paa yang enggak pernah hadir untuk kamu, tapi Mile selalu ada untuk kamu. Jangan berlarut na, Jeff. Khun Paa memohon."

Pria dua enam itu mengembus napasnya berat. Khun Paanya memohon begitu rendah sama seperti ia memohon pada Apo beberapa bulan lalu untuk menerima surogasi Mile. Dilema Jeff, dia kecewa pada Kakaknya, tapi Khun Paanya benar bahwa Mile sudah banyak memberi pada Jeff. Perhatian dan waktunya, Mile curahkan pada Jeff sejak ia berusia kanak-kanak.

"Mungkin, Ngod sudah berhasil membujuk Papa dan Mama Apo," Khun Paa berkata. "Bagaimana pun, mereka sebelumnya sudah menyetujui hubungan Jeff dan Ngod. Mereka tahu sebesar apa arti Jeff dalam hidup Ngod."

"Jeff enggak mau berharap dengan kemungkinan yang tipis," timpal Jeff. "Barcode seharusnya menelepon Jeff, mengatakan semuanya dengan terang-terangan. Dia enggak pernah menyembunyikan apa pun yang dia pikirkan, apa pun yang dia rasakan. Kalau Barcode akhirnya enggak mengatakan apa pun, itu tandanya ada halnya enggak baik-baik saja."

Khun Paa mengembus napasnya berat. Jeff tentu lebih memahami Barcode dari dirinya, bahkan mungkin dari Apo sekali pun. Hal ini tidak sesederhana yang ia pikirkan, tidak semudah melakukan negosiasi bisnis. Ditatap wajah putra bungsunya. Pandangan pria dua enam itu hanya pada Siidam di atas pangkuannya sembari jari-jarinya menggaruk lembut dagu kucing hitam itu.

"Venus," panggil Khun Paa.

"Kha, Khun Paa."

"Kita berangkat sekarang. Siapkan penerbangannya."

"Kha."

Sekretaris Jeff itu segera bangun dari kursinya duduk. Ia hubungi penyedia jasa jet pribadi yang di sewa Khun Paa, meminta jadwal penerbangan dimajukan paling cepat.

Beruntung mereka bisa lepas landas empat puluh lima menit kemudian. Namun, di empat puluh lima menit itu Jeff harus tak karuan pikiran dan hatinya hingga jet itu mendarat di Chiang Mai. Gerah Jeff merasa lantaran ia tidak tahu bagaimana perasaan kekasihnya itu. Pesannya tidak ada satu pun yang berbalas, remaja itu bahkan tidak membacanya.

"Jeff," Mile mengajak adiknya itu bicara. Mereka masih menunggu mobil StuonSuns untuk menjemput mereka. "Kamu masih marah pada Phi?"

Jeff hanya diam, membuang wajahnya.

"Phi salah na, Jeff. Phi minta maaf."

"Maaf Phi enggak akan merubah yang sudah terjadi," timpal Jeff tanpa memandang Kakaknya itu.

"Phi tahu kamu enggak akan meninggalkan Nong Ngod, dan Phi tahu Nong Ngod enggak akan pernah melepaskan kamu. Phi yakin kalian bisa melewatinya."

"Barcode baru berulang tahun dua hari lalu, Phi," Kesal Jeff. "Alih-alih memberikan hadiah yang membuatnya bahagia, Phi malah memberikannya hadiah yang menyakitkan. Pernah Phi berpikir sekali saja tentang traumanya dengan rasa percaya pada orang lain? Pernah Phi berpikir bahwa hal ini akan memengaruhi psikisnya untuk kembali seperti dulu?

"Phi seharusnya tahu, bagaimana sulitnya aku membawa Ngod kecilku kembali."

"Nong Ngod punya kamu sekarang, Jeff. Nong Ngod bisa melewatinya lebih baik. Kamu akan di Cambridge sampai Nong Ngod lulus. Kamu akan selalu bersamanya."

Jeff embus napasnya kasar. Phinya tidak salah: Jeff akan selalu bersama Barcode. Tiga tahun ke depan, Jeff berharap ia bisa meluluhkan lagi hati Papa dan Mama Apo. Entah bagaimana caranya, yang jelas Jeff sudah tidak memiliki apa pun untuk ia jadikan perisai.

Mobil StuonSuns pun tiba. Jeff tanpa memedulikan Mile langsung naik ke sana. Pria dua enam itu memilih duduk di sisi kemudi, enggan bersama semua orang di belakang. Hanya Siidam yang terus bersamanya di pangkuan.

Ah, kucing hitam itu bahkan belum makan apa pun. Jeff sudah memberinya, tapi Siidam tidak mau memakannya. Mungkin secara tidak langsung ketegangan yang terjadi membuat Siidam merasa tidak nyaman. Mungkin juga sosok yang selalu membuatnya kenyang membuat Siidam merindu begitu berat hingga tidak berselera untuk makan.

Seperti sudah terbiasa, mobil itu melaju ke tempat tujuan. Tidak ada yang memberitahu baik Mile atau pun Apo, tapi mereka tiba di lokasi yang tepat.

Bersambut kedatangan Jeff dengan awan yang kelabu. Langit mendekati malam, namun mendung tak ingin tinggal diam. Jeff turun lebih dulu, tidak sabar untuk bertemu kekasihnya. Terlempar atensi Jeff ke atas sana, sosok remaja menatap dari balik tirai yang tipis.

"Ngod ...." memanggil halus gumaman itu, tapi rasanya begitu nyata menyapa telinga Barcode. Sang Remaja keluar dari kamar tidurnya. Dengan mata yang sedikit bengkak, dirinya menampakkan diri pada sang kekasih yang memancarkan raut penuh kecemasan.

Barcode diam di anak tangga. Kepalnya erat di sisi tubuh. Semua orang bisa melihat garis bibir yang tidak cerah. Wajahnya bahkan tak merona indah.

Meoow!

Tersadar semua orang. Realita ini begitu menyesakkan. Siidam mengeong keras, kakinya meronta untuk turun dari gendongan Jeff.

Meoow!

Jeff tatap kekasihnya yang tidak bergerak barang seinci. Namun, Jeff bisa melihat kesedihan yang begitu nyata. Rasa sesak terpancar jelas dari getar kedua mata. Pria dua enam itu letakkan Siidam di lantai. Cepat bokongnya menyeret, hingga berakhir di anak tangga. Kucing itu terus mengeong, menatap penuh harap dan kerinduan pada Barcode.

"Oh, sudah sampai."

Teralih atensi semua orang pada suara yang tegas dan berat. Papa dudukan dirinya di ruang tamu, lalu menatap Barcode yang masih bergeming. "Ngod," panggil Papa. "Mereka tamu kamu. Turun ke sini."

