SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Bringing Back, My Wife

Bringing Back, My Wife

BBMW BAB 1 - Tunggu Aku Bell, Aku Mohon

Sebelum baca cerita ini, pastikan kalian udah baca Letting Go My Husband ya, dikit kok eps nya cuma 50.

Selamat membaca😘

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

 “Tuan, pakailah mobil saya, biar motor ini saya yang bawa,” ucap Ben pada tuannya, Azam Malik. 

Saat mereka sudah keluar dari bandara Internasional Soekarno-Hatta dan kini berdiri di samping motor matic berwarna hitam. Berada di area parkir khusus roda dua.

Azam adalah anak satu-satunya laki-laki di keluarga Adam Malik. Anak yang di gadang-gadang menjadi penerus kerajaan bisnis Malik Kingdom. 

Tak hanya memiliki paras tampan nan rupawan, Azam juga bergelimang harta yang berlimpah. 

Namun karena satu kesalahan yang ia lakukan, Azam kehilangan semua yang ia miliki. Tidak hanya nama keluarga Malik yang hilang dari dirinya, namun Istri tercintanya pun pergi meninggalkan dirinya, Arabella.

Berada di titik terendah dengan hati yang hancur lebur. 

Ia bahkan sampai tidak mendengar ucapan Ben itu, yang hanya seperti angin lalu di telinganya. 

Bayangan sang istri masih terekam jelas di ingatan. Bella yang mengacuhkan panggilannya, yang tidak sudi menatap dirinya lagi, yang kini memutuskan untuk pergi ke Singapura dan meninggalkannya seorang diri disini. 

Hati Azam hancur, remuk. 

Bahkan tanpa memperdulikan Ben yang sedari tadi setia mendampingi dirinya, Azam langsung saja memakai helm dan memelajukan motornya begitu saja. 

Meninggalkan Ben yang menaruh iba pada sang tuan. 

Kesalahan tuannya itu memang sudah tidak termaafkan. Azam berselingkuh, mengkhianati sang istri. Lalu karena itu pula Azam sampai tidak menghadiri pemakaman sang nenek. 

Penyesalan Azam kini tidak ada gunanya, karena semua orang sudah menaruh rasa kecewa. 

Tak menunggu lama setelah tuannya pergi, Ben pun segera menuju mobilnya dan menyusul sang tuan. 

Tujuan Azam kini hanya satu, Bar milik sang sahabat, Arnold. Dan Ben pun langsung segera menuju kesana. 

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Sampai di Bar, Azam langsung menuju lantai 3. Lantai yang kini ia gunakan sebagai tempat tinggal. Karena Azam sudah tidak memiliki apapun. Bahkan uang yang ia pegang kini hanya ada 1 juta, pemberian dari sang tente, Aida. 

Masuk kesana dan langsung menuju sebuah meja. Meja kerja milik Azam. 

Meja kerja yang menghadap langsung ke arah dinding kaca. Tiap kali duduk di sana Azam seolah menerawang keberadaan sang istri yang kini berada di negeri orang. 

Seolah dari sana, Azam bisa melihat Bella.

"Tunggu aku Bell, aku mohon," gumam Azam lirih. Bahkan hatinya masih terasa berdesir ngilu.

Lamunan Azam putus saat mendengar pintu ruangannya di ketuk. Lalu terdengar suara Ben dari luar sana. Azam lantas kembali bangkit dan membuka pintu itu. Lalu mempersilahkan Ben untuk masuk.

Kini Ben bukan lagi asisten pribadinya, Azam sudah menganggap seperti seorang teman.

"Ada apa Ben?" Tanya Azam, ia bahkan belum sadar juga jika sedari tadi Ben terus mengikuti dirinya.

"Tuan_"

"Jangan panggil aku Tuan," potong Azam cepat. 

"Panggil saja namaku," timpal Azam lagi. 

Meski lidahnya kelu namun Ben coba untuk membiasakan diri. Mulai memanggil Azam tanpa embel-embel Tuan dan hanya memanggil nama. 

Ben menganggap jika ini adalah perintah. 

