SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Sepasang Sayap Angkasa

Sepasang Sayap Angkasa

Pilot Baru

Disebuah bandara Internasional, tampak seorang ibu beserta suami dan anaknya menanti kedatangan putranya. Gurat cemas itu seketika berubah menjadi senyum ceria kala ia melihat wajah putra sulungnya berada diantara ratusan penumpang lainnya yang baru keluar dari gate kedatangan.

Seketika wajah cantik yang seolah tak menua itu berubah sendu, rasa bahagia, haru, karena rindu terhadap sang anak kini terbayarkan.

"Sayang ... akhirnya kamu pulang juga," Delia, menyambut kedatangan putra sulungnya dengan pelukan dan tangis haru, cairan bening itu tumpah dari pelupuk matanya, ia semakin mengeratkan pelukanya, karena rasa rindu, menghujani wajah anaknya dengan ciuman.

"Ma, malu, Angkasa bukan anak kecil Mama lagi." Angkasa melihat sekeliling, ada banyak pasang mata yang melihat kearah mereka, terutama kaum hawa, mereka melihat keluarga itu penuh kagum.

"Kenapa harus malu, kamu anak Mama." Kembali Delia mendaratkan ciuman di pipi Angkasa.

Ya, bagaimana tidak keluarga ini menjadi pusat perhatian para penumpang bandara, karena visual keluarga Philips Hamzah mampu menyedot perhatian orang disekelilingnya, tak ada yang tidak goodloking, di dukung badan tinggi menjulang membuat mereka makin sempurna.

Awan, saudara kembar Angkasa yang memiliki wajah bak pinang dibelah dua dengan Angkasa. Aira, adik bungsu mereka yang memiliki wajah bak model internasional, sungguh keluarga ini nyaris sempurna.

"Kamu tidak memeluk Ayah, Ang? Ingat, kamu ada di dunia ini karena peran penting Ayah juga, bukan hanya Mama," ucap Abian merasa iri karena Angkasa tak memeluknya.

Angkasa, laki-laki tampan berusia 25 tahun, dengan tinggi 185 itu melepas kaca matanya dan tersenyum memeluk Abian, ayahnya.

"Ayah apa kabar?"

"Sakit," jawab Abian asal.

"Bi," tegur Delia karena candaan suaminya tak lucu.

"Kalau Ayah tidak sehat, Ayah tidak akan ada disini."

Oh Astaga, bisakah Ayah menjawab normal dan biasa saja? Jika tidak memikirkan dia jadi anak durhaka, ingin rasanya Angkasa menukar tambah ayahnya dengan kuali atau cangkir di abang rongsokan seperti yang sering mamanya katakan jika kesal dengan ayah mereka.

Setelah melepas rindu dengan Abian, Angkasa bergantian memeluk Awan, saudara kembarnya, dan Aira, adik bungsunya.

Malam berganti, Abian dan Delia mengadakan pesta kecil-kecilan dihalaman belakang rumahnya sebagai penyambutan pulangnya Angkasa, karena sudah lebih dari lima tahun sejak Angkasa lulus dan mendapat lisensi penerbanganya, ia ikut bergabung di maskapai di negara Paman Sam, berkat kepintaranya ia bisa lulus dan masuk disana.

Delia yang tak bisa jauh dari anaknya memaksa Angkasa untuk pulang, dan meminta anaknya itu untuk bergabung di maskapai milik keluarganya. Angkasa yang tak tega pun mengiyakan keinginan sang mama, meski berat untuknya melepaskan karier yang ia dapat dengan penuh perjuangan itu. Meski ayahnya memiliki nama dan dikenal di berbagai maskapai, namun Angkasa tak ingin menggunakan nama sang ayah, ia ingin berjuang sendiri untuk mencapai kesuksesanya.

"Setelah ini Angkasa mau kemana? Masuk Airlangga Airlines, atau masuk maskapai lain?" tanya Rendy, teman Abian yang diundang malam ini, ia datang bersama Voni, dan Reini, anaknya.

"Maunya gabung maskapai lain, Om. Tapi ayah tidak mengizinkan, dan meminta masuk Airlangga Airlines," jawab Angkasa.