Remaja tujuh belas tahun itu menarik napasnya dalam. Kaki-kaki panjang akhirnya bergerak, memijak lantai semakin turun hingga jaraknya dan Jeff tak lebih dari satu meter.

Meeooow!

Lembut bulu itu menyentuh kaki Barcode. Siidam terdengar seperti seorang bayi yang terus-terusan merengek untuk digendong.

"Kamu enggak akan meninggalkan Siidam 'kan?"

Pertanyaan itu lolos dari bibir Jeff, membuat Barcode rasanya ingin meledakan tangis.

"Ngod ...?" Jeff mengharapkan kepastian. Ia tahu, Barcode sangat menyayangi Kucing hitam itu.

Barcode ambil kucing hitam di kakinya. Sundulan keras nan liar tidak bisa Barcode hindari di leher dan wajahnya. Remaja itu memeluknya, "Aku enggak akan meninggalkannya."

Lega Jeff mendengar hal itu dari bibir sang kekasih. "Ngod," panggil Jeff.

Barcode tatap Jeff. Digigit bibir itu kuat agar isaknya tak meledak. Wajah kekasihnya terlihat kacau. Bibirnya masih menyisa luka dengan rona-rona biru di wajahnya. Melihat Apo, Barcode yakin Jeff dan Kakaknya itu melakukan tanding karate hingga keduanya kehabisan tenaga.

"Siidam enggak mau makan," pecah Jeff lembut. "Kamu kasih dia makan na? Siidam sangat manja. Hanya mau makan dari Ngod."

"...."

"Hm?"

Barcode mengangguk cepat. Meski tipis, Jeff melempar senyumnya. Meskipun Jeff tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran Barcode, Barcode masih lah Barcodenya, Ngod kecilnya. Pria dua enam itu bergegas ke mobil. Ia ambil tas perlengkapan milik Siidam, lalu memberikannya kepada Barcode.

"Papa, aku mau kasih makan Siidam."

Semua orang menoleh pada Papa dan Mama di sofa. Tidak ada yang beranjak dari tempat mereka memijak, memerhatikan keadaan Barcode yang sudah pasti tidaklah baik-baik saja.

Papa mengangguk, lalu meminta tamu-tamu Barcode untuk duduk di sofa sementara Mama membuatkan minuman.

Jeff sendiri mengekor pada Barcode ke dapur untuk memberikan Siidam makan. Berjongkok Jeff di sisi remaja yang membelai-belai kepala kucing hitam. Jeff ambil tangan itu, menggenggamnya erat. "Apa yang kamu pikirkan saat ini, Ngod? Biarkan Phi tahu. Apa yang kamu rasakan saat ini. Tolong bagi dengan Phi."

Barcode tidak langsung menjawab, ia lempar tatap pada Mama yang sedang menyiapkan air minum. Mama juga menatapnya karena apa yang Jeff katakan bisa ia dengar.

"Aku akan kembali ke Cambridge besok," kata Barcode yang menjatuhkan pandangannya pada punggung bulat Siidam. Ia balik tangan yang Jeff genggam punggungnya hingga ia bisa menautkan jemari pada pria dua enam itu. "Papa dan Mama meminta aku pindah ke Chulalongkorn."

Mengerut nyata garis di kening Jeff. Matanya tegas mempertanyakan perkataan sang kekasih. "Pindah?"

Barcode tidak menatapnya, masih setia pada helai-helai hitam yang lembut. "Hm, Pindah," katanya menegaskan.

Hening terasa begitu nyata di antara keduanya. hanya sendok dan gelas yang saling beradu dari tangan Mama yang mengisi ruang telinga Jeff dan Barcode. Mama pun selesai dengan apa yang ia buat, lalu pergi tanpa mengatakan apa pun.

Semakin erat tangan menaut jemari Jeff. "Phi Jeff ...." Menoleh wajah itu akhirnya pada Jeff secara sempurna. Ia usap-usap wajah Jeff yang terluka, "Kenapa Phi Jeff karate lagi?" cemasnya.

Jeff getir tersenyum. Ia ambil tangan Barcode, menciumnya, "Ini hanya luka kecil. Enggak sebanding dengan luka di hati kamu."

Terdiam bibir ranum yang bergetar. Jeff tidak pernah gagal memberikan rasa aman dan nyaman dalam kehidupannya. "Phi Jeff enggak akan meninggalkan aku 'kan?" tanyanya dengan suara yang bergetar.

"Ngod."

"Phi Jeff janji padaku."

"Phi masih pegang janji Phi." Pria dua enam itu menangkup wajah yang dingin. Barcode tampak sedikit pucat dengan manik-manik sembab. "Phi enggak akan pernah meninggalkan kamu apa pun situasi dan kondisinya."

Barcode tahan isak di ujung lidahnya. Ia berdiri tiba-tiba, lalu membawa Jeff dengan langkah tergesa ke kamar tidurnya.

"Barcode."

Nyaring bunyi kunci di daun pintu. Jeff menatap tubuh yang membelakanginya dengan bahu yang bergetar.

Lemas kaki-kaki Barcode hingga remaja itu terduduk di lantai masih di daun pintu yang tertutup. Jeff seketika langsung memeluk tubuh itu dari belakang.

"Phi Jeff ...!" Pecah isak itu pada akhirnya. "Aaaa ...!"

"Khab. Phi di sini na, Phi bersama Ngod. Phi enggak pergi. Phi enggak akan meninggalkan Ngod."

"Apa yang harus aku lakukan, Phi Jeff?" nyaris putus suara di tengah isak itu. Memutar tubuhnya untuk memeluk Jeff dengan erat. "Apa yang harus aku lakukan? Kenapa Phi Po menjadikan aku pewaris, Phi Jeff? Aku enggak mau. Aku enggak mau menikah dengan perempuan. Aku enggak mau seperti Phi Bible. Aku enggak mau, Phi Jeff."

Isak perasaan yang ditekan itu meledak. Jeff bisa mendengarnya, rasa sakit dari suara yang bergetar sesak.

Jeff biarkan Barcode terus menangis. Dia tahu, kekasihnya sudah lelah menangis. Namun, itu semua belum membuat hatinya puas.

"Ngod." Jeff cium puncak kepala Barcode kala tangis itu mereda. Ia seka wajah yang basah. "Katakan apa yang Ngod pikirkan saat ini na?"

"Phi Jeff, apa kalau kita melakukan seks tanpa Kondom aku bisa hamil?"

Terdiam Jeff begitu saja. Jarinya kaku di sepasang pipi yang lengket dengan jejak air mata. Entah telinganya yang salah dengar, atau memang Barcode yang mulai putus asa.

"Kenapa tanya begitu na?" Jeff tarik bibirnya kaku. Ia cium kening Barcode. "Jangan memikirkan masalah keturunan ini. Phi akan bujuk Papa dan Mama kamu agar bisa menerima surogasi."