"Saya akan selalu membantu anda Zam," ucap Ben, masih terdengar begitu formal. Membuat Azam tersenyum kecil merasa lucu. 

Mereka berdua lantas mulai berselancar mencari pekerjaan di dunia maya. 

Keduanya sadar betul inilah langkah awal yang harus mereka lakukan saat ini. 

Namun sayang, dari banyaknya perusahaan yang ada di Indonesia. Tidak ada satupun yang mau menerima Azam. 

Bahkan tanpa segan mereka semua menolak. 

Sibuk berkutat di depan komputer, kedua pria ini sampai tidak sadar jika waktu sudah nyaris sore. Mereka bahkan sampai melupakan makan siang. 

Lebih parah lagi Azam sedari tadi pagi belum mengisi perutnya. 

"Saya rasa ini semua perintah tuan Adam, untuk tidak menerima anda di perusahaan manapun," lirih Ben dan Azam pun membenarkannya. 

"Gunakanlah jati diri saya Zam, kita berganti peran." Ben mengucapkan ide gila, namun dengan cepat pula Azam menggelengkan kepalanya.

"Tidak perlu Ben, kita cari solusi yang lain," jawab Azam, mencoba meyakinian Ben bahwa semuanya akan baik-baik saja.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Di mansion Adam.

Ponsel Adam sedari tadi terus bergetar, namun si pemilik masih termenung, berdiri di dekat dinding kaca dan menatap kosong ke arah luar sana.

Pikiran Adam berkecamuk memikirkan banyak hal. 

Tentang anak-anaknya, nasib perusahaan dan utuhnya keluarga Malik. 

Lamunan Adam terhenti saat merasakan sentuhan lembut sang istri yang memeluknya lembut dari arah belakang. 

Haura datang untuk mengantarkan kopi hangat. Namun mendadak jadi sendu pula saat melihat sang suami yang termenung, sampai-sampai tidak sadar jika ponselnya bergetar.

"Mas, ponselmu ada yang menelpon. Sepertinya dari salah satu rekan bisnismu. Tadi aku sempat lihat," ucap Haura seraya menyandarkan kepalanya di punggung sang suami. 

Dan Adam memutar tubuhnya lalu membalas pelukan sang istri tak kalah erat. 

"Baiklah, tunggu disini, aku akan angkat telepon dulu," jawab Adam, karena hingga kini pun ponsel itu terus bergetar. 

Haura mengangguk dan keduanya saling melepaskan pelukan. 

Adam dengan segera menjangkau ponselnya di atas meja kerja. Dan benar saja ada panggilan masuk dari salah satu kolega. 

Di ujung sana koleganya itu menyampaikan jika beberapa jam lalu Azam melamar pekerjaan di perusahaan miliknya. Namun ia menolak dan tidak menerima Azam. 

Adam hanya diam karena memang itulah yang ia perintahkan kepada Kris. 

Jika tetap ingin menjalin hubungan baik dengan Malik Kingdom maka jangan terima Azam masuk di perusahaan kalian.

Itulah perintah Adam pada sang asisten untuk disampaikan pada semua koleganya. 

"Baiklah, terima kasih Tuan," jawab Adam.

Dan terputuslah panggilan itu. Sementara Haura yang ikut mendengar ucapan sang suami pun tersenyum kecil.

Sedari dulu Adam selalu bicara singkat seperti itu dalam panggilan telepon bersama koleganya.

Padahal baginya Adam itu begitu cerewet. 

Haura tidak tahu, jika Adam ingin menyembunyikan perihal pembahasan yang dibicarakan dengan koleganya barusa. 

Tentang Azam, anak pertama mereka yang sudah melakukan kesalahan fatal. 

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Malam hari.

Arnold datang ke Bar. Tiap malam ia memang akan selalu datang kesini untuk memeriksa keadaan Bar.

Kini ada Azam ia ia pun memutuskan untuk menginap. 

Sehabis makan malam bersama, Arnold memutuskan untuk turun dulu ke lantai 1 dan ikut melayani para pengunjung Bar. 

Sementara Azam kembali berkutat di depan komputernya.

Sadar tidak bisa mencari pekerjaan di dalam negeri. Azam mencoba keberuntungan di negara lain. 