"Sama saja kan? Mau maskapai Ayah atau perusahaan lain, yang dibawa pesawat-pesawat juga, mendaratnya di bumi, bukan di mars," jawab Abian tak ingin anaknya banyak berkilah untuk menolak.

"Bagus, Om bisa menitipkan Reini kalau begitu, kebetulan Reini juga menjadi pramugari di Airlangga Airlines. Kamu masih ingat Reini anak Om kan?" Rendy menggeser badanya, menatap Reini, yang sedang berbincang dengan Aira dan Dara.

Reini yang memang sejak tadi mencuri-curi pandang ke Angkasa, tersenyum menyapa Angkasa dan melambaikan tangan. Angkasa hanya membalas dengan senyuman tipis.

Angkasa bukan laki-laki dingin, tapi bukan juga laki-laki yang ramah pada orang lain. Dia hanya akan bicara seperlunya pada orang yang dia kenal, tak suka berbasa-basi.

"Tapi Yah, Angkasa ingin mengajukan persyaratan jika Angkasa harus masuk ke maskapai Ayah."

"Ah, anak ini," keluh Abian "apa?"

"Aku tidak mau ada yang tahu kalau aku anak Ayah."

"Kenapa harus begitu? Pilot, pilot saja, tidak usah pakai persyaratan." Abian selalu tak habis pikir dengan pikiran Angkasa.

"Hem, tapi baiklah. Kalau tidak aku turuti nanti kamu pergi lagi, bisa banjir bandang rumah kalau kamu pergi lagi." Ucap Abian akhirnya mengalah, tak sanggup jika harus mendengarkan tangisan Delia setiap malam menangisi Angkasa karena rindu.

Rendy tertawa, membayangkan betapa pusinganya Abian jika Delia sudah ngambek, Abian bisa puasa menyentuh istrinya selama satu bulan, dan itu akan membuat Abian uring-uringan di kantor.

"Kenapa Angkasa tidak mau jadi pilot juga, mengikuti jejak mu?" tanya Rendy.

"Dia takut ketinggian, kejadian disekolahnya dulu membuat Awan trauma. Aku tidak akan memaksanya."

Ya, Awan. Saudara kembar Angkasa tidak mengikuti jejak sang ayah, atau saudara kembarnya, dia sedang menikmati hidupnya menjadi pengacara, alias pengangguran banyak acara, beruntung keluarganya bukan tipe keluarga penuntut, jadi ia bisa bersantai tapi tetap bisa memiliki banyak uang. Hem, enak sekali hidup Awan, tapi sikapnya itulah yang membuatnya jauh dari wanita yang ia sukai.

"Anak Mama ternyata disini, Mama cariin kemana-mana." kedatangan Delia membuat Awan terkejut, "lagi merhatiin siapa? Hayo." Delia menyenggol bahu Awan, berdiri disebelah Awan.

"Bukan siapa-siapa, Ma." Awan meletakkan kepalanya dipundak Delia.

"Samperin gih, biasanya juga disamperin." Delia tahu apa isi hati anaknya.

Awan menggeleng, padahal biasanya jika ada kumpul keluarga seperti ini, dia mau menyapa dan mengajak Reini mengobrol, tapi jika ada Angkasa, perhatian Reini hanya tertuju pada saudara kembarnya itu, keberadaannya disamping Reini hanya akan dianggap gadis itu nyamuk, padahal mereka kembar, namun Reini suka pada Angkasa karena Angkasa seorang pilot pintar dan pekerja keras.

* * *

Lima bulan berlalu.

Setelah lulus seleksi dan beberapa tahapan, Akhirnya Angkasa resmi bergabung menjadi pilot di Airlangga Airlines.

Hari ini hari pertama ia bertugas, dan dipasangkan dengan seorang pilot senior dan cukup populer di Airlangga Airlines.

"Captain Alex, hari ini anda akan terbang dengan pilot baru, Angkasa," ujar Martinus, petugas Flight Operation Officer (FOO) memberi tahu Alex menunjuk Angkasa yang berdiri didepan meja tinggi tempat mengecek dan mengisi data.

Vancen Alexandro, atau yang sering disapa Captain Alex itu membuka kaca matanya menatap Angkasa.

