The Garuda System Rise Of The Forgotten
Arya berjalan menyusuri koridor sekolah dengan kepala tertunduk. Dia sudah terbiasa dengan tatapan sinis dan ejekan yang menghujam dari setiap sudut. Bagi sebagian besar teman-temannya, dia tidak lebih dari sekadar "sampah". Tubuhnya yang kurus, wajahnya yang kusut karena terlalu sering bekerja tanpa istirahat cukup, dan pakaiannya yang sederhana membuatnya selalu menjadi sasaran empuk. Hari ini tidak ada bedanya.
"Arya si pecundang, lewat lagi!" Salah satu siswa berteriak saat ia melintasi lorong, diikuti oleh tawa ejekan yang lain. Arya menghela napas, mencoba mengabaikan mereka seperti yang selalu ia lakukan.
Setiap hari, Arya dipaksa menelan kenyataan pahit hidupnya. Ibunya meninggal saat ia masih kecil, dan ayahnya menyusul tidak lama setelah itu, korban kecelakaan yang sama. Sejak saat itu, ia hanya memiliki kakeknya, seorang pria tua yang penuh kasih tetapi tak punya banyak harta selain rumah kecil dan barang-barang antik yang jarang disentuh. Setelah kakeknya meninggal, Arya hanya bisa bertahan dengan bekerja sebagai kurir makanan di sebuah restoran, dan paruh waktu di mini market. Kehidupan ini memang keras, namun lebih baik daripada kelaparan di jalan.
Namun, hari itu berbeda. Ketika Arya hampir sampai di pintu keluar sekolah, langkahnya terhenti oleh suara yang begitu familiar—suara yang selalu berhasil membuat hatinya berdebar, tetapi kini lebih sering membuatnya terluka. "Arya!"
Seketika, tubuhnya membeku. Di hadapannya berdiri empat orang pemuda yang sering menjadi mimpi buruknya. Mereka adalah sekelompok anak-anak orang kaya yang selalu merasa berkuasa atas segalanya. Di antara mereka, berdiri kekasihnya—mantan kekasihnya sekarang—Reva. Arya pernah berpikir bahwa Reva adalah satu-satunya orang yang melihatnya sebagai lebih dari sekadar "pecundang". Tapi hari ini, senyumnya yang dulu penuh kehangatan itu hilang, digantikan tatapan dingin yang tak peduli.
“Ada apa, Reva?” tanya Arya, meski hatinya sudah tahu jawabannya.
Reva melipat tangan di dadanya, raut wajahnya tampak enggan. "Arya, kita sudah nggak bisa terus begini. Aku udah capek. Kamu nggak bisa kasih aku apa-apa."
Kata-kata itu menghantam Arya seperti pukulan telak. "Apa maksudmu? Aku selalu berusaha..."
"Berusaha?" Salah satu pemuda, Raka, si anak pengusaha kaya, tertawa sinis. "Berusaha apa, Arya? Lihat dirimu. Kamu nggak punya apa-apa. Reva butuh lebih dari itu."
Reva mengangguk, meski sedikit ragu. "Aku nggak bisa terus bersama seseorang yang... yang nggak punya masa depan, Arya."
Arya mencoba menahan perih di dadanya, menatap Reva dengan pandangan tak percaya. “Jadi ini semua karena aku nggak punya uang? Apa itu benar-benar alasanmu?”
“Bukan cuma itu, Arya,” potong Raka, melingkarkan lengannya di pinggang Reva. “Dia butuh seseorang yang bisa menjaganya. Seseorang seperti aku.”
Tawa meledak dari sekelompok pemuda itu, dan sebelum Arya bisa bereaksi, mereka mencengkeram lengannya. “Ayo, kita kasih dia pelajaran,” bisik salah satu dari mereka dengan kejam.
Arya digiring keluar dari sekolah tanpa ada yang peduli. Mereka membawanya ke bawah jembatan besar di pinggir kota—tempat yang sepi, jauh dari keramaian. Tanpa peringatan, pukulan pertama menghantam wajahnya. Tubuhnya terhuyung, namun sebelum ia bisa melawan, pukulan-pukulan berikutnya menghantam perut dan punggungnya, menjatuhkannya ke tanah.
“Ini untuk jadi pecundang,” kata salah satu pemuda sambil menendang rusuk Arya.