Barcode tarik wajahnya, "aku enggak mau."

"Bukan Ngod, tapi Phi Po," cepat Jeff menjelaskan. "Semua ini Phi Po yang menciptakannya. Phi enggak mau punya anak kalau Ngod enggak mau. Bukan itu tujuan Phi mau menikahi kamu."

Barcode hanya diam, menatap Jeff dengan serius. Apa yang Jeff coba perjuangan, Barcode tahu itu tidak akan berhasil.

"Ayo," ajak Jeff.

Remaja itu Jeff bantu untuk berdiri. Namun, langkah kakinya tertahan. Ia bergeming di tempat yang sama.

"Ngod?"

"Aku ... Phi Jeff," terlihat keraguan dari bibir yang dikulum dalam.

"Ada apa? Katakan."

"Aku mungkin enggak waras, tapi aku sudah memikirkan ini sepanjang perjalanan."

Apapun yang akan Barcode katakan, entah mengapa membuat Jeff merasa takut. Dia hanya menatap sang kekasih dengan manik menyirat tuntutan penjelasan.

"Aku mau punya anak."

"Oke," tegas Jeff. "Phi enggak masalah kalau Ngod mau surogasi. Tapi, tib—"

"Bukan surogasi."

Bingung kini wajah Jeff memimik. "Ngod?"

"Aku mau punya anak dariku dan Phi Jeff. Aku mau hamil."

"Ngod?" Kaku bibir Jeff ditarik.

"Aku serius."

"Ngod," Jeff embus napasnya berat. Ia tarik Barcode ke dalam peluknya. Jeff ciumi puncak kepala remaja itu. "Ngod, jangan memikirkannya. Phi akan berjuang membujuk Mama dan Papa Phi Po."

Diluar apa yang Jeff kira, Barcode melepaskan peluknya. "Aku serius," tegas Barcode.

"Ngod. Kamu terlalu banyak membaca fiksi na. Kamu hanya mencari pelarian. Tenang na."

"Aku sudah tenang. Aku mengambil keputusan dengan tenang seperti kata Phi Fern."

"Phi Fern?"

"Phi Jeff, Phi Fern ada Psikiater yang menanganiku dulu. Phi Fern menemuiku, meminta aku untuk mengambil keputusan dalam keadaan tenang."

"Kamu sedang enggak tenang na. Kamu habis menangis."

"Aku sudah pikirkan ini sejak di perjalanan," Barcode bersikukuh. "Aku sudah menangis di pelukan Phi Jeff. Aku merasa tenang."

"Ngod."

"Aku tahu ini enggak masuk akal, Phi Jeff."

"Sangat na," kekeh Jeff tak percaya. "Enggak ada pria yang bisa hamil, Barcode. Itu semua hanya ada di dalam fiksi."

"Beri aku waktu."

"Apa?"

"Aku akan cari tahu. Penelitian atau apa pun itu. Tapi, aku butuh waktu."

"Berapa lama?"

"Enggak tahu."

Jeff embus napasnya. Ia genggam kedua tangan Barcode, "Jangan buang-buang waktu na. Lebih menjanjikan untuk Phi membujuk Mama dan Papa Phi Apo daripada penelitian yang kamu lakukan."

"Apa Phi Jeff enggak mau tetap bersamaku?"

"Mau na, mau. Tapi, cara yang kamu akan ambil itu mustahil. Sama seperti keinginan Phi Po yang mau anak dari surogasi itu sesempurna Phi Mile."

"Aku harus bagaimana?" murung Barcode. "Hanya itu yang bisa aku pikirkan."

"Kita bisa membujuk na. Mungkin enggak sekarang, tapi nanti. Mungkin enggak dalam waktu dekat, tapi setiap tahunnya pasti akan ada perubahan."

"Phi Mile dan Phi Po sudah lama menjadi kekasih, tapi sampai mereka menikah, Mama dan Papa tetap enggak setuju."

Jeff tidak bisa menyanggah. Itu fakta yang tidak bisa ia kelak.

"Papa bilang akan lebih tegas padaku lebih dari pada Phi Po. Karena itu, aku diminta pindah ke Chulalongkorn."

"Kenapa kamu mau?"

"Aku bisa apa, Phi Jeff?"

"Bicara pada Phi. Phi bahkan bersedia membawa kamu, membiayai semua kebutuhan kamu—"

"Mereka merawatku sejak kecil. Meski di awal mereka selalu pergi, mereka tetap meluangkan waktu untukku. Dan saat Phi Po harus kuliah di Oxford, Papa dan Mama sengaja untuk bekerja dari rumah."

"Phi percaya mereka menyayangi kamu, tapi mereka enggak berhak menekan kamu na. Kamu adalah pemilik diri kamu sendiri, Ngod. Enggak boleh ada yang mengaturnya."

"Kalau begitu, Phi Jeff juga enggak boleh."

"Ngod?"

"Aku akan tetap kuliah di Chulalongkorn."

"Barcode."

Remaja tujuh belas itu memeluk Jeff. Ia tenggelamkan wajahnya di ceruk leher sang Kekasih. "Aku sangat mencintai Phi Jeff. Tolong kabulkan permohonanku, Phi Jeff. Anggap saja ini permintaan di hari ulang tahunku."

Jeff segara melepaskan pelukan itu. Tegas matanya menatap mata Barcode. Keras wajahnya.

"Aku enggak meminta Phi Jeff meninggalkan aku, tapi ... pura-pura meninggalkan."

"Hah?"

"Hm," angguk Barcode. "Phi Jeff enggak salah dengar. Pura-pura meninggalkan."

"Tapi, untuk apa??"

"Phi Jeff, aku butuh meyakinkan Mama dan Papa kalau aku mengikuti kemauan mereka."

"Enggak. Kalau seperti itu, mereka enggak akan pernah bisa dibujuk. Mereka akan berpikir kalau Phi hanya rasa yang muncul karena perasaan nyaman yang penasaran."

"Mereka akan tetap bersikukuh aku untuk kuliah di Chulalongkorn meskipun Phi Jeff memohon sampai bersujud. Mama dan Papa sudah enggak peduli lagi," sebal Barcode. "Mereka hanya mau nama baik dan harga diri. Mereka bahkan mau aku menikah dengan perempuan meski aku enggak menyukainya atau mencintainya. Mereka enggak peduli dengan perasaanku."

"Phi enggak mau kamu menjadi tertekan secara psikis, Ngod," Jeff berkata lembut. "Phi khawatir dengan kesehatan mental kamu. Kamu pernah trauma, Phi enggak mau kamu mengalaminya lagi. Ngod kecilnya Phi, enggak boleh jatuh lagi."

"Sekarang ada Phi Jeff," timpal Barcode. "Karena itu. Ikuti apa yang aku rencanakan na, Phi Jeff."