"Aku Alex," Alex memperkenalkan diri tanpa menjabat tangan, "senang bisa menjadi teman terbang pertama kamu di Airlangga Airlines," ucapnya memiliki maksud menyombongkan diri.

"Angkasa." Angkasa menyebutkan namanya seraya mengulurkan tangan, Alex hanya menatap tangan Angkasa tanpa ada minat menyambutnya, Angkasa terpaksa menarik lagi tanganya seraya tersenyum tipis.

"Aku harus memanggil mu apa?" tanyanya sambil menarik kertas didepan Angkasa, belum sempat Angkasa menjawab, Alex sudah bicara lebih dulu. "Tak perlu dijawab, kita juga tidak akan terbang bersama lagi, kan? Kau pasti terbang sendiri setelahnya."

Kembali Angkasa hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Alex yang terkesan meremehkanya.

"Kamu sudah mengecek dan mengisi semua datanya, Angkasa?" tanya Alex membolak-balikkan kertas dokumen penerbangan mereka.

"Sudah." Angkasa menjawab dengan singkat.

Alex mengecek ulang data yang telah diisi Angkasa, dia mencebikkan bibir mengangguk.

"Oke, semua sudah beres, kerja bagus untuk hari pertama mu," pujinya. Lalu Alex bertepuk tangan, memanggil para awak kabin yang akan terbang bersamanya.

"Hai, para bidadari ku," sebutan Alex pada para pramugari, "hari ini kita akan terbang ke Lombok. Penerbangan yang kalian suka bukan?"

"Suka donk, Capt." jawab para pramugari itu kompak.

"Aku juga suka," jawab Alex dengan bibir menyungging sempurna, terlihat sangat tampan, "baik, hari ini kita akan ditemani Captain baru, Captain Angkasa." Alex memperkenalkan Angkasa.

"Hai, Capt." para pramugari itu seperti sangat sudah terlatih, menyapa dengan kompak.

"Ganteng banget sih, Capt." puji salah satu pramugari menggoda.

"Captain Alex ada sainganya sekarang," timpal pramugari lainnya.

Alex melirik Angkasa, sebagai seoarang laki-laki dia mengakui ketampanan Angkasa, wajah blasteran Asia Jerman yang dimiliki Angkasa membuat Alex bukan lagi satu-satunya pilot berwajah blasteran di Airlangga Airlines. Jika begini, kepopuleranya sebagai pilot paling gagah dan tampan di Airlangga Airlines akan direbut oleh Angkasa.

"Hai semua," balas Angkasa menyapa, "saya Angkasa. Mohon bimbingan kalian semua."

"Pasti donk, Capt. Aku bersedia sampai kita menuju pelaminan juga," jawab salah satu pramugari.

Angkasa tersenyum mendengar gurauan itu, ia sudah terlalu terbiasa mendengarnya. Namun membuat Alex menatapnya jengah.

"Jangan kege-eran disini. Mereka terbiasa berkata seperti itu jika ada pilot baru," Alex berbisik ditelinga Angkasa seraya melangkah menuju mobil yang akan membawa mereka ke pesawat.

Suara bising mesin pesawat menyambut kedatangan mereka di lapangan parkir pesawat, ada puluhan pesawat dari berbagai maskapai berjejer menunggu para penumpang naik, ada juga yang menurunkan penumpang.

Seoarang pramugari cantik berawajah oriental yang baru saja mendarat menghampiri Alex.

"Pawangnya Captain Alex datang," kata salah satu pramugari.

"Aku membelikan oleh-oleh untuk mu," ucap pramugari cantik itu memberikan sekotak makanan, Alex menerimanya dengan ekspresi senang.

Kemudian wanita itu mengajak Alex berbincang sebentar entah apa yang mereka bicarakan.

Angkasa membaca nametag yang menempel di dada kirinya.

'Citra Arum Pratiwi'

Nama yang cantik, puji Angkasa dalam hati, sesuai dengan wajahnya yang teduh. Pandangan Angkasa dan pramugari itu bertemu, ia tersenyum ramah sebagai sapaan pada Angkasa. Angkasa membalas senyuman itu tak kalah ramah diikuti anggukan kecil.