Arya tak mampu melawan. Tubuhnya terlalu lemah, keletihan dari pekerjaannya membuatnya tidak bisa bertahan lebih lama. Setiap pukulan, setiap hinaan yang dilemparkan, hanya memperdalam rasa sakit yang telah lama ia simpan di dalam hatinya. Akhirnya, setelah pukulan terakhir menghantam kepalanya, semuanya menjadi gelap. Arya terbaring di pinggir sungai, tidak bergerak, hanya merasakan dinginnya air yang mengalir perlahan menyentuh tubuhnya yang babak belur.
Ketika Arya tersadar, matahari sudah mulai tenggelam. Langit yang tadinya cerah berubah menjadi warna jingga yang pekat. Ia duduk perlahan, merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Kepalanya berdenyut hebat, dan pandangannya sedikit kabur. Dengan tertatih, Arya bangkit dan menyeret tubuhnya menuju rumah.
Namun, bahkan saat ia berhasil sampai di rumahnya yang kecil dan sederhana, masalah belum selesai. Dia ingat bahwa ia sudah terlambat untuk bekerja. Dengan sekuat tenaga, Arya mengabaikan rasa sakitnya dan bergegas menuju restoran tempat ia bekerja.
Saat ia tiba, bosnya yang gemuk dan berkumis lebat sudah menunggunya di depan pintu. Wajah bosnya terlihat marah. "Arya! Kamu terlambat lagi! Ini sudah ketiga kalinya minggu ini!"
"Saya... maaf, Pak," Arya berusaha menjelaskan, meskipun bibirnya terasa kaku. "Ada masalah di jalan, saya—"
"Sudahlah!" potong bosnya. "Aku nggak mau dengar alasan. Kamu tahu ini sudah berkali-kali. Aku nggak bisa terus-terusan ngasih kamu kesempatan. Kamu dipecat!"
Kata-kata itu menghantam Arya lagi, membuatnya terdiam. Dia baru saja kehilangan pekerjaannya, satu-satunya tempat di mana dia bisa mendapatkan sedikit uang untuk hidup. Tanpa berkata apa-apa lagi, Arya pergi meninggalkan restoran dengan langkah gontai.
Namun, penderitaannya belum selesai. Di mini market tempat dia bekerja paruh waktu, nasibnya tak jauh berbeda. Manajer toko yang keras dan tanpa belas kasihan sudah menunggu di belakang meja kasir. "Arya, kamu terlambat lagi. Kamu udah nggak bisa kerja di sini lagi. Aku butuh orang yang disiplin, bukan orang yang selalu datang terlambat dan bikin masalah."
Arya hanya bisa menunduk. Tidak ada yang bisa ia katakan untuk membela diri. Semua kejadian hari ini terasa seperti mimpi buruk yang terus berlangsung. Perlahan, ia berjalan pulang, tubuhnya penuh luka dan hatinya hancur berkeping-keping.
Saat ia tiba di rumah, langit sudah benar-benar gelap. Arya masuk ke dalam rumahnya yang sunyi, melempar tasnya ke lantai, dan jatuh terduduk di sofa. Air matanya mengalir tanpa henti. Semua yang ia perjuangkan, semua kerja kerasnya, seolah sia-sia. Dia sudah kehilangan segalanya—pekerjaannya, harga dirinya, bahkan orang yang pernah ia cintai.
Namun, di tengah kegelapan hatinya, satu hal mulai merambat ke dalam pikirannya. Kakeknya selalu berkata bahwa segala sesuatu yang berharga di dunia ini tidak pernah mudah ditemukan. Tiba-tiba, Arya teringat cerita tentang ruang rahasia yang selalu disinggung kakeknya, meskipun tak pernah menjelaskan lebih lanjut.
Dengan langkah pelan, Arya berdiri dan mulai memeriksa setiap sudut rumahnya. Setelah hampir satu jam mencari, ia akhirnya menemukan pintu tersembunyi di balik lemari besar di ruang bawah tanah. Tanpa ragu, Arya membuka pintu tersebut, menuruni tangga gelap, dan menemukan ruangan kecil yang dipenuhi benda-benda antik. Di tengah ruangan itu berdiri sebuah patung garuda emas.
Patung itu tampak begitu megah, bercahaya meskipun ruangan itu gelap. Arya mendekat, merasakan getaran aneh di udara. Ketika tangannya menyentuh patung itu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Patung itu bergetar dan memancarkan cahaya yang sangat terang, dan sebelum Arya sempat melepaskannya, patung tersebut berubah menjadi makhluk hidup. Burung garuda itu terbang, menghantam tubuh Arya dengan kekuatan luar biasa.