"Rencana kamu sangat mustahil na, Barcode. Fiksi akan tetap menjadi fiksi."

"Aku akan menjadikannya nyata. Phi tenang saja."

"Bagaimana Phi bisa tenang saat kamu berada di Thailand melakukan entah apa untuk rencana kamu, sementara Phi jauh di Cambridge??"

"Aku mohon."

"Enggak," tegas Jeff. Pria dua enam itu keluar dari kamar tidur Barcode, lalu turun ke lantai dasar.

Suara Barcode menggema, memanggi-manggil nama Jeff. "Phi Jeff, aku mohon. Phi. Phi Jeff."

Jeff dengan rasa kesal di puncak kepala itu menatap Papa dan Mama Apo. Barcode menyusul dengan Siidam digendongannya.

"Phi Jeff, aku mohon. Biarkan aku —"

"Duduk, Jeff," kata Papa. "Ngod, ada apa na? Kalian bertengkar?"

Jeff menatap bingung Papa, tapi Barcode menarik tangannya untuk duduk di sofa. Jeff pun pasrah pada akhirnya. Entah apa yang sedang terjadi di sini. Agaknya dia merasa aneh dengan keramahan Papa Apo itu. Tidak tahu juga dirinya apa yang semua orang bicarakan saat ia dan Barcode naik ke kamar.

"Ngod berulang tahun," kata Papa. "Ngod mau makan malam bersama. Kami enggak akan menolaknya. Benar, Ngod?"

Barcode angguk kepalanya, "Khab."

"Yang sudah terjadi hari ini, sudahlah," imbuh Papa.

Semua orang bahkan putra kandung tuan rumah tidak bisa menyembunyikan rasa bingung yang bercampur terkejut. Sesungguhnya, tidak ada percakapan apa pun di antara semua jiwa itu. Meski Khun Paa memulai, Papa dan Mama enggan menimpal sampai akhirnya sosok Jeff muncul.

"Maaf," Khun Maa berkata. Ia ingin memastikan bahwa tidak ada tipuan apa pun di depan matanya karena nuansa dingin ini berbeda dengan beberapa detik lalu. "Apakah kalian sudah menerima hubungan Mile dan Apo, dan Jeff juga Ngod bisa ...."

Papa melempar senyumnya, menyela harapan Khun Maa, "Sayangnya, Apo bukan lagi bagian dari keluarga kami. Kami sudah enggak peduli dengan apa pun yang mau dia lakukan."

"Papa Apo," Khun Maa lembut menyela. "Tolong pikirkan kembali. Apo masih putra kandung kalian. Melepaskan ikatan—"

"Apo sendiri yang melepaskan na, Khun Maa Jeff," Mama menimpal. "Dia lebih memilih Mile daripada kedua orang tuanya. Maaf, kami enggak bisa sebijak kalian sebagai orang tua."

"Tapi—" tertahan laju lidah Khun Maa oleh Khun Paa. Ia menepuk pangkuan istrinya, lalu berkata, "Apo selalu diterima di keluarga kami, Papa Apo. Apo sudah seperti putra kami sendiri begitu juga Ngod ."

"Terdengar bagus. Dia sudah punya rumahnya sendiri. Tapi, Ngod putra kami. Jadi, rumahnya adalah dimana kami berada." Papa berdiri dari duduknya, pergi ke kamar membuat semua orang bertanya-tanya. Ia kembali tidak lama, dengan dokumen-dokumen di tangannya. "Seperti yang sudah dikatakan. Tanda tangani ini," katanya sambil menyodorkan semua dokumen yang diambilnya itu kepada Apo.

"Ini ...?"

"Pemindahan hak waris dan pernyataan bahwa Apo bukan lagi bagian dari keluarga. Kamu enggak memiliki hak apa pun setelah menandatanganinya, enggak bahkan satu persen pun saham."

Apo tahu hal ini akan terjadi kepadanya setelah memberikan hak waris kepada Barcode. Tanpa ragu pria dua tujuh membuka dokumen itu, tidak lagi ia membaca dan langsung akan menandatanganinya.

"Tunggu," Jeff menyela, menghentikan tinta yang nyaris menggores materai.

"Apa?" Tanya Apo.

"Apa benar Ngod akan dipindahkan ke Chulalongkorn?"

"Hah?!" Apo menatap tajam Papanya. "Memindahkannya??"

"Benar," Papa menjawab.

"Jangan seenaknya dengan hidup Barcode, Paa! Dia bersusah payah untuk masuk ke Cambridge!"

"Bukannya kamu yang bersikap seenaknya?" tegas Papa, masih bersikap tenang. "Kebebasan yang Papa berikan kepada kamu, enggak akan Papa berikan pada Ngod. Kamu bahkan sudah melewati batas."

Jeff merasakan erat tangannya digenggam. Ia tatap Barcode yang mencoba untuk bersikap tegar. Jeff berkata, "Aku mohon, untuk membiarkan Barcode menyelesaikan pendidikannya di Cambridge, Paman, Bibi."

"Semakin kalian bersama, semakin Ngod enggak mau berpisah dengan kamu."

"Kami mengerti perasaan Ngod," Mama menambahkan. "Karena itu, Ngod harus terbiasa tanpa kamu lagi, Jeff. Kenyataannya, Ngod jauh lebih baik saat dia menjadi sangat mandiri."

"Dan kalian enggak pernah melihat senyumnya? Apa itu jauh lebih baik?"

"Jangan merasa kalau dunia Ngod hanya kamu saja, Jeff."

"Bagaimana kalian bisa berkata kalian memahami perasaan Ngod kalau kalian sendiri enggak bisa membuatnya tersenyum?"

"Ngod yang memegang keputusan." Papa menyandar santai, ia tunjuk Barcode dengan dagunya. "Katakan, Ngod. Kamu mau tetap kuliah di Cambridge atau pindah ke Chulalongkorn?"

"Pindah."

"Barcode?" Tanda tanya tak percaya itu terdengar dari bibir Apo. "Phi minta maaf na, Phi enggak bermaksud untuk menempatkan kamu dalam situasi ini. Tapi, kamu bisa menolak. Kamu enggak harus menjadi pewaris karena perkataan Phu tadi."

Barcode menarik napasnya dalam, menghela tipis. "Sudah terlambat na, Phi Po. Aku menyayangi Mama dan Papa, mereka membuat aku mendapatkan peran dan sosok orang tua. Aku menyusahkan saat kecil dan mereka memberikan apa yang aku butuhkan."

"Jangan membalas budi, Barcode! Jangan mengorbankan kebahagiaan kamu hanya untuk balas budi."

"Phi Apo," kekeh Barcode. "Mungkin ini takdirku."

"Papa, Mama." Suara Apo rendah memohon. "Tolong izinkan aku surogasi, dan terima anak itu sebagai pewaris. Aku akan melakukannya. Tapi, jangan tuntut Ngod."