"Ini ambil untuk mu." Alex memberikan kotak roti yang diberikan pramugari tadi pada Angkasa saat sudah didalam pesawat.

Angkasa menerim dan membuka bungkusan itu, roti srikaya dari nama kota tempat wanita itu terbang, mungkin.

"Kenapa anda kasih ke saya, Capt?"

"Aku tidak suka roti srikaya, tapi dia selalu memberikannya, bukankah itu memuakkan? Dia selalu bersikap seperti itu."

"Kalau anda tidak suka, kenapa tidak memberi tahunya?"

"Makan saja, aku kenyang." ujar Alex dingin.

Angkasa menatap roti srikaya itu, ia tersenyum, ia akan memakan roti ini sebagai bekal pertamanya terbang, dari seorang wanita cantik, rasanya pasti enak.

* * *

"Ahhh .... Arum, milik mu memang enak sayang. Kau memang pandai memuaskan ku."

Angkasa yang baru saja masuk ke toilet menghentikan langkahnya mendengar suara erangan dari salah satu kubikel toilet.

"Arum?" Seingat Angkasa, nama pramugari yang terbang bersamanya, tak ada yang bernama Arum. Tapi dia ingat nama Arum, nama pramugari yang memberikan Alex roti.

"Kamu tidak memakan roti dari wanita payah itu kan?"

"Tidak sayang. Aku memberikannya pada pilot baru itu."

"Hem bagus sayang. Kalau begitu aku akan memuaskan mu."

Ada Apa Dengan Arum?

Hari berlalu, minggu berganti, Angkasa menjalani profesi sebagai pilot tanpa ada kendala berarti, dia mendapat jadwal terbang di jam normal, tak ada juga yang mengetahui jika dia merupakan anak salah satu pemilik Airlangga Airlines. Selama itu pula, Angkasa selalu memperhatikan dari jauh pramugari yang sukses menyita perhatianya sejak awal ia bergabung di maskapai sang ayah.

Citra Arum Pratiwi.

Dia selalu menggumamkan nama itu setiap dia melihat gadis itu dari jauh. Arum pramugari cantik yang memiliki senyum yang bisa mengundang ribuan lebah untuk mengerumuninya. Apalagi saat dia tertawa, matanya mengecil hingga tak terlihat dan itu lucu dimata Angkasa.

Astaga, Angkasa ... Dia sudah ada yang punya, tapi kau mengamatinya sedemikian rupa.

Sebenarnya Angkasa tak ingin berburuk sangka dengan apa yang pernah didengarnya waktu itu, dia hanya sekali terbang bersama Alex, namun cukup jelas jika laki-laki yang sedang bercinta didalam toilet waktu itu adalah Alex. Angkasa ingin membuntuti, tapi itu bukan urusanya. Alex bukan laki-laki yang terikat pernikahan, sah-sah saja jika laki-laki itu ingin bercinta dengan siapapun, asal itu bukan di lingkungan kerja.

Apalagi kabar yang Angkasa dengar, jika Alex merupakan pilot profesional yang selalu tepat waktu dan disiplin dalam bekerja. Alex juga merupakan anak dari jajaran direksi di Airlangga Airlines. Angkasa tak ingin menanyakan ini pada ayahnya, biarkan saja Alex bertindak semaunya, asal jangan merugikan perusahaan.

Angkasa baru saja mendarat di ibu kota setelah beberapa hari terbang di berbagai pulau di Indonesia. Tak sengaja ia melihat Arum sedang berpelukan dengan Alex, sepertinya Alex baru akan flight, dan Arum mengantarkanya, dari pakaian yang dikenakan Arum, sepertinya Arum sedang mendapat jatah libur.

Angkasa melihat kedai kopi yang ada didepannya, ia mampir sebentar untuk membeli kopi.

Bughhh

"Maaf-maaf, saya tidak sengaja."

Refleks, Arum yang tak sengaja menabrak Angkasa membersihkan tumpahan kopi diseragam Angkasa yang ada ditangan laki-laki itu, bukanya risih atas yang Arum lakukan, Angkasa justru mengangkat kedua tangannya agar Arum bisa leluasa membersihkan noda kopi diatas seragamnya.