Arya jatuh terkapar, namun kali ini, bukan rasa sakit yang ia rasakan, melainkan sensasi aneh yang menyebar ke seluruh tubuhnya. Saat ia bangkit, punggungnya terasa hangat, dan ketika ia melihat pantulan dirinya di cermin yang tergantung di dinding ruangan itu, ia melihat tato besar berbentuk burung garuda yang mengepakkan sayapnya lebar di punggungnya.
Dari situlah kisah baru Arya dimulai kisah yang akan mengubah segalanya.
Arya yang memandangi punggung nya melalui cermin itu, dengan menahan rasa sakit yang begitu menyiksa di seluruh tubuhnya. Punggungnya terasa terbakar seperti ada sesuatu yang mengukir di dalam dagingnya, tapi saat ia meraba punggungnya, ia menemukan hal yang lebih mengejutkan sebuah tato besar dan timbul berbentuk Garuda, mirip dengan lambang negara Indonesia, mengepakkan sayapnya lebar. Tato itu begitu nyata dan hidup, seakan terbuat dari cahaya emas yang menyatu dengan kulitnya.
Sebelum Arya sempat mencerna apa yang terjadi, tubuhnya tiba-tiba mengalami sensasi yang sangat menyakitkan. Rasanya seperti seluruh tulang-tulang di tubuhnya dihancurkan, lalu dipaksa untuk disusun ulang hanya untuk dihancurkan lagi. Arya menggeliat di lantai, mengerang dalam kesakitan. "Apa ini? Kenapa tubuhku sakit sekali......aachhhhhhhhhhhhhhh" pikirnya panik. "Apakah ini siksaan di akhirat?"
Perlahan-lahan, luka-lukanya mulai menyembuhkan diri. Tulang rusuk yang sebelumnya retak dan nyaris patah kini mulai menyatu kembali, merapat dalam posisi yang sempurna. Namun, proses itu tidaklah mudah. Setiap detik terasa seperti siksaan tanpa henti. Jeritannya menggema di ruangan bawah tanah, namun tidak ada yang mendengarnya.
Rasa sakit itu berlangsung selama 1 jam tak kunjung berhenti, hingga Kegelapan menyelubungi kesadarannya saat rasa sakit mencapai puncaknya, dan akhirnya, Arya jatuh tak sadarkan diri.
Selama ia tidak sadarkan diri, tubuhnya mengalami perubahan yang luar biasa. Darah hitam pekat merembes keluar dari pori-porinya, membasahi lantai di sekitarnya. Darah itu tampak seperti racun yang terkumpul dari seluruh tubuhnya, dan ketika habis, tubuh Arya berubah. Kulitnya yang kusam kini terlihat lebih sehat, otot-ototnya lebih terdefinisi, dan wajahnya yang semula biasa saja kini tampak lebih tampan, dengan rahang yang lebih tegas dan sorot mata yang dalam meski masih tertutup.
Ketika Arya akhirnya terbangun, kepalanya berdenyut hebat. Pandangannya berkunang-kunang sejenak saat mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekitarnya. Ia merasa seolah baru saja melewati mimpi buruk yang tak pernah ada habisnya. Namun, saat matanya terbuka, hal pertama yang ia lihat membuatnya terkejut.
Di hadapannya, melayang sebuah hologram berwarna biru transparan. Tulisan yang terpampang di depannya seperti sesuatu yang hanya bisa ia lihat dalam game atau film-film fiksi ilmiah.
_"Welcome to the Garuda System. Are you going to log in? Press Yes or No."_
Arya mengerutkan alisnya. "Apa ini? Kenapa dengan penglihatanku!!" Ia mengusap matanya, berpikir mungkin ini hanyalah halusinasi akibat rasa sakit yang baru saja ia alami. Namun, hologram itu tetap ada, tak peduli seberapa keras ia mencoba mengabaikannya.
Dengan perasaan bingung, Arya melihat kedua opsinya: *Yes* atau *No*.
"apa yang harus kulakukan, kalau aku memilih ya entah apa yang terjadi dan kalau memilih tidak aku juga tidak tau kedepannya...tidak ada yang bisa menjelaskan ini! Membuatku bingung!".
"Ya sudahlah, aku akan mencoba memilih yes, semoga menjadi sebuah keberkahan dan keberuntungan..!" Dia pun mencoba berpikir lebih positif dan menerima apapun yang terjadi..
Entah karena keinginan untuk mengakhiri kebingungannya atau karena rasa penasaran yang besar, Arya tanpa berpikir panjang akhirnya menekan *Yes*.
Tiba-tiba, layar itu berubah, menunjukkan hitungan mundur.