"Mengatakan itu setelah apa yang kamu katakan pada semua orang??" Papa menukas. "Kamu yang mengatakan kalau Ngod adalah pewaris. Kalau pun kami setuju dengan surogasi, maka Ngod yang harus melakukannya."

"Enggak mau," tolak Barcode. Suaranya mulai gemetar. "Aku enggak mau, Papa. Aku enggak mau memanfaatkan orang lain untuk keuntunganku sendiri.

"Iya. Memang enggak perlu. Kamu bisa menikah dengan perempuan nanti. Itu bukan memanfaatkan na."

"Papa Apo," Khun Paa membuka suaranya. "Enggak ada yang salah dengan anak surogasi. Bukankah dia tetap memiliki darah yang sama dengan putra-putra kita? Masyarakat kita sudah terbuka, Pemerintah pun enggak melarang. Kenapa kita yang terdekat malah menentangnya?"

"Silakan saja kalau Khun mau menerimanya, tapi kami enggak bisa." Papa lempar fokusnya pada Apo. "Tanda tangan."

"Paman," Jeff menyela. "Pendidikan Barcode sangat penting untuk perusahaan kalian. Kalau pun kalian enggak bisa memahami apa yang Barcode rasakan, seenggaknya kalian bisa memikirkan perusahaan.

"Barcode minim pengalaman dalam bisnis. Ilmunya di perkuliahan pun belum sempurna. Membawanya pindah ke Chulalongkorn hanya akan membuat Barcode mengulang pelajaran. Barcode diterima di Cambridge University dengan usahanya sendiri. Aku mohon hargai itu."

"Kamu sudah dengar sendiri jawaban Ngod," jawab Papa. "Ngod."

"Khab."

"Biarkan Barcode menyelesaikan pendidikannya lebih dulu, Paman," mohon Jeff.

"Phi Jeff, aku—"

"Aku berjanji akan meninggalkan Barcode kalau selama tiga tahun itu aku enggak bisa membujuk Paman dan Bibi untuk menerima anak surogasi Phi Po."

"Apa??" Barcode tidak terima. "Phi Jeff mau meninggalkan aku?"

"Kamu yang memilih Chulalongkorn dan mengikuti kemauan Paman dan Bibi tanpa memikirkan perasaan kamu sendiri, perasan Phi. Seharusnya Phi yang tanya, apakah kamu melakukan itu karena kamu mau meninggalkan Phi??"

Barcode kesal. Ia sudah sakit kepala dengan apa pun yang terjadi di hari ini. "Iya, sudah!" sentak Barcode. "Phi Jeff juga enggak menghargai keputusanku. Aku enggak membalas budi pada Mama dan Papa, tapi aku enggak bisa melakukan apa yang Phi Po lakukan!"

"Barcode," tuntut Jeff.

Terlempar napas itu kasar. Sudah meliar pikiran Barcode dengan tidak warasnya. Ia tertawa kecil, lalu renyah yang getir. "Kenapa kita bertengkar hanya karena keturunan?" tanyanya. "Semua orang mengorbankan kebahagiaanku."

"Ngod," Khun Maa mengambil wajah remaja itu. "Kita sedang memperjuangkan kebahagiaan Ngod na."

"Enggak ada yang peduli, Mama," rengek Barcode. "Enggak ada yang peduli ...."

Tangis itu kembali pecah. Khun Maa langsung memeluk putra terbungsunya itu.

"Kenapa Ngod enggak ikut Mama dan Papa Ngod pergi saja? Kenapa mereka meninggalkan Ngod di sini sendirian?"

"Ngod enggak sendirian na," Khun Maa usap-usap kepala Barcode. "Papa dan Mama menjaga Ngod sangat baik, sangat sayang. Phi Apo juga. Ngod enggak sendirian na. Kalau Ngod pergi bersama Mama dan Papa Ngod, Mama enggak akan bertemu Ngod."

"Berhenti bersikap kekanakan, Barcode!" sentak Mama. "Kamu lebih kuat sebelum kamu bersama Jeff! Kamu jadi sangat manja sekarang."

Barcode terdiam. Tangannya mengepal kuat.

"Ini berlebihan," dengus Jeff. "Paman dan Bibi bahagia melihatnya beberapa bulan lalu! Kalian melihat Ngod kecil yang kalian rindukan, tapi sekarang ...." Jeff tidak habis pikir. "Ngod masih tujuh belas tahun. Hal yang wajar dia merasakan ketakutan, ingin bersikap manja, dimengerti, kekanankan. Jangan menuntutnya untuk menjadi dewasa kalau kalian sendiri enggak bisa bersikap seperti orang dewasa!"

"Kamu mendikte kami, Jeff?!" Mama menukas.

Halus tegur lolos dari bibir Khun Paa, "Jeff."

"Barcode adalah anak yang kalian rawat sejak kecil, sejak orang tuanya meninggal. Dia masih punya darah yang sama dengan kalian! Kalian menyayanginya, tapi enggak pernah benar-benar menganggapnya bagian dari keluarga inti kalian. Sekarang, kenapa menuntutnya?

"Karena Phi Po?" dengus Jeff. "Kalian seharusnya menuntut orang itu, bukannya melimpahkan semua tanggung jawab pada Barcode!"

"Jeff Satur."

Jeff tarik napasnya dalam, membuangnya keras. Suara Khun Paa yang tegas meski rendah itu berhasil membuatnya terdiam.

"Papa Apo," Khun Paa kembali bicara. "Tolong pikirkan lagi."

"Keputusan sudah final. Ngod yang akan menggantikan posisi Apo di perusahaan. Apo bukan bagian dari keluarga kami lagi."

Apo dan Mile yang sudah tahu akan hal ini pun melempar tatap pada Barcode. Keduanya tidak yakin kata maaf akan mengembalikan senyum di wajah adik terkecil mereka.

"Paman, Bibi," Jeff merendahkan suaranya. Ego ia tahan mati-matian. "Aku mohon. Jangan bebankan hal ini pada Barcode."

"Beban apa?" Papa tertawa kecil. "Ngod menerimanya."

"Dia enggak akan menangis kalau dia menerimanya," Khun Maa berkata. "Wajah yang kalian lihat saat ini, adalah wajah Ngod yang sebenarnya. Yang menggambarkan kondisi hatinya, perasaannya."

Kesedihan, marah, kecewa. Wajah itu menunjukannya dengan sangat jelas.

Apo yang masih memegang pulpen itu segera menandatangani semua dokumen di depan mata. "Ini yang kalian mau," katanya sambil melempar semua dokumen-dokumen itu ke depan mata Papa. "Biarkan Ngod menyelesaikan kuliahnya di Cambridge. Aku sudah terlanjur bilang di depan semua orang, bahwa Penerus perusahaan sedang kuliah di Cambridge. Bukannya aneh tiba-tiba memindahkannya ke Chulalongkorn?"