Kedua sudut bibir Angkasa terangkat, usahanya untuk dapat melihat wajah Arum dari dekat bisa terealisasi. Gadis itu tak memakai make-up sedikitpun, terlihat jika wajah Arum sangat halus dan putih, tak ada noda sedikitpun disana.

Arum mengangkat pandanganya menatap Angkasa.

"Maaf Capt, seragam anda jadi kotor gara-gara saya."

"Tidak apa-apa, saya juga salah, berjalan tidak melihat kedepan," ucap Angkasa tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah cantik nan teduh itu.

"Anda mau terbang atau-"

"Saya baru saja mendarat," jawab Angkasa cepat memotong ucapan Arum, tak tega melihat gurat khawatir diwajah Arum, ekspresi yang berlebihan menurut Angkasa, dan setelah mendengar jawaban darinya, Arum menghela nafas lega.

"Syukurlah," Arum mengusap dada, "Captain bawa baju ganti? Biar saya cucikan seragam Captain yang kotor."

Angkasa tertawa, astaga ... dia polos sekali.

"Ini hanya tumpahan kopi, Nona. Jangan berlebihan, saya bisa mencucinya sendiri."

Arum menatap Angkasa tak enak, sedang Angkasa menikmati momen ini, polos, cantik, baik, Arum mampu menyihir Angkasa. Melihat Arum seperti ini, ada rasa muncul begitu saja ingin melindungi gadis ini, dari sorot matanya, terlihat jika Arum menanggung beban berat yang ia pikul sendirian.

"Tapi saya yang menabrak anda, Capt. Saya bertanggung jawab."

Angkasa tersenyum.

"Tenanglah Nona, ini hanya hal kecil. Tidak perlu berlebihan," entah mengapa sikap Arum yang seperti ini membuat Angkasa semakin penasaran dengan sikap Arum, jika orang lain, mungkin tidak akan peduli, cukup minta maaf dan pergi, tapi ini? Arum sampai ingin mencuci seragamnya.

"Anda tidak marah?"

"Untuk apa aku marah? Tenanglah, aku tidak akan marah."

"Capt, jika anda marah, biar saya cucikan seragam anda."

Angkasa tertawa, mengibaskan tangannya didepan wajah. Tawa yang begitu tampan, jika wanita lain yang melihat tawa itu pasti akan jatuh hati, sayangnya yang melihat tawa itu Arum, wanita yang hatinya sudah terikat dengan laki-laki lain.

"Aku tidak marah Nona, percayalah." Angkasa menyakinkan Arum agar gadis itu tidak cemas, "kenalkan, saya Angkasa. Driver Airlangga Airlines," Angkasa mengulurkan tangannya mengajak berkenalan, Arum hanya diam menatap tanpa menyambut tangan Angkasa, Angkasa mengangkat kedua alisnya bertanya-tanya.

"Saya Arum, saya juga pramugari di Airlangga Airlines." Arum menyebutkan namanya sambil menangkup kedua tangannya didepan dada.

Angkasa terpaksa harus menarik lagi tanganya yang kosong, seperti hatinya yang tiba-tiba menjadi kosong atas penolakan Arum.

"Arum, nama yang cantik, secantik orangnya," puji Angkasa tulus dari hati.

"Apa anda benar tidak apa-apa, Capt?" Arum bertanya lagi, itu sangat mengganggu Angkasa, karena pujian yanh ia lontarkan hanya seperti angin lalu bagi Arum.

"Tidak apa-apa, Arum. Ini hanya kotoran kopi, bisa dibersihkan."

"Baiklah, Capt. Kalau begitu saya permisi." Arum langsung membalikkan badannya meninggalkan Angkasa, padahal Angkasa masih ingin berbincang denganya dan mengajaknya minum di cafe.

"Arum." panggil Angkasa.

Arum yang sudah cukup jauh itu menoleh.

"Aku berharap suatu saat kita bisa terbang bersama," teriak Angkasa cukup keras, mengundang orang-orang disekitarnya jadi menatap padanya, namun Angkasa tak memperdulikan itu, dia menunggu respon Arum, dan akhirnya Arum tersenyum dan melanjutkan langkahnya.