_"Loading data downloud user"_
_"Data download will be completed in...."_
_"10...9...8...7..."_
Arya merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Ada sesuatu yang menggetarkan di udara, seolah-olah dunia di sekitarnya tengah berubah.
Dia berharap ini semua adalah sebuah keberkahan dan keberuntungan yang diberikan tuhan kepadanya, yang selama ini kehidupannya begitu miris dan menyakitkan hati.
_"6...5...4...3...2...1..."_
Begitu angka terakhir menghilang, suara dalam kepalanya menggema, seakan berasal dari dalam pikirannya sendiri.
_"Selamat datang, Arya. Saya adalah Garuda System, dan mulai saat ini, saya akan menjadi pendampingmu."_
Suara itu terdengar tenang dan penuh otoritas, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar suara. Arya merasakan kehadiran entitas ini, bukan hanya dalam bentuk kata-kata, tetapi seolah-olah sistem ini terhubung langsung dengan tubuh dan pikirannya. Arya mencoba memahami apa yang terjadi, namun suaranya kembali muncul, lebih jelas kali ini.
_"Garuda System adalah sistem yang akan membantumu mencapai kekuatan dan kebesaran yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya. Setiap misi yang kau jalankan, setiap tantangan yang kau selesaikan, akan memberimu hadiah berupa uang, harta, benda, dan juga keterampilan khusus. Seperti dalam permainan virtual, kau dapat melihat statistikmu, meningkatkan kemampuan, dan bahkan membeli barang melalui sistem ini."_
Arya masih terdiam, mencoba meresapi semua yang didengarnya. Ini terlalu tidak masuk akal. "Sistem... seperti game virtual?" gumamnya pada diri sendiri. Dia memang seorang gamer di waktu-waktu luangnya meskipun belakangan ini ia hampir tidak punya waktu luang karena pekerjaan tetapi apa yang terjadi sekarang jauh melampaui imajinasinya.
_"Benar sekali," jawab sistem dengan nada yang sedikit lebih ringan. _"Kau sekarang bagian dari sistem ini. Setiap hari, kau akan diberikan misi harian, misi acak, dan bahkan misi rahasia. Setiap kali kau menyelesaikan misi, statusmu akan meningkat, dan kau akan mendapatkan reward yang sesuai."_
Seketika, sebuah layar baru muncul di hadapannya. Di layar itu tertera berbagai data tentang dirinya, lengkap dengan informasi yang mirip dengan game RPG yang pernah ia mainkan.
**[Garuda System Status Table]**
**Nama Pemilik:** Arya
**Umur:** 18 tahun
**Kekuatan Fisik:** 8 (di bawah rata-rata)
**Kekuatan Energi:** 5 (belum aktif)
**Stamina:** 10 (normal)
**Kecerdasan:** 12 (di atas rata-rata)
**Pengalaman Bertarung:** 2 (amatir)
**Saldo Poin Pengalaman:** 0
**Saldo Uang:** 0
**List Harta Pemilik:** Belum ada
**List Senjata:** Belum ada
**Toko System:** [Klik untuk membuka]
**Penyimpanan Tak Terbatas:** [Klik untuk membuka]
Arya terperangah melihat tabel status itu. Semuanya tampak begitu nyata, namun begitu absurd pada saat yang sama. **Kekuatan fisik? Kekuatan energi? Pengalaman bertarung?** Semua ini terdengar seperti statistik dalam game RPG. Tapi ini bukan permainan—ini nyata!
_"Mulai saat ini, kau akan menjalani hidupmu dengan bantuan saya. Ada banyak misi yang menantimu, dan setiap misi akan membantumu menjadi lebih kuat. Apakah kau siap, Arya?"_
Suara Garuda System terdengar tenang namun penuh harapan. Arya menggelengkan kepalanya, masih belum sepenuhnya percaya dengan apa yang terjadi. Namun, di balik kebingungannya, ada rasa penasaran yang mulai tumbuh. Jika ini benar-benar nyata, ini adalah kesempatan yang selama ini ia impikan kesempatan untuk membalas dendam pada mereka yang telah menghinanya, kesempatan untuk mengubah nasibnya.
"Siap atau tidak, aku harus menerima ini," pikir Arya. Ia tahu hidupnya sudah berada di titik terendah, dan tidak ada lagi yang bisa ia hilangkan.
"Baik," Arya bergumam pelan, "Aku siap."
Dengan perasaan campur aduk antara ketakutan dan harapan, Arya memutuskan untuk menerima takdir barunya, tak menyadari bahwa hidupnya akan berubah selamanya sejak saat itu.