Dan berkat kemampuannya yang menjadi ahli bahasa, akhirnya Azam mendapatkan kesempatan untuk menjadi penerjemah online di beberapa perpustakaan ternama luar negeri. 

Setidaknya ini menjadi langkah awal yang baik untuknya. 

Mendapatkan pekerjaan. 

"Zam," panggil Arnold. 

Terlalu fokus menerjemahkan beberapa buku melalui komputernya, Azam sampai tidak sadar jika Arnold sudah kembali. 

Saat ini sudah tepat jam 11 malam.

"Apa yang kamu lakukan?" Tanya Arnold, ia menarik salah satu kursi dan duduk persis di sebelah Azam. Ikut pula menatap layar komputer. 

"Menerjemahkan buku," jawab Azam apa adanya dan mendengar itu Arnold tersenyum kecil.

Menjadi penerjemah adalah kegemaran Azam sejak kecil. 

"Aku akan membantumu menjadi penerjemah di kedutaan Australia, paman ku bekerja disana," ucap Arnold dengan senyum lebar.

Senyum yang membuat Azam tersenyum pula. 

Bekerja di kedutaan luar negeri akan mendapatkan gaji yang lebih besar ketimbang hanya sebagai penerjemah di perpustakaan.

"Benarkah?" Tanya Azam dan Arnold mengangguk.

"Terima kasih," jawab Azam lagi dan Arnold langsung memeluk sahabatnya itu.

"Jangan berterima kasih," balas Arnold, setelah keduanya saling melepaskan pelukan. 

BBMW BAB 2 - Seperti Seorang Penguntit

Hari berlalu.

Jam 5 subuh Azam baru saja selesai melaksanakan shalat subuh bersama Arnold.

Selepasnya Arnold pamit pergi karena pagi ini ia harus meninjau beberapa cafe yang ia punya.

Sementara Azam masih bersimpuh di atas sajadahnya. Semalam, meski hanya terlelap beberapa jam namun ia sempat memimpikan sang istri, Arabella.

Mimpi indah dimana ia dan Bella saling bertukar canda di atas ranjang milik mereka berdua, di mansion pemberian orang tua mereka dulu.

Pagi ini kembali teringat mimpi itu dan membuat Azam tersenyum getir.

"Aku akan membuat mimpi itu jadi nyata," ucap Azam, sebuah kata-kata yang menjadi doanya.

Memantapkan hati, Azam lalu bangkit dan melipat sajadah. Lalu segera menuju meja kerjanya dan memakai kaca mata.

Dulu waktu kecil Azam selalu menggunakan kacamata bulat untuk melapisi matanya agar tidak sakit saat sakit membaca.

Lalu beranjak dewasa ia mulai melepaskan kaca mata bulat itu. Kacamata yang membuatnya terlihat seperti pria cupu dan kutu buku.

Namun kini, Azam kembali menggunakan kacamata itu.

Semenjak bekerja menjadi penerjemah online di beberapa perpustakaan membuatnya selalu berada di depan komputer. Bahkan buku-buku tebal kini menjadi makanannya 5 hari terakhir.

Tapi kini Azam tidak menggunakan kacamata berbentuk bulat, ia memilih bentuk persegi. Kaca mata itu kembali ia beli menggunakan uang pemberian tante Aida.

Dan kini kaca mata itu kembali membuat Azam terlihat seperti pria cupu dan kutu buku.  Namun tetap saja tidak bisa menutupi ketampanan nya. Aura tuan muda tidak pernah lepas dari diri Azam.

"Kirim," gumam Azam, saat pekerjaan selesai dan ia mulai mengirimnya melalui email.

Dan tak berselang lama, ponselnya berbunyi sebuah notifikasi. Satu pesan masuk ia terima. Pesan dari mobile banking tentang masuknya sejumlah uang. Honor pertama yang ia terima.

"Aku bisa menemui Bella menggunakan uang ini," gumam Azam, menatap layar ponselnya dengan bibir yang tersenyum kecil.

Lalu mulai melakukan pemesanan penerbangan pesawat menuju Singapura, besok saat malam hari. Jadi paginya ia bisa langsung menemui Bella.