"Sayang sekali Arum, padahal aku ingin bicara lebih lama lagi dengan mu," gumam Angkasa, "ada apa dengan mu Arum? Kenapa kamu seperti menjaga jarak?"

Angkasa menunduk, dia tersenyum kecut, wajar jika Arum bersikap dingin padanya, Arum pasti menjaga hati Alex.

Gadis yang setia.

* * *

"Bbahh."

Angkasa berjengit saat seseorang mengagetkanya.

"Reini?"

"Kaget ya?" Reini tertawa sendiri karena merasa dia berhasil mengagetkan Angkasa, laki-laki yang selalu dingin padanya. Tapi kemudian tawanya itu terhenti tatkala melihat noda di seragam Angkasa. "Ini kenapa? Kamu mau flight apa pulang?" Rein coba menyentuh seragam Angkasa, namun Angkasa segera menepis tangannya, Reini jadi mengerucutkan bibir maju beberapa senti.

"Cuma mau bantuin bersihin doank padahal."

"Ketumpahan kopi tadi," jawab Angkasa, "ini mau pulang."

"Kebetulan, pulang bareng ya? Kamu mampir kerumah, pasti mama sama papa senang."

Angkasa tak menjawab, ia terus berjalan menuju mobil jemputan mereka masing-masing.

"Lain kali saja ya. Aku sudah berapa hari tidak pulang. Ingin istirahat." Angkasa berkata seraya membukakan pintu mobil yang akan mengantar Reini pulang. Sengaja ia menolak karena bukan Angkasa tak tahu, jika saudara kembarnya menyukai gadis itu.

*

*

*

Disebuah rumah lantai dua yang tak terlalu besar, jika dilihat dari luar, rumah bercat putih itu sangat damai dan tenang, dihalaman rumahnya ditumbuhi berbagai macam bunga berwarna warni yang begitu terawat, namun tak ada yang tahu apa yang terjadi didalamnya.

"Ampun mas, ampun, aku minta maaf. Aku tidak sengaja," rintih seorang wanita kesakitan memohon ampun.

Plakk

Bughhh

"Ampun katamu? Kamu itu sering sekali melakukan kesalahan yang aku tidak suka, Nining. Kamu ulang-ulang terus membuat aku kesal, " ucap laki-laki itu bengis, ia menarik, manampar, bahkan memukul wajah si wanita tanpa ampun dan belas kasihan meski wajah wanita itu penuh lebam bahkan ada setetes cairan merah keluar dari sudut bibirnya, ia kesakitan.

"Ini kemeja kesukaan ku," teriaknya tepat didepan wajah Nining, "ini kemeja mahal, pemberian bos besar, tapi kamu membuatnya rusak, dan kamu mau minta maaf begitu saja?" Didik mendengus, "jangan harap aku akan memaafkan mu dengan begitu mudah. Kamu harus mendapat hukuman." Ia menarik rambut wanitanya, membuat Nining kembali meringis kesakitan.

"Jangan Mas, ampuni aku, jangan hukum aku mas, sakittt ..." rintihnya lagi seraya menahan rambutnya yang ditarik, wajahnya memerah karena menahan rasa panas dan perih di kulit kepalanya, matanya pun sudah berkubang embun yang siap menetes.

"Rasakan wanita biadàb, enak saja kamu bilang minta ampun, kamu harus mempertanggung jawabkan perbuatan mu padaku." Didik semakin kuat menarik rambut istrinya.

"STOP PA." cegah Arum yang baru datang, menahan tangan laki-laki yang ia panggil papa itu. "Masih belum puas Papa menyiksa Mama? Iya? Mau Mama sampai mati? Arum bisa laporkan papa ke penjara kalau Papa menyiksa Mama terus."

Didik menoleh, dia matanya sudah merah karena marah.

"Lapor! Laporkan saja anak tak tahu diri, biar aku beri tahu sekalian siapa kamu," lantangnya didepan wajah Arum, Didik menghempas cekalan tangan Arum, lalu ia masuk ke kamarnya.

"Anak sama ibu, sama saja. Merepotkan, tak tahu diuntung."

Arum menghela nafas, lalu membantu mamanya yang kini terkapar tak berdaya di lantai.