"Kalau begitu, pindahkan Jeff ke Thailand," Papa mengambil dokumen-dokumen di atas meja. "Salah kalau kamu berpikir Papa akan membebaskan Ngod sama seperti Papa membebaskan kamu."

"Enggak bisa," Khun Paa kali ini memasang badan. "Jeff terikat kontrak untuk memegang perusahaan di Cambridge selama tiga tahun ke depan. Dia enggak bisa meninggalkannya begitu saja."

"Papa, pikirkan ini baik-baik," tekan Apo. "Kalau sampai Ngod pindah ke Chulalongkorn, akan banyak staf dan Direksi yang mempertanyakan kepindahannya. Bukan enggak mungkin dengan para kolega. Apa Papa mau semua orang berpikir bahwa Penerus perusahaan enggak mampu dengan pembelajaran di Cambridge?

"Kalau pelajaran di Cambridge saja dia enggak mampu, bagaimana dengan mengurus perusahaan. Papa harus ingat, aku lulusan Oxford. Banyak kolega yang mempercayaiku. Staf dan bahkan Direksi menghormatiku bukan karena aku adalah anak Papa, tapi karena kemampuanku.

"Aku enggak mau, sampai Nongku harus mendengar hal-hal buruk tentang dirinya yang bahkan bukan terjadi dengan kemauannya."

Jeff mendengus tipis. Keegoisan Apo setidaknya ia sukai kali ini. Hal itu terbukti dengan keraguan yang muncul di wajah Papa.

"Papa," Mama berbisik. "Apo benar. Kalau tiba-tiba Ngod pindah ke Chulalongkorn, banyak yang akan membicarakannya. Ingat saat acara tadi?"

Papa diam sesaat, ia menatap Barcode dan Jeff bergantian. Sungguh, ia sendiri tidak menyukai situasi ini. Apo benar-benar membuatnya kecewa, memaksanya untuk mengambil tindakan yang tidak pernah ia rencanakan untuk dilakukan.

"Ada syaratnya," Kata Papa. "Ngod enggak boleh lagi tinggal bersama Jeff."

"Enggak masalah," timpal Jeff cepat.

Berdecak Papa dengan jawaban cepat Jeff. "Jangan merasa senang, Jeff," dengus Papa. "Ngod enggak akan sendirian. Mama akan menemani Ngod di sana."

Jeff menatap kekasihnya yang masih didekap Khun Maa. Ia mencari jawaban dari keinginan Barcode di mata remaja itu. Pria dua enam menarik napasnya, mengembus pelan. "Oke," timpal Jeff. "Selama kuliahnya enggak terganggu."

"Phi Jeff, bagaimana kalau kita putus saja?"

"Ngod?" Khun Maa refleks menarik wajah remaja itu.

"Semuanya sama saja, Mama," kekeh Barcode. "Aku enggak akan bisa bertemu Phi Jeff. Dan enggak ada jalan keluarnya kecuali Mama dan Papa menerima surogasi Phi Po. Dan itu enggak akan pernah terjadi. Jadi ...." Barcode lempar tatap matanya pada Jeff. "Phi Jeff ...."

"Phi berjanji enggak akan pernah meninggalkan kamu."

"Sudah, jangan janji lagi. Aku enggak akan menuntut Phi Jeff."

"Ngod??"

Bel menggema merdu. Barcode menyeka kasar wajahnya, lalu berdiri dengan sambil menggendong Siidam. "Mama, itu makan malamnya. Aku sangat lapar."

Mama Apo segera bangun dari duduknya, kemudian menyusul Barcode ke daun pintu. Terlihat wajahnya lebih santai. Papa pun ikut berdiri, "Ayo, kita makan dulu. Ngod sangat menantikan makan malam ini."

Sesak rasanya hati Khun Maa dan Jeff. Dua orang itu sama-sama tahu bagaimana Barcode memang menantikan makan malam bersama ini. Tapi, situasi dan kondisinya telah berbeda. Rasa makanan yang tersaji di meja tidak tampak menggiurkan meski nyaris semua adalah makan yang mereka semua suka.

Meja makan itu sangat ramai dengan percakapan piring dan sendok. Benda-benda mati itu jauh terlihat hidup daripada makhluk hidup itu sendiri. Barcode sebenarnya sudah tidak berselera, dia ia yakin bahwa semua orang tidak lagi berselera makan. Jeff yang biasanya mampu memakan dua porsi steak itu bahkan tidak menghabiskan setengahnya. Matanya dengan tegas selalu melempar tatap kepada Barcode.

Barcode berdeham kecil, "Mama," panggil Barcode pada Khun Maa. "Apa hadiah untuk Ngod? Ngod masih boleh menerimanya?"

Khun Maa mengangguk kecil. Ia tidak tahu apakah hal ini akan berarti kala Barcode sudah memutuskan hubungannya dengan Jeff. "Venus, ambilkan di mobil."

"Kha, Khun Maa."

Venus yang sejak tadi membisu itu seolah tak ada kehadirannya. Ia cukup sadar diri bahwa ia bukanlah siapa-siapa, meski ia tidak menyukai apa pun yang terjadi antara Jeff dan Barcode. Khun Venus akhirnya menyayangkan bahwa hubungan yang Jeff susah payah perjuangkan itu harus berakhir lantaran situasi dan kondisi yang bukan terjadi karena kesalahan keduanya.

"Khun Maa," Khun Venus menyodorkan sebuah benda pipih.

"Terima kasih," timpal Khun Maa yang kemudian diangguki Khun Venus. "Ngod, ambil ini na, luk. Selamat ulang tahun."

Benda pipih yang berpindah tangan itu Barcode terima dengan senang hati. Ucapan terima kasih lolos lembut nan getir dari bibirnya. Barcode membukanya, dan ia dibuat terkejut dengan apa yang ada di tangannya.

Khun Maa dan Khun Paa melempar senyum kala wajah Barcode lurus kepada keduanya, menatap dengan rona penuh tanya.

"Khab," kata Khun Paa. "Itu punya Ngod na. Bukan hal yang besar. Tapi, Papa dan Mama mohon agar kamu bisa menjaganya na, luk."

Barcode tahan isaknya. Ia mengangguk cepat dengan bersusah payah untuk tidak meneteskan air mata.

"Jeff akan ada di Thailand, karena itu na ... Papa dan Mama memberikan kamu itu. Ngod anak Mama dan Papa juga, Ngod berhak dengan itu na."

Barcode langsung memasukkan kembali hadiah yang ia terima, "Khab. Ngod akan jaga baik-baik. Terima kasih, Papa, Mama. Ngod sayang Papa dan Mama."