Selesai dengan itu, Azam segera bergegas keluar. Ia berniat mengembalikan uang pemberian tante Aida dan menemui ayah dan ibunya.

Meski tahu ia akan ditolak, namun Azam akan datang tetap datang. Azam sungguh ingin melihat wajah sang ibu.

Menggunakan motor matic Azam mulai membelah jalanan kota Jakarta. Seperti yang lainnya, saat menggunakan motor seperti ini matahari terik langsung mengenai tubuh. Bising suara kendaraan yang lain pun makin jelas terdengar. Belum lagi debu yang mendatanginya tanpa permisi.

20 menit perjalanan akhirnya ia sampai di mansion milik sang ayah. Di Mansion ini keluarga besarnya tinggal.

Ayah, ibu, amang Yuda dan Acil Aida, juga adik-adik dan sepupunya.

Hatinya kembali pilu kala menatap gerbang yang menjulang tinggi di hadapannya ini. Gerbang yang tertutup rapat meski ia sudah berdiri disini.

"Tuan Azam," ucap pak satpam disana. Ia sedikit membuka gerbang itu dan keluar. Tidak mempersilahkan Azam untuk masuk.

"Maafkan saya Tuan, Tuan Besar melarang saya membukakan pintu untuk anda," ucap satpam itu.

sebuah ucapan yang membuat Azam tersenyum getir.

"Tidak apa-apa Pak, saya mengerti," jawab Azam, ia masih saja memperlihatkan senyumnya yang palsu.

Lalu memberikan 2 paper bag pada pada pak satpam itu.

"Yang ini tolong berikan pada acil Aida. Dan ini... tolong berikan pada ibu," ucap Azam dengan suaranya yang bergetar.

Sungguh, ingin sekali ia memanggil sang ibu lalu mendapatkan jawaban. Namun kini semuanya terasa hampa.

"Baik Tuan," jawab pak satpam dengan hatinya yang merasa begitu iba.

Satpam itu bahkan sampai berkaca-kaca saat melihat kepergian Azam. Menggunakan motor matic dan mengendarainya sendiri.

"Ya Allah, semoga tuan Azam baik-baik saja," gumam pak satpam. Lalu kembali masuk ke dalam mansion.

Sementara Azam terus mengendarai motornya dengan pikiran yang entah. Ia bahkan tak sadar jika sudah ada air mata yang mengalir di tiap sudut netranya.

Tujuan Azam kini hanya satu, menuju ke pemakaman sang nenek. Meletakkan setangkai mawar putih di samping nisan nenek Zahra.

"Maafkan Azam Nek, maafkan Azam," ucap Azam dengan sesenggukan. Kini ia benar-benar menangis tanpa bisa ditahan.

Hari memang sudah berlalu namun nyatanya kesedihan itu masih begitu jelas menyelimuti hatinya.

Apalagi kini Azam benar-benar merasa sendiri, tidak ada yang menggenggam tangannya, tidak ada yang memeluk tubuhnya.

Cukup lama bersimpuh di makam sang nenek dan akhirnya Azam memutuskan untuk pulang.

Bersiap dan segera menuju Singapura.

Malam sampai di Singapura dan paginya Azam langsung menuju ke apartemen sang istri, Pan Pacific apartment.

Jantung Azam terasa terhenti saat akhirnya ia bisa melihat wajah sang istri.

Bella berdiri disana, persis di pintu keluar masuk lobby apartemen. Bella tidak sendiri, ia didampingi Fhia. Membuat hati Azam merasa lega, bahwa istrinya tidak sendirian.

Pagi itu ia terus mengikuti kemanapun Bella pergi. Memuaskan diri untuk menatap sang istri dari kejauhan.

Seperti seorang penguntit.

Hingga akhirnya Bella dan Fhia memutuskan untuk menyudahi kepergiannya. Membuat Azam merasa sesak seketika saat tahu ia tak bisa lagi melihat Bella.

Maka dengan semua kerinduan yang ia punya, Azam akhirnya menghentikan langkah kedua wanita itu sebelum mereka memasuki apartemen.

"Bella," panggil Azam.

Terpopuler