Khun Maa tidak kuasa membulir air di pelupuk matanya. Ia ingin melihat Barcode tersenyum bahagia mendapatkan hadiah yang ia berikan. Tapi meski wajah itu mengukir senyuman, kebahagian tidak nampak terlalu jelas. Kalah ia dengan rasa sedih dan kecewa.

Malam itu, Jeff dan Barcode berpisah. Keduanya tidak lagi melempar kata, hanya saling beradu tatap.

"Phi Jeff, enggak mau peluk aku? Mungkin setelah ini, kita akan jarang bertemu."

Semua orang menatap dua sejoli yang memutuskan hubungan karena keterpaksaan. Jeff embus napasnya, lalu memeluk Barcode. Pria dua enam itu menenggelamkan wajahnya di bahu Barcode. Ia mencium lehernya, tidak peduli pada tatapan tajam Papa dan Mama Apo.

Jeff berbisik, "Phi sudah menawarkan, apa kamu enggak mau bergabung dengan Teater Phi? Kamu berbakat."

Tangan di pinggang Jeff itu mencubit keras, "Berisik," desisnya tipis.

"Phi sangat mencintai kamu na, Barcode. Sangat."

"Aku tahu. Maaf."

Jeff lepaskan pelukannya. Ia tatap manik-manik yang sedikit berkaca. "Jangan lelah-lelah. Jangan keras kepala dan memaksakan diri. Terima kasih sudah pernah mencintai Phi. Semoga kamu selalu bahagia."

Remaja tujuh belas itu menarik napasnya dalam. Ia mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya. Meski hanya sebuah sandiwara belaka, Jeff tahu bahwa kesedihan kekasihnya tidak ada yang direkayasa. Jeff tangkup wajah itu, lalu mencium bibir ranumnya membuat Barcode membelakak mata.

"Terima kasih," kata Jeff lembut.

"Okey."

Berpisah dua keluarga itu di tengah malam. Siidam pada akhirnya akan tinggal bersama Barcode karena kucing hitam itu jauh lebih menyayanginya daripada menyayangi Jeff. Barcode memutar tubuhnya, dan mendapati Papa dan Mama di daun pintu. "Kamu enggak akan kuliah di Cambridge," kata Papa.

Membola mata Barcode. "Hah?"

"Kamu pikir, Papa bisa dibodohi?"

"Ngod." Mama mengembus napasnya kasar. "Sejak kapan kamu suka berbohong? Ngod anak yang jujur na."

"Ma, Mama ... Aku."

"Papa dan Mama mengerti perasaan kamu. Benar-benar mengerti, Ngod." Mama membelai lembut pipi Barcode dengan ibu jarinya. "Kamu sangat mencintai Jeff, enggak mungkin melepaskan Jeff begitu saja. Meminta Jeff mengingkari janjinya untuk enggak meninggalkan kamu, itu sangat mustahil mengingat trauma yang kamu miliki."

"Berikan handphone kamu."

Barcode telan salivanya keras. Benar, dia dan Jeff hanyalah bersandiwara. Berpura-pura bahwa hubungan keduanya terpaksa berakhir karena keadaan.

"Ngod, berikan handphone kamu." Mama meminta.

Remaja yang tidak memegang ponsel itu bergegas berlari ke dalam kamar tidurnya. Ia mengambil ponsel dari atas meja, lalu berusaha menghubungi Jeff. Sialnya, ia mematikan ponsel itu hingga butuh waktu baginya untuk menghubungi Jeff. Sebelum waktu itu terjadi, ponsel Barcode sudah direbut oleh Papa.

"Enggak ada kontak apa pun antara Kamu dan Jeff. Enggak juga dengan Apo, Mile, atau pun orang tuanya."

"Papa ...." Barcode memohon. "Kenapa Papa sangat keras kepadaku?"

"Karena Papa sudah cukup belajar dengan membebaskan Apo!"

"Papa mengerti perasaanku. Aku mau tetap bersama Phi Jeff, Papa."

"Berhenti berpikir tentang Jeff!" Papa banting ponsel Barcode ke dinding. Jatuh benda pipih itu ke lantai setelah ia memantul jauh. Papa segera mengambil kartu sim ponsel Barcode, lalu mematahkannya. "Mama?" Panggil Papa. "Sudah hubungi penyedia operator untuk memblokir nomernya?"

"Sudah. Tiket ke Cambridge pun sudah di pesan. Kita berangkat jam satu dini hari."

"Papa! Mama!"

"Ngod, mengerti na. Ini demi keluarga kita. Demi kamu na," kata Mama.

"Enggak!" sergah Barcode. "Ini hanya untuk nama baik Mama dan Papa! Karena aku bukan anak kandung Mama dan Papa, jadi kalian sangat keras padaku! Sedangkan Phi Po—"

PLAK!

Nyaring bunyi itu menggema. Rasa panas di pipi remaja tujuh belas tidak pernah dirasakannya. Ia tidak nyeri sama sekali, tapi entah mengapa dadanya begitu sesak. Tawa itu lolos dengan sangat menyakitkan, "Ha, ha, ha ...."

"Ngod," Mama menangkup wajah Barcode. "Kenapa Papa menamparnya??"

Barcode tarik dirinya. Ia dorong kedua orang dewasa yang sudah memberikannya kehidupan di masa lampau, namun juga memberikannya kematian di masa kini dan mendatang.

"Ngod, luk ... Maa—"

Remaja tujuh belas itu langsung mengunci pintu kamarnya. Kakinya rubuh hingga ia terduduk di lantai. Punggungnya menabrak daun pintu. Air matanya mengalir begitu deras.

"Aaaaaaaa!!!"

Raung itu terdengar keras. Barcode tidak bisa lagi menahan gejolak di dadanya. Semua ini melampaui batas yang dapat ia tahan. Ketenangan saja tidak cukup membuatnya lepas dari apa yang terjadi saat ini.

"Papa, Mama, Ngod mau ikut Papa dan Mama. Kenapa meninggalkan Ngod??!

"Kenapa Papa dan Mama pergi??!!

"Aaaa! Phi Jeff ....!"

Barcode pegang kepalanya dengan kedua tangan. Ia cengkeram helai-helai rambutnya sendiri dengan kuat. "Aaaaaa ...! Mama, Ngod mau ikut Mama!"

Jatuh kepala itu ke atas lutut-lutut yang erat menyatu. Isak dan tangis terdengar pilu di balik daun pintu. Mama masih menemaninya, tidak menyangka bahwa keputusannya bersama sang suami akan membuat luka yang begitu dalam bagi Barcode.

"Phi Jeff, jangan tinggalkan aku. Jangan tinggalkan aku, Phi Jeff."

...••••...

Jeff yang sudah tiba di rumah Mile itu tersenyum menatap bingkai foto.

"Kamu enggak terlihatnm sedih," sinis Apo. "Kamu sebenarnya enggak begitu mencintai Barcode 'kan?"

"Aku enggak akan mengkarate Phi kalau aku enggak mencintainya sangat besar."

"Keras kepala."

"Apo," tegur Mile.

Apo mengembus napasnya berat, "Apa yang akan kamu lakukan, Jeff? Kalian sudah berpisah."

"Tapi, kami kasih saling mencintai. Aku berjanji enggak akan pernah meninggalkannya."

"Kamu juga berjanji pada Khun Paa kalau kamu enggak akan meninggalkannya dalam situasi dan kondisi apa pun, bahkan jika Khun Paa yang memintanya." Khun Paa duduk di sofa, menatap putra bungsunya yang masih memegang bingkai. "Kamu memegang janjinya."

"Jeff dan Barcode sebenarnya enggak benar-benar berpisah," terang Jeff. "Barcode hanya ingin pura-pura berpisah. Entah, dia sedang mau mengelabui Mama dan Papa Phi Po atau apa. Jeff enggak mengerti. Jeff hanya mengikutinya."

"Ralat na, mereka bukan Papa dan Mama Phi lagi,"tukas Apo.

"Jangan seperti itu na, luk," kata Khun Maa. "Mereka orang tua yang melahirkan kamu dan membesarkan kamu. Tanpa mereka, enggak akan ada Apo. Mile akan bingung mencari siapa orang yang dia cintai na."

"Khun Maa," Mile tertawa kecil. Ia mengalihkan. "Lalu, bagaimana kalian bertemu kalau Mama tinggal bersama Nong Ngod?"

"Handphone na. Aku juga bisa diam-diam ke kampusnya. Ngod bisa beralasan tentang kuliah, padahal dia di apartemenku."

"Jeff," kekeh Khun Maa. "Jangan nakal na, Ngod masih tujuh belas tahun."

"Na, nakal apa?" Jeff letakan kembali bingkai foto di tempatnya. "Barcode yang nakal asal Khun Maa tahu."

"Maksud kamu apa, Jeff?" tukas Apo.

Jeff embus napasnya kasar, "Jujur na. Meski kalian sebenarnya hanya sepupu, tapi kalian sangat mirip dalam menginginkan sesuatu."

"Phi akan karate kamu lagi kalau kamu sudah menyentuh Nong kes—" Terdiam kelu lidah Apo. "Jeff benar, Nong kesayangan itu sepertinya hanya sebuah label tanpa makna yang benar-benar nyata. Aku sangat egois."

Jeff embus napasnya. "Aku masih kecewa dan marah dengan apa yang kalian lakukan, tapi semua sudah terjadi. Aku enggak mau hubunganku dan Phi Mile rusak karena hal ini. Aku tahu kalian sangat menyayangi Barcode. Mungkin, memang takdir kami saja yang sedikit lebih terjal."

"Terima kasih," timpal Apo. "Sekarang, aku harus bicara pada Ngod."

Kakak Barcode itu mencoba menghubungi Barcode. Namun, panggilan itu tidak tersambung. "Handphonenya mati?"

"Mungkin lowbat."

"Kha. Sekarang, istirahat na," kata Khun Maa. "Hari ini terlalu lelah. Jangan sampai sakit."

"Khun Maa, apa yang Khun Maa berikan untuk ulang tahun Ngod?" Tanya Jeff.

"Bukan sesuatu yang besar na."

"Apa? kenapa kaitannya dengan Jeff yang pindah ke Thailand?"

"Khun Maa memberikan rumah, benar?" Tanya Apo.

Khun Maa mengangguk kepalanya, "Kha. Rumah itu akan ditempati oleh Ngod dan Jeff. Khun Maa sudah memilih Perumahan yang terbaik di sudut kota Bangkok. Masih asri dan nyaman. Kalian bisa bersantai di sana tanpa memikirkan pekerjaan."

"Jadi, tadi sertifikat rumahnya?"

"Kha."

"Terima kasih, Khun Maa, Khun Paa."

"Ngod seperti anak Khun Maa sendiri na, Jeff. Khun Maa sudah menyukainya sejak pertama melihat Ngod."

"Apo?"

"Haha, kha. Apo juga na, luk."

Apo langsung duduk di sofa, lalu memeluk Khun Maa erat-erat. Ia merasa sangat beruntung, karena meski orang tuanya tidak lagi menganggapnya ada, kedua orang tua Mile membuatnya seperti seorang raja.

"Kapan kalian akan memulai surogasi, Phi?" Tanya Jeff.

"Bulan depan, karena satu bulan ini harus mempersiapkan segalanya."

"Dimana?"

"Di Thailand saja. Negara kita sudah cukup bagus dengan dokter-dokter profesional di bidang ini. Fern juga enggak bisa keluar negeri karena pasien-pasiennya."

"Oh." Jeff duduk di samping Khun Paa. "Kenapa Phi Fern?"

"Dia teman baik Phi selama Sekolah Menengah Atas na, Jeff. Apo juga mengenalnya."

"Apa Phi tahu kalau Phi Fern itu—"

"Psikiater Nong Ngod?"

"Hm," angguk Jeff.

"Benarkah?" tanya Khun Paa tak percaya.

"Benar. Aku tahu kalau Nong Ngod memiliki trauma karena Fern bercerita."

"Barcode tahu, kalau Phi Mile mengenalnya? Atau Phi Po?"

"Enggak tahu," timpal Apo.

"Ada apa?"

"Barcode cerita kalau Phi Fern menemuinya. Memberitahu Barcode untuk tenang dalam mengambil keputusan."

"Syukur na," kata Khun Maa. "Enggak ada dari kita yang bisa bicara dengannya tadi. Fern seenggaknya lebih peka dengan kondisi Ngod."

"Hm," gumam Jeff. "Semoga semuanya baik-baik saja."

Harapan itu seketika menguap kala Jeff mencoba menelepon Barcode di keesokan paginya. Jeff berencana membawa anak remaja itu ke StuonSuns dengan tameng bertemu Gemini dan Fourth.

"Apa dia masih tidur?"

"Belum bisa, Jeff?" Tanya Khun Maa sambil meletakan secangkir kopi hitam di atas meja.

"Belum." Jeff embus napasnya keras. Ia letakkan ponsel di atas meja sedikit lebih keras. Terlihat dirinya menjadi sebal.

"Mungkin masih tidur na. Ngod jauh lebih lelah dari kita. Biarkan Ngod istirahat dulu."

Pria dua enam itu mengangguk pasrah. Ia sesap kopi hitam tanpa gula itu. Rasa pahit dengan sensasi asam di lidah itu entah kenapa tidak Jeff rasakan, seperti ia tidak bisa merasakan rasa kopi itu sendiri.

Perasaanya tidak tenang.

...••••...

BAGIAN 034

DIPUBLIKASIKAN: MINGGU, 29 SEPTEMBER 2024.

Love,

RINEEST♡